A.
Pengantar
Sistem
Pendidikan Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mendukungnya dalam setiap implementasinya, dalam rangka
membangun manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga
negara dan masyarakat Indonesia semangkit meningkat. Namun, apa yang nampak
secara terbuka di sekitar kita bahwa, kondisi bangsa Indonesia tetap masih
dalam keadaan terpuruk, dengan berbagai macam indikasi seperti perilaku amoral
semakin merajalela tindak pidana korupsi dan lain-lain, yang dilakukan oleh
warga Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur,
tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya.
Menyadari akan
kondisi riil tersebut, bukan tanpa sebab, melainkan tanpa banyak diragukan oleh
kebanyakan orang bahwa Sistem Pendidikan Nasional belum berfungsi dan berperan
efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bermutu, termasuk di dalamnya
yaitu berakhlaq terpuji. Bahkan kalau diakui secara jujur, maka pendidikan
agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil dan dampak
yang positif secara berarti.
Hal
ini boleh jadi disebabkan pula oleh posisi pendidikan agama Islam belum
strategis. Pendidikan agama Islam belum bisa memberikan materi yang relevan,
proses pendidikan (terutama pembelajarannya) belum kondusif, dan evaluasi
pendidikan belum menyeluruh.
Dengan
diskursus diatas maka, makalah ini mencoba Pertama, untuk menguraikan
tentang Posisi Pendidikan Agama Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional. Kedua,
Strategi Pendidikan Agama Islam dalam perspektif kurikulum pada orde lama
(tahun 1950 dan 1964). Ketiga, Strategi Pendidikan Agama Islam dalam
perspektif kurikulum pada orde baru (1968, 1975, 1984, 1994). Keempat,
Strategi Pendidikan Agama Islam dalam perspektif kurikulum pada orde reformasi
(2004, 2006 dan menyongsong 2013).
Dengan
tujuan, kita bisa menemukan perbedaan bentuk kurikulum dari masa kemasa untuk
selantunya mengetahui sisi kelemahannya kemudian, menyempurnakan dan menyesuaikannya
dengan perkembangan zaman.
B.
Pembahasan
1. Pendidikan Agama
Islam Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional
Jika berbicara masalah Problematika pendidikan,
maka tentu banyak hal yang perlu kita luruskan. Mewakili masalah-msalah itu
setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar permasalahan. Pertama,
ditinjau dari sisi filsafat keilmuan yang menegaskan kembali dalam mengkaji
apapun tidak bisa lepas dari aspek ontologi (sumber ilmu), epistemologi (cara
dan metode dalam mengembangkan ilmu), serta aksiologi (cara memanfaatkan ilmu).
Ontologi barat memandang bahwa sumber ilmu berasal dari akal, fenomena sosial
dan fenomena alam.[1]
Seperti pandangan Aristoteles dan John Locke mereka beranggapan manusia mulai
mempelajari ilmu pengetahuan setelah ia terlahir didunia, sehingga semua ilmu
yang didapat menjadi subjek dan konstruk sosial.[2] Menurut Islam
sumber ilmu tidak hanya berasal dari akal, sosial dan alam tetapi juga
mengandung unsur wahyu.[3]
Epistemolgi barat memandang bahwa yang dinamakan ilmu hanyalah yang dihasilkan
berdasrkan riset empiris, eksperimen dan logika bebas sehingga menghasilkan
ilmu sosial, sains dan filsafat. Berbeda dengan Islam yang melihat antara hal-hal
yang bersifat fisik dan metafisik memiliki hubungan erat. Aksiologi barat
memandang bahwa ilmu adalah netral, oleh karenanya ilmu bisa digunakan sesuai
dengan kehendak manusia. Islam beranggapan ilmu dalam segi ontologi dan
epsitemologi bersifat netral, tetapi dari segi penggunaannya harus didasarkan
pada petunjuk Tuhan.[4]
Kedua, ditinjau dari sisi Psikologi Pendidikan. Secara umum,
ada tiga mazhab pendekatan psikologi dalam belajar: Pertama, mazhab yang
berangkat dari teori-teori yang mengatakan manusia pada dasarnya dilahrikan
jahat. Seperti teori Sigmund Freud yang disebut dengan pemikiran pesimistik.[5] Kedua,
mazhab yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya dilahrikan netral, bak
“tabula rasa” atau kertas putih. Sehingga lingkunganlah yang membentuk seprti
pemikiran Skinner yang disebut pemikiran deterministik.[6] Ketiga,
mazhab yang mengatakan bahwa manusia dilahrikan baik. Tingkah laku manusia
dengan sadar bebas dan bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang
berasal dari dalam dirinya sendiri. Teori mazhab ini seperti pandangan Abraham
Mazlow dan Carl Rogers yang dikenal aliran optimistik.[7] Dari
tiga mazhab ini tentu memiliki implikasi yang berbeda dengan cara pandang Islam
yang melihat manusia secara utuh. Sedangkan psikologi barat hanya memandang apa
yang nampak. Bisa disimpulkan bahwa corak berfikir barat nampak didominasi oleh
intelektualitas, namun dalam ranah spirtiualitasnya lemah.
