A.
Prolog
Ketika saya melewati depan rumah tetangga, ada bendera partai PDIP
yang berwarna merah. Akhirnya kembali teringat ada sebuah istilah yang selalu
didengungkan oleh Ibu Hj. Megawati Soekarno Putri bahwa “Jangan Lupa Jas
Merah”. Ungkapan inilah yang membuat saya selalu semangat untuk kembali
mempelajari sejarah. Pun di dalam
Al-Qur’an Allah Swt berfirman dalam Surat Yusuf ayat tiga “ kami
menyampaikan kepada mu Muhammad kisah yang paling baik dengan dengan cara
mewahyukan Kitab suci al-Qur’an ini kepadamu”.[1]
Dari ayat ini pula saya semakin mantab supaya selalu melihat sejarah untuk
mengambil dua sisinya (positif dan negatif) dan menelaah ulang untuk diterapkan
di era modern ini.
Sejarah pendidikan nampaknya selalu penting untuk dipelajari supaya
kita bisa menemukan dan merumuskan sistem pendidikan yang pernah dipakai pada
masa lalu baik pada masa keemasan Islam, masa kemunduran dan masa kebangkitan.
Dari tiga masa ini ternyata pendidikan Islam memiliki dinamikanya yang selalu
berkembang mengikuti derap zaman baik, di tanah Timur Tengah terutama
(kebangkitan haramyn) dan khususnya di Indonesia.
Sejarah pendidikan di Indonesia memang tidak terlalu banyak
dibicarakan apalagi tentang Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Terbukti
para peneliti lembaga pendidikan Islam di Indonesia seperti (Karel A.
Steenbrink, Martin Van Bruinessen, Mahmud Yunus, Azyumardi Azra) masih mendapati
statemen yang berbeda dalam menetapkan kapan dan bagaimana bentuknya lembaga Islam
yang muncul pertama kali di Indonesia.
Dengan deskripsi di atas, supaya lebih menjurus terhadap silabus
yang agak membingungkan, makalah yang hadir ini saya tujukan pada dua hal, Pertama;
Tentang Kajian Ilmu Pendidikan Islam Bercorak Historis dan Kedua;
Tentang Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia Khususnya Pesantren Dengan
Atributnya. Selamat membaca!
B.
Ilmu Pendidikan Islam Bercorak Historis
Ilmu pendidikan
Islam bercorak historis adalah ilmu pendidikan yang dibangun dengan berdasar
pada sumber-sumber sejarah Islam sejak zaman klasik,[2]
pertengahan[3]
hingga zaman modern[4].
Yakni sejak zaman Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani
Abbasiyah, dinasti-dinasti kecil, kesultanan Turki Usmani, kesultanan Mughal di
India dan kesultanan Syafawi di Persia yang berkangsung sejak abad ke-7 M s.d.
18 M. [5]
Pada zaman
tersebut sejarah mencatat bahwa dunia Islam tampil sebagai pencetus, pelopor,
pemimpin, pemandu, dan pusat peradaban dunia. Pada masa itu, umat Islam bukan
hanya menguasai ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya (tafsir, hadis,
fikih, kalam, filsafat Islam, tasawuf dan sejarah kebudayaan Islam), juga
ilmu dengan berbagai cabangnya (fisika, matematika, astronomi, geometri,
kedokteran, farmasi, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain).
Kemajuan Islam
dalam bidang budaya dan peradaban tersebut selanjutnya memberikan pengaruh
terhadap kemajuan eropa dan barat. Sejarah mencatat, bahwa sejak abad ke 11 M,
terdapat sejumlah pelajar eropa dan barat yang mempelajari ilmu umum yang
dikembangkan Islam yang mereka jumpai di Bahgdad, Spanyol, dan Sisilia.
Melalui
berbagai catatan sejarah, dapat dijumpai bahwa terjadinya kemajuan Islam
tersebut karena didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan dalam arti yang
luas, yaitu pendidikan yang dilakukan pada lembaga-lembaga baik yang dibangun
oleh pemerintah, masyarakat, atau perorangan. Selain itu, kemajuan tersebut
juga didukung oleh kegiatan penelitian ilmiah, baik penelitian bayani
(al-Qur’an dan Hadis), burhani (penelitian lapangan), jadali
(kajian filosofis), istiqro’ (penelitian kuantitatif), ijbari
(penelitian eksperimen), dan ‘irfani (penelitian sufistik).
Melalui kajian
sejarah ini dapat diketahui tentang konsep dan praktik pendidikan yang pernah
dilakukan umat Islam dalam sejarah. Yakni konsep tentang lembaga pendidikan,
kurikulum, tradisi pelajar, metode dan strategi pengajaran, sarana prasarana,
pembiayaan pendidikan, dan pengelolaan pendidikan. Kita juga bisa mengetahui
bahwa umat Islam dari sejak awal kelahirannya telah memberikan perhatian besar
terhadap pembentukan kelembagaan pendidikan Islam.
Dalam buku At-Tarbiyah
Al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuna, Ahmad Syalabi membagi
institusi pendidikan Islam menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sebelum
madrasah dan kelompok sesudah madrasah.[6] Pertama, Kelompok sebelum Madrasah
di antaranya:
1.
Rumah
(al-bait), antara lain rumah al-arqam (dar al-arqam)
ketika rasulullah saw mengawali kegiatan pendidikannya di Mekkah, dan berbagai
rumah para ulama (bait al-ulama), khususnya rumah ulama-ulama senior
yang keadaan fisiknya sudah uzur. Mereka ini membuka praktik pendidikan dengan
memanfaatkan rumahnya masing-masing.
2.
Suffah, Pada masa rasulullah saw shuffah adalah suatau tempat yang telah
dipakai untuk aktifitas pendidikan. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan
shuffah yang tersebar di madinah. Salah satunya berada di masjid nabawiy
yaitu bagian dari ruangan yang terdapat di masjid al-nabawiy di madinah.[7] Di
suffah ini para pengikut nabi Muhammad saw dari kalangan muhajirin
(yang ikut berpindah dari mekkah ke madinah) bertempat tinggal sementara sambil
memperdalam pengetahuan agama dari nabi muhammad saw. Karena mereka tinggal di suffah
ini berada dalam serba kekurangan secara ekonomi, dan hidup sangat sederhana,
maka ada yang menghubungkan suffah dengan teori munculnya kaum sufi dalam Islam.
Rasulullah saw mengangkat ubaid ibn al-samit sebagai guru pada sekolah shuffah
di madinah. Dalam perkembangan berikutnya sekolah ini menawarkan pelajaran
dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.[8]
3.
Al-kuttab/maktab[9],
yaitu lembaga pendidikan tingkat pemula, yang didalamnya di ajarkan tentang
baca tulis al-qur’an, serta praktik ritualitas keagamaan, akhlak dan akidah Islamiah.
Philip K. Hitti mengatakan kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi pada
al-qur’an sebagai suatu texbook. Hal ini mencakup pengajarn membaca dan
menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab, sejarah hadis nabi, khususnya
berkiatan dengan nabi muhamma saw. Dan mulai abad ke 8 M, kuttab ini mulai
mengajarkan pengetahuan umum, hal ini disebabkan karena persentuhan budaya Islam
dengan warisan budaya helenisme[10]
sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam.
Bahkan dalam perkembangannya kuttab di bagi menjadi dua model yaitu kuttab non
agama (secular learning) dan kutab agama (religius learning).[11]
4.
