Sabtu, 01 Juni 2013

DAN TUHAN PUN BERFILSAFAT

A.  Pendahuluan
Menurut penulis yang pertama dibahas terlebih dahulu adalah Kata Kholifah. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 ternyata kata khalifah memiliki dua dimensi berbeda yang sangat luas cakupannya. Dua dimensi ini dilihat dari kaca mata yang berbeda yaitu melalui tafsir yang bersifat fiqhiyyah dan tafsir perspektif sufi. Dua pembacaan ini sangat berpengaruh kepada bentuk penafsiran al-Qur’an. Jika yang membaca dan mengkaji al-Qur’an adalah ahli fiqh misalnya maka tafsir yang muncul adalah lebih bersifat fisik (dhohir). Beda halnya jika sebuah ayat ditafsiri oleh seorang sufi maka tentu arahan tafsirnya dalah sufistik yang lebih ditonjolkan adalah bersifat metafisik (bathin).
Dimensi pertama yang akan penulis bahas adalah tafsir sufistik tentang maksud kata khalifah (bukan Nabi Adam).  
Imam Ibnu Arobi adalah salah satu ahli dalam bidang tasawwuf falsafi[1] menggambarkan dan mengandaikan bahwa seluruh alam semesta ini tidak lain adalah sebuah pohon yang beliau konsep sebagai Syajaarotul Kawn.[2] Ibnu Arobi mengatakan alam semesta ini adalah sebuah Pohon yang cahaya kehidupannya datang dari sebuah benih yang pecah ketika Allah berkata kun.
Benih dari huruf K dipupuk dengan huruf N dari nahnu (Kami), tercipta ketika Allah berfirman : Kamilah yang telah menciptakanmu.[3]
Kemudian dari gabungan dua benih ini tumbuh dua tunas yang bersesuaian dengan janji Allah : Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan fithrahnya.[4]
Tetapi akar dari dari dua tunas ini hanyalah tunggal. Akar itu adalah Kehendak Sang Pencipta, dan apa yang menumbuhkannya adalah Kekuasaan-Nya. Kemudian dari esensi huruf K dari kata ilahiah kun, lahirlah dua makna yang berlawanan pertama, Kamaliyah (kesempurnaan) sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu dan telah Kulengkapkan Rahmat-Ku padamu serta Kupilihkan Islam sebagai agamamu.[5]
Kedua, kufriyyah, keingkaran (kekufuran), sebagaimana firman Allah: Maka sebagian dari mereka beriman dan sebagian lagi kufur.[6]
Demikian juga dari hakikat kata N beremanasi makna-makna berlawanan dari nur al-ma’rifah (cahaya pengetahuan) dan nakirah (gelapnya kebodohan). Karena itu ketika Allah mengeluarkan mahluk-Nya dari harta tersembunyi dari  ketidakberadaan menuju eksistensi, bersesuaian dengan keadaan dan bentuk yang telah ditetapkan sebelumnya (kodratnya), Dia memancarkan cahaya ilahiah-Nya terhadapnya. Siapapun yang terkena cahaya itu dapat melihat Pohon Eksistensi (syajarotul kawn) yang tumbuh dari benih perintah ilahiah kun yang melingkupi seluruh alam semesta. Dan mereka yang tercerahkan ini mengetahui rahasia K dalam kata kuntum (kamu), sebagaimana firman Allah : Kamu sekalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan, yang menyuruh pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kamu beriman kepada Allah.[7]  
Mereka yang tercerahkan ini juga menembus makna tersembunyi dari kata terakhir N dari kun sebagai nur (cahaya), sebagaimana firman Allah : Apakah dia yang hatinya telah Allah bukakan kepada Islam sehingga dia mengikuti cahaya dari Tuhan-nya (tidak lebih baik dari dia yang keras hatinya)?[8]
Ketika Dia yang menanam Pohon Eksistensi pertama kali mengeluarkan saripati dari benihnya, Dia mengaduknya sampai krim terangkat pada permukaan, alih-alih melewatkannya beberapa kali melalui sebuah saringan untuk menyaring setiap ampas yang mungkin ada di dalamnya. Ketika ia menjadi lebih murni dari yang termurni, Dia menyinarinya dengan cahaya kebijaksanaan. Ia menjadi hidup, dan Dia mencelupnya kedalam lautan rahmat-Nya sedemikian sehingga seluruh mahluk dapat memperoleh bagian rahmatnya. Kemudian darinya Dia mencipta cahaya Nabi kita Muhammad s.a.w, semoga shalawat dan salam tercurah padanya dan keluarganya. Dia menghiasi cahaya ini dengan cahaya-cahaya dari alam malakuti tertinggi untuk menambah kecantikan dan kilauannya. Cahaya ini adalah asal muasal – sumber dari semua dan segala sesuatu yang maujud.
Maka pemimpin kita Muhammad s.a.w, adalah diantara pilihan Allah yang pertama dan yang terakhir muncul sebagai Nabi diantara umat manusia untuk membawa mereka berita gembira di dunia ini, untuk menaruh mahkota keimanan diatas kepala mereka, dan untuk menjadi perantara mereka pada hari pembalasan. Asal muasalnya tetap tersimpan tercatat dalam kitab suci Allah sebagai Yang Dicintai-Nya. Dia hidup dalam surga kedekatan pada Tuhannya. Ruh-nya ada dengan Penciptanya, tapi tersembunyi dibawah kemiripannya dengan manusia lain. Dia dikirim sebagai rahmat Allah bagi seluruh alam semesta, yang Tuhan ciptakan untuk kepentingannya. Jika itu bukan untuknya, alam semesta tidak akan ada.
