Sabtu, 18 Februari 2012

LEGALITAS BUDAYA DALAM BINGKAI ISLAM

Secara makro eksistensi ajaran agama Islam, senantiasa bersentuhan langsung dengan realitas sosio-kultural yang mengitarinya. Bahkan tak dapat dipungkiri ajaran agama agaknya sedikit menuruti kultur masyarakat dimana ajaran itu tumbuh. Seperti yang muncul dalam permasalahan fiqh, telah terjadi perbedaan antara Imam An-Nawawi, Al-Quffal, Ar-Rafi’i dan Ulama lain. Terbukti dengan lingkungan berbeda membuat produk istimbat yang berbeda pula. Semisal, dulu tidak ada zakat dengan menggunakan beras apalagi uang, yang ada hanya kurma. Nah, lantas apakah sekarang kultur Jawa harus berzakat dengan kurma? Dan apakah mereka juga harus berjubah? Padahal kultur Jawa adalah bersarung dan ber-blangkon, sedang makanannya adalah nasi bukan kurma. Maka, antara ajaran agama dan sosio-kultural akan menjumpai dua kemungkinan:

Pertama: Ajaran dan da’wah agama, mampu memberikan pengaruh bahkan merubah lingkungan sosial baik dalam segi pandangan hidup, sikap dan prilaku masyarakat.

Kedua: Ajaran agama atau setidak-tidaknya persepsi dan penghayatan ajaran tersebut, dipengaruhi oleh dinamika yang ada. Dalam arti pemahaman dan penghayatan serta penafsiran terhadap ajaran agama dapat berubah karena lingkungan dan perkembangan waktu. Oleh karena itu, Islam hadir untuk membingkai dinamika kehidupan yang sedemikian komplek melalui tiga pendekatan.

Pertama: Pendekatan Historis, ajaran Islam meski diyakini sudah sempurna dari semula karena ada jaminan dari Allah Swt “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan Aku sempurnakan nikmat-Ku untukmu dan Aku telah rela Islam menjadi agamamu”(al-Maidah ayat 3).

Namun dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran dan pesan agama akan selalu bersentuhan dengan waktu. Sejarah membuktikan, pada waktu para sahabat masih didampingi Nabi, ukhuwah islamiyah diantara para sahabat terjalin dengan sangat baik. Tapi mengapa ketika Nabi wafat, terjadi pertentangan dan permusuhan bahkan saling menjatuhkan diantara para sahabat. Padahal masa itu masih hidup para sahabat senior yang mendapatkan jaminan surga. Mengapa pula ada kaum Khawarij dengan sifatnya yang begitu ekstrim? Mengapa ada Syiah yang sikapnya begitu exlusif terutama dalam masalah Imamah? Mengapa terjadi pengkafiran diantara sesama, padahal generasi mereka dinilai sebagai qurun terbaik. Ternyata perubahan sejarah telah mampu membuat perubahan-perubahan sikap dan prilaku masyarakat tertentu termasuk sikap keberagamaannya.

Kedua: Pendekatan Doktrinal (sisi ajaran) pada masa masih didampingi Rasulullah, ajaran Islam masih sederhana, padu, solid, difahami, diamalkan dan dihayati oleh para sahabat seusai dengan tingkatan keilmuannya. Sehingga ketaatan dan kesadaran mereka, tidak banyak memunculkan dampak negatif, tidak ada pembedaan keilmuan Islam seperti ilmu Kalam, Fiqh, Tasawuf ataupun yang lainnya. Munculnya ilmu-ilmu ini sebenarnya dipicu dan didorong dengan adanya kebutuhan sekaligus tantangan yang perlu dihadapi dengan pendekatan baru yang semula belum diperlukan. Kebutuhan dan tantangan tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, kepentingan dan pengalaman masing-masing, meskipun dasar yang dipakai sama yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Pendekatan Doktrinal inilah yang memunculkan pendapat ulama’ salaf[1] dan kholaf[2], muncul pula perbedaan antara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Syafi’i dengan Qoul Qodim dan Jadid- nya dan imam-imam yang lain.

Ketiga: Pendekatan Kultural (budaya lingkungan) memberikan realitas dan kebutuhan yang berbeda-beda. Dibentuk oleh pengalaman dan keadaan yang berbeda pula. Mengapa ada faham Asy’ariyah, Maturidiyah dan Thohawiyah, sebagian faham mereka berkembang di Irak, Asmorokondi dan berakhir di Mesir. Padahal mereka semua diakui sebagai golongan Ahli Sunnah Wal Jama’ah, bahkan dikalangan Asy’ariyah sendiri terdapat perbedaan pendapat antara abu hasan Al-Asy’ari dan muridnya Al-Baqillani, Al-Juaini, As-Sanusi dan Ibnu Arabi.

Dalam upaya memahami ajaran Islam Ala Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, tidak mungkin hanya mempelajari perangkat ajaran-ajarannya saja (doktrinal), apalagi hanya mempelajari ajaran dari satu tokoh tanpa menganalisis latar belakang dan timbulnya ajaran tersebut, atau munculnya tokoh pelaku (historis) dalam perspektif sejarah. Demikian pula sulit untuk menangkap adanya persamaan atau perbedaan secara utuh dan jernih tanpa mengenali lingkungan sosio-kultural dimana ajaran atau tokoh itu muncul.

Akhirnya dapat disimpulkan untuk membingkai budaya dengan ajaran Islam Ala Ahli Sunnah Wal Jam’ah dengan lebih baik, utuh dan jernih. Perlu adanya tiga pendekatan, yakni Doktrinal, Histories dan Kultural.



[1] Adalah para Ulama yang hidup pada abad III H, terdiri dari para Shahabat, Tabi’ien, Tabi’it Tabi-ien. Kurun ini merupakan kurun terbaik sesuadah Rasulullah.

[2] Adalah para Ulama yang hidup setelah abad III H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar