Allah Swt menciptakan manusia dalam tingkatan yang tinggi dan
mulia. Kita lebih mulia daripada Malaikat, karena pada hakikatnya Malaikat
hanya menunggu tugas yang diperintahkan oleh Allah Swt kepadanya. Sedangkan
manusia diberi kehendak oleh Allah Swt untuk berbuat sesuatu.
Kita lebih tinggi daripada syaitan, karena syaitan tidak bisa benar,
tetapi manusia bisa melakukan kebenaran dan kebaikan meskipun juga sering kali
melakukan kelalaian. Manusia lebih tinggi dan mulia daripada hewan, karena
sepintar apapun hewan itu, dia tidak di anugerahi akal oleh Allah swt.
Sementara manusia dijadikan sebagai makhluk multidimensi, tidak hanya terdiri
dari akal tetapi banyak dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia.
Manusia lebih mulia daripada bumi, gunung bahkan lautan, karena
mereka tidak bernyawa. Sedangkan manusia tidak hanya diberi ruh oleh Allah
Swt tetapi juga dilengkapi dengan jasad untuk beribadah kepada Allah Swt.
Hal ini karena kita diciptakan sebagai makhluk yang multidimensional.
“Sesungguhnya
telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang multidimensi” Q.S.At-Tin:4[1]
Meskipun manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat
besar untuk mengetahui dirinya. Tapi kita hanya mampu mengetahui beberapa segi
tertentu dari diri kita. Sehingga tulisan ini hadir untuk mengamalkan salah
satu hadist Rosululloh Saw “Barang siapa yang mengetahui dimensi dirinya, maka
dia akan mengetahui dimensi Tuhannya”. Sebab menurut Imam Ghazali hadist ini
adalah keharusan bagi siapapun yang ingin untuk mengetahui tentang dimensi
ketuhanan.[2]
Makalah ini akan mencoba memulai membahas tentang sejarah manusia dan
dimensi dalam diri manusia.
A.
Sejarah Manusia
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang
diketahuinya. QS.Al-Alaq:96:1-5
1.
Manusia adalah makhluk spiritual murni
Pada mulanya
manusia berada ditempat yang tinggi sebagai makhluk spiritual murni, yang
kemudian ruh spiritual itu ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Sifat- sifat
spiritual itu dipadukan ke dalam materi konkret berupa tubuh atau jasad manusia
yang terbuat dari tanah.
Maka lahirlah
manusia yang tidak hanya memiliki tubuh tetapi juga memiliki sifat spiritual.
Teori ini secara otomatis sebenarnya telah mampu menyanggah teori Darwin yang
hanya melihat manusia dari sisi fisiologis saja dan mengabaikan adanya sisi
spiritual dalam diri manusia pendapat ini dapat dibuktikan dengan adanya
penemuan ilmiah SQ (Spiritual Quotient) di California University oleh V.S.
Ramachandran pada tahun 1997. Penemuan tersebut menekankan tentang adanya God
Spot pada otak manusia yang kemudian dijelaskan lebih lanjut sebagai wadah yang
memiliki potensi spiritual. Para ahli telah berhasil membuktikan bahwa manusia
memiliki unsur-unsur spiritual, yang berfungsi sebagai pusat makna tertinggi
kehidupan manusia.[3]
2.
Manusia menetapkan misi
Banyak manusia
modern saat ini menderita penyakit yang dinamakan spiritual patology
atau spiritual illens. Hal ini terjadi akibat kesalahan orientasi dalam
menjalani kehidupan. Mereka menyangka bahwa makna kehidupan bisa diraih melalui
materi tetapi pada kenyataannya mereka gagal menemukan makna kehidupan hakiki yang
sesungguhnya, lewat materi tersebut. Menurut Khalil Kavari senada dengan
penemuan ilmiah oleh Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan apabila manusia
gagal dalam mencapai makna kehidupan, mereka akan menderita kekeringan jiwa,
makna yang paling tinggi dan bernilai adalah justru terletak pada aspek
spiritualitasnya. Hal ini akan dirasakan jika manusia ikhlas dalam mengabdi.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku” QS Adz-Dzaariyaat 51:56.[4]
3.
