A. Pendahuluan
Menurut penulis
yang pertama dibahas terlebih dahulu adalah Kata Kholifah. Dalam surat
al-Baqarah ayat 30 ternyata kata khalifah memiliki dua dimensi berbeda
yang sangat luas cakupannya. Dua dimensi ini dilihat dari kaca mata yang
berbeda yaitu melalui tafsir yang bersifat fiqhiyyah dan tafsir
perspektif sufi. Dua pembacaan ini sangat berpengaruh kepada bentuk
penafsiran al-Qur’an. Jika yang membaca dan mengkaji al-Qur’an adalah ahli fiqh
misalnya maka tafsir yang muncul adalah lebih bersifat fisik (dhohir).
Beda halnya jika sebuah ayat ditafsiri oleh seorang sufi maka tentu arahan
tafsirnya dalah sufistik yang lebih ditonjolkan adalah bersifat metafisik (bathin).
Dimensi pertama
yang akan penulis bahas adalah tafsir sufistik tentang maksud kata khalifah (bukan
Nabi Adam).
Imam Ibnu Arobi
adalah salah satu ahli dalam bidang tasawwuf falsafi[1]
menggambarkan dan mengandaikan bahwa seluruh alam
semesta ini tidak lain adalah sebuah pohon yang beliau konsep sebagai Syajaarotul
Kawn.[2]
Ibnu Arobi mengatakan alam semesta ini adalah sebuah Pohon yang cahaya
kehidupannya datang dari sebuah benih yang pecah ketika Allah berkata kun.
Benih
dari huruf K dipupuk dengan huruf N dari nahnu (Kami), tercipta ketika
Allah berfirman : Kamilah yang telah menciptakanmu.[3]
Kemudian
dari gabungan dua benih ini tumbuh dua tunas yang bersesuaian dengan janji
Allah : Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
fithrahnya.[4]
Tetapi
akar dari dari dua tunas ini hanyalah tunggal. Akar itu adalah Kehendak Sang
Pencipta, dan apa yang menumbuhkannya adalah Kekuasaan-Nya. Kemudian dari
esensi huruf K dari kata ilahiah kun, lahirlah dua makna yang
berlawanan pertama, Kamaliyah (kesempurnaan) sebagaimana disebutkan
Allah dalam firman-Nya: Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu
dan telah Kulengkapkan Rahmat-Ku padamu serta Kupilihkan Islam sebagai agamamu.[5]
Kedua,
kufriyyah, keingkaran (kekufuran), sebagaimana firman Allah: Maka
sebagian dari mereka beriman dan sebagian lagi kufur.[6]
Demikian
juga dari hakikat kata N beremanasi makna-makna berlawanan dari nur
al-ma’rifah (cahaya pengetahuan) dan nakirah (gelapnya kebodohan). Karena
itu ketika Allah mengeluarkan mahluk-Nya dari harta tersembunyi dari ketidakberadaan menuju eksistensi, bersesuaian
dengan keadaan dan bentuk yang telah ditetapkan sebelumnya (kodratnya), Dia
memancarkan cahaya ilahiah-Nya terhadapnya. Siapapun yang terkena cahaya
itu dapat melihat Pohon Eksistensi (syajarotul kawn) yang tumbuh dari
benih perintah ilahiah kun yang melingkupi seluruh alam semesta.
Dan mereka yang tercerahkan ini mengetahui rahasia K dalam kata kuntum
(kamu), sebagaimana firman Allah : Kamu sekalian adalah ummat
terbaik yang dilahirkan, yang
menyuruh pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kamu beriman kepada
Allah.[7]
Mereka yang
tercerahkan ini juga menembus makna tersembunyi dari kata terakhir N dari kun
sebagai nur (cahaya), sebagaimana firman Allah : Apakah dia yang
hatinya telah Allah bukakan kepada Islam sehingga dia mengikuti cahaya
dari Tuhan-nya (tidak lebih baik dari dia yang keras hatinya)?[8]
Ketika
Dia yang menanam Pohon Eksistensi pertama kali mengeluarkan saripati dari
benihnya, Dia mengaduknya sampai krim terangkat pada permukaan,
alih-alih melewatkannya beberapa kali melalui sebuah saringan untuk menyaring
setiap ampas yang mungkin ada di dalamnya. Ketika ia menjadi lebih murni dari
yang termurni, Dia menyinarinya dengan cahaya kebijaksanaan. Ia menjadi hidup,
dan Dia mencelupnya kedalam lautan rahmat-Nya sedemikian sehingga seluruh
mahluk dapat memperoleh bagian rahmatnya. Kemudian darinya Dia mencipta cahaya
Nabi kita Muhammad s.a.w, semoga shalawat dan salam tercurah
padanya dan keluarganya. Dia menghiasi cahaya ini dengan cahaya-cahaya dari
alam malakuti tertinggi untuk menambah kecantikan dan kilauannya. Cahaya
ini adalah asal muasal – sumber dari semua dan segala sesuatu yang maujud.
Maka
pemimpin kita Muhammad s.a.w, adalah diantara pilihan Allah yang pertama dan
yang terakhir muncul sebagai Nabi diantara umat manusia untuk membawa mereka
berita gembira di dunia ini, untuk menaruh mahkota keimanan diatas kepala
mereka, dan untuk menjadi perantara mereka pada hari pembalasan. Asal muasalnya
tetap tersimpan tercatat dalam kitab suci Allah sebagai Yang Dicintai-Nya. Dia
hidup dalam surga kedekatan pada Tuhannya. Ruh-nya ada dengan Penciptanya, tapi
tersembunyi dibawah kemiripannya dengan manusia lain. Dia dikirim sebagai
rahmat Allah bagi seluruh alam semesta, yang Tuhan ciptakan untuk
kepentingannya. Jika itu bukan untuknya, alam semesta tidak akan ada.
