Minggu, 23 September 2012

MULTIDIMENSIONALITAS MANUSIA


Allah Swt menciptakan manusia dalam tingkatan yang tinggi dan mulia. Kita lebih mulia daripada Malaikat, karena pada hakikatnya Malaikat hanya menunggu tugas yang diperintahkan oleh Allah Swt kepadanya. Sedangkan manusia diberi kehendak oleh Allah Swt untuk berbuat sesuatu.
Kita lebih tinggi daripada syaitan, karena syaitan tidak bisa benar, tetapi manusia bisa melakukan kebenaran dan kebaikan meskipun juga sering kali melakukan kelalaian. Manusia lebih tinggi dan mulia daripada hewan, karena sepintar apapun hewan itu, dia tidak di anugerahi akal oleh Allah swt. Sementara manusia dijadikan sebagai makhluk multidimensi, tidak hanya terdiri dari akal tetapi banyak dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia.
Manusia lebih mulia daripada bumi, gunung bahkan lautan, karena mereka tidak bernyawa. Sedangkan manusia tidak hanya diberi ruh oleh Allah Swt tetapi juga dilengkapi dengan jasad untuk beribadah kepada Allah Swt. Hal ini karena kita diciptakan sebagai makhluk yang multidimensional.
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang multidimensiQ.S.At-Tin:4[1]

Meskipun manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Tapi kita hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Sehingga tulisan ini hadir untuk mengamalkan salah satu hadist Rosululloh Saw “Barang siapa yang mengetahui dimensi dirinya, maka dia akan mengetahui dimensi Tuhannya”. Sebab menurut Imam Ghazali hadist ini adalah keharusan bagi siapapun yang ingin untuk mengetahui tentang dimensi ketuhanan.[2]
Makalah ini akan mencoba memulai membahas tentang sejarah manusia dan dimensi dalam diri manusia. 

A.  Sejarah Manusia
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang diketahuinya. QS.Al-Alaq:96:1-5

1.        Manusia adalah makhluk spiritual murni
Pada mulanya manusia berada ditempat yang tinggi sebagai makhluk spiritual murni, yang kemudian ruh spiritual itu ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Sifat- sifat spiritual itu dipadukan ke dalam materi konkret berupa tubuh atau jasad manusia yang terbuat dari tanah.
Maka lahirlah manusia yang tidak hanya memiliki tubuh tetapi juga memiliki sifat spiritual. Teori ini secara otomatis sebenarnya telah mampu menyanggah teori Darwin yang hanya melihat manusia dari sisi fisiologis saja dan mengabaikan adanya sisi spiritual dalam diri manusia pendapat ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan ilmiah SQ (Spiritual Quotient) di California University oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997. Penemuan tersebut menekankan tentang adanya God Spot pada otak manusia yang kemudian dijelaskan lebih lanjut sebagai wadah yang memiliki potensi spiritual. Para ahli telah berhasil membuktikan bahwa manusia memiliki unsur-unsur spiritual, yang berfungsi sebagai pusat makna tertinggi kehidupan manusia.[3]
2.        Manusia menetapkan misi
Banyak manusia modern saat ini menderita penyakit yang dinamakan spiritual patology atau spiritual illens. Hal ini terjadi akibat kesalahan orientasi dalam menjalani kehidupan. Mereka menyangka bahwa makna kehidupan bisa diraih melalui materi tetapi pada kenyataannya mereka gagal menemukan makna kehidupan hakiki yang sesungguhnya, lewat materi tersebut. Menurut Khalil Kavari senada dengan penemuan ilmiah oleh Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan apabila manusia gagal dalam mencapai makna kehidupan, mereka akan menderita kekeringan jiwa, makna yang paling tinggi dan bernilai adalah justru terletak pada aspek spiritualitasnya. Hal ini akan dirasakan jika manusia ikhlas dalam mengabdi.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” QS Adz-Dzaariyaat 51:56.[4]