Manusia diberikan kemampuan intelektual, emosional dan spiritual.
Hanya manusia
yang memiliki lapisan otak neo-cortex, yaitu sebuah alat bantu pemberian
Tuhan, yang memiliki kemampuan berpikir logis dan rasional (IQ). Hanya manusia
yang mampu bekerja sebagai kholifah dimuka bumi ini. Mahkluk lain tidak mungkin
memiliki otak neo-cortex ini, akibatya mereka tidak memiliki kecerdasan
intelektual seperti yang dimiliki manusia.
Juga otak limbic
sebagai fungsi kecerdasan emosional (EQ), dan God Spot pada temporal lobe
untuk kecerdasan spiritual (SQ), sehingga manusia memiliki logika rasional,
perasaan sebagai pengindai atau radar, dan suara hati sebagai pembimbing
dan autopilot berupa drive dan value. Pada dimensi
spiritual manusia diajari esensi nama-nama atau sifat-sifat Allah.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya” QS.
Al-Baqarah 2:3.[5]
4.
Manusia akan senantiasa tunduk kepada Allah
Penemuan God
Spot otak manusia lebih meyakinkan pendapat ini, bahwa manusia senantiasa
mencari nila-nilai mulia atau spiritualitas.
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan-Ku), maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan
bersujud” QS Al-Hijr 15:29.
Saat ini telah
terbukti bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang senantiasa merasa bahagia ketika
dorongan spiritualnya terpenuhi. Penemuan God Spot pada otak manusia lebih
meyakinkan pendapat ini karena manusia akan senantiasa mencari Tuhan-nya. Yaitu
melalui sifat-sifat-Nya, yang selalu diidam-idamkan manusia. Inilah bukti
keperkasaan Allah, dan penghambaan serta pengabdian manusia. Sekaligus
pernyataan Allah bahwa Ruh Ilahi yang ditiupkan ke dalam diri manusia adalah
memiliki tempat yang tertinggi dan temulia.
5.
Manusia diberikan kalbu oleh-Nya[6]
Emosi adalah
getaran pada kalbu yang terjadi akibat tersentuhnya ruang spiritualitas
seseorang. Begitupun ketika suara hati kasih sayang yang terdapat di relung
hati tersentuh, maka ia dengan serta merta akan merasa terharu. Ketika
getaran-getaran hati bersinggungan dengan sifat-sifat keadilan, maka signal
pada otak pun mengalami getaran yang sama. Kemungkinan terbesar, sikap-sikap
yang muncul adalah sikap-sikap kemarahan (apabila melihat “si lemah”
diinjak-injak haknya), sikap sedih (ketika melihat bantuan bencana alam yang
tidak sampai ke tangan korban), sikap bahagia (saat para pembela kebebnaran
berhasil memenjarakan para penjarah uang rakyat), atau sikap ingin menolong
(pada waktu keadilan tidak berpihak kepada rakyat miskin yang kelaparan). Maka
kesimpulannya, ketika suara hati tersentuh, maka situasi yang sama berlaku pula
pada emosi yaitu berupa getaran emosi. Namun biasanya, banyak orang keliru dan
tertukar antara keduanya, karena tidak mampu membedakan yang mana suara hati
dan yang mana yang dinamakan emosi.
Emosi adalah
sebuah signal yang berbentuk haru, sedih, kecewa, marah atau bahagia (pada limbic
system), ketika suara hati spiritual kita mengalami singgungan pada god
spot.
Emosi EQ lebih
mudah tersentuh melalui panca indera, khususnya mata dan telinga yang lebih
dipergunakan untuk melihat, mendengar, dan mengukur benda-benda konkret. IQ,
hati adalah bagian dari aspek spiritualitas SQ.
“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan kepadanya ruh-Nya,
dan dia menjadikan untuk kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati. Sedikit
sekali kamu bersyukur” QS. As-Sajadah 32:9.
6.