Ketika
Sang Khalik menciptakan alam semesta ini, yang dengannya Dia tidak mempunyai
kebutuhan. Dia bermaksud untuk memanifestasikan Kekuasaan-Nya padanya, dan
kesempurnaan kebijaksanaan-Nya, sehingga kehidupan datang dari bumi dan air. Apakah
Dia berkata sesuatu yang lain yang Dia hidupkan Aku akan menempatkannya sebagai
khalifah alam semesta.[9] Hanya manusia dari
semua ciptaan yang disebut Dialah yang telah membuatmu sebagai penerus- Nya di
daratan.[10] Maka tujuan penciptaan
kemanusiaan dan rahmat yang dicurahkan pada umat manusia adalah untuk membawa
diantara mereka cahaya Muhammad yang pertama diciptakan, dalam bentuk manusia.
Dia adalah realisasi dari K dalam kata ilahiah kun dan kata kanz
(harta tersembunyi).[11]
Pemikiran Ibnu
Arobi juga senada dengan Al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’aninya
beliau juga berpendapat bahwa hakikat kholifah itu bukan Nabi Adam
tetapi Muhammad saw.[12]
Dimensi Kedua tentang
arti kholifah banyak ahli tafsir berpendapat bahwa khalifah yang
dimaksud dalam ayat 30 surat al-Baqarah itu adalah Nabi Adam, seperti Al-Fakhrurrozi,
dalam Tafsir Al-Kabir,[13]
Al-Khozin, dalam Tafsir Khazin,[14] Al-Baghowi,
dalam Tafsir al-Bahgowi,[15]
As-Showi, Syarah As-Showi Ala Tafsir Jalalain,[16]
Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, dalam Tafsir Jalalain,[17]
Nawawi, dalam Maroh Labid,[18]
Ibnu Katsir, dalam Tafisr Al-Qur’an Al-Adhim,[19]
As-Shobuni, dalam Shofwa Tuttafaasir,[20]
Al-Qurthubi, dalam Al-Jaami’ Al-Ahkam al-Qur’an.[21]
Dari dimensi
kedua inilah, penulis akan mencoba mengupas tentang metode pengajaran filsafat
oleh Allah swt kepada Nabi Adam dan Malaikat? Apa yang diajarkan Allah kepada Nabi
Adam? Kenapa Nabi Adam (manusia) layak menjadi kholifah dari pada
makhluk Allah yang lain? Bagaimana silsilah keilmuan ini terus berlanjut hingga
masa Yunani?
B. Pembahasan
1.
Metode pengajaran Allah swt kepada Malaikat.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا
مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ
لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ.
“Dan
(ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau
hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan
darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia
berkata :Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S.
al-Baqarah ayat 30).
Muncul berbagai
pendapat tentang Malaikat, Fakhrurrozi mencoba menampilkan beberapa pendapat
terkait Malaikat dari berbagai sudut pandang, sehingga dibedakan menjadi dua
dimensi pertama; Malaikat merupakan
wujud yang membingungkan karena; 1) menurut kebanyakan umat muslim Malaikat adalah
jism yang lembut bisa berubah wujud dengan bentuk yang berbagai macam,
2) menurut penyembah berhala Malaikat adalah bintang-bintang yang berserakan
dilangit sehingga hakikatnya Malaikat bisa berkomunikasi dan ada dua dimensi
ada Malaikat rohmat dan Malaikat azab, 3) menurut majusi Malaikat
terdiri dari dua unsur yang ada sejak zaman azali yaitu nur
(cahaya) dan dzulmah (kegelapan). Pendapat kedua menyatakan bahwa Malaikat
punya zat yang berbeda tidak membingungkan juga bukan berupa jism, ada
dua pendapat yang mendasari;1) kaum Nasrani menyatakan Malaikat adalah an-nufus
al-mufariqoh (dorongan yang memilah mana yang baik dan mana yang buruk).
Sehingga jika dorongan yang baik maka peran dari Malaikat dan jika dorongan
jelek maka peran dari setan. 2) menurut para ahli filsafat Malaikat adalah
bentuk yang berdiri sendiri dengan zatnya, dengan bentuk yang berbeda dengan
zat yang bisa berfikir yang bersifat bilogis.[22] al-Alusi
berpendapat bahwa Malaikat termasuk dari bangsa jin sejaIan dengan bnu Ishaq juga
berpendapat yang sama sebab sama-sama tidak dapat terdektekasi oleh mata
biologis.[23]
Pada intinya
bahwa tidak ada penjelasan pasti tentang hakikat Malaikat baik didalam al-Qur’an
ataupun Hadits sehingga bagi umat Islam dalam hal ini harus memahami dua hal: Pertama,
percaya tentang wujud Malaikat yakni mereka bukan ilusi mereka punya eksistensi
dan bukan sesuatu yang menyatu dalam diri manusia. Kedua; harus percaya mereka
adalah hamba Allah yang taat diberi tugas-tugas tertentu oleh-Nya.[24]
Setelah
memahami dimensi sekilas dari Malaikat, sekarang penulis mulai beranjak untuk
memahami bahwa, Allah swt membuat sebuah pernyataan “sesungguhnya aku akan
menjadikan kholifah didalam ardh” yang tentu mengejutkan para
penduduk langit.[25]
Model pernyataan seperti ini, menurut hemat penulis merupakan bentuk pernyataan
yang sekaligus juga metode pengajaran filsafat Allah swt kepada Malaikat. Sebab
Malaikat tidak pernah diajarkan ilmu tentang sesuatu sebelum kejadian ini.