3.         Manusia diberikan kemampuan intelektual, emosional dan spiritual.
Hanya manusia yang memiliki lapisan otak neo-cortex, yaitu sebuah alat bantu pemberian Tuhan, yang memiliki kemampuan berpikir logis dan rasional (IQ). Hanya manusia yang mampu bekerja sebagai kholifah dimuka bumi ini. Mahkluk lain tidak mungkin memiliki otak neo-cortex ini, akibatya mereka tidak memiliki kecerdasan intelektual seperti yang dimiliki manusia.
Juga otak limbic sebagai fungsi kecerdasan emosional (EQ), dan God Spot pada temporal lobe untuk kecerdasan spiritual (SQ), sehingga manusia memiliki logika rasional, perasaan sebagai pengindai atau radar, dan suara hati sebagai pembimbing dan autopilot berupa drive dan value. Pada dimensi spiritual manusia diajari esensi nama-nama atau sifat-sifat Allah.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnyaQS. Al-Baqarah 2:3.[5]

4.         Manusia akan senantiasa tunduk kepada Allah
Penemuan God Spot otak manusia lebih meyakinkan pendapat ini, bahwa manusia senantiasa mencari nila-nilai mulia atau spiritualitas.
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan-Ku), maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud” QS Al-Hijr 15:29.
Saat ini telah terbukti bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang senantiasa merasa bahagia ketika dorongan spiritualnya terpenuhi. Penemuan God Spot pada otak manusia lebih meyakinkan pendapat ini karena manusia akan senantiasa mencari Tuhan-nya. Yaitu melalui sifat-sifat-Nya, yang selalu diidam-idamkan manusia. Inilah bukti keperkasaan Allah, dan penghambaan serta pengabdian manusia. Sekaligus pernyataan Allah bahwa Ruh Ilahi yang ditiupkan ke dalam diri manusia adalah memiliki tempat yang tertinggi dan temulia. 
5.         Manusia diberikan kalbu oleh-Nya[6]
Emosi adalah getaran pada kalbu yang terjadi akibat tersentuhnya ruang spiritualitas seseorang. Begitupun ketika suara hati kasih sayang yang terdapat di relung hati tersentuh, maka ia dengan serta merta akan merasa terharu. Ketika getaran-getaran hati bersinggungan dengan sifat-sifat keadilan, maka signal pada otak pun mengalami getaran yang sama. Kemungkinan terbesar, sikap-sikap yang muncul adalah sikap-sikap kemarahan (apabila melihat “si lemah” diinjak-injak haknya), sikap sedih (ketika melihat bantuan bencana alam yang tidak sampai ke tangan korban), sikap bahagia (saat para pembela kebebnaran berhasil memenjarakan para penjarah uang rakyat), atau sikap ingin menolong (pada waktu keadilan tidak berpihak kepada rakyat miskin yang kelaparan). Maka kesimpulannya, ketika suara hati tersentuh, maka situasi yang sama berlaku pula pada emosi yaitu berupa getaran emosi. Namun biasanya, banyak orang keliru dan tertukar antara keduanya, karena tidak mampu membedakan yang mana suara hati dan yang mana yang dinamakan emosi.
Emosi adalah sebuah signal yang berbentuk haru, sedih, kecewa, marah atau bahagia (pada limbic system), ketika suara hati spiritual kita mengalami singgungan pada god spot.
Emosi EQ lebih mudah tersentuh melalui panca indera, khususnya mata dan telinga yang lebih dipergunakan untuk melihat, mendengar, dan mengukur benda-benda konkret. IQ, hati adalah bagian dari aspek spiritualitas SQ.
“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan kepadanya ruh-Nya, dan dia menjadikan untuk kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati. Sedikit sekali kamu bersyukur” QS. As-Sajadah 32:9.