Ketika Sang Khalik menciptakan alam semesta ini, yang dengannya Dia tidak mempunyai kebutuhan. Dia bermaksud untuk memanifestasikan Kekuasaan-Nya padanya, dan kesempurnaan kebijaksanaan-Nya, sehingga kehidupan datang dari bumi dan air. Apakah Dia berkata sesuatu yang lain yang Dia hidupkan Aku akan menempatkannya sebagai khalifah alam semesta.[9] Hanya manusia dari semua ciptaan yang disebut Dialah yang telah membuatmu sebagai penerus- Nya di daratan.[10] Maka tujuan penciptaan kemanusiaan dan rahmat yang dicurahkan pada umat manusia adalah untuk membawa diantara mereka cahaya Muhammad yang pertama diciptakan, dalam bentuk manusia. Dia adalah realisasi dari K dalam kata ilahiah kun dan kata kanz (harta tersembunyi).[11]
Pemikiran Ibnu Arobi juga senada dengan Al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’aninya beliau juga berpendapat bahwa hakikat kholifah itu bukan Nabi Adam tetapi Muhammad saw.[12]
Dimensi Kedua tentang arti kholifah banyak ahli tafsir berpendapat bahwa khalifah yang dimaksud dalam ayat 30 surat al-Baqarah itu adalah Nabi Adam, seperti Al-Fakhrurrozi, dalam Tafsir Al-Kabir,[13] Al-Khozin, dalam Tafsir Khazin,[14] Al-Baghowi, dalam Tafsir al-Bahgowi,[15] As-Showi, Syarah As-Showi Ala Tafsir Jalalain,[16] Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, dalam Tafsir Jalalain,[17] Nawawi, dalam Maroh Labid,[18] Ibnu Katsir, dalam Tafisr Al-Qur’an Al-Adhim,[19] As-Shobuni, dalam Shofwa Tuttafaasir,[20] Al-Qurthubi, dalam Al-Jaami’ Al-Ahkam al-Qur’an.[21]
Dari dimensi kedua inilah, penulis akan mencoba mengupas tentang metode pengajaran filsafat oleh Allah swt kepada Nabi Adam dan Malaikat? Apa yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam? Kenapa Nabi Adam (manusia) layak menjadi kholifah dari pada makhluk Allah yang lain? Bagaimana silsilah keilmuan ini terus berlanjut hingga masa Yunani?
B.  Pembahasan
1.    Metode pengajaran Allah swt kepada Malaikat.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ.
Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata :Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. al-Baqarah ayat 30).

Muncul berbagai pendapat tentang Malaikat, Fakhrurrozi mencoba menampilkan beberapa pendapat terkait Malaikat dari berbagai sudut pandang, sehingga dibedakan menjadi dua dimensi pertama;  Malaikat merupakan wujud yang membingungkan karena; 1) menurut kebanyakan umat muslim Malaikat adalah jism yang lembut bisa berubah wujud dengan bentuk yang berbagai macam, 2) menurut penyembah berhala Malaikat adalah bintang-bintang yang berserakan dilangit sehingga hakikatnya Malaikat bisa berkomunikasi dan ada dua dimensi ada Malaikat rohmat dan Malaikat azab, 3) menurut majusi Malaikat terdiri dari dua unsur yang ada sejak zaman azali yaitu nur (cahaya) dan dzulmah (kegelapan). Pendapat kedua menyatakan bahwa Malaikat punya zat yang berbeda tidak membingungkan juga bukan berupa jism, ada dua pendapat yang mendasari;1) kaum Nasrani menyatakan Malaikat adalah an-nufus al-mufariqoh (dorongan yang memilah mana yang baik dan mana yang buruk). Sehingga jika dorongan yang baik maka peran dari Malaikat dan jika dorongan jelek maka peran dari setan. 2) menurut para ahli filsafat Malaikat adalah bentuk yang berdiri sendiri dengan zatnya, dengan bentuk yang berbeda dengan zat yang bisa berfikir yang bersifat bilogis.[22] al-Alusi berpendapat bahwa Malaikat termasuk dari bangsa jin sejaIan dengan bnu Ishaq juga berpendapat yang sama sebab sama-sama tidak dapat terdektekasi oleh mata biologis.[23]
Pada intinya bahwa tidak ada penjelasan pasti tentang hakikat Malaikat baik didalam al-Qur’an ataupun Hadits sehingga bagi umat Islam dalam hal ini harus memahami dua hal: Pertama, percaya tentang wujud Malaikat yakni mereka bukan ilusi mereka punya eksistensi dan bukan sesuatu yang menyatu dalam diri manusia. Kedua; harus percaya mereka adalah hamba Allah yang taat diberi tugas-tugas tertentu oleh-Nya.[24]
Setelah memahami dimensi sekilas dari Malaikat, sekarang penulis mulai beranjak untuk memahami bahwa, Allah swt membuat sebuah pernyataan “sesungguhnya aku akan menjadikan kholifah didalam ardh” yang tentu mengejutkan para penduduk langit.[25] Model pernyataan seperti ini, menurut hemat penulis merupakan bentuk pernyataan yang sekaligus juga metode pengajaran filsafat Allah swt kepada Malaikat. Sebab Malaikat tidak pernah diajarkan ilmu tentang sesuatu sebelum kejadian ini. Munculnya penyataan ini kemudian membuat para Malaikat berfikir mendalam[26] juga terpancing untuk bertanya. Sebab, Malaikat juga tahu bahwa fil ardh (biasa ditjemahkan dengan bumi) telah ada penghuninya.[27]