Munculnya penyataan ini kemudian membuat para Malaikat berfikir mendalam[26] juga
terpancing untuk bertanya. Sebab, Malaikat juga tahu bahwa fil ardh (biasa
ditjemahkan dengan bumi) telah ada penghuninya.[27]
Jika ditarik
kedalam filsafat pendidikan maka dengan model pernyataan seperti ini Allah swt
sebenarnya telah memunculkan teori pembelajaran kognitif yaitu membentuk Transfer[28]
pengetahuan antara Malaikat dengan Allah. Serta metode syuro/demokrasi[29]
untuk mendapatkan rumusan sebuah pertanyaan yang mendalam. Seperti yang
diuangkapkan oleh Muhammad Ali As-Shobuni dalam Shofwatuttafaasiir beliau
memberikan salah satu rahasia yang tersimpan dalam ayat ini adalah Allah memberikan
teori pembelajaran yaitu metode musyawarah[30]
sehingga pernyataan ini merupakan bentuk penghormatan, serupa dengan guru yang
mengajar muridnya dalam bentuk tanya jawab dan juga sebuah pengajaran kepada
kita agar terbiasa melakukan dialog menyangkut aneka persoalan.[31]
Imam Nawawi
Banten dalam kitabnya Maroh Labiid menyatakan bahwa ungkapan “qooluu”
yang diucapkan para Malaikat[32]
sebagai respon terhadap pernytaan Allah swt dalam ayat ini bukan bentuk
penentangan para Malaikat kepada Allah, juga bukan untuk mencaci Bani Adam, melainkan
mereka berupaya bertanya secara filsafat terhadap rahasia dan rencana besar yang
dinyatakan oleh Allah swt kepada mereka dengan pernyataan yang juga penuh
dengan unsur-unsur falsafi.[33] Tidak
hanya itu Imam Nawawi juga berpendapat bahwa pernyataan Tuhan ini juga
menghapus terhadap pemikiran mereka (Malaikat) karena merasa merekalah yang
lebih pantas menjadi kholifah dari pada Nabi Adam as.[34]
Sebab mereka menduga bahwa dunia ini dibangun hanya dengan tasbih dan tahmid
sesuai dengan ungkapan mereka. Namun hal ini hanya dugaan saja, sebab apapun
latar belakangnya yang pasti mereka bertanya kepada Allah bukan karena
berkeberatan atas rencana-Nya.[35]
Dengan memahami
komunikasi antara Tuhan dan Malaikat inilah, kita bisa memahami bahwa ada
komunikasi yang mengandung unsur filsafat tinggi dan pertama kali dimunculkan
oleh Tuhan kepada Malaikat. Dari sini pula penulis ingin mengatakan bahwa
proses keilmuan pertama kali telah dilakukan bermiliar-miliar tahun yang lalu
dan terjadi pada alam yang tak dapat dideteksi oleh fisik manusia. Maka yang
bermain dalam wilayah ini adalah Iman.
2.
Metode pengajaran Allah swt kepada Nabi Adam
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ
كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ
هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْن
Dan
telah diajarkanNya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua
kepada Malaikat, lalu Dia berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu
semua, jika adalah kamu makhluk-makhluk yang benar.(Q.S.
al-Baqarah: 31)
Setelah Iblis enggan
sujud kepada Nabi Adam as karena sombong. Tuhan pun berkata kepada Adam. “didalam
wujudmu telah kusimpan Nur Muhammad”. Tanya Adam, keluarkan nur
itu dariku sehingga aku bisa melihatnya? Tiba-tiba saja saat itu keluarlah
secercah cahaya terang dari dalam tubuh Nabi Adam as, kemudian cahaya itu
berturut-turut hinggap di ujung jari telunjuk tangan kanan Nabi Adam as, jari
tengah, jari manis, jari kelingking dan terkhir jari jempol. Berdadsarkan
cerita ini, maka didalam wujud jasad Nabi Adam as tersimpan cahaya atau Nur
Muhammad. Untuk membuktikan bahwa didalam wujud Nabi Adam as tersimpan cahaya Muhammad,
dapat dilihat dari huruf-huruf yang membentuk lafaz Adam itu sendiri.[36] Ini
jika Nabi Adam dilihat dari segi huruf-hurufnya.
Perlu kita
ketahui bahwa dalam masalah penciptaan manusia Al-Qur’an menegaskan bahwa tidak
ada evolusi[37]
dalam diri manusia seperti yang ditegaskan dalam Q.S. Arrum ayat 30.
Planet bumi seperti diketahui telah menyemai kehidupan sejak 3,8 miliar tahun
yang lalu. Sejak itu bumi di isi oleh makhluk melata bersel satu atau disebut
dengan proyarcote cell dan ecuryatcote cell, hingga sampai
600-534 juta tahun yang lalu bumi di tempati oleh mahkluq multi seluler seperti
trilobita dan kerang-kerangan yang menguasai dasar lautan. [38]
Ada kira-kira 20 spies makhluk yang hidup sebelum adam, dan sampai sekarang
hanya simpanse yang mampu bertahan.[39]
Ada lagi
pendapat yang tidak jauh berbeda yaitu, dari beberapa golongan kaum Shufi dan
kaum Syi'ah Imamiyah. Al-Alusi, pengarang tafsir Ruhul Ma'ani mengatakan
bahwa di dalam kitab Tami'ul Akbar dari orang Syi'ah Imamiyah,[40]
pasal 15, dijelaskan bahwa sebelum Allah menjadikan Adam (nabi kita), telah ada
30 Adam. Jarak di antara satu Adam dengan Adam yang lain adalah 1.000 tahun,
setelah Adam yang 30 itu, 50.000 tahun lamanya dunia rusak dan binasa, kemudian
ramai lagi 50.000 tahun barulah Allah menciptakan Nabi Adam. Ibnu Buwaihi
meriwayatkan di dalam kitab at Tauhid, riwayat dari Imam Ja'far
as-Shadiq dalam satu hadits yang panjang, dia berkata : "jangan dikira Allah
tidak menjadikan manusia (basyar) selain kamu. Bahkan, demi Allah, Dia telah
menjadikan 1.000 Adam (Alfu Alfi Adama), dan kamulah yang terakhir dari
Adam-adam itu, Berkata al-Haitsam pada syarahnya yang panjang atas Kitab
Nahjul Balaghah: Dan dinukilkan dari Muhammad al-Baqir bahwa dia berkata: sebelum