Ketiga, ditinjau dari sisi problematika modern. Modernisasi
memang bisa memberikan dampak positif bagi siapapun yang siap menghadapinya
namun bagi yang tidak siap akan menerima dampak negatif. Banyak problem-problem
yang dihadapi sebagai tantangan dunia pendidikan khusunya pendidikan Islam di era
modern ini disebabkan oleh modernnitas.
Ahmad Tafsir, menjelaskan kegagalan sistem
pendidikan nasional kita adalah ada ketidaksesuaian antara Pancasila dan UUD
1945 dengan UU Nomor 20/2003. UUD 45 harus menurunkan seluruh nilai yang ada
didalam Pancasila. Nilai pertama dan yang paling utama dalam Pancasila adalah
Ketuhanan YME dan nilai ini adalah core Pancasila. Nilai ini turun
dengan sempurna dalam UUD 45 dengan bukti ungkapan “atas berkat Rahmat Allah
Yang Maha Esa”. Jadi core UUD 45 adalah Ketuhanan YME. Namun yang
agak disayangkan core itu tidak turun secara sempurna ke dalam UU Nomor
20/2003 yang berbunyi bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang maha Esa, beakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[8]
Pasal ini menurut Tafsir masih belum secara
konkrit menyatakan keimanan menjadi inti pendidikan nasional. Sehingga inilah yang
menjadi pokok permasalahan dan akibatnya parah sekali; keimanan tidak menjadi
inti kurikulum sekolah, selanjutnya pelaksanaan pendidikan disekolah tidak
mejnajdikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan daln
lebih jauh lulusan sekolah kita tidak memiliki keimanan yang kuat.[9]
Tetapi setidak-tidaknya telah nampak bahwa UU Sisdiknas menjadi penengah
sehingga, ada integrasi interkoneksi antara pendidikan Islam dengan pendidikan
nasional yang tercermin dalam beberapa hal: Pertama, pendidikan nasional
menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur
dan jenis pendidikan. Kedua, dalam pendidikan nasional, pendididikan
agama Islam dengan sendirinya dimasukkan ke dalam jalur sekolah. Ketiga,
meskipun pendidikan agama Islam sudah diberi status pendidikan sekolah, tetapi
sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan
agama Islam memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syari’ah. Pada jurusan ini
70% muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang studi agama.[10]
Dengan adanya peraturan pemerintah ini
diharapkan pendidikan yang
Islami menjadi pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan
dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri
dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap manusia mampu meningkatkan
dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi
seluruh bentuk kerja kemanusiannya (amal saleh). Dengan demikian pendidikan
yang Islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama
yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada
manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh
aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai ilahiyah yang
transcendental.[11]
Sehingga, sebagai subsistem pendidikan
nasional, pendidikan Islam bisa menjalankan tujuan khusus yang harus dicapai,
dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan
nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistennya. Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan
nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang
takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka.
Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah
mewujudkan nilai-nilai keIslaman di dalam pembentukan manusia Indonesia.
Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif.