Jika ditarik kedalam filsafat pendidikan maka dengan model pernyataan seperti ini Allah swt sebenarnya telah memunculkan teori pembelajaran kognitif yaitu membentuk Transfer[28] pengetahuan antara Malaikat dengan Allah. Serta metode syuro/demokrasi[29] untuk mendapatkan rumusan sebuah pertanyaan yang mendalam. Seperti yang diuangkapkan oleh Muhammad Ali As-Shobuni dalam Shofwatuttafaasiir beliau memberikan salah satu rahasia yang tersimpan dalam ayat ini adalah Allah memberikan teori pembelajaran yaitu metode musyawarah[30] sehingga pernyataan ini merupakan bentuk penghormatan, serupa dengan guru yang mengajar muridnya dalam bentuk tanya jawab dan juga sebuah pengajaran kepada kita agar terbiasa melakukan dialog menyangkut aneka persoalan.[31]
Imam Nawawi Banten dalam kitabnya Maroh Labiid menyatakan bahwa ungkapan “qooluu” yang diucapkan para Malaikat[32] sebagai respon terhadap pernytaan Allah swt dalam ayat ini bukan bentuk penentangan para Malaikat kepada Allah, juga bukan untuk mencaci Bani Adam, melainkan mereka berupaya bertanya secara filsafat terhadap rahasia dan rencana besar yang dinyatakan oleh Allah swt kepada mereka dengan pernyataan yang juga penuh dengan unsur-unsur falsafi.[33] Tidak hanya itu Imam Nawawi juga berpendapat bahwa pernyataan Tuhan ini juga menghapus terhadap pemikiran mereka (Malaikat) karena merasa merekalah yang lebih pantas menjadi kholifah dari pada Nabi Adam as.[34] Sebab mereka menduga bahwa dunia ini dibangun hanya dengan tasbih dan tahmid sesuai dengan ungkapan mereka. Namun hal ini hanya dugaan saja, sebab apapun latar belakangnya yang pasti mereka bertanya kepada Allah bukan karena berkeberatan atas rencana-Nya.[35]
Dengan memahami komunikasi antara Tuhan dan Malaikat inilah, kita bisa memahami bahwa ada komunikasi yang mengandung unsur filsafat tinggi dan pertama kali dimunculkan oleh Tuhan kepada Malaikat. Dari sini pula penulis ingin mengatakan bahwa proses keilmuan pertama kali telah dilakukan bermiliar-miliar tahun yang lalu dan terjadi pada alam yang tak dapat dideteksi oleh fisik manusia. Maka yang bermain dalam wilayah ini adalah Iman.
2.    Metode pengajaran Allah swt kepada Nabi Adam
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْن
Dan telah diajarkanNya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, lalu Dia berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhluk-makhluk yang benar.(Q.S. al-Baqarah: 31)
Setelah Iblis enggan sujud kepada Nabi Adam as karena sombong. Tuhan pun berkata kepada Adam. “didalam wujudmu telah kusimpan Nur Muhammad”. Tanya Adam, keluarkan nur itu dariku sehingga aku bisa melihatnya? Tiba-tiba saja saat itu keluarlah secercah cahaya terang dari dalam tubuh Nabi Adam as, kemudian cahaya itu berturut-turut hinggap di ujung jari telunjuk tangan kanan Nabi Adam as, jari tengah, jari manis, jari kelingking dan terkhir jari jempol. Berdadsarkan cerita ini, maka didalam wujud jasad Nabi Adam as tersimpan cahaya atau Nur Muhammad. Untuk membuktikan bahwa didalam wujud Nabi Adam as tersimpan cahaya Muhammad, dapat dilihat dari huruf-huruf yang membentuk lafaz Adam itu sendiri.[36] Ini jika Nabi Adam dilihat dari segi huruf-hurufnya.
Perlu kita ketahui bahwa dalam masalah penciptaan manusia Al-Qur’an menegaskan bahwa tidak ada evolusi[37] dalam diri manusia seperti yang ditegaskan dalam Q.S. Arrum ayat 30. Planet bumi seperti diketahui telah menyemai kehidupan sejak 3,8 miliar tahun yang lalu. Sejak itu bumi di isi oleh makhluk melata bersel satu atau disebut dengan proyarcote cell dan ecuryatcote cell, hingga sampai 600-534 juta tahun yang lalu bumi di tempati oleh mahkluq multi seluler seperti trilobita dan kerang-kerangan yang menguasai dasar lautan. [38] Ada kira-kira 20 spies makhluk yang hidup sebelum adam, dan sampai sekarang hanya simpanse yang mampu bertahan.[39]
Ada lagi pendapat yang tidak jauh berbeda yaitu, dari beberapa golongan kaum Shufi dan kaum Syi'ah Imamiyah. Al-Alusi, pengarang tafsir Ruhul Ma'ani mengatakan bahwa di dalam kitab Tami'ul Akbar dari orang Syi'ah Imamiyah,[40] pasal 15, dijelaskan bahwa sebelum Allah menjadikan Adam (nabi kita), telah ada 30 Adam. Jarak di antara satu Adam dengan Adam yang lain adalah 1.000 tahun, setelah Adam yang 30 itu, 50.000 tahun lamanya dunia rusak dan binasa, kemudian ramai lagi 50.000 tahun barulah Allah menciptakan Nabi Adam. Ibnu Buwaihi meriwayatkan di dalam kitab at Tauhid, riwayat dari Imam Ja'far as-Shadiq dalam satu hadits yang panjang, dia berkata : "jangan dikira Allah tidak menjadikan manusia (basyar) selain kamu. Bahkan, demi Allah, Dia telah menjadikan 1.000 Adam (Alfu Alfi Adama), dan kamulah yang terakhir dari Adam-adam itu, Berkata al-Haitsam pada syarahnya yang panjang atas Kitab Nahjul Balaghah: Dan dinukilkan dari Muhammad al-Baqir bahwa dia berkata: sebelum Adam nabi kita muncul telah ada 1.000 Adam atau lebih. Ini semua adalah pendapat dari kalangan Imam- imam Syiah sendiri : Ja'far as-Shadiq dan Muhammad al-Baqir, dua di antara 12 imam Syi'ah Imamiyah. Kalangan kaum Shufi pun mempunyai pendapat demikian as Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi berkata dalam kitabnya yang terkenal al-Futuhat al-Makkiyah, bahwa 40.000 tahun sebelum Adam sudah ada Adam yang lain. Perlua dicatat, Imam besar Syi'ah yaitu, Ja'far as-Shadiq menyatakan bahwa di samping alam kita ini, Allah telah menjadikan pula 12.000 alam, dan tiap-tiap alam itu lebih besar daripada tujuh langit dan tujuh bumi kita ini.[41]