Adam nabi kita muncul telah ada 1.000 Adam atau lebih. Ini semua adalah
pendapat dari kalangan Imam- imam Syiah sendiri : Ja'far as-Shadiq dan Muhammad
al-Baqir, dua di antara 12 imam Syi'ah Imamiyah. Kalangan kaum Shufi pun
mempunyai pendapat demikian as Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi berkata dalam
kitabnya yang terkenal al-Futuhat al-Makkiyah, bahwa 40.000 tahun
sebelum Adam sudah ada Adam yang lain. Perlua dicatat, Imam besar Syi'ah yaitu,
Ja'far as-Shadiq menyatakan bahwa di samping alam kita ini, Allah telah
menjadikan pula 12.000 alam, dan tiap-tiap alam itu lebih besar daripada tujuh
langit dan tujuh bumi kita ini.[41]
Setelah kita
memahami Nabi Adam dengan seluruh pernak perniknya, saat ini yang akan kita
bahas adalah Proses kelimuan pertama kali ternyata tidak dilakukan oleh Tuhan terhadap
Nabi Adam melainkan tuhan telah memberikan transfer of knwoledge terlebih
dahulu kepada Malaikat. Berdasar ayat diatas baru kita bisa fahami bahwa sejarah
ilmu itu di awali oleh Malaikat, sebab proses keilmuan manusia dengan Tuhan terjadi
setelah Tuhan berdiskusi dengan Malaikat. Ini berarti proses pengetahuan
manusia adalah yang kedua setelah Malaikat namun, Tuhan memberikan pengetahuan
yang lebih luas kepada manusia bukan kepada Malaikat. Karena manusia yang
nantinya akan mengurusi bumi dengan ilmu, bukan malaikat yang mengira bumi
cukup diurusi dengan tahmid dan tasbih saja (wa nahnu
nusabbihu bi hamdika wanuqoddisulak). Dengan bukti lain, Nabi Adam diberikan
pengenalan terhadap ilmu secara menyeluruh. Hal ini memberikan indikasi bahwa
manusia telah dilengkapi dengan banyak ilmu sejak munculnya Adam di Surga-Nya
Allah swt.
Asumsi penulis
dikuatkan oleh pernyataan Imam al-Attas, menurutnya Allah memberikan Adam as specimen
dari sifat-sifat-Nya agar dengannya Dia dapat merayap kepada ma’rifah
al-haqq. Adapun specimen dari sifat-sifat-Nya yang diberikan kepada
manusia adalah seperti pendengaran, pengelihatan, kemampuan berbicara
(komunikasi), kemauan, kehidupan dan yang paling tinggi adalah keilmuan.[42]
Sejalan dengan
pendapat diatas Quraish Shihab dalam al-Misbah menegaskan bahwa manusia
di anugerahi dua hal besar Pertama, potensi mengetahui nama atau fungsi
dan karakteristik benda-benda dan Kedua, dianugerahi potensi untuk
berkomunikasi dan berbahasa.[43] Realisasi
metode pengajaran Allah swt kepada Nabi Adam dimulai dengan mengajarkan kata
kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu adalah yang berhubungan dengan nama-nama
misal ini papa, ini mama, itu pena dan sebagainya. Inilah sebagian makna yang difahami
Ulama dari firman-nya: Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya.[44]
Ada pula yang
berpendapat bahwa Allah mengilhamkan[45]
kepada Adam as nama benda itu pada saat dipaparkannya sehingga beliau memiliki
kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedaknnya
dari benda-benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari mengajar tidak selalu
dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau idea,[46]
tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik
sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka
pengetahuan. Disinilah keistimewaan manusia yaitu kemampuannya untuk
mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menangkap
bahasa sehingga ini mengantarnya “mengetahui”. Disisi lain, kemampuan
manusia merumuskan idea dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah
menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.[47]
Sebagai
konklusi sejarah filsafat ilmu muncul pertama kali saat Tuhan berdiskusi dengan
Malaikat lalu ilmu itu akhirnya turun kepada manusia dengan secara menyeluruh.
Dan keilmuan ini terus berjalan dari generasi kegenerasi mulai dari Nabi Adam
hingga ke Yunani. Menurut Arysio Santos yang telah menulis Atlantis menyebutkan
bahwa filsafat Yunani ini berasal dari Mesir, Mesir dari India (tempat
diturunkannya Nabi Adam), India dari China, dan China dari Nusantara (Indonesia). Sehingga, perlu
diadakan sebuah rekonstruksi sejarah filsafat ilmu itu sendiri, tidak hanya
bermula dan berfokus pada filsafat Barat atau filsafat Yunani saja, tetapi juga
filsafat Timur yang sangat kaya dengan tradisi ini, seperti Hindu (Astika[Tekstualitas-Naqli]
dan Nastika[Rasionalitas-Aqli]), Buddha (Madhyamika atau ajaran
Jalan Tengah [Middle-Doctrine]), China (Yin[Spiritualisme
Timur]- Yang[Tekhnologi Barat]), dan tentu saja filsafat
Tanah Jawa (Struktural[Kawulo-Gusti] dan Fungsional[Sangkan
Paraning Dumadi atau The Continuity Becoming dan Dumadining
Sangkan Paran atau The Becoming Of Continuity]).[48]
Menurut hemat penulis memang perlu diadakan rekonstruksi sejarah filsafat ilmu
sebab hal ini adalah keniscayaan.
3.
Ma’na ism
4.
Filsafat Ketuhanan Ibrahim
Nabi Ibrahim Mencari Tuhan: “Aku tidak Suka Yang Tenggelam” “Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata,
‘Inilah Tuhanku?’ Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak
suka kepada yang tenggelam’.” – QS Al-An’am (6): 76.
Nabi Ibrahim AS hidup di tengah bangsa Suryaniyyah di tanah
Babilonia. Masyarakat yang di bawah naungan pemerintahan raja Namrudz itu
memeluk berbagai agama, tetapi tidak satu pun yang menyembah agama tauhid.