6.         Membuat perjanjian spiritual[7]
Sebuah fenomena besar tentang kehidupan spiritual manusia adalah kecendrungan manusia untuk senantiasa menuju sifat sifat ilahiyah.[8] Manusia lebih merasa terharu atau bahagia apabila titik spiritualnya tersentuh dan manusia cenderung mengikuti sifat-sifat Allah. Inilah bukti bahwa manusia memang pernah melakukan perjanjian ruh dengan penciptanya, yang terurai dalam firman Allah
“Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah, mereka tidak berpaling ke belakang. Dan perjanjian (dengan) Allah itu akan ditanya”QS. Al-Ahzab 33:15.

7.         Perintah membaca bukti-bukti itu[9]
Beradsarkan firman Allah :
“Berjalanlah kamu dimuka bumi maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai menciptakan makhluk, kemuadian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatau” QS.Al-Ankabut 29:30,

 Dan karena manusia telah dikaruniai tiga kecerdasan secara lengkap yaitu intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas, maka manusia diperintahkan untuk membaca tanda-tanda yang ada dalam diri dan lingkungannya serta berkewajiban untuk mengetahui siapa Tuhannya.[10]
Ia menciptakan alam lengkap beserta isinya, lengkap dengan bayang-bayang sifat milik-Nya sendiri. Oleh karenanya Ia menyuruh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, untuk terus-menerus mengingat dan mengenal sifat-sifat-Nya melalui alam semesta yang diciptakan-Nya itu.
Berdasarkan sejarah penciptaan manusia, misi manusia dan potensi yang ada dalam dirinya, maka jelaslah bahwa manusia sesunggguhnya adalah makhluk spiritual. Dengan bermodal SQ itu, manusia mengabdi kepada Allah untuk mengelola bumi sebagai khalifah, misi utamanya semata mecari keridhaan Allah. Target utamanya adalah menegakkan keadilan, menciptakan kedamaian, membangun kemakmuran termasuk di dalamnya, langkah nyata berupa spiritualisasi disegala bidang baik diperusahaan, instansi, Negara atau dalam lingkup sosial terkecil yaitu keluarga.

