Sabtu, 19 Oktober 2013

Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional



A.  Pengantar
Sistem Pendidikan Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukungnya dalam setiap implementasinya, dalam rangka membangun manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga negara dan masyarakat Indonesia semangkit meningkat. Namun, apa yang nampak secara terbuka di sekitar kita bahwa, kondisi bangsa Indonesia tetap masih dalam keadaan terpuruk, dengan berbagai macam indikasi seperti perilaku amoral semakin merajalela tindak pidana korupsi dan lain-lain, yang dilakukan oleh warga Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur, tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya.
Menyadari akan kondisi riil tersebut, bukan tanpa sebab, melainkan tanpa banyak diragukan oleh kebanyakan orang bahwa Sistem Pendidikan Nasional belum berfungsi dan berperan efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bermutu, termasuk di dalamnya yaitu berakhlaq terpuji. Bahkan kalau diakui secara jujur, maka pendidikan agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil dan dampak yang positif secara berarti.
Hal ini boleh jadi disebabkan pula oleh posisi pendidikan agama Islam belum strategis. Pendidikan agama Islam belum bisa memberikan materi yang relevan, proses pendidikan (terutama pembelajarannya) belum kondusif, dan evaluasi pendidikan belum menyeluruh.
Dengan diskursus diatas maka, makalah ini mencoba Pertama, untuk menguraikan tentang Posisi Pendidikan Agama Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional. Kedua, Strategi Pendidikan Agama Islam dalam perspektif kurikulum pada orde lama (tahun 1950 dan 1964). Ketiga, Strategi Pendidikan Agama Islam dalam perspektif kurikulum pada orde baru (1968, 1975, 1984, 1994). Keempat, Strategi Pendidikan Agama Islam dalam perspektif kurikulum pada orde reformasi (2004, 2006 dan menyongsong 2013).
Dengan tujuan, kita bisa menemukan perbedaan bentuk kurikulum dari masa kemasa untuk selantunya mengetahui sisi kelemahannya kemudian, menyempurnakan dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
B.  Pembahasan
1.    Pendidikan Agama Islam Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional
Jika berbicara masalah Problematika pendidikan, maka tentu banyak hal yang perlu kita luruskan. Mewakili masalah-msalah itu setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar permasalahan. Pertama, ditinjau dari sisi filsafat keilmuan yang menegaskan kembali dalam mengkaji apapun tidak bisa lepas dari aspek ontologi (sumber ilmu), epistemologi (cara dan metode dalam mengembangkan ilmu), serta aksiologi (cara memanfaatkan ilmu). Ontologi barat memandang bahwa sumber ilmu berasal dari akal, fenomena sosial dan fenomena alam.[1] Seperti pandangan Aristoteles dan John Locke mereka beranggapan manusia mulai mempelajari ilmu pengetahuan setelah ia terlahir didunia, sehingga semua ilmu yang didapat menjadi subjek dan konstruk sosial.[2] Menurut Islam sumber ilmu tidak hanya berasal dari akal, sosial dan alam tetapi juga mengandung unsur wahyu.[3] Epistemolgi barat memandang bahwa yang dinamakan ilmu hanyalah yang dihasilkan berdasrkan riset empiris, eksperimen dan logika bebas sehingga menghasilkan ilmu sosial, sains dan filsafat. Berbeda dengan Islam yang melihat antara hal-hal yang bersifat fisik dan metafisik memiliki hubungan erat. Aksiologi barat memandang bahwa ilmu adalah netral, oleh karenanya ilmu bisa digunakan sesuai dengan kehendak manusia. Islam beranggapan ilmu dalam segi ontologi dan epsitemologi bersifat netral, tetapi dari segi penggunaannya harus didasarkan pada petunjuk Tuhan.[4]
Kedua, ditinjau dari sisi Psikologi Pendidikan. Secara umum, ada tiga mazhab pendekatan psikologi dalam belajar: Pertama, mazhab yang berangkat dari teori-teori yang mengatakan manusia pada dasarnya dilahrikan jahat. Seperti teori Sigmund Freud yang disebut dengan pemikiran pesimistik.[5] Kedua, mazhab yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya dilahrikan netral, bak “tabula rasa” atau kertas putih. Sehingga lingkunganlah yang membentuk seprti pemikiran Skinner yang disebut pemikiran deterministik.[6] Ketiga, mazhab yang mengatakan bahwa manusia dilahrikan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar bebas dan bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Teori mazhab ini seperti pandangan Abraham Mazlow dan Carl Rogers yang dikenal aliran optimistik.[7] Dari tiga mazhab ini tentu memiliki implikasi yang berbeda dengan cara pandang Islam yang melihat manusia secara utuh. Sedangkan psikologi barat hanya memandang apa yang nampak. Bisa disimpulkan bahwa corak berfikir barat nampak didominasi oleh intelektualitas, namun dalam ranah spirtiualitasnya lemah.