Agama yang mereka peluk adalah agama para penyembah berhala, matahari, bulan,
bintang, dan lain-lain.
Sejak kecil, Nabi Ibrahim berbaur dengan masyarakat yang menyembah
berbagai agama duniawi itu. Bahkan, ayah Nabi Ibrahim sendiri, Azar, selain penyembah
berhala, juga pemahat patung. Jadi, dalam lingkungan keluarganya sendiri,
kepercayaan menyembah patung berkembang dengan subur.
Alhamdulillah, Nabi Ibrahim, yang memang sejak kecil telah dipilih
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengemban pesan-pesan Allah dalam agama tauhid,
terhindar dari pengaruh buruk itu. Ketika masih remaja, Nabi Ibrahim
mempertanyakan ihwal penyembahan matahari dan bulan kepada sekelompok anggota
masyarakat di sekitarnya. Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi,
terjadilah perdebatan antara Nabi Ibrahim dan mereka.
Ketika Allah Ta’ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi
kepada Nabi Ibrahim, ceritanya adalah
sebagai berikut:
Ketika malam telah gelap dan menutupi alam bumi sekitarnya, beliau
memandang kerajaan langit. Dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol
daripada bintang-bintang lainnya, karena sinarnya yang berkilauan, yaitu
bintang yang merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari
bangsa Yunani dan Romawi kuno.
Ketika melihat kejadian itu, Ibrahim berkata, “Inilah Tuhanku.” –
QS Al-An’am (6): 76.
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, Nabi Ibrahim berkata,
“Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang tenggelam.”
Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Al-Qisthas Al-Mustaqim
(Neraca Kebenaran) menguraikan ihwal ilmu mantiq dengan menggunakan contoh
kisah Al-Khalil Ibrahim. Logika dari perkataan Nabi Ibrahim AS adalah
bahwasanya Tuhan tidak bisa terbenam, sedang bintang bisa terbenam, maka
bintang bukanlah Tuhan.
Begitu juga, ketika di lain malam, sebagaimana dinukil di dalam
Al-Qur’an surah Al-an’am ayat 77-79, Nabi Ibrahim melihat permulaan terbitnya
bulan dari balik ufuk, ia berkata, “Inilah Tuhanku.”
Namun pada siang harinya, Nabi Ibrahim menunjuk kepada matahari, beliau
berkata, “Yang aku lihat sekarang inilah Tuhanku.” Mengapa? Karena, “Ia lebih
besar dari bintang dan bulan.”
Namun ketika matahari tenggelam, padahal ia tampak lebih besar,
cahayanya lebih terang, dan sinarnya lebih tajam daripada bulan dan bintang, Nabi
Ibrahim berkata sambil memperdengarkannya kepada orang-orang di sekitarnya,
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan, Yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanifa’), dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” – QS Al-An’am (6): 79.
Demikianlah contoh pertumbuhan atau perkembangan iman yang terjadi
pada semua manusia. Allah mencontohkan Nabi Ibrahim, sebab beliau akan
dijadikan imam, contoh untuk orang yang ingin mencapai imam tauhid yang
sempurna.
5.
Keilmuan Idris
Para ahli sejarah menetapkan, Nabi Idris hidup sekitar
tahun 4500-4188 SM. Berbagai peradaban yang telah ditinggalkannya itu kemudian
diteruskan oleh generasi berikutnya. Para pengikut Nabi Idris AS dan orang yang
tidak mau mengikuti seruannya, meneruskan cara-cara yang dilakukan beliau,
seperti menulis, menjahit, mengukur, dan lain sebagainyaBeberapa tahun lalu,
ilmuwan modern dan para ahli arkeologi berhasil menemukan sejumlah perabotan
dan barang-barang yang diperkirakan sudah ada sejak 4000 tahun yang lalu.
Benda-benda itu antara lain adalah sebuah lempengan dari tanah yang berasal
dari masa Sumeria. Di atas lempengan itu terdapat tulisan tentang matematika
dalam bentuk tulisan huruf paku.
Selain itu, berbagia benda purbakala yang diyakini
merupakan perbendaharaan bangsa Sumeria kuno yang ditemukan adalah pemberat
dari logam, bejana antik yang terbuat dari tanah liat berbentuk kendi, gelas,
dan lainnya yang diperkirakan dibuat pada 4000 SM. Demikian juga sbeuah
lempengan batu yang di atasnya terdapat ukiran atau lukisan yang menggambarkan
orang bercocok tanam pada beradaban negara-negara (kecil) di kota Irak dibagian
selatan dan tengah.
b. Pakar Ilmu Perbintangan (Astronomi)
Bangsa Sumeria kuno (4500-1700 SM) dikenal sebagai
bangsa yang memiliki peradaban tertinggi dan tertua di dunia. Berbagai macam
bangunan dan kebudayaan lahir dari wilayah ini. Salah satunya adalah taman
gantung di Babilonia.
Nabi Idris AS, selain dikenal sebagai manusia pertama
yang menulis dengan pena, beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali
menggunakan bintang sebagai penunjuk arah, waktu bercocok tanam, memperkirakan
kondisi cuaca, dan lain sebagainya. Beliau juga merupakan manusia pertama yang
menjahit pakaian. Menurut sebuah riwayat, bangsa Sumeria telah mempelajari ilmu
perbintangan untuk mengetahui masa bercocok tanam yang baik. Misalnya, rasi
bintang Taurus yang dipercaya sebagai masa awal musim semi dan cocok untuk
menanam, sedangkan rasi bintang virgo dipergunakan saat tepat untuk memanen.
