Sabtu, 19 Oktober 2013

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERCORAK HISTORIS



A.  Prolog
Ketika saya melewati depan rumah tetangga, ada bendera partai PDIP yang berwarna merah. Akhirnya kembali teringat ada sebuah istilah yang selalu didengungkan oleh Ibu Hj. Megawati Soekarno Putri bahwa “Jangan Lupa Jas Merah”. Ungkapan inilah yang membuat saya selalu semangat untuk kembali mempelajari sejarah.  Pun di dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman dalam Surat Yusuf ayat tiga “ kami menyampaikan kepada mu Muhammad kisah yang paling baik dengan dengan cara mewahyukan Kitab suci al-Qur’an ini kepadamu”.[1] Dari ayat ini pula saya semakin mantab supaya selalu melihat sejarah untuk mengambil dua sisinya (positif dan negatif) dan menelaah ulang untuk diterapkan di era modern ini.
Sejarah pendidikan nampaknya selalu penting untuk dipelajari supaya kita bisa menemukan dan merumuskan sistem pendidikan yang pernah dipakai pada masa lalu baik pada masa keemasan Islam, masa kemunduran dan masa kebangkitan. Dari tiga masa ini ternyata pendidikan Islam memiliki dinamikanya yang selalu berkembang mengikuti derap zaman baik, di tanah Timur Tengah terutama (kebangkitan haramyn) dan khususnya di Indonesia.
Sejarah pendidikan di Indonesia memang tidak terlalu banyak dibicarakan apalagi tentang Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Terbukti para peneliti lembaga pendidikan Islam di Indonesia seperti (Karel A. Steenbrink, Martin Van Bruinessen, Mahmud Yunus, Azyumardi Azra) masih mendapati statemen yang berbeda dalam menetapkan kapan dan bagaimana bentuknya lembaga Islam yang muncul pertama kali di Indonesia.  
Dengan deskripsi di atas, supaya lebih menjurus terhadap silabus yang agak membingungkan, makalah yang hadir ini saya tujukan pada dua hal, Pertama; Tentang Kajian Ilmu Pendidikan Islam Bercorak Historis dan Kedua; Tentang Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia Khususnya Pesantren Dengan Atributnya. Selamat membaca!

  
B.  Ilmu Pendidikan Islam Bercorak Historis
Ilmu pendidikan Islam bercorak historis adalah ilmu pendidikan yang dibangun dengan berdasar pada sumber-sumber sejarah Islam sejak zaman klasik,[2] pertengahan[3] hingga zaman modern[4]. Yakni sejak zaman Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, dinasti-dinasti kecil, kesultanan Turki Usmani, kesultanan Mughal di India dan kesultanan Syafawi di Persia yang berkangsung sejak abad ke-7 M s.d. 18 M. [5]
Pada zaman tersebut sejarah mencatat bahwa dunia Islam tampil sebagai pencetus, pelopor, pemimpin, pemandu, dan pusat peradaban dunia. Pada masa itu, umat Islam bukan hanya menguasai ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya (tafsir, hadis, fikih, kalam, filsafat Islam, tasawuf dan sejarah kebudayaan Islam), juga ilmu dengan berbagai cabangnya (fisika, matematika, astronomi, geometri, kedokteran, farmasi, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain).
Kemajuan Islam dalam bidang budaya dan peradaban tersebut selanjutnya memberikan pengaruh terhadap kemajuan eropa dan barat. Sejarah mencatat, bahwa sejak abad ke 11 M, terdapat sejumlah pelajar eropa dan barat yang mempelajari ilmu umum yang dikembangkan Islam yang mereka jumpai di Bahgdad, Spanyol, dan Sisilia.
Melalui berbagai catatan sejarah, dapat dijumpai bahwa terjadinya kemajuan Islam tersebut karena didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan dalam arti yang luas, yaitu pendidikan yang dilakukan pada lembaga-lembaga baik yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat, atau perorangan. Selain itu, kemajuan tersebut juga didukung oleh kegiatan penelitian ilmiah, baik penelitian bayani (al-Qur’an dan Hadis), burhani (penelitian lapangan), jadali (kajian filosofis), istiqro’ (penelitian kuantitatif), ijbari (penelitian eksperimen), dan ‘irfani (penelitian sufistik).
Melalui kajian sejarah ini dapat diketahui tentang konsep dan praktik pendidikan yang pernah dilakukan umat Islam dalam sejarah. Yakni konsep tentang lembaga pendidikan, kurikulum, tradisi pelajar, metode dan strategi pengajaran, sarana prasarana, pembiayaan pendidikan, dan pengelolaan pendidikan. Kita juga bisa mengetahui bahwa umat Islam dari sejak awal kelahirannya telah memberikan perhatian besar terhadap pembentukan kelembagaan pendidikan Islam.  