Masjid[12]
yang didalamnya terdapat sistem pengajaran secara halaqah.[13] Sebagai
lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai saran
informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam.[14] Sehingga
fungsi masjid kemudian berkembang ada masjid yang ditempai shalat jum’at
disebut dengan jami’ dan masjid biasa. Jumlah jami’ di baghdad pada abad ke 11
hanya 6 jami’ saja, sedangkan masjid berjumlah ratusan. Demikian juga di
damaskus sedikit seklai jumlah jami’ namun tidak di kairo ternyata jumlah jami’
lebih banyak dari pada masjid biasa. Sebenarnya masjid atau jami’ ini memiliki
fungsi yang sama yaitu penyelenggara pendidikan namun jami’ biasanya memiliki
halaqah-halaqah, majelis-majelis, zawiyah-zawiyah yang lebih banyak dari pada
masjid biasa. Perbedaan penting antara jami’ dan masjid adalah: Pertama,
jami’ dikelola oleh otoritas penguasa
atau khalifah, sehingga mempengaruhi terhadap seluruh komponen pendidikan baik
tenaga pengajar, pembiayan dan lain-lain sedangkan masjid dikelola oleh pihak
swasta. Kedua, kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan
pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qodhi, khatib,
dan imam masjid. Pada dasarnya masjid (baik jami’ atau masjid biasa) adalah
lembaga setingkat college. Sehingga melihat keterkaitan antara masjid
dan pemerintah maka, bisa dikatakan kalau masjid adalah lembaga pendidikan
formal. [15]
Dalam artikel Imam Nasruddin[16] yang
sangat singkat ini dapatlah ditarik beberapa kesimpulan bahwa lembaga
pendidikan Islam itu ada berapa macam mulai dari yang disebut Dar al-Arqam
(zaman Nabi), kuttab (surau), madrasah (sekolah), dan masjid. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam itu terdiri dari masjid, asrama, dan
perkumpulan remaja. Pada makalah ini penulis hanya mengetengahkan masjid
sebagai alternatif lembaga pendidikan Islam. Masjid sudah sejak lama
dimanfaatkan sebagai lembaga pendidikan Islam oleh Nabi Muhammad saw, para
sahabat, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in bahkan sampai sekarang.
Masjid dijadikan lembaga pendidikan Islam karena memang tempat ini
adalah tempat yang sangat strategis untuk mengkaji ilmu umum terlebih ilmu
agama. Di samping masjid menjadi lembaga-lembaga pendidikan Islam, sebenarnya fungsi
masjid lebih banyak lagi mulai dari tempat ibadah, tempat konsultasi dan komunikasi,
tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer, tempat
pengobatan, tempat perdamaian dan pengadilan, aula dan tempat menerima tamu,
tempat tawanan, dan pusat penerangan dan pembelaan agama.
Namun pada saat sekarang ini ada kecenderungan bahwa fungsi masjid
tadi mengalami pasang surut yang terkadang menjadikan masjid sebagai ajang penonjolan
fanatisme mazhab, golongan atau individu.
5.
Al-ribath,
yaitu lembaga (sanggar) pendidikan yang didirikan oleh para guru thariqat yang
didalamnya terdapat aturan tentang tingkatan para siswa, para guru, materi
pelajaran dan sebagainya.[17] Pada
perkembangan selanjutnya, setelahmuncul madrasah, ribath hadir sebagai
pelengkap madrasah. Sejak masa dinasti saljuk ribath dan madrasah diorganisir
dalam satu garis koordinasi dan kebijakan yang sama yaitu kembali kepada
ortodoksi sunni.[18]
6.
Al-zawiyah,
yaitu tempat pengajaran spiritulitas dengan memanfaatkan sebagian dari
pinggiran masjid.
7.
Al-maristan,
yaitu rumah sakit yang selain berfungsi sebagai pelayanan medis juga untuk
melatih atau magang bagi para calon tenaga medis.
8.
Al-qushr
(istana), yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mendidik para putra
pejabat pemerintah.
9.
Al-hawanith
al-wariqin[19]
(toko buku), yaitu selain menyediakan berbagai sumber bacaan yang dibutuhkan
masyarakat juga, tempat melakukan kegiatan belajar mengajar.
10.
Al-shalun
al-adabiyah[20]
(sanggar sastra), yaitu tempat yang sengaja diadakan oleh khalifah untuk
membicarakan berbagai masalah penting, dengan cara mengundang para ulama.
11.
Al-badiyah,
yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mengajarkan bahasa arab kuno,
khususnya bagi umat Islam yang bahasa aslinya bukan bahasa arab.
12.
Observatorium,
yaitu lembaga pendidikan penilitan dan percobaan.