Membuat perjanjian spiritual[7]
Sebuah fenomena
besar tentang kehidupan spiritual manusia adalah kecendrungan manusia untuk
senantiasa menuju sifat sifat ilahiyah.[8]
Manusia lebih merasa terharu atau bahagia apabila titik spiritualnya tersentuh
dan manusia cenderung mengikuti sifat-sifat Allah. Inilah bukti bahwa manusia
memang pernah melakukan perjanjian ruh dengan penciptanya, yang terurai dalam
firman Allah
“Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah,
mereka tidak berpaling ke belakang. Dan perjanjian (dengan) Allah itu akan
ditanya”QS. Al-Ahzab 33:15.
7.
Perintah membaca bukti-bukti itu[9]
Beradsarkan
firman Allah :
“Berjalanlah kamu dimuka bumi maka perhatikanlah bagaimana Allah
memulai menciptakan makhluk, kemuadian Allah menjadikan kejadian yang akhir.
Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatau” QS.Al-Ankabut
29:30,
Dan karena
manusia telah dikaruniai tiga kecerdasan secara lengkap yaitu intelektualitas,
emosionalitas dan spiritualitas, maka manusia diperintahkan untuk membaca
tanda-tanda yang ada dalam diri dan lingkungannya serta berkewajiban untuk
mengetahui siapa Tuhannya.[10]
Ia menciptakan
alam lengkap beserta isinya, lengkap dengan bayang-bayang sifat milik-Nya
sendiri. Oleh karenanya Ia menyuruh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini,
untuk terus-menerus mengingat dan mengenal sifat-sifat-Nya melalui alam semesta
yang diciptakan-Nya itu.
Berdasarkan
sejarah penciptaan manusia, misi manusia dan potensi yang ada dalam dirinya,
maka jelaslah bahwa manusia sesunggguhnya adalah makhluk spiritual. Dengan
bermodal SQ itu, manusia mengabdi kepada Allah untuk mengelola bumi sebagai
khalifah, misi utamanya semata mecari keridhaan Allah. Target utamanya adalah
menegakkan keadilan, menciptakan kedamaian, membangun kemakmuran termasuk di
dalamnya, langkah nyata berupa spiritualisasi disegala bidang baik
diperusahaan, instansi, Negara atau dalam lingkup sosial terkecil yaitu
keluarga.
B.
Dimensi Manusia
Mungkin dengan
bahasa yang lebih sederhana, bahwa dimensi adalah kumpulan parameter dan tata
nilai yang membentuk sistem yang bisa merupakan bagian dari sistem lain yang
lebih besar atau beririsan dengan sistem lain yang paralel dengan formasi
tertentu. Setiap dimensi memiliki satu bagian penting (bisa tunggal atau
kesatuan) yang sangat mempengaruhi eksistensi dimensi tersebut. Katakanlah
bagian penting itu dengan istilah inti dimensi.
Manusia terdiri
dari dua bagian, ruh dan jasad. Ruh adalah bagian bathin
sedangkan jasad adalah bagian dzahir. Ruh berasal dari taman indah yang
berasal dari keharibaan al-hadrah al-quds, sedangkan jasad berasal dari
tanah liat dan segumpal darah. Atas perintah Allah, ruh ditiupkan kedalam
jasadnya, sehingga pertemuan kedua unsur ini (ruh dan jasad), hiduplah seorang
manusia. Selama ruh masih berada didalam tubuh, maka badan akan terus hidup.
Inilah pengetahuan dasar yang diajarkan kepada kaum muslim sedari dini.
Ruh telah
diberi kesempatan untuk mengenal Tuhannya sebelum jasad tercipta. Ruh telah
bercanda tawa dengan para Malaikat jauh sebelum manusia pertama (Adam) diturunkan
kemuka bumi. Namun setiap ruh telah ditetapkan oleh Allah untuk turun kebumi
dan menempati jasad yang telah disediakan.