Ketiga, ditinjau dari sisi problematika modern. Modernisasi memang bisa memberikan dampak positif bagi siapapun yang siap menghadapinya namun bagi yang tidak siap akan menerima dampak negatif. Banyak problem-problem yang dihadapi sebagai tantangan dunia pendidikan khusunya pendidikan Islam di era modern ini disebabkan oleh modernnitas.
Ahmad Tafsir, menjelaskan kegagalan sistem pendidikan nasional kita adalah ada ketidaksesuaian antara Pancasila dan UUD 1945 dengan UU Nomor 20/2003. UUD 45 harus menurunkan seluruh nilai yang ada didalam Pancasila. Nilai pertama dan yang paling utama dalam Pancasila adalah Ketuhanan YME dan nilai ini adalah core Pancasila. Nilai ini turun dengan sempurna dalam UUD 45 dengan bukti ungkapan “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa”. Jadi core UUD 45 adalah Ketuhanan YME. Namun yang agak disayangkan core itu tidak turun secara sempurna ke dalam UU Nomor 20/2003 yang berbunyi bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, beakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[8]
Pasal ini menurut Tafsir masih belum secara konkrit menyatakan keimanan menjadi inti pendidikan nasional. Sehingga inilah yang menjadi pokok permasalahan dan akibatnya parah sekali; keimanan tidak menjadi inti kurikulum sekolah, selanjutnya pelaksanaan pendidikan disekolah tidak mejnajdikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan daln lebih jauh lulusan sekolah kita tidak memiliki keimanan yang kuat.[9]
Tetapi setidak-tidaknya telah  nampak bahwa UU Sisdiknas menjadi penengah sehingga, ada integrasi interkoneksi antara pendidikan Islam dengan pendidikan nasional yang tercermin dalam beberapa hal: Pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam pendidikan nasional, pendididikan agama Islam dengan sendirinya dimasukkan ke dalam jalur sekolah. Ketiga, meskipun pendidikan agama Islam sudah diberi status pendidikan sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama Islam memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syari’ah. Pada jurusan ini 70% muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang studi agama.[10]
Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan pendidikan yang Islami menjadi pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya (amal saleh). Dengan demikian pendidikan yang Islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai ilahiyah yang transcendental.[11]
Sehingga, sebagai subsistem pendidikan nasional, pendidikan Islam bisa menjalankan tujuan khusus yang harus dicapai, dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistennya. Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka. Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keIslaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif. Hal ini sejalan dengan trend kehidupan era modern, agama dan intelek akan saling bertemu. Dengan misi tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatif dengan memiliki ciri khas yaitu pendidikan Islam ingin mengejawantakan nilai-nilai keIslaman.[12]
2.    Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Perbincangan mengenai kurikulum[13] memang terus menuai kontroverisal. Sehingga saat ini perdebatan tentang kurikulum terus menarik untuk diikuti. Pro kontra dan berbagai kritikan terhadap kurikulum baru yang dinyatakan adalah sebagai permainan politik kekuasaan. Diakui bahwa faktor politik suatu negara dapat mempengaruhi produk kebijakannya.[14]
Indonesia telah mengalami 3 model rezim pemerintahan, yaitu rezim orda lama[15], orda baru[16] dan reformasi[17], pada setiap rezim orde terdapat perbedaan masing-masing corak kurikulum. Sehingga tidak heran apabila masyarakat beranggapan bahwa setiap ganti Menteri pasti kurikulum juga akan ikut berganti. Berikut perjalan kurikulum pendidikan agama Islam dari masa kemasa:
a.    Pendidikan Agama Islam Masa Orde Lama (tahun 1950 dan 1964)
Usaha-usaha untuk memasukkan pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah sebetulnya telah dilakukan sebelum masa kemerdekaan. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial untuk merespon mengenai pendidikan agama pada sekolah pribumi. Walaupun pemerintah kolonial saat itu tetap melarang memasukkan mata pelajaran agama pada sekolah pribumi, khususnya agama Islam, namun justru hal ini tidak menghalangi munculnya sekolah-sekolah swasta yang justru menerapkan pelajaran agama sebagai salah satu mata pelajarannya.[18] Bahkan pada masa jepang menduduk indonesia telah ada kantor urusan agama yang didirikan pada zaman belanda disebut Kantoor Voor Islamiche Zaken.[19]