Setelah kita memahami Nabi Adam dengan seluruh pernak perniknya, saat ini yang akan kita bahas adalah Proses kelimuan pertama kali ternyata tidak dilakukan oleh Tuhan terhadap Nabi Adam melainkan tuhan telah memberikan transfer of knwoledge terlebih dahulu kepada Malaikat. Berdasar ayat diatas baru kita bisa fahami bahwa sejarah ilmu itu di awali oleh Malaikat, sebab proses keilmuan manusia dengan Tuhan terjadi setelah Tuhan berdiskusi dengan Malaikat. Ini berarti proses pengetahuan manusia adalah yang kedua setelah Malaikat namun, Tuhan memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada manusia bukan kepada Malaikat. Karena manusia yang nantinya akan mengurusi bumi dengan ilmu, bukan malaikat yang mengira bumi cukup diurusi dengan tahmid dan tasbih saja (wa nahnu nusabbihu bi hamdika wanuqoddisulak). Dengan bukti lain, Nabi Adam diberikan pengenalan terhadap ilmu secara menyeluruh. Hal ini memberikan indikasi bahwa manusia telah dilengkapi dengan banyak ilmu sejak munculnya Adam di Surga-Nya Allah swt.
Asumsi penulis dikuatkan oleh pernyataan Imam al-Attas, menurutnya Allah memberikan Adam as specimen dari sifat-sifat-Nya agar dengannya Dia dapat merayap kepada ma’rifah al-haqq. Adapun specimen dari sifat-sifat-Nya yang diberikan kepada manusia adalah seperti pendengaran, pengelihatan, kemampuan berbicara (komunikasi), kemauan, kehidupan dan yang paling tinggi adalah keilmuan.[42]
Sejalan dengan pendapat diatas Quraish Shihab dalam al-Misbah menegaskan bahwa manusia di anugerahi dua hal besar Pertama, potensi mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda dan Kedua, dianugerahi potensi untuk berkomunikasi dan berbahasa.[43] Realisasi metode pengajaran Allah swt kepada Nabi Adam dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu adalah yang berhubungan dengan nama-nama misal ini papa, ini mama, itu pena dan sebagainya. Inilah sebagian makna yang difahami Ulama dari firman-nya: Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya.[44]
Ada pula yang berpendapat bahwa Allah mengilhamkan[45] kepada Adam as nama benda itu pada saat dipaparkannya sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedaknnya dari benda-benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau idea,[46] tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan. Disinilah keistimewaan manusia yaitu kemampuannya untuk mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menangkap bahasa sehingga ini mengantarnya “mengetahui”. Disisi lain, kemampuan manusia merumuskan idea dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.[47]
Sebagai konklusi sejarah filsafat ilmu muncul pertama kali saat Tuhan berdiskusi dengan Malaikat lalu ilmu itu akhirnya turun kepada manusia dengan secara menyeluruh. Dan keilmuan ini terus berjalan dari generasi kegenerasi mulai dari Nabi Adam hingga ke Yunani. Menurut Arysio Santos yang telah menulis Atlantis menyebutkan bahwa filsafat Yunani ini berasal dari Mesir, Mesir dari India (tempat diturunkannya Nabi Adam), India dari China, dan China dari  Nusantara (Indonesia). Sehingga, perlu diadakan sebuah rekonstruksi sejarah filsafat ilmu itu sendiri, tidak hanya bermula dan berfokus pada filsafat Barat atau filsafat Yunani saja, tetapi juga filsafat Timur yang sangat kaya dengan tradisi ini, seperti Hindu (Astika[Tekstualitas-Naqli] dan Nastika[Rasionalitas-Aqli]), Buddha (Madhyamika atau ajaran Jalan Tengah [Middle-Doctrine]), China (Yin[Spiritualisme Timur]- Yang[Tekhnologi Barat]), dan tentu saja filsafat Tanah Jawa (Struktural[Kawulo-Gusti] dan Fungsional[Sangkan Paraning Dumadi atau The Continuity Becoming dan Dumadining Sangkan Paran atau The Becoming Of Continuity]).[48] Menurut hemat penulis memang perlu diadakan rekonstruksi sejarah filsafat ilmu sebab hal ini adalah keniscayaan.
3.    Ma’na ism
4.    Filsafat Ketuhanan Ibrahim
Nabi Ibrahim Mencari Tuhan: “Aku tidak Suka Yang Tenggelam” “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata, ‘Inilah Tuhanku?’ Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka kepada yang tenggelam’.” – QS Al-An’am (6): 76.
Nabi Ibrahim AS hidup di tengah bangsa Suryaniyyah di tanah Babilonia. Masyarakat yang di bawah naungan pemerintahan raja Namrudz itu memeluk berbagai agama, tetapi tidak satu pun yang menyembah agama tauhid. Agama yang mereka peluk adalah agama para penyembah berhala, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain.