Dalam buku At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuna, Ahmad Syalabi membagi institusi pendidikan Islam menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sebelum madrasah dan kelompok sesudah madrasah.[6]  Pertama, Kelompok sebelum Madrasah di antaranya:
1.    Rumah (al-bait), antara lain rumah al-arqam (dar al-arqam) ketika rasulullah saw mengawali kegiatan pendidikannya di Mekkah, dan berbagai rumah para ulama (bait al-ulama), khususnya rumah ulama-ulama senior yang keadaan fisiknya sudah uzur. Mereka ini membuka praktik pendidikan dengan memanfaatkan rumahnya masing-masing.
2.    Suffah, Pada masa rasulullah saw shuffah adalah suatau tempat yang telah dipakai untuk aktifitas pendidikan. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar di madinah. Salah satunya berada di masjid nabawiy yaitu bagian dari ruangan yang terdapat di masjid al-nabawiy di madinah.[7] Di suffah ini para pengikut nabi Muhammad saw dari kalangan muhajirin (yang ikut berpindah dari mekkah ke madinah) bertempat tinggal sementara sambil memperdalam pengetahuan agama dari nabi muhammad saw. Karena mereka tinggal di suffah ini berada dalam serba kekurangan secara ekonomi, dan hidup sangat sederhana, maka ada yang menghubungkan suffah dengan teori munculnya kaum sufi dalam Islam. Rasulullah saw mengangkat ubaid ibn al-samit sebagai guru pada sekolah shuffah di madinah. Dalam perkembangan berikutnya sekolah ini menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.[8]
3.    Al-kuttab/maktab[9], yaitu lembaga pendidikan tingkat pemula, yang didalamnya di ajarkan tentang baca tulis al-qur’an, serta praktik ritualitas keagamaan, akhlak dan akidah Islamiah. Philip K. Hitti mengatakan kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi pada al-qur’an sebagai suatu texbook. Hal ini mencakup pengajarn membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab, sejarah hadis nabi, khususnya berkiatan dengan nabi muhamma saw. Dan mulai abad ke 8 M, kuttab ini mulai mengajarkan pengetahuan umum, hal ini disebabkan karena persentuhan budaya Islam dengan warisan budaya helenisme[10] sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangannya kuttab di bagi menjadi dua model yaitu kuttab non agama (secular learning) dan kutab agama (religius learning).[11]   
4.    Masjid[12] yang didalamnya terdapat sistem pengajaran secara halaqah.[13] Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai saran informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam.[14] Sehingga fungsi masjid kemudian berkembang ada masjid yang ditempai shalat jum’at disebut dengan jami’ dan masjid biasa. Jumlah jami’ di baghdad pada abad ke 11 hanya 6 jami’ saja, sedangkan masjid berjumlah ratusan. Demikian juga di damaskus sedikit seklai jumlah jami’ namun tidak di kairo ternyata jumlah jami’ lebih banyak dari pada masjid biasa. Sebenarnya masjid atau jami’ ini memiliki fungsi yang sama yaitu penyelenggara pendidikan namun jami’ biasanya memiliki halaqah-halaqah, majelis-majelis, zawiyah-zawiyah yang lebih banyak dari pada masjid biasa. Perbedaan penting antara jami’ dan masjid adalah: Pertama,  jami’ dikelola oleh otoritas penguasa atau khalifah, sehingga mempengaruhi terhadap seluruh komponen pendidikan baik tenaga pengajar, pembiayan dan lain-lain sedangkan masjid dikelola oleh pihak swasta. Kedua, kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qodhi, khatib, dan imam masjid. Pada dasarnya masjid (baik jami’ atau masjid biasa) adalah lembaga setingkat college. Sehingga melihat keterkaitan antara masjid dan pemerintah maka, bisa dikatakan kalau masjid adalah lembaga pendidikan formal. [15]
Dalam artikel Imam Nasruddin[16] yang sangat singkat ini dapatlah ditarik beberapa kesimpulan bahwa lembaga pendidikan Islam itu ada berapa macam mulai dari yang disebut Dar al-Arqam (zaman Nabi), kuttab (surau), madrasah (sekolah), dan masjid. Bahkan ada yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam itu terdiri dari masjid, asrama, dan perkumpulan remaja. Pada makalah ini penulis hanya mengetengahkan masjid sebagai alternatif lembaga pendidikan Islam. Masjid sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai lembaga pendidikan Islam oleh Nabi Muhammad saw, para sahabat, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in bahkan sampai sekarang.
Masjid dijadikan lembaga pendidikan Islam karena memang tempat ini adalah tempat yang sangat strategis untuk mengkaji ilmu umum terlebih ilmu agama. Di samping masjid menjadi lembaga-lembaga pendidikan Islam, sebenarnya fungsi masjid lebih banyak lagi mulai dari tempat ibadah, tempat konsultasi dan komunikasi, tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer, tempat pengobatan, tempat perdamaian dan pengadilan, aula dan tempat menerima tamu, tempat tawanan, dan pusat penerangan dan pembelaan agama.