Pada bulan desember 1946 dikeluarkanlah surat keputusan bersama (SKB) antara menteri PP dan K dengan menteri Agama yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama disekolah umum (negeri dan swasta), yang berbeda dibawah kementrian PP dan K. Tentu keluarnya SKB ini memunculkan semacam dualisme pendidikan di Indonesia. Selanjutnya pendidikan agama ini diatur secara khusus dalam UU nomor 4 tahun 1950 pada BAB XII pasal 20, yaitu: dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Pada tahun 1951 keluarlah peraturan bersama menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor 1432/Kab. Tanggal 20 januari 1951 (pendidikan), Nomor K1.652 tanggal 20 januari 1951 (Agama), diatur tentang peraturan pendidikan agama disekolah-sekolah. Pada bulan desember 1960 saat sidang pleno MPRS, diputuskan: melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental/agama/kebudayaan. Dalam ayat 3 pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai universitas.[20] 
Menurut Wirjosukarto, era orde lama pendidikan di Indonesia memiliki dualistis corak pendidikan; 1) sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tidak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari kolonial belanda. 2). Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbih dan berkemang dikalangan Islam, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintetis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.[21]
b.   Pendidikan Agama Islam di Masa Orde Baru (1968, 1975, 1984, 1994)
Pada tahun 1974 muncul sebuah gagasan untuk membangun pendidikan satu atap yaitu madrasah akan dilebur menjadi satu dengan sekolah umum. Untuk menjembataninya maka tahun 1975 dikeluarkanlah SKB tiga menteri yaitu menteri dalam negeri, menteri agama dan menteri pendidikan dan kebudayaan tentang peningkatan mutu madrasah. Menurut skb tersebut, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata elajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Artinya, perbandingan antara pendidikan agama dan pendidikan umum dalam kurikulum madrasah adalah 30:70.
Akhirnya, dalam rangka merealisasikan SKB tersebut, pada tahun 1976 departemen agama mengeluarkan sebuah kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah baik untuk MI, MTs maupun MA. Kurikulum itu juga dilengkapi dengan pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada madrasah, serta deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program untuk setiap bidang studi, baik untuk studi agama maupun studi pengetahuan umum. Dan yang terpenting dari SKB ini adalah: 1) ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat. 2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekola-sekolah umum setingkat lebih atas, dan 3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.[22]
c.    Pendidikan Agama Islam di Masa Reformasi (2004, 2006 dan menyongsong 2013)
Pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan agar untuk menyesuaikan dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Undang-undang yang baru tersebut adalah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional).
Dengan UU SISDIKNAS ini maka, penyelenggaraan pendidikan menjadi satu sistem dalam Pendidikan Nasional. Oleh karena dalam undang-undang tersebut sudah tidak dibedakan antara pendidikan “sekolah umum” dan madrsah sebagaimana dapat dilihat dalam undang-undang tesebut pada Bab VI tentang Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan:
“Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. [(pasal 13, ayat (1)]
“Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi”.[pasal 14]
“Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus”. [pasal 15]
Keberadaan madrasah (MA) secara jelas diatur dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0489/U/1992 tentang sekolah menengah umum, ditetapkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) yang berciri khas Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Demikian pula pada madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah menurut peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990 yang kemudian ditindak lanjuti dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0487/U/1992 Tahun 1992 dan No. 054/U/1993 tahun 1993 yang kemudian ditindak lanjuti dengan KMA No. 368/93 tanggal 22 desember 1993, bahwa MI adalah SD dan MTs adalah SLTP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Jelas bahwa UU sisdiknas berimplikasi semua jenjang Madrasah, mulai Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, secara umum perjenjangan itu paralel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah, mulai SD, SLTP sampai SLTA. Adapun isi kurikulum kalau dibandingkan 70% adalah pendidikan agama sedangkan 30% nya adalah bahan pelajaran sebagaimana di sekolah setingkat.