Hal ini sejalan dengan trend kehidupan era modern, agama dan intelek
akan saling bertemu. Dengan misi tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatif dengan memiliki ciri khas yaitu pendidikan Islam ingin mengejawantakan
nilai-nilai keIslaman.[12]
2. Kurikulum Pendidikan
Agama Islam
Perbincangan mengenai kurikulum[13] memang
terus menuai kontroverisal. Sehingga saat ini perdebatan tentang
kurikulum terus menarik untuk diikuti. Pro kontra dan berbagai kritikan
terhadap kurikulum baru yang dinyatakan adalah sebagai permainan politik kekuasaan.
Diakui bahwa faktor politik suatu negara dapat mempengaruhi produk
kebijakannya.[14]
Indonesia telah mengalami 3 model rezim
pemerintahan, yaitu rezim orda lama[15], orda
baru[16] dan
reformasi[17],
pada setiap rezim orde terdapat perbedaan masing-masing corak kurikulum.
Sehingga tidak heran apabila masyarakat beranggapan bahwa setiap ganti Menteri pasti
kurikulum juga akan ikut berganti. Berikut perjalan kurikulum pendidikan agama Islam
dari masa kemasa:
a. Pendidikan Agama
Islam Masa Orde Lama (tahun 1950 dan 1964)
Usaha-usaha untuk memasukkan pendidikan agama sebagai
salah satu mata pelajaran di sekolah sebetulnya telah dilakukan sebelum masa
kemerdekaan. Hal ini
dapat terlihat dari adanya beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
kolonial untuk merespon mengenai pendidikan agama pada sekolah pribumi.
Walaupun pemerintah kolonial saat itu tetap melarang memasukkan mata pelajaran
agama pada sekolah pribumi, khususnya agama Islam, namun justru hal ini
tidak menghalangi munculnya sekolah-sekolah swasta yang justru menerapkan pelajaran
agama sebagai salah satu mata pelajarannya.[18] Bahkan
pada masa jepang menduduk indonesia telah ada kantor urusan agama yang
didirikan pada zaman belanda disebut Kantoor Voor Islamiche Zaken.[19]
Pada bulan desember 1946 dikeluarkanlah surat
keputusan bersama (SKB) antara menteri PP dan K dengan menteri Agama yang
mengatur pelaksanaan pendidikan agama disekolah umum (negeri dan swasta), yang
berbeda dibawah kementrian PP dan K. Tentu keluarnya SKB ini memunculkan
semacam dualisme pendidikan di Indonesia. Selanjutnya pendidikan agama ini
diatur secara khusus dalam UU nomor 4 tahun 1950 pada BAB XII pasal 20, yaitu:
dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Pada tahun 1951 keluarlah
peraturan bersama menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor 1432/Kab. Tanggal 20
januari 1951 (pendidikan), Nomor K1.652 tanggal 20 januari 1951 (Agama), diatur
tentang peraturan pendidikan agama disekolah-sekolah. Pada bulan desember 1960
saat sidang pleno MPRS, diputuskan: melaksanakan Manipol Usdek di bidang
mental/agama/kebudayaan. Dalam ayat 3 pasal tersebut dinyatakan bahwa
pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah
rendah (dasar) sampai universitas.[20]
Menurut Wirjosukarto, era orde lama pendidikan
di Indonesia memiliki dualistis corak pendidikan; 1) sistem pendidikan dan
pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tidak mengenal ajaran agama,
yang merupakan warisan dari kolonial belanda. 2). Sistem pendidikan dan
pengajaran Islam yang tumbih dan berkemang dikalangan Islam, baik yang bercorak
isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintetis dengan berbagai variasi pola
pendidikannya.[21]
b. Pendidikan Agama Islam di Masa Orde Baru (1968, 1975, 1984, 1994)
Pada tahun 1974 muncul sebuah gagasan untuk
membangun pendidikan satu atap yaitu madrasah akan dilebur menjadi satu dengan
sekolah umum. Untuk menjembataninya maka tahun 1975 dikeluarkanlah SKB tiga
menteri yaitu menteri dalam negeri, menteri agama dan menteri pendidikan dan
kebudayaan tentang peningkatan mutu madrasah. Menurut skb tersebut, yang
dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagai mata elajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30%
disamping mata pelajaran umum. Artinya, perbandingan antara pendidikan agama
dan pendidikan umum dalam kurikulum madrasah adalah 30:70.