Dalam pandangan
Islam tubuh memiliki karakteristik yang fundamental bagi manusia. Tubuh adalah
tempat bersemayamnya panca indera, sehingga dengannya kita dapat melihat,
meraba, mencium dan melihat.[11] Melalui
pengalaman inderawilah kita dapat melihat dan membaca ayat-ayat yang tertabur
di alam semesta. Jasad adalah penerima pertama yang bersinggungan langsung
dengan data-data dan informasi yang tersebar dijagad raya. Dengannya kita dapat
melihat warna-warni dan dinamika alam semesta. Tanpa jasad, informasi yang akan
kita tangkap untuk dapat langsung dihubungkan ke ruh agar kemudian diproses
lebih lanjut, tidak akan diterima. Jasad sama sucinya dengan ruh.[12]
Meskipun statemen seperti ini masih dipertentangkan dikalangan ulama. Tapi
jelas kedudukann jasad menjadi hal yang penting dalam turunnya ilmu karena
jasad adalah rumah panca indera. Tanpanya kita tidak akan bisa membaca data
informasi yang terkandung dalam ayat-ayat kebesaran Allah.
Dimensi kedua
dalam diri manusia adalah ruh. Dalam surat al-isra: 85 berbicara mengenai ruh
yang merupakan tolak ukur keterbatsan akal manusia. Ruh adalah unsure yang
tidak terlihat oleh mata, sehingga pengetahuan mausia tentang ruha hanyalah
sebatas spekulasi belaka, karena ia bersumber dari hikmah ilahiyah. Maka dengan
itu seperti yang ditegaskan oleh ayat tadi di atas, ruh adalah urusan Allah
Swt, kita harus dapat menyadari keterbatasan kita dalam topic ini. Ruh memiliki bagian-bagian yang berbeda
seperti apa yang disampaikan oleh Ghazali yaitu hati (qalb), jiwa (nafs),
roh (ruh) dan akal (‘aql) semua masuk dalam kategori ruh, sebab empat
terminologi ini bersifat bathin.[13] Walaupun bagian-bagian ini bersifat ambigu bagi
pengetahuan kita, yang akan dibahas fokus pada pengertian ruhaniyah karena tentang
pengertian jasad dapat dibahas dalam ranah ilmu psikologi atau ilmu anatomi
manusia. Pengertian rohani sebenarnya merujuk pada realitas manusia, dan
esensinya berasal dari alam malakut dan al-amr.[14]
1.
Qalb
Qalb menurut pandangan Imam Ghazali terbagi menjadi dua
pengertian: Pertama Qalb adalah sebuah daging yang berada dalam tubuh
yang tepatnya sebelah kiri dari dada Qalb berupa daging khusus berada dalam
batin manusia tepatnya dalam sebuah rongga yang dipenuhi oleh gumpalan darah
hitam. Qalb ini adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluknya
baik hewan maupun manusia.[15]
Adapun perbedaan antara Qalb manusia
dan hewan, Qalb manusia dapat berfungsi dan dapat bekerja serta hidup,
sedangkan Qalb hewan tidak berfungsi dan dapat dikatakan mati untuk
kelangsungan hidupnya hewan dianugrahkan oleh Allah suatu insting, sedangkan
manusia menggunakan Qalb untuk kelangsungan hidupnya.[16]
Kedua Qalb adalah suatu yang
lembut yang dianugerahkan Allah yang menjadi hakekat manusia dan dengan Qalb
ini manusia dapat membedakan antara alim dan arif, Qalb inilah yang
menunjukkan, menentukan sesuatu yang akan dilakukan oleh manusia baik perbuatan
yang baik maupun yang buruk sehingga kehidupan manusia dan Qalb juga yang
menjadikan sifat manusia seperti binatang bahkan lebih rendah dan dapat juga
menjadikan derajat manusia seperti malaikat bahkan lebih tiggi dan Qalb ini
pula mempunyai hubungan dengan Qalb jismani. Qalb adalah penguasa perbuatan
manusia baik syahwat dan juga marah seperti berbohong, bermusuhan, membunuh dan
setiap pekerjaan yang tercela dari sinilah Qalb mempunyai peran penting untuk
mencegah perbuatan yang tercela tersebut seperti halnya pemerintahan yang mana
seorang khalifah mempunyai kekuasaan atas semua wazir-wazirnya dan apabila
tardapat penyimpangan dari wazir tersebut maka khalifat akan dilepas jabatannya
begitu juga dengan Qalb. Jadi Qalb mempunyai fungsi yang amat penting dalam
perbuatan-perbuatan manusia baik yang mulia maupun yang tercela.[17]
2.