13.
Al-maktabat
(perpustakaan), yang berfungsi selain tempat menyimpan meminjamkan buku, juga
untuk melakukan berbagai kegiatan.
Kedua, kelompok
sesudah madrasah. Dengan demikian Ahmad Syalabi beranggapan bahwa madrasah
adalah sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Madrasah
yang dimaksud adalah Nizam Al-Mulk tahun 459 H. Namun demikian, ia juga
mengatakan bahwa institusi-institusi sebelum madrsah itu tetap dipakai sesuai
dengan sifat tradisionalnya sekalipun jumlah dan peminatnya sedikit.[21]
Menurut Stanton
madrasah pertama kali adalah Nizham Al-Mulk (1064) yang didirikan oleh Wazir
Nizhamiyyah, tetapi penelitian Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrsah
lebih tua ditemukan dikawasan Nishapur Iran. Pada tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah
Al-Baihaqiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Al-Bayhaqi (W.414/1023 M). Bulliet
bahkan menjelaskan ada 39 madrasah diwilayah Persia, yang berkembang dua abad
sebelum madrsah Nizhamiyyah, dan yang tertua adalah madrasah Miyan Dahiya yang
didirikan oleh Abu Ishaq Ibrahim Ibn Mahmud di Nishapur. Pendapat ini juga
didukung oleh sejarawan Naji Ma’ruf, bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah
165 tahun sebelum kemunculan Nizhamiyah. Selanjutnya Abd al-‘Al, mengemukakan,
pada masa Sultan Mahmud Al-Ghaznawi (berkuasa 388-420 h/998-1030m) juga
terdapat madrasah Sa’idiyah.[22]
Jika Ahmad
Syalabi membagi institusi pendidikan Islam kedalam dua kelompok maka, Hasan Abd
al-‘Al membagi institusi Islam yang muncul pada abad ke empat Hijriyah dibagi
menjadi lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: Sistem Pendidikan
Mu’tazilah, Sistem Pendidikan Ikhwan As-Shafa, Sistem Pendidikan Bercorak
Filsafat, Sistem Pendidikan Bercorak Tasawuf, dan Sistem Pendidikan Bercorak
Fiqh.[23]
Pendapat ini
disempurnakan oleh Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin, juga
menyebutkan lima sistem: sistem pendidikan bercorak teologi, sistem bercorak
syiah, bercorak fiqh dan hadis, bercorak tasawuf dan bercorak filsafat.
Pembagian yang terakhir ini, memasukkan sistem ikhwan al-safa ke dalam corak
filsafat dan memunculkan syiah, yang sudah terlihat dalam ikhwan al-safa. Dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut:[24]
No
|
Corak Pendidikan
|
Institusi Pendidikan
|
1.
|
Filsafat
|
Dar Al-Hikmah, Al-Muntadiyat, Hawanit, Waraqi’in
|
2.
|
Tasawuf
|
al-Zawiyah, al-Ribat, al-Masaajid, Halaqah al-Dzikr.
|
3.
|
Syi’ah
|
Dar Al-Hikmah, al-Masaajid, Pertemuan Rahasia
|
4.
|
Kalam
|
al-Masaajid, al-Maktab, Hawanit, al-Waraqin, al-Muntadiyat.
|
5.
|
Fiqh dan Hadis
|
Al-katatib, al-Madrasah, al-Masaajid.
|
Adanya berbagai
lembaga pendidikan Islam yang beragam tersebut di atas, dibangun oleh berbagai
kalangan yang berbeda, yakni oleh nabi (masjid dan Suffah), pengusaha (Al-Arqam),
ulama (rumah dan masjid), guru tasawuf (al-Ribath dan Zawiyah), penguasa
(madrasah, istana, Salon Adabiyah, al-Maristan, al-Badiyah, dan perpustakaan),
para peneliti dan ilmuwan (observatorium), para pedagang buku (toko buku).