Sejak kecil, Nabi Ibrahim berbaur dengan masyarakat yang menyembah berbagai agama duniawi itu. Bahkan, ayah Nabi Ibrahim sendiri, Azar, selain penyembah berhala, juga pemahat patung. Jadi, dalam lingkungan keluarganya sen­diri, kepercayaan menyembah patung berkembang dengan subur.
Alhamdulillah, Nabi Ibrahim, yang memang sejak kecil telah dipilih Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengemban pesan-pesan Allah dalam agama tauhid, terhindar dari pengaruh buruk itu. Ketika masih remaja, Nabi Ibrahim mem­pertanyakan ihwal penyembahan matahari dan bulan kepada sekelompok anggota masyarakat di sekitarnya. Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi, terjadilah perdebatan antara Nabi Ibrahim dan mereka.
Ketika Allah Ta’ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada Nabi Ibrahim,  ceritanya adalah sebagai berikut:
Ketika malam telah gelap dan menutupi alam bumi sekitarnya, beliau memandang kerajaan langit. Dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol daripada bintang-bintang lainnya, karena sinarnya yang berkilauan, yaitu bintang yang merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani dan Romawi kuno.
Ketika melihat kejadian itu, Ibrahim berkata, “Inilah Tuhanku.” – QS Al-An’am (6): 76.
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, Nabi Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang tenggelam.”
Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Al-Qisthas Al-Mustaqim (Neraca Kebenaran) menguraikan ihwal ilmu mantiq dengan menggunakan contoh kisah Al-Khalil Ibrahim. Logika dari perkataan Nabi Ibrahim AS adalah bahwasanya Tuhan tidak bisa terbenam, sedang bintang bisa terbenam, maka bintang bukanlah Tuhan.
Begitu juga, ketika di lain malam, sebagaimana dinukil di dalam Al-Qur’an surah Al-an’am ayat 77-79, Nabi Ibrahim melihat permulaan terbitnya bulan dari balik ufuk, ia berkata, “Inilah Tuhanku.”
Namun pada siang harinya, Nabi Ibrahim menunjuk kepada matahari, beliau berkata, “Yang aku lihat sekarang inilah Tuhanku.” Mengapa? Karena, “Ia lebih besar dari bintang dan bulan.”
Namun ketika matahari tenggelam, padahal ia tampak lebih besar, cahayanya lebih terang, dan sinarnya lebih tajam daripada bulan dan bintang, Nabi Ibrahim berkata sambil memperdengarkannya kepada orang-orang di sekitarnya, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan, Yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanifa’), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” – QS Al-An’am (6): 79.
Demikianlah contoh pertumbuhan atau perkembangan iman yang terjadi pada semua manusia. Allah mencontohkan Nabi Ibrahim, sebab beliau akan dijadikan imam, contoh untuk orang yang ingin mencapai imam tauhid yang sempurna.
5.    Keilmuan Idris  
a.    Sumeria Kuno[49]
Para ahli sejarah menetapkan, Nabi Idris hidup sekitar tahun 4500-4188 SM. Berbagai peradaban yang telah ditinggalkannya itu kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya. Para pengikut Nabi Idris AS dan orang yang tidak mau mengikuti seruannya, meneruskan cara-cara yang dilakukan beliau, seperti menulis, menjahit, mengukur, dan lain sebagainyaBeberapa tahun lalu, ilmuwan modern dan para ahli arkeologi berhasil menemukan sejumlah perabotan dan barang-barang yang diperkirakan sudah ada sejak 4000 tahun yang lalu. Benda-benda itu antara lain adalah sebuah lempengan dari tanah yang berasal dari masa Sumeria. Di atas lempengan itu terdapat tulisan tentang matematika dalam bentuk tulisan huruf paku.
Selain itu, berbagia benda purbakala yang diyakini merupakan perbendaharaan bangsa Sumeria kuno yang ditemukan adalah pemberat dari logam, bejana antik yang terbuat dari tanah liat berbentuk kendi, gelas, dan lainnya yang diperkirakan dibuat pada 4000 SM. Demikian juga sbeuah lempengan batu yang di atasnya terdapat ukiran atau lukisan yang menggambarkan orang bercocok tanam pada beradaban negara-negara (kecil) di kota Irak dibagian selatan dan tengah.
b.   Pakar Ilmu Perbintangan (Astronomi)
Bangsa Sumeria kuno (4500-1700 SM) dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tertinggi dan tertua di dunia. Berbagai macam bangunan dan kebudayaan lahir dari wilayah ini. Salah satunya adalah taman gantung di Babilonia.
Nabi Idris AS, selain dikenal sebagai manusia pertama yang menulis dengan pena, beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menggunakan bintang sebagai penunjuk arah, waktu bercocok tanam, memperkirakan kondisi cuaca, dan lain sebagainya. Beliau juga merupakan manusia pertama yang menjahit pakaian. Menurut sebuah riwayat, bangsa Sumeria telah mempelajari ilmu perbintangan untuk mengetahui masa bercocok tanam yang baik. Misalnya, rasi bintang Taurus yang dipercaya sebagai masa awal musim semi dan cocok untuk menanam, sedangkan rasi bintang virgo dipergunakan saat tepat untuk memanen.