Ruh
Pembahasan tentang ruh adalah suatu
pembahasan yang berkaitan dengan badan atau tubuh, dalam pembahasan ruh Ghazali
membagi pengertian ruh menjadi dua bagian yaitu: Pertama Ruh adalah
suatu yang lembut bersumber dari rongga hati jasmani manusia kemudian tersebar
keseluruh pokok-pokok dari bagian tubuh yang menerangi cahaya kehidupan dan
panca indera. Seperti pelita yang menerangi ruangan dalam suatu rumah maka
cahayanya akan menerangi setiap sudut dari rumah tersebut lalu menjadikan suatu
rumah terang benderang karena cahaya yang diberikan pelita. Begitu pula halnya
dengan tubuh yang selalu diterangi oleh cahaya ruh yang bersih dan terang.
Kedua Ruh adalah suatu kelembutan ilmu
yang terdapat dalam diri manusia karena dengan ruh inilah manusia menjadi
seorang yang berilmu dan orang yang bisa membedakan antara baik buruk yang
kemudian fungsi ruh adalah memberikan petunjuk melalui cahayanya yang selalu
menerangi dalam tubuh sehingga manusia mengetahui dan mencapai ma’rifatullah.[18]
Mungkin ghazali ingin menerangkan bahwa ruh adalah hal yang paling penting
dalam jasad, karena ruh merupakan cahaya yang menerangi jasad, jasad tanpa ruh
bagaikan pohon tanpa buah, dan seperti computer tanpa prossesor.
Ruh manusia memiliki
fakultas-fakultas yang termanifestasikan dalam kaitannya dengan tubuh yaitu, Fakultas
Nabati terbagi menjadi tiga kekuatan yaitu kekuatan nutrisi berfungsi untuk
mengatur kekuatan tubuh; kekuatan pertumbuhan untuk mengatur jasmani; kekuatan
reproduksi untuk mengatur lajur reproduksi. Fakultas Hewani memiliki
kekuatan untuk melakukan aksi yang didorong oleh keinginan dan persepsi.
Gerakan tersebut dikontrol oleh fakultas ini dan aktifitasnya diatur oleh dua
sub-fakultas: keinginan (al-syahwaniyyah) dan kemarahan (al-ghadhabiyyah).[19]
Fakultas ini dilengkapi dengan panca indera yang untuk mempersepsikan
hal-hal partikular dari dunia eksternal, dilengkapi juga dengan lima indera
internal yang diklasifikasikan menjadi tiga macam: ada indera yang
mempersepsikan tapi tidak menyimpan yaitu akal sehat/common sense (al-hiss
al-musytarak) dan Indera Estimasi (al-wahmiyyah), dan
ada yang menyimpan tapi tidak melakukan aksi yaitu indera representatif (al-khayaliyyah)
dan indera retentif rekolektif (al-hafidzah al-dzakirah) dan ada yang
mempersepsikan dan berkasi terhadapnya yaitu indera imajinatif (al-mutakhayyilah).[20]
Fakultas Insani hanya dimiliki oleh manusia atau dengan kata lain biasa
disebut terminologi akal.
3.
Nafs
Dalam pembahasan Nafs Ghazali
membagi arti menjadi dua: Pertama, Nafs adalah kekuatan amarah dan
syahwat dalam diri manusia yang kebanyakan diartikan dalam ilmu tasawuf bahwa
Nafs adalah suatu sifat yang tercela dalam diri manusia karena dengan Nafslah
manusia dapat terjerumus dalam perbuatan yang tercela dan dengan Nafsnya
pulalah manusia dapat menjadi seorang yang mempunyai sifat yang terpuji seperti
orang yang sering berbuat kehinaan adalah orang yang mengikuti Nafs syahwatnya
sedangkan orang yangterpuji adalah orang yang dapat mengendalikan sifat yang
terpuji.