Kedaan ini menunjukkan, bahwa maslah pendidikan telah menjadi perhatian,
kepedulian dan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Pada masa itu,
pendidikan telah menjadi gerakan yang telah membudaya dalam masyarakat Islam,
dan inilah yang selanjutnya memberikan kontribusi yang besar bagi kemjuan
kebudayaan dan peradaban Islam.[25]
Pada berbagai
lembaga pendidikan tersebut, juga terdapat kurikulum yang sangat beragam,
sesuai dengan visi, misi dan tujuan lembaga pendidikan tersebut. Ada kurikulum
yang isisnya khusus tentang baca tulis al-Qur’an dan dasar-dasar agama; ada
kurikulum yang isinya mengenai berbagai macam ilmu agam Islam dengan
cabang-cabangnya; ada kurikulum yang khusus berkaitan dengan ajaran tasawuf,
ilmu pengetahuan, kedokteran; keterampilan kepemimpinan, bahsa arab, sastra dan lain sebagainya.[26]
Demikian pula
guru yang mengajarnya pun berbeda-beda, sesuai dengan bidang ilmu yang
diajarkan. Masing-masing guru tersebut, memiliki kode etik, tanggung jawab,
peran dan fungsi yang secara keseluruhan berkaitan dengan keahliannya. Mereka
itu selain menguasai ilmu yang diajarkannya dengan mendalam dan komprehensif,
juga memiliki pengalaman mengajarkannya dengan baik dan efektif, kepribadian
yang baik, tradisi meneliti yang kuat serta kemampuan membangun komunikasi
dengan berbagai kalangan. Mereka itu antara lain guru dalam bidang fikih: imam
abu hanifah, imam malik, imam syafi’i, dan ahmad bin hambal; dalam bidang
kalam: Hasan Al-Bashriy, Washil Bin Atha’, Al-Juba’i, Abu Hasan Al-Asy’ari Dan
Abu Manshur Al-Maturidi; Dalam Bidang Tafsir: Ibn Abbas, Imam Ath-Thabawy, Dan
Zamakhsyari, dalam bidang hadis: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud,
Imam At-Tirmidzi, Imam Al-Nasa’i, Dan Imam Ibn Majah; dalam bidang filsafat: Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan
Ibnu Rusyd; dan dalam bidang tasawuf: Hasan Al-Bashri, Abu Yazid Al-Bustami,
Al-Hallaj, Dan Al-Ghazali.[27]
Para guru
tersebut memiliki tradisi ilmiah yang amat kuat, seperti melakukan Rihlah
Ilmiah (perjalanan menuntut ilmu), yakni melakukan perjalanan jauh dan
pengembaraan dengan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain untuk
mencari ilmu. Imam syafi’i misalnya pergi ke mekkah, madinah, kuffah dan mesir untuk
mencari ilmu; imam bukhari juga pergi mengunjungi lebih dari 13 negeri dalam
waktu 23 tahun untuk melakukan penelitian tentang hadis Nabi yang selajutnya ia
sususn dalam kitab terkenalnya shahih bukhari. Selain itu mereka juga
memiliki tradisi munadzarah (diskusi), mujadalah (berdebat),
mengoleksi buku, mendirikan lembaga kajian dan lain sebagainya.[28]
Mereka juga
telah mengembangkan strategi pengajaran dengan mencontoh pada metode dan
strategi pengajaran yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat, serta
mengembangkannya sendiri, seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab,
observasi, eksperimen, penugasan, tutorial dan lain sebagainya. Selanjutnya,
mereka juga telah melakukan penggalian dan pengembangan dana bagi kegiatan pendidikan,
yaitu melalui anggaran yang disediakan oleh pemerintah, infaq, waqaf, hibah,
bantuan dari dermawan, serta dana yang berasal dari perorangan.[29]
C.
Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Setelah
kita mengetahui lembaga-lembaga ditimur tengah seperti di Makkah, Madinah,
Persia, India dan Iran. Sekarang akan kita lihat sejarah Lembaga Pendidikan Islam
dan bentuknya di Indonesia.