Bangsa Sumeria kuno (Irak saat ini) juga dikenal
sebagai bangsa pertama yang membuat pembagian bulan dalam setahun menjadi 12
bulan sekaligus membaginya dalam tabel. Selama ini, banyak yang menganggap,
bangsa Yunani sebagai penemu atau bangsa yang membagi jumlah bilangan bulan
dalam setahun. Dalam Al Qur’an, telah dijelaskan tentang pembagian bulan dalam
setahun, yakni sebanyak 12 bulan. (Lihat surah At-Taubah [9]: 36). Dalam
dunia modern, ilmu astronomi atau perbintangan baru ditemukan oleh Nicolas
Copernicus (1473-1543 M). Ia mengemukakan,, bumi berputar pada porosnya, bulan
berputar mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semua beredar
mengelilingi matahari. Salah seorang tokoh muslim yang dikenal sebagai ahli
astronomi adalah Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973-1041 M). Ia lebih
dulu mengemukakan teori dan ilmu perbintangan dibandingkan Nicolas Copernicus.
Al-Biruni menulis sebuah buku tentang teori ilmu perbitangan yang
dipersembahkan pada Sultan Mas’ud dari Ghazna dengan judul Al-Jamahir fi
Ma’rifati al Jawahir.
Apa yang dilakukan Nabi Idris AS, kini telah
diteruskan oleh ilmuwan masa kini untuk mengembangkan teori perbintangan,
membuat kalender, menentukan awal bulan, gerhana matahari dan bulan, serta ilmu
lainnya yang berkaitan dengan ilmu perbintangan.
c. Pelajaran dari Nabi Idris AS
Nah teman-teman, apa jadinya bila manusia tak pernah
menemukan kain untuk pakaian?, mungkin sampai saat ini, manusia masih
menggunakan daun, kulit binatang, atau semacamnya untuk dijadikan penutup
badan. Begitu juga kalau tidak ditemukan mesin jahit, mungkin sampai sekarang
pakaian atau kain tidak akan pernah rapi dan kuat. Tahun 1755, Charles
Weisenthal, pria asal Jerman yang tinggal di Inggris, mematenkan jarum untuk
sebuah mesin. Tahun 1790, Thomas Saint mematenkan mesin jahit. Tahun 1810,
Blathasar Krems menemukan mesin otomatis untuk menjahit topi. Tahun 1818, John
Adam Doge dan John Knowles dari Amerika membuat mesin jahit, namun gagal
berfungsi untuk menjahit kain. Tahun 1830, Bartelemy Thimonier menciptakan
mesin jahit yang dapat berfungsi dengan baik, yaitu menggunakan satu benang dan
sebuah jarum kait, seperti bordir atau sulam. Tahun 1834, Walter Hunt sukses
juga membuat mesin serupa. Puncaknya, mesin jahit ditemukan dan berhasil dibuat
oleh Elias Howe dari Amerika Serikat sekitar tahun 1845. Banyaknya penemuan ini
membuat mereka (para penemu) saling klaim sebagai penemu pertama. Mereka pun
sibuk mematenkan karyanya.
Padahal, puluhan abad silam, tepatnya sekitar tahun
4500-4188 Sm, Nabi Idris AS telah mempelopori cara menjahit pakaian. Artinya,
Nabi Idris juga yang sebelumnya menggunakan pakaian berjahit hasil karyanya.
Sebelum itu, banyak kaumnya menggunakan pakaian dari bulu atau kulit binatang.
Beberapa abad kemudian, Nabi Daud AS mengajari ummat manusia untuk membuat
pakaian yang terbuat dari besi sebagai perisai diri. Ini dilakukan sekitar
tahun 1041-971 SM, jauh sebelum para ahli penemu mesin jahit dan jarum itu
berdebat tentang hasil temuan mereka.
d. Tempat Tertinggi
“Dan, Kami
tempatkan ia ke tempat (martabat) yang tertinggi.” (QS Maryam
[19]: 57).
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat
tersbut mengenai diangkatnya Nabi Idris AS. Apakah ia diangkat ke surga,
meninggal dunia di atas langit, atau hal itu menunjukkan akan kemuliaan Nabi
Idris AS?. Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan juga dalam Qishash al-Anbiyaa’ menyatakan,
riwayat yang paling kuat mengenai ayat tersebut adalah Nabi Idris AS diangkat
ke langit untuk diambil nyawanya.
Hal ini diperkuat dengan keterangan yang diriwayatkan
dari Ka’ab atas pertanyaan dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan dari Yunus,
dari Abdul A’laa dari Ibn Wahab, dari Jarir bin Hazim, dari Al-A’masy, dari
Syamr bin Athiyah dan dari Hilal bin Yasar. Bukhari meriwayatkan pertemuan
RAsulullah SAW dengan Nabi Idris AS di langit ke-empat saat Isra dan Mi’raj.
Memang hampir
sama istilah yang saya tulis dengan Tulisan
Mas Sumarthana, tetapi maksud dan maknanya berbeda. Teologia Religionom yang
saya maksud adalah sebuah konsep yang satu antara Teologi dengan Filsafat yang
dikenal dengan istilah Prisca teologia atau prisca Philosophia. Teologia
Religionom adalah prisca Teologia dan Philosophia. Konsep ini sudah ada jauh
sejak jaman Hermes atau Nabi Idris dalam tradisi Islam. Dimana Teologi dan
Filsafat merupakan misi profetik dari para nabi dan para filosof untuk
memberikan jawaban dan membebaskan manusia dari semua problematikanya. Teologia
Religionom yang saya maksud adalah teologi agama-agama yang mengajarkan bagi
para pemeluknya konsep keimanan, ritual dan social. Disamping itu, teologia
Religionom memuat konsep hukum dan tata cara keimanan dengan praksis kehidupan
sehari, bagaimana orang beriman dengan teologia mampu memberikan jawaban
terhadap problematika umatnya dalam segala aspek kehidupan.