Bangsa Sumeria kuno (Irak saat ini) juga dikenal sebagai bangsa pertama yang membuat pembagian bulan dalam setahun menjadi 12 bulan sekaligus membaginya dalam tabel. Selama ini, banyak yang menganggap, bangsa Yunani sebagai penemu atau bangsa yang membagi jumlah bilangan bulan dalam setahun. Dalam Al Qur’an, telah dijelaskan tentang pembagian bulan dalam setahun, yakni sebanyak 12 bulan. (Lihat surah At-Taubah [9]: 36). Dalam dunia modern, ilmu astronomi atau perbintangan baru ditemukan oleh Nicolas Copernicus (1473-1543 M). Ia mengemukakan,, bumi berputar pada porosnya, bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semua beredar mengelilingi matahari. Salah seorang tokoh muslim yang dikenal sebagai ahli astronomi adalah Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973-1041 M). Ia lebih dulu mengemukakan teori dan ilmu perbintangan dibandingkan Nicolas Copernicus. Al-Biruni menulis sebuah buku tentang teori ilmu perbitangan yang dipersembahkan pada Sultan Mas’ud dari Ghazna dengan judul Al-Jamahir fi Ma’rifati al Jawahir.
Apa yang dilakukan Nabi Idris AS, kini telah diteruskan oleh ilmuwan masa kini untuk mengembangkan teori perbintangan, membuat kalender, menentukan awal bulan, gerhana matahari dan bulan, serta ilmu lainnya yang berkaitan dengan ilmu perbintangan.
c.    Pelajaran dari Nabi Idris AS
Nah teman-teman, apa jadinya bila manusia tak pernah menemukan kain untuk pakaian?, mungkin sampai saat ini, manusia masih menggunakan daun, kulit binatang, atau semacamnya untuk dijadikan penutup badan. Begitu juga kalau tidak ditemukan mesin jahit, mungkin sampai sekarang pakaian atau kain tidak akan pernah rapi dan kuat. Tahun 1755, Charles Weisenthal, pria asal Jerman yang tinggal di Inggris, mematenkan jarum untuk sebuah mesin. Tahun 1790, Thomas Saint mematenkan mesin jahit. Tahun 1810, Blathasar Krems menemukan mesin otomatis untuk menjahit topi. Tahun 1818, John Adam Doge dan John Knowles dari Amerika membuat mesin jahit, namun gagal berfungsi untuk menjahit kain. Tahun 1830, Bartelemy Thimonier menciptakan mesin jahit yang dapat berfungsi dengan baik, yaitu menggunakan satu benang dan sebuah jarum kait, seperti bordir atau sulam. Tahun 1834, Walter Hunt sukses juga membuat mesin serupa. Puncaknya, mesin jahit ditemukan dan berhasil dibuat oleh Elias Howe dari Amerika Serikat sekitar tahun 1845. Banyaknya penemuan ini membuat mereka (para penemu) saling klaim sebagai penemu pertama. Mereka pun sibuk mematenkan karyanya.
Padahal, puluhan abad silam, tepatnya sekitar tahun 4500-4188 Sm, Nabi Idris AS telah mempelopori cara menjahit pakaian. Artinya, Nabi Idris juga yang sebelumnya menggunakan pakaian berjahit hasil karyanya. Sebelum itu, banyak kaumnya menggunakan pakaian dari bulu atau kulit binatang. Beberapa abad kemudian, Nabi Daud AS mengajari ummat manusia untuk membuat pakaian yang terbuat dari besi sebagai perisai diri. Ini dilakukan sekitar tahun 1041-971 SM, jauh sebelum para ahli penemu mesin jahit dan jarum itu berdebat tentang hasil temuan mereka.
d.   Tempat Tertinggi
“Dan, Kami tempatkan ia ke tempat (martabat) yang tertinggi.” (QS Maryam [19]: 57).
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersbut mengenai diangkatnya Nabi Idris AS. Apakah ia diangkat ke surga, meninggal dunia di atas langit, atau hal itu menunjukkan akan kemuliaan Nabi Idris AS?. Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan juga dalam Qishash al-Anbiyaa’ menyatakan, riwayat yang paling kuat mengenai ayat tersebut adalah Nabi Idris AS diangkat ke langit untuk diambil nyawanya.
Hal ini diperkuat dengan keterangan yang diriwayatkan dari Ka’ab atas pertanyaan dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan  dari Yunus, dari Abdul A’laa dari Ibn Wahab, dari Jarir bin Hazim, dari Al-A’masy, dari Syamr bin Athiyah dan dari Hilal bin Yasar. Bukhari meriwayatkan pertemuan RAsulullah SAW dengan Nabi Idris AS di langit ke-empat saat Isra dan Mi’raj.
Memang hampir sama istilah yang saya tulis  dengan Tulisan Mas Sumarthana, tetapi maksud dan maknanya berbeda. Teologia Religionom yang saya maksud adalah sebuah konsep yang satu antara Teologi dengan Filsafat yang dikenal dengan istilah Prisca teologia atau prisca Philosophia. Teologia Religionom adalah prisca Teologia dan Philosophia. Konsep ini sudah ada jauh sejak jaman Hermes atau Nabi Idris dalam tradisi Islam. Dimana Teologi dan Filsafat merupakan misi profetik dari para nabi dan para filosof untuk memberikan jawaban dan membebaskan manusia dari semua problematikanya. Teologia Religionom yang saya maksud  adalah  teologi agama-agama yang mengajarkan bagi para pemeluknya konsep keimanan, ritual dan social. Disamping itu, teologia Religionom memuat konsep hukum dan tata cara keimanan dengan praksis kehidupan sehari, bagaimana orang beriman dengan teologia mampu memberikan jawaban terhadap problematika umatnya dalam segala aspek kehidupan.