Kedua, Nafs adalah kelembutan dalam suatu
hakekat manusia Nafs manusia dan dzat manusia mempunyai sifat yang
bermacam-macam sesuai dengan keadaan manusia apabila dalam suatu permasalahan
Nafs syahwat dapat terkendali maka disebut Nafs mut’mainnah. Apabila dalam
suatu permasalahan manusia berada jauh atau tidak terdapat sifat Allah dan
bukan merupakan Nafs dari Allah melainkan Nafs yang datang dari ajakan golongan
setan maka disebut dengan Nafs lawwamah. Sedangkan manusia yang mengedepankan
Nafs dan syahwatnya dalam suatu permasalahan dan mengikuti ajakan setan maka
Nafs ini disebut Nafs amrotu bissu’.[21]
Nafs adalah suatu rasa yang dapat
dirasakan oleh lima indera seperti mata melihat, telinga mendengar, hidung
mencium, kulit perangsang, lidah perasa adapun fungsi Nafs adalah sebagai
penggerak bagi badan dan mempunyai kekuatan yang tersembunyi dan dapat terlihat
dibagian dari badan. Adapun kekuatan Nafsu dapat dibagi menjadi dua pertama
sebagai penggerak kedua sebagai alat untuk berfikir. Dalam Nafsu terdapat suatu
kekuatan yang tersembunyi dan akan ketahuan ketika terkena dorongan seperti
suatu motifasi yang diberikan kepada orang yang sudah putus asa.
Dalam pembahasan psikologi Islam, manusia memiliki dua jiwa
(nafsan) yang selaras dengan dua aspek manusia (jasmani dan rohani). Yang lebih
tinggi diantara kedua jiwa ini adalah jiwa rasional (al-nafs al-natiqah) dan
yang rendah adalah jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah).[22]
Pada saat awal penciptaanya, allah swt telah menjadikan jiwa rasional berada
diatas jiwa hewaninya. Akan tetapi pada saat manusia diberikan kebebasan untuk
bertindak, banyak dari mereka yang memutar balikkan hirarki yang telah ada
dengan memposisikan jiwa hewani di atas rasional. Manusia tidak lagi mengikuti
nalarnya dan lebih senang mengekor nafsau kebinatangannya. Karena perubahan
yang terjadi pada level psikologis inilah, maka amalan dan perbuatan manusia
tersebut juga mencerminkan posisi psikologisnya.
4. ‘Aql
Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata
al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan
yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu,
mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdar,
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa
ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca
indra.[23]
Dalam pandangan akal, Ghazali
membagi menjadi dua: Pertama akal adalah segala sesuatu permasalahan
yang menimbulkan ilmu pengetahuan yang berada dalam hati. Jadi hakekat akal
adalah hati sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an “Qulubun La Ya’qilun”
dengan demikian jelaslah bahwa akal terdapat dalam hati setiap manusia dimulai
dari permasalahan dalam otak dan kemudian dipikirkan dalam hati dan berakhir
dengan perbuatan.
Kedua, kelembutan yang diawali dengan
ilmu-ilmu pengetahuan dalam hati kemudian direalisasikan dalam kehidupan
sehingga orang yang berilmu akan mengetahui dan sadar bahwa dalam dirinya
terdapat suatu wujud yang berdiri sendiri dan didalam wujud tersebut mempunyai
sifat dan tidak disifati.
Akal adalah gambaran hasil kepercayaan yang diperoleh dari Nafs dengan fitrah dan juga ilmu yang didapat secara berusaha, dari hasil usaha inilah maka akan mencapai suatu ilmu yang dapat diterima oleh akal.[24]
Akal adalah gambaran hasil kepercayaan yang diperoleh dari Nafs dengan fitrah dan juga ilmu yang didapat secara berusaha, dari hasil usaha inilah maka akan mencapai suatu ilmu yang dapat diterima oleh akal.[24]
Menurut Imam Ghazali akal adalah
suatu jembatan untuk mencapai suatu ilmu sedangkan ilmu adalah satu dan tidak
terbagi ataupun menempati suatu ruang, karena apabila ilmu menempati ruang maka
ilmu akan musnah dan tidak dapat terbagi karena apabila ilmu terbagi maka akan
hilang sebagian dan akan abadi sebagian yang lain.[25]
Akal adalah salah satu bagian ruh yang tempatnya paralel dengan otak yang ada
dalam jasad. Tetapi perlu ditekankan bahwa akal adalah sebuah unsur yang tidak
terlihat sehingga keberadaannya hanya bisa dirasakan dalam bagian rohani
manusia.