B.  Dimensi Manusia
Mungkin dengan bahasa yang lebih sederhana, bahwa dimensi adalah kumpulan parameter dan tata nilai yang membentuk sistem yang bisa merupakan bagian dari sistem lain yang lebih besar atau beririsan dengan sistem lain yang paralel dengan formasi tertentu. Setiap dimensi memiliki satu bagian penting (bisa tunggal atau kesatuan) yang sangat mempengaruhi eksistensi dimensi tersebut. Katakanlah bagian penting itu dengan istilah inti dimensi.   
Manusia terdiri dari dua bagian, ruh dan jasad. Ruh adalah bagian bathin sedangkan jasad adalah bagian dzahir. Ruh berasal dari taman indah yang berasal dari keharibaan al-hadrah al-quds, sedangkan jasad berasal dari tanah liat dan segumpal darah. Atas perintah Allah, ruh ditiupkan kedalam jasadnya, sehingga pertemuan kedua unsur ini (ruh dan jasad), hiduplah seorang manusia. Selama ruh masih berada didalam tubuh, maka badan akan terus hidup. Inilah pengetahuan dasar yang diajarkan kepada kaum muslim sedari dini.
Ruh telah diberi kesempatan untuk mengenal Tuhannya sebelum jasad tercipta. Ruh telah bercanda tawa dengan para Malaikat jauh sebelum manusia pertama (Adam) diturunkan kemuka bumi. Namun setiap ruh telah ditetapkan oleh Allah untuk turun kebumi dan menempati jasad yang telah disediakan.
Dalam pandangan Islam tubuh memiliki karakteristik yang fundamental bagi manusia. Tubuh adalah tempat bersemayamnya panca indera, sehingga dengannya kita dapat melihat, meraba, mencium dan melihat.[11] Melalui pengalaman inderawilah kita dapat melihat dan membaca ayat-ayat yang tertabur di alam semesta. Jasad adalah penerima pertama yang bersinggungan langsung dengan data-data dan informasi yang tersebar dijagad raya. Dengannya kita dapat melihat warna-warni dan dinamika alam semesta. Tanpa jasad, informasi yang akan kita tangkap untuk dapat langsung dihubungkan ke ruh agar kemudian diproses lebih lanjut, tidak akan diterima. Jasad sama sucinya dengan ruh.[12] Meskipun statemen seperti ini masih dipertentangkan dikalangan ulama. Tapi jelas kedudukann jasad menjadi hal yang penting dalam turunnya ilmu karena jasad adalah rumah panca indera. Tanpanya kita tidak akan bisa membaca data informasi yang terkandung dalam ayat-ayat kebesaran Allah.
Dimensi kedua dalam diri manusia adalah ruh. Dalam surat al-isra: 85 berbicara mengenai ruh yang merupakan tolak ukur keterbatsan akal manusia. Ruh adalah unsure yang tidak terlihat oleh mata, sehingga pengetahuan mausia tentang ruha hanyalah sebatas spekulasi belaka, karena ia bersumber dari hikmah ilahiyah. Maka dengan itu seperti yang ditegaskan oleh ayat tadi di atas, ruh adalah urusan Allah Swt, kita harus dapat menyadari keterbatasan kita dalam topic ini.  Ruh memiliki bagian-bagian yang berbeda seperti apa yang disampaikan oleh Ghazali yaitu hati (qalb), jiwa (nafs), roh (ruh) dan akal (‘aql) semua masuk dalam kategori ruh, sebab empat terminologi ini bersifat bathin.[13]  Walaupun bagian-bagian ini bersifat ambigu bagi pengetahuan kita, yang akan dibahas fokus pada pengertian ruhaniyah karena tentang pengertian jasad dapat dibahas dalam ranah ilmu psikologi atau ilmu anatomi manusia. Pengertian rohani sebenarnya merujuk pada realitas manusia, dan esensinya berasal dari alam malakut dan al-amr.[14]
1.    Qalb