Integrasi pendidikan agama Islam ke dalam sistem pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, termasuk madrasah oleh departemen pendidikan nasional, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantab bahwa pendidikan agama Islam adalah sub sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan kepada departemen agama (UU Sisdiknas, Pasal 50).[23]
C.  Analisis
Sejak 2500 tahun yang lalu socrates telah berkata bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membuat orang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal saleh) dan dapat hidup secara bjak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. Kareannya. Sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara yang terhormat. Namun pendidikan ala socrates ini belum mampu memberikan sesuatu yang baru bagi perubahan peradigma pendidikan kita. Hal ini karena yang digunakan adalah Filsafat Humanisme Barat, Psikologi Pendidikannya juga barat didukung dengan Kehidupan Modern ala barat, yang menitik beratkan pada kehidupan manusia di dunia, tanpa ada hubungannya dengan Tuhan. Padahal kita tahu bahwa persoalan manusia bukan hanya masalah duniawi tetapi juga masalah ukhrowi.
Memang negara kita bukan negara sekuler tetapi juga bukan negara Islam. Namun pendidikan agama mutlak diperlukan khususnya pendidikan agama Islam. Sebab sebagian besar warga negara indonesia adalah beragama Islam. filsafat, psikologi dan pemikiran dikotomi dalam pendidikan harus direkonstruksi untuk menciptakan manusia yang memanusiakan manusia yang memahami pluralitas.
Oleh karenanya menurut Dr. KH. Hasyim Muzadi pendidikan kita harus bersifat holistik yang mendorong pertumbuhan bagi manusia dalam segala aspek baik spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah maupun bahasa. Pendidikan Islam mengembangkan segala aspek yang dimiliki manusia. Meminjam teori Bloom aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik harus selaras dengan konsep fundamentalisme Islam yaitu Iman, Ihsan dan Islam.
Dengan demikian maka, Pendidikan Agama Islam harus selalu dikembangkan dengan konsep al-muhafadoh ala qodimi as-solih wal-akhdu biljadid al-aslah dengan kurikulum yang bersifat bashirun li ahli zamanihi (peka zaman).













Referensi

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: Rosdakarya, 2012.
------------------. Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosdakarya, 2012.
 Syukur, Fatah. Sejarah Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2012.
Jurnal Studia Islamika. Hunafa, Vol. 8, no.1, Juni 2011.
Skripsi “Sejarah Studi Historis Pendidikan Islam” Nurhayati, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Armi Primarni dan Khairunnas. Pendidikan Holistik, Jakarta: al-Mawardi Prima, 2013.
Alatas, Ismail Fajrie. Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta: Diwan, 2006.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Rruz Media. 2011.
Sobur, Alex. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Tantowi, Ahmad. Pendidikan Islam Di Era Transformasi Global, Semarang: Risiki Putra, 2009.







[1] Armi Primarni dan Khairunnas, Pendidikan Holistik, hal.40.
[2] Ismail Fajrie Alatas, Konsep Ilmu Dalam Islam, hal. 267.
[3] Armi Primarni, Pendidikan Holistik, hal. 40
[4] Ibid, hal. 41-42.
[5] Ibid, hal. 43.
[6] Alex Sobur, Psikologi Umum, hal. 229.
[7] Armi Primarni, Pendidikan Holistik, hal. 45.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, hlm. 75.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, hlm. 300-304.
[10] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 160.
[11]Sulaiman Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika, hlm. 5.
[12]Ibid, hlm. 9.
[13] Definis kurikulum menurut Ahmad Tafsir: alat atau jalan untuk mencapai tujuan hidup anak-anak kita, yang juga merupakan tujuan hidup kita.
[14]Abdurrahman Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia Alam, 2005), hlm.4. Dalam Skripsi “Sejarah Studi Historis Pendidikan Islam” Nurhayati, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
[15] Pada rentang waktu tahun 1945-1949 dikeluarkannya kurikulum 1947. Tahun 1950-1951 ditetapkannya kurikulum 1952. Terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum 1964. Rezim pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Ir. Soekarno.
[16] Pada masa orde baru lahir empat kurikulum. 1968 ditetapkan kurikulum dan berlaku sampai tahun 1957. Selanjutnya muncul kurikulum 1975. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendektan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru yakni kurikulum 1994. Kurikulum ini menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan oleh rezim orde baru yang dipimpinoleh pemerintahan Soeharto.
[17] Era reformasi muncul kurikulum 2004 yang biasa disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan standar kompetensi yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau (KTSP)
[18] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal. 24.
[19] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam. Hal. 135.
[20] Ibid. Hal. 137-139.
[21] Syamsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Hal. 30-31.
[22] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam Di Era Transformasi Global, hal. 45-46.
[23] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 156-160.