Akal memiliki dua kekuatan: aktif
(amaliah) dan kognitif (alimah) akal aktif berfungsi memotori gerakan dalam
tubuh manusia. Ia berupa nalar partikal yang mendireksikan aksi-aksi individual
sesuai dengan fakultas teoritis dalam akal kognitif. Akal kognitif mengatur
penerimaan forma-forma yang bersifat universal dan telah terpisah dari segala
unsure-unsur aksidental.[26]
Pada hakikatnya keempat dimensi diatas merujuk pada satu realitas,
yaitu esensi manusia yang berupa substansi spiritual yang tidak terbagi dan
identik dengan ruh. Terminologi di atas lebih merujuk kepada kondisi yang
dihadapi oleh ruh, yaitu pada saat ia sedang melakukan proses berfikir yang
disebut ‘aql; pada saat ia mengatur tubuh jasmaninya ia disebut nafs; pada saat
ia bertindak sebagai organ kognitif yang dapat menerima iluminasi intuitif
maupun maupun pemberian Ilahiyyah yang lain disebut qalb; dan pada saat ia
menghadap ke alamnya sendiri, yaitu alam entitas-entitas abstrak, ia disebut
ruh.[27]
C.
Istilah Manusia menurut Al-Qur’an
Ada tiga kata
yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia.[28]
1.
Menggunakan
kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan,
ins, nas, atau unas.
2.
Menggunakan
kata basyar.
3.
Menggunakan
kata bani adam, dan zuriyat adam.
Sehingga uraian
ini mengarah kepada dua bahasan yaitu kata basyar dan insan.
Kata basyar
berasal dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatau dengan
baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata baysarah yang berarti
kulit. Manusia dianamakan basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda
dengan kulit binatang yang lain. Al-basyar adalah gambaran manusia secara
materi yang dapat dilihat, makan sesuatu, berjalan dan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini didalam al-qur’an terdapat
sebanyak 36 kali dan dari 25 kali diantaranya berbicara tentang “kemanusiaan”
para Rasul dan Nabi. Sehingga manusia dalam arti basyar adalah manusia dengan
sifat kemateriannya.
Dalam Al-Qur’an
juga disebut an-nas. Kata ini terdapat sebanyak 240 kali dengan
keterangan yang jelas menunjuk pada jenis keturunan Nabi Adam As.[29]
Dalam Al-Qur’an
juga disebut kata insan terambil dari akar kata uns, yang berarti jinak,
harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an
lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa)
atau nasa-yansu (berguncang).[30]
Kata insan
bukan berarti al-basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins.
Dalam pemakaian Al-Qur’an, Al-Insan mengandung pengertian makhluk mukallaf
(ciptaan tuhan yang dibebani tanggung jawab) pengemban amanah Allah Swt dan
khalifah Allah di atas bumi.[31]
KESIMPULAN
Dalam kajian Ilmu Tasawwuf,
manusia dalam sejarahnya memang sudah tercipta sebagai mahkluk spiritual murni
dengan dilengkapi oleh kekuatan intelektual,
emosional dan spiritual.
Ditambah lagi dengan perangkat yang disediakan Allah yaitu Ruh, Qalb, Nafs, Akal
semuanya ini saling berhubungan dan mempunyai fungsi masing-masing Qalb
didalamnya terdapat rahasia yang tidak dapat terlihat oleh pengelihatan yang
dzahir, dan Qalb ini bertugas untuk menunjukan dan mengarahkan suatu perbuatan yang
akan diperbuat oleh jasad.
Sedangkan Nafs adalah suatu amarah
yang ditimbulkan oleh keadaan yang mana dalam amarah ini terdapat segi positif
dan negatif yang menjadikan seorang berilmu dan tidak berilmu. Akal adalah
jembatan untuk mencapi ilmu pengetahuan dan dengan akal pula manusia dapat
mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat suatu kekuatan untuk mencapi ilmu
pengetahuan dan akal bertugas untuk mencapai ilmu pengetahuan dengan cara berusaha.