Qalb menurut pandangan Imam Ghazali terbagi menjadi dua pengertian: Pertama Qalb adalah sebuah daging yang berada dalam tubuh yang tepatnya sebelah kiri dari dada Qalb berupa daging khusus berada dalam batin manusia tepatnya dalam sebuah rongga yang dipenuhi oleh gumpalan darah hitam. Qalb ini adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluknya baik hewan maupun manusia.[15]
Adapun perbedaan antara Qalb manusia dan hewan, Qalb manusia dapat berfungsi dan dapat bekerja serta hidup, sedangkan Qalb hewan tidak berfungsi dan dapat dikatakan mati untuk kelangsungan hidupnya hewan dianugrahkan oleh Allah suatu insting, sedangkan manusia menggunakan Qalb untuk kelangsungan hidupnya.[16]
Kedua Qalb adalah suatu yang lembut yang dianugerahkan Allah yang menjadi hakekat manusia dan dengan Qalb ini manusia dapat membedakan antara alim dan arif, Qalb inilah yang menunjukkan, menentukan sesuatu yang akan dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang baik maupun yang buruk sehingga kehidupan manusia dan Qalb juga yang menjadikan sifat manusia seperti binatang bahkan lebih rendah dan dapat juga menjadikan derajat manusia seperti malaikat bahkan lebih tiggi dan Qalb ini pula mempunyai hubungan dengan Qalb jismani. Qalb adalah penguasa perbuatan manusia baik syahwat dan juga marah seperti berbohong, bermusuhan, membunuh dan setiap pekerjaan yang tercela dari sinilah Qalb mempunyai peran penting untuk mencegah perbuatan yang tercela tersebut seperti halnya pemerintahan yang mana seorang khalifah mempunyai kekuasaan atas semua wazir-wazirnya dan apabila tardapat penyimpangan dari wazir tersebut maka khalifat akan dilepas jabatannya begitu juga dengan Qalb. Jadi Qalb mempunyai fungsi yang amat penting dalam perbuatan-perbuatan manusia baik yang mulia maupun yang tercela.[17]
2.    Ruh 
Pembahasan tentang ruh adalah suatu pembahasan yang berkaitan dengan badan atau tubuh, dalam pembahasan ruh Ghazali membagi pengertian ruh menjadi dua bagian yaitu: Pertama Ruh adalah suatu yang lembut bersumber dari rongga hati jasmani manusia kemudian tersebar keseluruh pokok-pokok dari bagian tubuh yang menerangi cahaya kehidupan dan panca indera. Seperti pelita yang menerangi ruangan dalam suatu rumah maka cahayanya akan menerangi setiap sudut dari rumah tersebut lalu menjadikan suatu rumah terang benderang karena cahaya yang diberikan pelita. Begitu pula halnya dengan tubuh yang selalu diterangi oleh cahaya ruh yang bersih dan terang.
Kedua Ruh adalah suatu kelembutan ilmu yang terdapat dalam diri manusia karena dengan ruh inilah manusia menjadi seorang yang berilmu dan orang yang bisa membedakan antara baik buruk yang kemudian fungsi ruh adalah memberikan petunjuk melalui cahayanya yang selalu menerangi dalam tubuh sehingga manusia mengetahui dan mencapai ma’rifatullah.[18] Mungkin ghazali ingin menerangkan bahwa ruh adalah hal yang paling penting dalam jasad, karena ruh merupakan cahaya yang menerangi jasad, jasad tanpa ruh bagaikan pohon tanpa buah, dan seperti computer tanpa prossesor.