Konsep awal dari prisca theologia dan philosophia dari Hermes. Konsep ini sama dengan misi profetik nabi-nabi atau konsep Nubuwah dalam Islam. Salah satunya adalah bagaimana orang beriman atau beragama berhadapan dengan kehidupan sosialnya termasuk hubungan antar agama, kepercayaan dan iman. Tetapi misi kenabian atau Nubuwah tidak hanya itu, tetapi juga bagaiman memberikan pembebasan terhadap ketertindasan, keterasingan dan diskriminasi melalui pintu teologi. Jadi saya memakai istilah ini berangkat dari istilah yang dikembangkan oleh Hermes dengan prisca teologia dan Philosophia. Dulu anatara agama dan filsafat merupakan satu kesatuan. Agama dengan filsaat mempunyai misi kenabian. Mas Sumarthana memakai teologia Religoonum kepada hubungan antar agama,   terbatas pada segmen prisca teologia dan philosophia keterkaitannya dengan filsafat perennial. Konsep itu juga benar dan relevan dengan yang digagas  Hermes. Kalau teologia reliogonom yang digagas Mas Sumarthana memang sulit untuk dicari benang merahnya dengan teologi pembebasan, karena ibarat bumi dengan langit. Tetapi kalu dikembalikan dengan konsepnya Hermes dengan priscateologia- philosophia maka ada benang merahnya. Bagaimana para filosof seperti Socrates yang dianggap mengajarkan kepercayaan yang sesat di Yunani karena mengajarkan adanya konsep monoteisme. Bagaimana aristoteles dikejar-kejar oleh RajaYunani penganti Alexander. Semua itu mengajarkan pembebasan baik dari ritual, sosial maupun etika. Hanya saja, Teologia religionom yang digagas oleh Hermes pecah  sendiri-sendiri setelah institusi agama, baik semethik maupun non semetik hadir, sehingga teologi lebih cenderung pada agama sedangkan filsafat pada rasionalisme. Padahal Ibrahim merupakan icon nabi dan Filosof, bagaimana seorang Ibrahim mencari Tuhannya dan bagimana Ibrahim membebaskan masyrakatnya dari hegemoni Namrud.





REFERENSI
Al-Fakhrurrozi, Muhammad Bin Umar Bin Husain Bin Hasan Bin Ali Al-Bakri, Tafsir Al-Kabir, Beirut Lebanon: Dar Ihya’ At-Turast Al-Arobi, 1997.
Al-Khozin, ‘Ala Ad-Din Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Beirut : Dar- al-Fikr, 1979.
Al-Baghowi, Abi Muhammad Al-Husain Bin Mas’ud Al-Farro’, Tafsir al-Bahgowi, Beirut: Dar-al-Fikr, 1979.
Al-Alusi, Syihabuddin Sayyid Mahmud Al-Baghdadi. Ruh Al-Ma’ani, Mesir; Dar-Elhadith, 2005.
As-Showi, Syeikh Ahmad al-Maliki, Syarah As-Showi Ala Tafsir Jalalain, Beirut Libanon: Dar-Alfikr 2002.
Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Beirut Lebanon: Dar-Alfikr 2002.
Nawawi, Muhammad Bin Umar Al-Jawi, Maroh Labid, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2011.
Ibnu Katsir, Imam Abi Al-Fada’ Al-Hafidh Ad-Damasyqi. Tafisr Al-Qur’an Al-Adhim, Beirut Lebanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2006.
As-Shobuni, Muhammad Ali. Shofwa Tuttafaasir. Beirut Lebanon : Dar al-Fikr, 1976.
Al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori. Al-Jaami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, 1952.
Sudarmojo, Agus Haryo. Perjalanan Akbar Ras Adam,  PT Mizan Publika 2009.
Alatas, Ismail Fajrie. Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta Selatan: Diwan, 2006.
Riyanto, Waryani Fajar. Tafsir Huruf Perspektif Sufistik, Sleman Yogyakarta: Mahameru Press, 2010.  
------------------------. Filsafat Ilmu Integratif, Pekalongan: STAIN Press, 2013. 
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, cet.1, 2007.
------------------------. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet.1, 2007.
-------------------------. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, volume 1, 2002.
-------------------------. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Dale H. Schunk. Learning Theorities An Educational Perspective, Edisi Keenam, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012.  
Makalah “Antisinonimitas” oleh Dr. Waryani Fajar Riyanto. Dipresentasikan pada seminar Internasional “Kedudukan Bahasa Arab Dalam Memahami Al-Qur’an Dan Hadist”.
http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/nabi ibrahim mencari tuhan aku tidak suka yang tenggelam.
Situs-Situs Dalam Al Qur’an, Dari Banjir Nuh hingga Bukit Thursina. Syahruddin El Fikri. Republika, 2010.
Republika, 15 November 2009.






[1] Seperti telah difahami bahwa tasawwuf dibagi menjadi empat bagian yaitu: Tasawuf Akhalaqi dengan konsep Takholli, Tahalli dan Tajalli, Tasawuf Amali dengan wujud Thoriqoh, Tasawuf semi falsafi dan Tasawuf Falsafi kuliah dengan Prof. Dr. Amin Syukur.
[2] Al-arobi, Syajaratul Kawn terjemah Pohon Eksistensi Ibnu ‘Arabi Oleh: Deddy Djuniardi, Aauwabddam
[3] Q.S Al-Waqi’ah:57
[4] Q.S Al-Qamar:49
[5] Q.S. Al-Ma’idah:3
[6] Q.S. Al-Baqarah:253
[7] Q.S. Ali ‘Imran:109
[8] Q.S Az-Zumar:22
[9] Q.S Al-Baqarah:30
[10] Q.S. Al-An’am:166
[11] Ibnu Arobi. Syajaratul Kawn, hlm. 1-30.
[12] Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, hlm.541 juz 2.
[13] hlm. 383
[14] hlm. 44.
[15] hlm. 44.
[16] hlm. 39.