Konsep awal
dari prisca theologia dan philosophia dari Hermes. Konsep ini sama dengan misi
profetik nabi-nabi atau konsep Nubuwah dalam Islam. Salah satunya adalah
bagaimana orang beriman atau beragama berhadapan dengan kehidupan sosialnya
termasuk hubungan antar agama, kepercayaan dan iman. Tetapi misi kenabian atau
Nubuwah tidak hanya itu, tetapi juga bagaiman memberikan pembebasan terhadap
ketertindasan, keterasingan dan diskriminasi melalui pintu teologi. Jadi saya
memakai istilah ini berangkat dari istilah yang dikembangkan oleh Hermes dengan
prisca teologia dan Philosophia. Dulu anatara agama dan filsafat merupakan satu
kesatuan. Agama dengan filsaat mempunyai misi kenabian. Mas Sumarthana memakai
teologia Religoonum kepada hubungan antar agama, terbatas
pada segmen prisca teologia dan philosophia keterkaitannya dengan filsafat
perennial. Konsep itu juga benar dan relevan dengan yang digagas Hermes. Kalau teologia reliogonom yang digagas
Mas Sumarthana memang sulit untuk dicari benang merahnya dengan teologi
pembebasan, karena ibarat bumi dengan langit. Tetapi kalu dikembalikan dengan
konsepnya Hermes dengan priscateologia- philosophia maka ada benang merahnya.
Bagaimana para filosof seperti Socrates yang dianggap mengajarkan kepercayaan
yang sesat di Yunani karena mengajarkan adanya konsep monoteisme. Bagaimana
aristoteles dikejar-kejar oleh RajaYunani penganti Alexander. Semua itu
mengajarkan pembebasan baik dari ritual, sosial maupun etika. Hanya saja,
Teologia religionom yang digagas oleh Hermes pecah sendiri-sendiri setelah institusi agama, baik
semethik maupun non semetik hadir, sehingga teologi lebih cenderung pada agama
sedangkan filsafat pada rasionalisme. Padahal Ibrahim merupakan icon nabi dan
Filosof, bagaimana seorang Ibrahim mencari Tuhannya dan bagimana Ibrahim
membebaskan masyrakatnya dari hegemoni Namrud.
REFERENSI
Al-Fakhrurrozi,
Muhammad Bin Umar Bin Husain Bin Hasan Bin Ali Al-Bakri, Tafsir Al-Kabir,
Beirut Lebanon: Dar Ihya’ At-Turast Al-Arobi, 1997.
Al-Khozin, ‘Ala
Ad-Din Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Beirut :
Dar- al-Fikr, 1979.
Al-Baghowi, Abi
Muhammad Al-Husain Bin Mas’ud Al-Farro’, Tafsir al-Bahgowi, Beirut: Dar-al-Fikr,
1979.
Al-Alusi,
Syihabuddin Sayyid Mahmud Al-Baghdadi. Ruh Al-Ma’ani, Mesir; Dar-Elhadith,
2005.
As-Showi, Syeikh
Ahmad al-Maliki, Syarah As-Showi Ala Tafsir Jalalain, Beirut Libanon: Dar-Alfikr
2002.
Jalaluddin as-Suyuthi
dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Beirut Lebanon: Dar-Alfikr 2002.
Nawawi, Muhammad
Bin Umar Al-Jawi, Maroh Labid, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2011.
Ibnu Katsir, Imam
Abi Al-Fada’ Al-Hafidh Ad-Damasyqi. Tafisr Al-Qur’an Al-Adhim, Beirut
Lebanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2006.
As-Shobuni, Muhammad
Ali. Shofwa Tuttafaasir. Beirut Lebanon : Dar al-Fikr, 1976.
Al-Qurthubi, Abi
Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori. Al-Jaami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, 1952.
Sudarmojo, Agus
Haryo. Perjalanan Akbar Ras Adam, PT Mizan Publika 2009.
Alatas, Ismail Fajrie.
Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta Selatan: Diwan, 2006.
Riyanto, Waryani
Fajar. Tafsir Huruf Perspektif Sufistik, Sleman Yogyakarta: Mahameru
Press, 2010.
------------------------.
Filsafat Ilmu Integratif, Pekalongan: STAIN Press, 2013.
Shihab, M. Quraish.
Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, cet.1, 2007.
------------------------.
Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet.1, 2007.
-------------------------.
Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, volume 1, 2002.
-------------------------.
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran Dan
Pemikiran, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Dale H. Schunk.
Learning Theorities An Educational Perspective, Edisi Keenam, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2012.
Makalah “Antisinonimitas”
oleh Dr. Waryani Fajar Riyanto. Dipresentasikan pada seminar Internasional
“Kedudukan Bahasa Arab Dalam Memahami Al-Qur’an Dan Hadist”.
http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/nabi ibrahim mencari tuhan aku tidak suka yang tenggelam.
Situs-Situs Dalam Al Qur’an, Dari Banjir Nuh hingga
Bukit Thursina. Syahruddin El Fikri. Republika, 2010.
Republika, 15 November 2009.
[1] Seperti telah
difahami bahwa tasawwuf dibagi menjadi empat bagian yaitu: Tasawuf
Akhalaqi dengan konsep Takholli, Tahalli dan Tajalli, Tasawuf
Amali dengan wujud Thoriqoh, Tasawuf semi falsafi dan Tasawuf
Falsafi kuliah dengan Prof. Dr. Amin Syukur.
[2]
Al-arobi, Syajaratul Kawn terjemah Pohon Eksistensi Ibnu ‘Arabi Oleh:
Deddy Djuniardi, Aauwabddam
[3] Q.S Al-Waqi’ah:57
[5] Q.S. Al-Ma’idah:3
[6] Q.S. Al-Baqarah:253
[7] Q.S. Ali
‘Imran:109
[8] Q.S
Az-Zumar:22
[9] Q.S Al-Baqarah:30
[10] Q.S. Al-An’am:166
[11] Ibnu Arobi. Syajaratul
Kawn, hlm. 1-30.
[12] Al-Alusi, Ruh
Al-Ma’ani, hlm.541 juz 2.
[13] hlm. 383
[14] hlm. 44.
[15] hlm. 44.
[16] hlm. 39.