Tidak
dipungkiri lagi bahwa, lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah Pesantren.[30] Namun
memang terjadi semacam perbedaan pendapat dikalangan para peneliti khususnya
peneliti Pesantren tentang sejarah kemunculannya dibumi pertiwi. Kita awali
dari Martin Van Bruinessen, beranggapan bahwa pesantren muncul mulai abad
ke-18.[31]
Apa yang menjadi anggapan Martin nampaknya, selaras dengan hasil penelitian Karel
A. Steenbrink yang menyatakan bahwa pendidikan semacam pesantren itu muncul
pada awal abad ke 19.[32]
Namun dua pendapat ini nampaknya pada perkembangan berikutnya ditolak oleh
beberapa peneliti di antaranya adalah Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati dengan
mengatakan ada tiga hal yang perlu dicermati dalam melihat perjalanan sejarah
pesantren yang muncul pada abad ke-7 M/1 H sebab sejarah membuktikan bahwa Islam
telah masuk ke Indonesia pada abad itu, tetapi baru meluas pada abad ke-13.[33] Pertama,
pesantren di era pertumbuhan (pada abad 16-18). Kedua, pesantren di era
perkembangan (pada abad 18-20). Dan ketiga, pesantren di era globalisasi
di mulai pada abad 20 hingga saat ini.[34]
Mengapa terjadi berbagai macam pendapat karena memang para peneliti kurang
mendapatkan data pada masa itu ini yang diungkapkan oleh Karel A. Steenbrink,
Martin Van Bruinessen.[35]
Kalau
kita menerima spekulasi yang ditawarkan oleh Azyumardi Azra yang mengakatakan
bahwa pesantren telah ada sebelum masa Islam, maka sangat boleh jadi ia
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan diluar istana. Dan jika
ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga “counter culture”
(budaya tandingan) terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan Istana dan
Elite Brahmana.[36]
Pesantren
tua itu adalah bercorak tradisional (salaf) yang oleh Azyumardi Azra didefinisikan
Dunia pesantren, menurut Azyumardi Azra, adalah dunia tradisional Islam, yakni
dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan
ulama dari masa kemasa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Pengertian ini berbeda dengan pengertian salaf dalam konteks kaum salafi,
dimana kaum salafi adalah mereka yang memegang paham tentang Islam pada masa
awal, yaitu periode Sahabat dan Tabi’in besar, yang belum dipengaruhi bid’ah
dan khurafat. Karena itulah kaum Salafi di indonesia sering menjadikan
pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya sebagai sasaran kritik mereka;
setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kiyai dengan tasawuf
atau tarekat.[37]
Secara
terminologis dilihat dari bentuk dan sistemnya pendidikan pesantren berasal
dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di indonesia istilah pesantren
telah dimunculkan untuk pendidikan dan pengajaran agama hindu sebagaimana yang
diuangkapakan oleh Soegarda Poerbakawatja. Namun terminologis ini ditolak oleh Mahmud
Yunus, sebab sistem yang ada dalam pesntren juga ditemukan dalam dunia Islam.[38]
Dari sisi ini berarti istilah pesantren memang bukan berasal dari Islam namun
secara sistem berasal dari Islam.
Dalam
hubungannya dengan kajian sejarah Pesantren, Kitab Kuning (KK) merupakan
tradisi yang nampaknya tidak dapat dipisahkan. Sehingga jika ada sebuah pondok
pesantren tidak menggunakan tradisi KK di dalamnya maka ruh pesantren tidak
nampak. Dalam kajian sejarah pendidikan Islam indonesia dalam lembaga pesantren
memang harus di akui sulit untuk melacak kapan waktu persis mulai terjadinya
penyebaran dan pembentukan awal tradisi KK. Historiografi tradisional dan
berbagai catatan baik lokal maupun asing tentang penyebaran Islam di indonesia
tidak menyebut judul banyak kitab yang digunakan pada masa awal perkembangan Islam
di indonesia. Meski ada beberapa Historiografi tradisional, seperti hikayat
raja-raja pasai, sejarah melayu dan semacamnya, juga tentang kitab
undang-undang yang dipakai kesultanan, sering mengutip ketentuan fikih imam
syafi’i misalnya, juga tidak menjelaskan kitab rujukannya dan tentu saja tidak
mnyinggung apakah kitab-kitab tersebut ditulis pengarangnya atau penyalinannya
di timur tengah.[39]
Momentung KK baru muncul di Indonesia—lengkap dengan nama pengarang dan judul
kitabnya—ketika para murid Jawi belajar di Haramayn[40] kembali
ketanah air khsususnya sejak abad ke-17.[41] Sedangkan
tradisi KK menurut Azyumardi Azra menjadi sebuah tradisi dalam pesantren baru
abad ke-19 ketika institusi pesantren mulai mapan. Artinya bahwa KK muncul
sebelum pesantren[42]
namun bukan berarti KK tidak dipelajari sebelumnya. Kitab klasik jelas sudah
dipelajari pada abad ke 16.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum.
Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nata,Abudin.
Sejarah Pendidikan Islam Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Grafindo
Persada, 2004.
Syukur, Fatah. Sejarah Pendidikan
Islam, Semarang: Rizqi Putra, 2011.
Munawwir,
Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam, Surabaya: Bina
Ilmu, 1985.
Nata,
Abudin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2011.
Azra.
Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Millenium III, Jakarta : Kencana, 2012.
Karel
A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1985.
Martin
Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan 1999.
Mujib
dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha. Intelektual Pesantren Jakarta:
Diva Pustaka, 2006 seri 2.
Azra,
Azyumardi. Jaringan Ulama Internasional Abad Ke XVII dan XVIII, Bandung:
Mizan, 1999.
Dyah Kumalasari, M.Pd. Diktat Pengantar Sejarah Pendidikan staff.uny.ac.id/..../diktat.pdf. di Akses tanggal 2 April
2013.
Imam nasruddin, Masjid; lembaga Pendidikan Islam (Suatu Kajian
menurut Pendidikan Islam). www.sumsel.kemenag.go.id.
Diakses tanggal 12 mei 2013.
Azra. Azyumard.i Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1998.
[1]
Q.S Yusuf ayat
3.
[2] Periode Klasik
menurut Harun Nasution mulai tahun 650-1250 dibagi menjadi dua masa yaitu masa
kemajuan Islam I tahun 650-1000 M dan masa integrasi mulai tahun 1000-1250 M.
[3] Periode
Pertengahan menurut Harun Nasution di mulai 1250-1800 M dan terbagi dalam du
masa yaitu masa kemunduran (1250-1500 M) dan masa tiga kerajaan besar (Kerajaan
Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India yang berlangsung 1500 –
1800 M).
[4] Periode ini
menurut Harun Nasution dianggap sebagai zaman kebangkitan Islam. Adanya
pendudukan napoleon di mesir yang berakhir pada 1801 M, membuka mata dunia Islam,
terutaa Turki dan Mesir, terhadap kemunduran dan kelemahan umat Islam di
samping kemajuan dan kekuatan barat.
[5] Kutipan dari
pandangan Harun Nasution dalam Abduin Nata, Studi Islam Komprehensif,
hlm. 339-357.
[6] Ahmad Syalabi,
At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuha,
Falsafatuha, Tarikhuna, dalam h. Maksum, Madrasah Sejarah Dan
Perkembangannya, hlm. 52.
[7] Abudin Nata
(terj), Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Pertengahan, Canada:
Montreal, 2000, hlm. 12. Dalam Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Periode
Klasik Dan Pertengahan, hlm. 32.
[8] Ibid, hlm. 32.
[9]
Institusi-institusi ini menurut Hasan Abd ’Al Muncul Abad ke Empat Hijriyah, H.
Maksum, Madrasah Sejarah Dan Perkembangannya, hlm. 53.
[10] Helenisme
adalah aliran
kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani (Hellas). Sejak saat
itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan. Diktat
pengantar Sejarah Pendidikan Dyah Kumalasari, M.Pd. staff.uny.ac.id/..../DIKTAT.pdf. di akses tanggal 2 april 2013.
[11] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Periode Klasik Dan Pertengahan, hlm. 34.
[12] Muncul Abad ke
Empat Hijriyah
[13] Abudin Nata, Studi
Islam Komprehensif, hlm. 217.