Ruh manusia memiliki fakultas-fakultas yang termanifestasikan dalam kaitannya dengan tubuh yaitu, Fakultas Nabati terbagi menjadi tiga kekuatan yaitu kekuatan nutrisi berfungsi untuk mengatur kekuatan tubuh; kekuatan pertumbuhan untuk mengatur jasmani; kekuatan reproduksi untuk mengatur lajur reproduksi. Fakultas Hewani memiliki kekuatan untuk melakukan aksi yang didorong oleh keinginan dan persepsi. Gerakan tersebut dikontrol oleh fakultas ini dan aktifitasnya diatur oleh dua sub-fakultas: keinginan (al-syahwaniyyah) dan kemarahan (al-ghadhabiyyah).[19] Fakultas ini dilengkapi dengan panca indera yang untuk mempersepsikan hal-hal partikular dari dunia eksternal, dilengkapi juga dengan lima indera internal yang diklasifikasikan menjadi tiga macam: ada indera yang mempersepsikan tapi tidak menyimpan yaitu akal sehat/common sense (al-hiss al-musytarak) dan Indera Estimasi (al-wahmiyyah), dan ada yang menyimpan tapi tidak melakukan aksi yaitu indera representatif (al-khayaliyyah) dan indera retentif rekolektif (al-hafidzah al-dzakirah) dan ada yang mempersepsikan dan berkasi terhadapnya yaitu indera imajinatif (al-mutakhayyilah).[20] Fakultas Insani hanya dimiliki oleh manusia atau dengan kata lain biasa disebut terminologi akal.
3.    Nafs  
Dalam pembahasan Nafs Ghazali membagi arti menjadi dua: Pertama, Nafs adalah kekuatan amarah dan syahwat dalam diri manusia yang kebanyakan diartikan dalam ilmu tasawuf bahwa Nafs adalah suatu sifat yang tercela dalam diri manusia karena dengan Nafslah manusia dapat terjerumus dalam perbuatan yang tercela dan dengan Nafsnya pulalah manusia dapat menjadi seorang yang mempunyai sifat yang terpuji seperti orang yang sering berbuat kehinaan adalah orang yang mengikuti Nafs syahwatnya sedangkan orang yangterpuji adalah orang yang dapat mengendalikan sifat yang terpuji.
Kedua, Nafs adalah kelembutan dalam suatu hakekat manusia Nafs manusia dan dzat manusia mempunyai sifat yang bermacam-macam sesuai dengan keadaan manusia apabila dalam suatu permasalahan Nafs syahwat dapat terkendali maka disebut Nafs mut’mainnah. Apabila dalam suatu permasalahan manusia berada jauh atau tidak terdapat sifat Allah dan bukan merupakan Nafs dari Allah melainkan Nafs yang datang dari ajakan golongan setan maka disebut dengan Nafs lawwamah. Sedangkan manusia yang mengedepankan Nafs dan syahwatnya dalam suatu permasalahan dan mengikuti ajakan setan maka Nafs ini disebut Nafs amrotu bissu’.[21]
Nafs adalah suatu rasa yang dapat dirasakan oleh lima indera seperti mata melihat, telinga mendengar, hidung mencium, kulit perangsang, lidah perasa adapun fungsi Nafs adalah sebagai penggerak bagi badan dan mempunyai kekuatan yang tersembunyi dan dapat terlihat dibagian dari badan. Adapun kekuatan Nafsu dapat dibagi menjadi dua pertama sebagai penggerak kedua sebagai alat untuk berfikir. Dalam Nafsu terdapat suatu kekuatan yang tersembunyi dan akan ketahuan ketika terkena dorongan seperti suatu motifasi yang diberikan kepada orang yang sudah putus asa.
Dalam pembahasan psikologi Islam, manusia memiliki dua jiwa (nafsan) yang selaras dengan dua aspek manusia (jasmani dan rohani). Yang lebih tinggi diantara kedua jiwa ini adalah jiwa rasional (al-nafs al-natiqah) dan yang rendah adalah jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah).[22] Pada saat awal penciptaanya, allah swt telah menjadikan jiwa rasional berada diatas jiwa hewaninya. Akan tetapi pada saat manusia diberikan kebebasan untuk bertindak, banyak dari mereka yang memutar balikkan hirarki yang telah ada dengan memposisikan jiwa hewani di atas rasional. Manusia tidak lagi mengikuti nalarnya dan lebih senang mengekor nafsau kebinatangannya. Karena perubahan yang terjadi pada level psikologis inilah, maka amalan dan perbuatan manusia tersebut juga mencerminkan posisi psikologisnya.