Akhirnya, dalam rangka merealisasikan SKB
tersebut, pada tahun 1976 departemen agama mengeluarkan sebuah kurikulum
sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah baik untuk MI, MTs maupun
MA. Kurikulum itu juga dilengkapi dengan pedoman dan aturan penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran pada madrasah, serta deskripsi berbagai kegiatan dan
metode penyampaian program untuk setiap bidang studi, baik untuk studi agama
maupun studi pengetahuan umum. Dan yang terpenting dari SKB ini adalah: 1)
ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat.
2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekola-sekolah umum setingkat lebih
atas, dan 3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.[22]
c. Pendidikan Agama
Islam di Masa Reformasi (2004, 2006 dan menyongsong 2013)
Pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut
kemudian disempurnakan agar untuk menyesuaikan dengan amanat perubahan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Undang-undang yang baru
tersebut adalah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan
Nasional).
Dengan UU SISDIKNAS ini maka, penyelenggaraan
pendidikan menjadi satu sistem dalam Pendidikan Nasional. Oleh karena dalam
undang-undang tersebut sudah tidak dibedakan antara pendidikan “sekolah umum”
dan madrsah sebagaimana dapat dilihat dalam undang-undang tesebut pada Bab VI
tentang Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan:
“Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non
formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. [(pasal 13,
ayat (1)]
“Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi”.[pasal 14]
“Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan dan khusus”. [pasal 15]
Keberadaan madrasah (MA) secara jelas diatur
dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0489/U/1992 tentang
sekolah menengah umum, ditetapkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah
Umum (SMU) yang berciri khas Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Demikian pula pada madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah menurut
peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990 yang kemudian ditindak lanjuti dengan SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0487/U/1992 Tahun 1992 dan No. 054/U/1993
tahun 1993 yang kemudian ditindak lanjuti dengan KMA No. 368/93 tanggal 22
desember 1993, bahwa MI adalah SD dan MTs adalah SLTP yang berciri khas agama Islam
yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Jelas bahwa UU sisdiknas berimplikasi semua
jenjang Madrasah, mulai Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, secara umum
perjenjangan itu paralel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah, mulai SD,
SLTP sampai SLTA. Adapun isi kurikulum kalau dibandingkan 70% adalah pendidikan
agama sedangkan 30% nya adalah bahan pelajaran sebagaimana di sekolah
setingkat.
Integrasi pendidikan agama Islam ke dalam sistem pendidikan
nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti penyelenggaraan
dan pengelolaan pendidikan, termasuk madrasah oleh departemen pendidikan nasional,
tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantab bahwa pendidikan agama Islam
adalah sub sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan
kepada departemen agama (UU Sisdiknas, Pasal 50).[23]
C. Analisis
Sejak 2500 tahun yang lalu socrates telah
berkata bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membuat orang menjadi “good and
smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang
dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal saleh) dan
dapat hidup secara bjak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga,
bermasyarakat dan bernegara. Kareannya. Sebuah sistem pendidikan yang berhasil
adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan
dalam mewujudkan sebuah negara yang terhormat. Namun pendidikan ala socrates
ini belum mampu memberikan sesuatu yang baru bagi perubahan peradigma
pendidikan kita. Hal ini karena yang digunakan adalah Filsafat Humanisme Barat,
Psikologi Pendidikannya juga barat didukung dengan Kehidupan Modern ala barat,
yang menitik beratkan pada kehidupan manusia di dunia, tanpa ada hubungannya
dengan Tuhan. Padahal kita tahu bahwa persoalan manusia bukan hanya masalah duniawi
tetapi juga masalah ukhrowi.
Memang negara kita bukan negara sekuler tetapi
juga bukan negara Islam. Namun pendidikan agama mutlak diperlukan khususnya
pendidikan agama Islam. Sebab sebagian besar warga negara indonesia adalah
beragama Islam. filsafat, psikologi dan pemikiran dikotomi dalam pendidikan
harus direkonstruksi untuk menciptakan manusia yang memanusiakan manusia yang
memahami pluralitas.