[17] hlm. 40.
[18] hlm. 15.
[19] hlm. 70
[20] hlm. 48.
[21] hlm. 261.
[22] Lebih lengkap baca Tafsir Al-Kabir Al-Fakhrurozi, Beirut Lebanon: Dar Ihya’ At-Turast Al-Arobi, 1997, hlm. 384.
[23] al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, hlm. 327 juz 1.
[24] Quraish Shihab, Al-misbah, juz 1 hlm. 144.
[25] Istilah “langit di atas” sebenarnya hanya sekedar anggapan memuliakan terhadap Tuhan. Sebab posisi langit itu dimana sampai saat ini belum terdeteksi. Karena posisi bumi juga mengambang tidak dibawah juga tidak diatas. Sehingga sebutan langit itu muncul bersamaan dengan ke maha tinggian Tuhan.
[26] Sesuai dengan definisi filsafat sendiri yaitu berfikir secara radikal.
[27] Menurut Ibnu Khozin penghuni ardh adalah jin lihat tafsir khozin hlm. 44.
[28] Ada dua bentuk transfer pertama Positive Transfer terjadi ketika pembelajaran terdahulu membantu pembelajaran selanjutnya. Kedua Negative Transfer berarti bahwa pembelajaran terdahulu bercampur dengan pembelajaran selanjutnya atau menyulitkannya. Baca, Dale H. Schunk dalam “Learning Theorities An Educational Perspective”, edisi keenam Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012. Hlm. 439.
[29] Pandangan syuro didalam Islam dengan dengan demokrasi secara umum apalagi sekuler tentu berbeda. Sebab, jika tuhan telah memberikan ketetapan secara tegas dan pasti maka tidak dibenarkan menentang terhadap prinsip-prinsip ajaran ilahi. Baca Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 637.
[30] Baca shofwatuttafasir, hlm. 49.
[31] Sebagaimana pendapat Quraish Shihab yang mengutib pendapat Ibnu Asyur lihat Tafsir Al-Misbah volume 1, hlm. 144.
[32]Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama tentang Malaikat yang dimaksud dalam ayat ini, apakah seluruh Malaikat, yang jumlahnya hanya diketahui Allah atau hanya sebagaian Malaikat saja? Imam al-Dhahak meriwayatkan dari Ibn Abbas menegaskan bahwa yang dimaksud Allah swt adalah Malaikat yang memerangi jin di bumi. Sebab, ketika jin ditempatkan dibumi mereka membuat onar dengan melakukan perusakan dan pembunuhan. Namun, sebagian besar para Sahabat dan Tabi’in berpendapat yang dimaksud Malaikat disini adalah seluruh Malaikat tidak ada pembatasan. Lihat, “Tafsir Al-Kabir Al-Fakhrurozi”, Beirut Lebanon: Dar Ihya’ At-Turast Al-Arobi, 1997, hlm. 388.
[33] Nawawi, Marah Labiid, h. 15.
[34] Ibid, hlm. 15.
[35] Quraish Shihab, al-Misbah, hlm. 141.
[36] Baca, W.F.R, Tafsir Huruf Perspektif Sufi, hlm. 486.
[37] Seperti yang digembor-gemborkan oleh Darwin.
[38] Agus Haryo Sudarmojo. Perjalanan Akbar Ras Adam, PT Mizan Publika, 2009, hlm. 23.
[39] Ibid, hlm, 36.
[40] Menurut al-Baghdadi (w. 429 H) pengarang kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq secara umum Syiah terbgai menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Yaitu: Syiah Ghulat, Ismailiyah, Az-Zaidiyah dan Syiah Istna Asyariyah. Syiah Istna Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok yang mempercayai adanya dua belas Imam yang kesemuanya dari keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra’, putri Rasulullah saw yang dipimpin oleh Ja’far Shodiq. Baca, Qurasih Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, hlm. 63-83.
[41] al-Alusi, Ruhul Ma’ani, hlm. 541.
[42] Ismail Fajrie Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam Sebuah Tinjauan Ihsani, hlm. 219.
[43] Bahasa menurut para ahli didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tertentu atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu berkomunikasi atau berinteraksi. Karena bahasa hanya dimiliki oleh manusia, maka komunikasi linguistik (komunikasi dengan menggunakan bahasa) semata-mata terjadi pada sesama manusia. Jika komunikasi berlangsung antara manusia dan selain manusia, yang berlangsung adalah komunikasi nonlinguistik. Komunikasi linguistik antar manusia biasanya menggunakan istilah lisanun, sedangkan komunikasi non-linguistik biasanya menggunakan istilah nutqun. Makalah “ANTISINONIMITAS” Implikasi Teori Antisinonimitas Bahasa (Arab) terhadap Penafsiran al-Qur’an Kontemporer tentang Poligami, oleh Waryani Fajar Riyanto.
[44] Quraish Shihab, al-Misbah, hlm. 146.
[45] Ilham adalah termasuk salah satu dari empat bagian Wahyu, jadi Wahyu dibagi empat macam: Wahyu Ilham, Wahyu Manam, Wahyu Risalah dan Wahyu Setan. Makalah “Antisinonimitas” oleh Dr. Waryani Fajar Riyanto, hlm. 8-9.
[46] Disini berarti manusia sudah memiliki konsep ide jauh sebelum konsep ide yang dicetuskan oleh filosuf besar Yunani yaitu Plato.
[47] Quraish Shihab, al-Misbah, hlm. 147.
[48] W.F.R. Filsafat Ilmu Integratif, hlm.  6-8.
[49] http://venusofia.wordpress.com 2011 03 01 nabi idris penulis pertama dengan pena part II selesai. Di akses tanggal 31 Mei 2013.