4.    ‘Aql  
Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqolaya’qilu‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdar, maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra.[23]
Dalam pandangan akal, Ghazali membagi menjadi dua: Pertama akal adalah segala sesuatu permasalahan yang menimbulkan ilmu pengetahuan yang berada dalam hati. Jadi hakekat akal adalah hati sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an “Qulubun La Ya’qilun” dengan demikian jelaslah bahwa akal terdapat dalam hati setiap manusia dimulai dari permasalahan dalam otak dan kemudian dipikirkan dalam hati dan berakhir dengan perbuatan.
Kedua, kelembutan yang diawali dengan ilmu-ilmu pengetahuan dalam hati kemudian direalisasikan dalam kehidupan sehingga orang yang berilmu akan mengetahui dan sadar bahwa dalam dirinya terdapat suatu wujud yang berdiri sendiri dan didalam wujud tersebut mempunyai sifat dan tidak disifati.
Akal adalah gambaran hasil kepercayaan yang diperoleh dari Nafs dengan fitrah dan juga ilmu yang didapat secara berusaha, dari hasil usaha inilah maka akan mencapai suatu ilmu yang dapat diterima oleh akal.[24]
Menurut Imam Ghazali akal adalah suatu jembatan untuk mencapai suatu ilmu sedangkan ilmu adalah satu dan tidak terbagi ataupun menempati suatu ruang, karena apabila ilmu menempati ruang maka ilmu akan musnah dan tidak dapat terbagi karena apabila ilmu terbagi maka akan hilang sebagian dan akan abadi sebagian yang lain.[25] Akal adalah salah satu bagian ruh yang tempatnya paralel dengan otak yang ada dalam jasad. Tetapi perlu ditekankan bahwa akal adalah sebuah unsur yang tidak terlihat sehingga keberadaannya hanya bisa dirasakan dalam bagian rohani manusia.  
Akal memiliki dua kekuatan: aktif (amaliah) dan kognitif (alimah) akal aktif berfungsi memotori gerakan dalam tubuh manusia. Ia berupa nalar partikal yang mendireksikan aksi-aksi individual sesuai dengan fakultas teoritis dalam akal kognitif. Akal kognitif mengatur penerimaan forma-forma yang bersifat universal dan telah terpisah dari segala unsure-unsur aksidental.[26]
Pada hakikatnya keempat dimensi diatas merujuk pada satu realitas, yaitu esensi manusia yang berupa substansi spiritual yang tidak terbagi dan identik dengan ruh. Terminologi di atas lebih merujuk kepada kondisi yang dihadapi oleh ruh, yaitu pada saat ia sedang melakukan proses berfikir yang disebut ‘aql; pada saat ia mengatur tubuh jasmaninya ia disebut nafs; pada saat ia bertindak sebagai organ kognitif yang dapat menerima iluminasi intuitif maupun maupun pemberian Ilahiyyah yang lain disebut qalb; dan pada saat ia menghadap ke alamnya sendiri, yaitu alam entitas-entitas abstrak, ia disebut ruh.[27]
C.  Istilah Manusia menurut Al-Qur’an 
Ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia.[28]
1.      Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas, atau unas.
2.      Menggunakan kata basyar.
3.      Menggunakan kata bani adam, dan zuriyat adam.
Sehingga uraian ini mengarah kepada dua bahasan yaitu kata basyar dan insan.
Kata basyar berasal dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatau dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata baysarah yang berarti kulit. Manusia dianamakan basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Al-basyar adalah gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, makan sesuatu, berjalan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini didalam al-qur’an terdapat sebanyak 36 kali dan dari 25 kali diantaranya berbicara tentang “kemanusiaan” para Rasul dan Nabi. Sehingga manusia dalam arti basyar adalah manusia dengan sifat kemateriannya.
Dalam Al-Qur’an juga disebut an-nas. Kata ini terdapat sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjuk pada jenis keturunan Nabi Adam As.[29]
Dalam Al-Qur’an juga disebut kata insan terambil dari akar kata uns, yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa-yansu (berguncang).[30]  
Kata insan bukan berarti al-basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, Al-Insan mengandung pengertian makhluk mukallaf (ciptaan tuhan yang dibebani tanggung jawab) pengemban amanah Allah Swt dan khalifah Allah di atas bumi.[31]