Oleh karenanya menurut Dr. KH. Hasyim Muzadi
pendidikan kita harus bersifat holistik yang mendorong pertumbuhan bagi manusia
dalam segala aspek baik spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah
maupun bahasa. Pendidikan Islam mengembangkan segala aspek yang dimiliki
manusia. Meminjam teori Bloom aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik harus
selaras dengan konsep fundamentalisme Islam yaitu Iman, Ihsan dan Islam.
Dengan demikian maka, Pendidikan Agama Islam harus
selalu dikembangkan dengan konsep al-muhafadoh ala qodimi as-solih wal-akhdu
biljadid al-aslah dengan kurikulum yang bersifat bashirun li ahli
zamanihi (peka zaman).
Referensi
Tafsir, Ahmad. Ilmu
Pendidikan Islami, Bandung: Rosdakarya, 2012.
------------------.
Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosdakarya, 2012.
Syukur, Fatah. Sejarah Pendidikan Islam,
Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2012.
www.pendis.kemenag.go.id.PAI.file.dokumen.RenstraDitpais.pdf diakses
tanggal 08-03-2013.
Jurnal Studia Islamika.
Hunafa, Vol. 8, no.1, Juni 2011.
Skripsi “Sejarah
Studi Historis Pendidikan Islam” Nurhayati, Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Armi Primarni
dan Khairunnas. Pendidikan Holistik, Jakarta: al-Mawardi Prima, 2013.
Alatas, Ismail
Fajrie. Konsep Ilmu Dalam Islam, Jakarta: Diwan, 2006.
Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Ar-Rruz Media. 2011.
Sobur, Alex. Psikologi
Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Tantowi, Ahmad.
Pendidikan Islam Di Era Transformasi Global, Semarang: Risiki Putra,
2009.
[1] Armi Primarni dan
Khairunnas, Pendidikan Holistik, hal.40.
[2] Ismail Fajrie
Alatas, Konsep Ilmu Dalam Islam, hal. 267.
[3] Armi Primarni,
Pendidikan Holistik, hal. 40
[4] Ibid, hal.
41-42.
[5] Ibid, hal. 43.
[6] Alex Sobur, Psikologi
Umum, hal. 229.
[7] Armi Primarni,
Pendidikan Holistik, hal. 45.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islami, hlm. 75.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami, hlm. 300-304.
[10] Fatah Syukur, Sejarah
Pendidikan Islam, hlm. 160.
[11]Sulaiman
Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju
Pendidikan Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika, hlm.
5.
[12]Ibid, hlm. 9.
[13] Definis kurikulum
menurut Ahmad Tafsir: alat atau jalan untuk mencapai tujuan hidup anak-anak
kita, yang juga merupakan tujuan hidup kita.
[14]Abdurrahman
Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia Alam, 2005), hlm.4. Dalam
Skripsi “Sejarah Studi Historis Pendidikan Islam” Nurhayati, Perpustakaan
Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
[15] Pada rentang
waktu tahun 1945-1949 dikeluarkannya kurikulum 1947. Tahun 1950-1951
ditetapkannya kurikulum 1952. Terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum
1964. Rezim pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Ir. Soekarno.
[16] Pada masa orde
baru lahir empat kurikulum. 1968 ditetapkan kurikulum dan berlaku sampai tahun
1957. Selanjutnya muncul kurikulum 1975. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru
dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendektan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). Pada tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru yakni kurikulum
1994. Kurikulum ini menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan oleh rezim orde
baru yang dipimpinoleh pemerintahan Soeharto.
[17] Era reformasi
muncul kurikulum 2004 yang biasa disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan standar kompetensi
yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau (KTSP)
[18] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal.
24.
[19] Fatah Syukur, Sejarah
Pendidikan Islam. Hal. 135.
[20] Ibid. Hal.
137-139.
[21] Syamsul
Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Hal. 30-31.
[22] Ahmad Tantowi,
Pendidikan Islam Di Era Transformasi Global, hal. 45-46.
[23] Fatah Syukur,
Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 156-160.