Adapun ruh menurut Ghazali adalah
suatu jauhar yang berada dalam hati nurani yang paling dalam dan ruh memiliki
peran yang sangat besar dalam perbuatan manusia karena ruhlah yang selalu
menerangi manusia ketika berada dalam kegelapan seperti halnya pelita yang
menerangi suatu ruangan, sehingga ruh dan badan tidak dapat terpisahkan
layaknya gula dengan semut oleh karena itu Ghazali berpendapat bahwa dihari
kebangkitan keduanya yang dibangkitkan dan dimasukkan keneraka maupun kesurga.
Terminologi di atas lebih merujuk kepada kondisi yang dihadapi oleh
ruh, yaitu pada saat ia sedang melakukan proses berfikir yang disebut ‘aql;
pada saat ia mengatur tubuh jasmaninya ia disebut nafs; pada saat ia bertindak
sebagai organ kognitif yang dapat menerima iluminasi intuitif maupun maupun
pemberian ilahiyyah yang lain disebut qalb; dan pada saat ia menghadap ke
alamnya sendiri, yaitu alam entitas-entitas abstrak, ia disebut ruh.
Demikianlah dimensi manusia yang bisa kita ketahui, karena pengetahuan manusia
tentang dirinya hanyalah sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
Al-husaini,
Sayyid Muhammad Bin Muhammad, Ittihaf Al-Sadat Al-Muttaqin, Juz VII,
Beirut: Dar-Alfikr, 1998.
Ghazali, Imam
al-, Ihya’ Ulumu Ad-Din, Beirut: Dar-alfikr, 2000.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung:
Mizan1428/2007.
Alatas, Ismail F, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta:
Diwan, 2006.
Al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad, Kimia’
Al-Sa’adah, Surabaya: Al-Hidayah, 1997.
Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam vol.
4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Agustian, Ary
Ginanjar, ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, Jakarta:
Agra, 2003
Dewan Redaksi, Syaamil
Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sigma Publisher, 2011.
Ghazali, Imam
al-, Ma’arij Al-Quds Fi Madarij
Ma’rifat An-Nafs, Beirut: Dar Al-Faq Al-Jadidah, 1981.
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib, Islam Dan Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
[1]
Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, h. 597.
[2] Al-ghazali,
Al Kimiyaaussa’adah, h. 5.
[3]
Ary Ginanjar Agustiian, ESQ Power, h. 95.
[4]
Ibid,97.
[5]
Ibid, 98.
[6]
Ibid, h. 99.
[7]
Ibid, h. 101.
[8] Quraish
Shihab, Wawsan Al-Qur’an h. 20.
[9]
Ary Ginanjar, ESQ Power, h. 101.
[10] Imam
Ghazali, Kimiya’ ussa’adah,h. 3.
[11]
QS. An-Nahl ayat 78.
[12]
Ismail F, Alatas, Konsep Ilmu Dalam Islam, h. 126.
[13] Al-Imam
Ghazali, Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, vol. IV, hal. 582.
[14]
Ismail F. Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, h. 135.
[15]
Ibid, juz 3.
[16] Sayyid
Muhammad bin Muhammad Al-Husaini, Ittihaf, juz 7, h. 203.
[17]
Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,
juz III, hal. 3.
[18]
Ibid, 4.
[19]
Ghazali, Ma’arij Al-Quds Fi Madarij Ma’rifat An-Nafs, h. 37.
[20]
Ibid, h. 150.
[21]
Ibid, h. 4, lebih lengkap bisa dilihat dalam Kitab Ittihaf pembagian
nafsu berjumlah 11 macam. h. 206-208.
[22] Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Secularism, 141.
[23]
Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 388.
[24]
Ibid, h. 4.
[25]
Ibid, h. 4.
[26]
Ismail F, Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, h. 141.
[27] ibid,
h. 135.
[28]
Wawasan al-qur’an 369.
[29]
Insklopedi islam halaman 275…
[30]
Wawasan al-qur’an, M. Qurasih Shihab, 369.
[31]
Insklopedi islam halaman 276