[14] A. Shalabiy,
History Of Moslem Education, Beirut 1954, hlm 16. Dalam Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Periode Klasik Dan Pertengahan, hlm. 37.
[15] Ibid, hlm. 38.
[16] Masjid; lembaga Pendidikan Islam (Suatu Kajian menurut Pendidikan
Islam) www.sumsel.kemenag.go.id. Diakses
tanggal 12 mei 2013.
[17] Abudin Nata, Studi
Islam Komprehensif, hlm. 218.
[18] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, hlm. 40.
[19] Muncul Abad ke
Empat Hijriyah
[20] Muncul Abad ke
Empat Hijriyah
[21] Ahmad Syalabi,
At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuha,
Falsafatuha, Tarikhuna, dalam H. Maksum, Madrasah Sejarah Dan
Perkembangannya, hlm. 52.
[22] Fatah Syukur, Sejarah
Pendidikan Islam, hlm. 48.
[23] H. Maksum, Madarsah
dan Perkembangannya, hlm. 51.
[24] Hassan
Muhammad Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin, Madaris Al-Tarbiyyah Fi
Al-Hadrah Al-Islamiyyah, Kairo: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, 1988, h. 16-23.
Dalam H. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, hlm. 51-52.
[25] Abudin Nata, Studi
Islam Komprehensif, hlm. 218.
[26] Ibid, hlm.
218.
[27] Peran guru
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan tersebut adalah saling berguru antara
satu dan lainnya: misalnya imam syafi’i
berguru kepada imam malik dan imam abu hanifah, dan imam ahmad berguru kepada
syafi’i. Demikian pula washil bin atha’ berguru kepada hasan bashri, dan
al-jubni berguru kepada washil bin atha’. Demikian seterusnya. Ini menunjukkan
bahwa, dengan tidak bermaksud melangkahi atau tidak menghormati guru ternyata
para ulama atau guru dimasa lalu tidak menghalangi murid-muridnya untuk
mengembangkan lebih jauh ilmu yang dipelajarainya. Baca Abudin Nata, Studi Islam
Komprehensif, hlm. 219.
[28] Untuk
elaborasi baca Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam,
Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
[29] Abudin Nata, Studi
Islam Komprehensif, hlm. 219
[30] Dan dewasa
ini, setidaknya dikenal tiga wadah pendidikan yang cukup mewarnai
pendidikan Indonesia di era globalisasi dan modernisasi yaitu Sekolah, Madrasah
dan Pesantren. Padahal, sebelum diadakan pembaruan sistem pendidikan, baik yang
diperkenalkan oleh kolonial Belanda maupun kaum Modernis, dikenal beberapa
pendidikan tradisional Islam di berbagai daerah di Nusantara ini seperti
Pesantren di Jawa, Surau di Minangkabau, dan Dayah di Aceh. Baca Azyumardi Azra
Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Millenium III,
Jakarta : Kencana, 2012. Hlm. 107.
[31] Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hlm. 27.
[32] Karel A.
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, hlm. 7.
[33] Enung K.
Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia h.
20.
[34] A. Mujib dkk
Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual Pesantren, h.
2.
[35] Karel, hlm. 19
dan Martin, hlm. 24.
[37] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di tengah tantangan
millenium III, hlm. 129.
[38] Seperti
dikutib dari Mahmud Yunus dalam Karel Steenbrink, hlm. 22.
[39] Azyumardi Azra,
op.cit. hlm. 143.
[40] Makkah dan
Madinah atau disebut dengan Haramayn ini merupakan latar belakang
historis kebangkitan jaringan Ulama Internasional. Baca Azyumardi Azra Jaringan
Ulama Internasional Abad ke XVII dan XVIII. Hlm. 59.
[41] Ibid, Hlm.
146.
[42] Ini merupakan
dugaan dari Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning dan Pesantren,
hlm. 27.
1xbet korean - Best legalbet betting sites
BalasHapusThe biggest and fastest way to bet on esports in South Korea is by joining one of our leading brands, 1xbet. You can have the best odds 1xbet com gh and the best live betting odds from