KESIMPULAN

Dalam kajian Ilmu Tasawwuf, manusia dalam sejarahnya memang sudah tercipta sebagai mahkluk spiritual murni dengan dilengkapi oleh kekuatan intelektual, emosional dan spiritual. Ditambah lagi dengan perangkat yang disediakan Allah yaitu Ruh, Qalb, Nafs, Akal semuanya ini saling berhubungan dan mempunyai fungsi masing-masing Qalb didalamnya terdapat rahasia yang tidak dapat terlihat oleh pengelihatan yang dzahir, dan Qalb ini bertugas untuk menunjukan dan mengarahkan suatu perbuatan yang akan diperbuat oleh jasad.
Sedangkan Nafs adalah suatu amarah yang ditimbulkan oleh keadaan yang mana dalam amarah ini terdapat segi positif dan negatif yang menjadikan seorang berilmu dan tidak berilmu. Akal adalah jembatan untuk mencapi ilmu pengetahuan dan dengan akal pula manusia dapat mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat suatu kekuatan untuk mencapi ilmu pengetahuan dan akal bertugas untuk mencapai ilmu pengetahuan dengan cara berusaha.
Adapun ruh menurut Ghazali adalah suatu jauhar yang berada dalam hati nurani yang paling dalam dan ruh memiliki peran yang sangat besar dalam perbuatan manusia karena ruhlah yang selalu menerangi manusia ketika berada dalam kegelapan seperti halnya pelita yang menerangi suatu ruangan, sehingga ruh dan badan tidak dapat terpisahkan layaknya gula dengan semut oleh karena itu Ghazali berpendapat bahwa dihari kebangkitan keduanya yang dibangkitkan dan dimasukkan keneraka maupun kesurga.
Terminologi di atas lebih merujuk kepada kondisi yang dihadapi oleh ruh, yaitu pada saat ia sedang melakukan proses berfikir yang disebut ‘aql; pada saat ia mengatur tubuh jasmaninya ia disebut nafs; pada saat ia bertindak sebagai organ kognitif yang dapat menerima iluminasi intuitif maupun maupun pemberian ilahiyyah yang lain disebut qalb; dan pada saat ia menghadap ke alamnya sendiri, yaitu alam entitas-entitas abstrak, ia disebut ruh. Demikianlah dimensi manusia yang bisa kita ketahui, karena pengetahuan manusia tentang dirinya hanyalah sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Al-husaini, Sayyid Muhammad Bin Muhammad, Ittihaf Al-Sadat Al-Muttaqin, Juz VII, Beirut: Dar-Alfikr, 1998.

Ghazali, Imam al-, Ihya’ Ulumu Ad-Din, Beirut: Dar-alfikr, 2000.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan1428/2007.

Alatas, Ismail F, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta: Diwan, 2006.

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad, Kimia’ Al-Sa’adah, Surabaya: Al-Hidayah, 1997.

Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, Jakarta: Agra, 2003

Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sigma Publisher, 2011.

Ghazali, Imam al-,  Ma’arij Al-Quds Fi Madarij Ma’rifat An-Nafs, Beirut: Dar Al-Faq Al-Jadidah, 1981.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam Dan Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.



[1] Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, h. 597.
[2] Al-ghazali, Al Kimiyaaussa’adah, h. 5.
[3] Ary Ginanjar Agustiian, ESQ Power, h. 95.
[4] Ibid,97.
[5] Ibid, 98.
[6] Ibid, h. 99.
[7] Ibid, h. 101.
[8] Quraish Shihab, Wawsan Al-Qur’an h. 20.
[9] Ary Ginanjar, ESQ Power, h. 101.
[10] Imam Ghazali, Kimiya’ ussa’adah,h. 3.
[11] QS. An-Nahl ayat 78.
[12] Ismail F, Alatas, Konsep Ilmu Dalam Islam, h. 126.
[13] Al-Imam Ghazali, Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, vol. IV, hal. 582.
[14] Ismail F. Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, h. 135.
[15] Ibid, juz 3.
[16] Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini, Ittihaf, juz 7, h. 203.
[17] Imam Ghazali, Ihya’  Ulumuddin, juz III, hal. 3.
[18] Ibid, 4.
[19] Ghazali, Ma’arij Al-Quds Fi Madarij Ma’rifat An-Nafs, h. 37.
[20] Ibid, h. 150.
[21] Ibid, h. 4, lebih lengkap bisa dilihat dalam Kitab Ittihaf pembagian nafsu berjumlah 11 macam. h. 206-208.
[22] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Secularism, 141.
[23] Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 388. 
[24] Ibid, h. 4.
[25] Ibid, h. 4.
[26] Ismail F, Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, h. 141.
[27] ibid, h. 135.
[28] Wawasan al-qur’an 369.
[29] Insklopedi islam halaman 275…
[30] Wawasan al-qur’an, M. Qurasih Shihab, 369.
[31] Insklopedi islam halaman 276