[17] hlm. 40.
[18] hlm. 15.
[19] hlm. 70
[20] hlm. 48.
[21] hlm. 261.
[22] Lebih lengkap
baca Tafsir Al-Kabir Al-Fakhrurozi, Beirut Lebanon: Dar Ihya’ At-Turast
Al-Arobi, 1997, hlm. 384.
[23] al-Alusi, Ruh
Al-Ma’ani, hlm. 327 juz 1.
[24] Quraish
Shihab, Al-misbah, juz 1 hlm. 144.
[25] Istilah “langit
di atas” sebenarnya hanya sekedar anggapan memuliakan terhadap Tuhan. Sebab
posisi langit itu dimana sampai saat ini belum terdeteksi. Karena posisi bumi
juga mengambang tidak dibawah juga tidak diatas. Sehingga sebutan langit itu
muncul bersamaan dengan ke maha tinggian Tuhan.
[26] Sesuai dengan
definisi filsafat sendiri yaitu berfikir secara radikal.
[27] Menurut Ibnu
Khozin penghuni ardh adalah jin lihat tafsir khozin hlm.
44.
[28] Ada dua bentuk
transfer pertama Positive Transfer terjadi ketika pembelajaran terdahulu
membantu pembelajaran selanjutnya. Kedua Negative Transfer berarti bahwa
pembelajaran terdahulu bercampur dengan pembelajaran selanjutnya atau
menyulitkannya. Baca, Dale H. Schunk dalam “Learning Theorities An
Educational Perspective”, edisi keenam Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012.
Hlm. 439.
[29] Pandangan syuro
didalam Islam dengan dengan demokrasi secara umum apalagi sekuler tentu
berbeda. Sebab, jika tuhan telah memberikan ketetapan secara tegas dan pasti
maka tidak dibenarkan menentang terhadap prinsip-prinsip ajaran ilahi. Baca
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 637.
[30] Baca shofwatuttafasir,
hlm. 49.
[31] Sebagaimana
pendapat Quraish Shihab yang mengutib pendapat Ibnu Asyur lihat Tafsir
Al-Misbah volume 1, hlm. 144.
[32]Terjadi
perbedaan pendapat diantara para ulama tentang Malaikat yang dimaksud dalam
ayat ini, apakah seluruh Malaikat, yang jumlahnya hanya diketahui Allah atau
hanya sebagaian Malaikat saja? Imam al-Dhahak meriwayatkan dari Ibn Abbas
menegaskan bahwa yang dimaksud Allah swt adalah Malaikat yang memerangi jin di
bumi. Sebab, ketika jin ditempatkan dibumi mereka membuat onar dengan melakukan
perusakan dan pembunuhan. Namun, sebagian besar para Sahabat dan Tabi’in berpendapat
yang dimaksud Malaikat disini adalah seluruh Malaikat tidak ada pembatasan.
Lihat, “Tafsir Al-Kabir Al-Fakhrurozi”, Beirut Lebanon: Dar Ihya’
At-Turast Al-Arobi, 1997, hlm. 388.
[33] Nawawi, Marah
Labiid, h. 15.
[34] Ibid, hlm. 15.
[35] Quraish Shihab,
al-Misbah, hlm. 141.
[36] Baca, W.F.R, Tafsir
Huruf Perspektif Sufi, hlm. 486.
[37] Seperti yang
digembor-gemborkan oleh Darwin.
[38]
Agus Haryo Sudarmojo. Perjalanan Akbar Ras Adam, PT Mizan Publika, 2009,
hlm. 23.
[39]
Ibid, hlm, 36.
[40]
Menurut al-Baghdadi
(w. 429 H) pengarang kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq secara umum Syiah terbgai
menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terbagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Yaitu: Syiah Ghulat, Ismailiyah, Az-Zaidiyah dan Syiah Istna Asyariyah.
Syiah Istna Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah,
adalah kelompok yang mempercayai adanya dua belas Imam yang kesemuanya dari
keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra’, putri Rasulullah saw yang
dipimpin oleh Ja’far Shodiq. Baca, Qurasih Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan
Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, hlm. 63-83.
[41] al-Alusi, Ruhul
Ma’ani, hlm. 541.
[42] Ismail Fajrie
Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam Sebuah Tinjauan Ihsani, hlm.
219.
[43]
Bahasa
menurut para ahli didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tertentu atau orang lain yang
mempelajari sistem kebudayaan itu berkomunikasi atau berinteraksi. Karena
bahasa hanya dimiliki oleh manusia, maka komunikasi linguistik (komunikasi
dengan menggunakan bahasa) semata-mata terjadi pada sesama manusia. Jika
komunikasi berlangsung antara manusia dan selain manusia, yang berlangsung
adalah komunikasi nonlinguistik. Komunikasi linguistik antar manusia biasanya
menggunakan istilah lisanun, sedangkan komunikasi non-linguistik
biasanya menggunakan istilah nutqun. Makalah “ANTISINONIMITAS” Implikasi
Teori Antisinonimitas Bahasa (Arab) terhadap Penafsiran al-Qur’an Kontemporer
tentang Poligami, oleh Waryani Fajar Riyanto.
[44] Quraish
Shihab, al-Misbah, hlm. 146.
[45] Ilham adalah termasuk
salah satu dari empat bagian Wahyu, jadi Wahyu dibagi empat macam: Wahyu
Ilham, Wahyu Manam, Wahyu Risalah dan Wahyu Setan. Makalah “Antisinonimitas”
oleh Dr. Waryani Fajar Riyanto, hlm. 8-9.
[46] Disini berarti
manusia sudah memiliki konsep ide jauh sebelum konsep ide yang dicetuskan oleh
filosuf besar Yunani yaitu Plato.
[47] Quraish
Shihab, al-Misbah, hlm. 147.
[49]
http://venusofia.wordpress.com
2011 03 01 nabi idris penulis pertama dengan pena part II selesai. Di
akses tanggal 31 Mei 2013.