Namun pada saat sekarang ini ada kecenderungan bahwa fungsi masjid tadi mengalami pasang surut yang terkadang menjadikan masjid sebagai ajang penonjolan fanatisme mazhab, golongan atau individu.
5.    Al-ribath, yaitu lembaga (sanggar) pendidikan yang didirikan oleh para guru thariqat yang didalamnya terdapat aturan tentang tingkatan para siswa, para guru, materi pelajaran dan sebagainya.[17] Pada perkembangan selanjutnya, setelahmuncul madrasah, ribath hadir sebagai pelengkap madrasah. Sejak masa dinasti saljuk ribath dan madrasah diorganisir dalam satu garis koordinasi dan kebijakan yang sama yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.[18]
6.    Al-zawiyah, yaitu tempat pengajaran spiritulitas dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid.
7.    Al-maristan, yaitu rumah sakit yang selain berfungsi sebagai pelayanan medis juga untuk melatih atau magang bagi para calon tenaga medis.
8.    Al-qushr (istana), yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah. 
9.    Al-hawanith al-wariqin[19] (toko buku), yaitu selain menyediakan berbagai sumber bacaan yang dibutuhkan masyarakat juga, tempat melakukan kegiatan belajar mengajar.
10.     Al-shalun al-adabiyah[20] (sanggar sastra), yaitu tempat yang sengaja diadakan oleh khalifah untuk membicarakan berbagai masalah penting, dengan cara mengundang para ulama.
11.     Al-badiyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mengajarkan bahasa arab kuno, khususnya bagi umat Islam yang bahasa aslinya bukan bahasa arab.
12.     Observatorium, yaitu lembaga pendidikan penilitan dan percobaan.
13.     Al-maktabat (perpustakaan), yang berfungsi selain tempat menyimpan meminjamkan buku, juga untuk melakukan berbagai kegiatan. 
Kedua, kelompok sesudah madrasah. Dengan demikian Ahmad Syalabi beranggapan bahwa madrasah adalah sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Madrasah yang dimaksud adalah Nizam Al-Mulk tahun 459 H. Namun demikian, ia juga mengatakan bahwa institusi-institusi sebelum madrsah itu tetap dipakai sesuai dengan sifat tradisionalnya sekalipun jumlah dan peminatnya sedikit.[21]
Menurut Stanton madrasah pertama kali adalah Nizham Al-Mulk (1064) yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyyah, tetapi penelitian Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrsah lebih tua ditemukan dikawasan Nishapur Iran. Pada tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah Al-Baihaqiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Al-Bayhaqi (W.414/1023 M). Bulliet bahkan menjelaskan ada 39 madrasah diwilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum madrsah Nizhamiyyah, dan yang tertua adalah madrasah Miyan Dahiya yang didirikan oleh Abu Ishaq Ibrahim Ibn Mahmud di Nishapur. Pendapat ini juga didukung oleh sejarawan Naji Ma’ruf, bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan Nizhamiyah. Selanjutnya Abd al-‘Al, mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud Al-Ghaznawi (berkuasa 388-420 h/998-1030m) juga terdapat madrasah Sa’idiyah.[22]
Jika Ahmad Syalabi membagi institusi pendidikan Islam kedalam dua kelompok maka, Hasan Abd al-‘Al membagi institusi Islam yang muncul pada abad ke empat Hijriyah dibagi menjadi lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: Sistem Pendidikan Mu’tazilah, Sistem Pendidikan Ikhwan As-Shafa, Sistem Pendidikan Bercorak Filsafat, Sistem Pendidikan Bercorak Tasawuf, dan Sistem Pendidikan Bercorak Fiqh.[23]
Pendapat ini disempurnakan oleh Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin, juga menyebutkan lima sistem: sistem pendidikan bercorak teologi, sistem bercorak syiah, bercorak fiqh dan hadis, bercorak tasawuf dan bercorak filsafat. Pembagian yang terakhir ini, memasukkan sistem ikhwan al-safa ke dalam corak filsafat dan memunculkan syiah, yang sudah terlihat dalam ikhwan al-safa. Dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:[24]
No
Corak Pendidikan
Institusi Pendidikan
1.
Filsafat
Dar Al-Hikmah, Al-Muntadiyat, Hawanit, Waraqi’in
2.
Tasawuf
al-Zawiyah, al-Ribat, al-Masaajid, Halaqah al-Dzikr.
3.
Syi’ah
Dar Al-Hikmah, al-Masaajid, Pertemuan Rahasia
4.
Kalam
al-Masaajid, al-Maktab, Hawanit, al-Waraqin, al-Muntadiyat.
5.
Fiqh dan Hadis
Al-katatib, al-Madrasah, al-Masaajid.

Adanya berbagai lembaga pendidikan Islam yang beragam tersebut di atas, dibangun oleh berbagai kalangan yang berbeda, yakni oleh nabi (masjid dan Suffah), pengusaha (Al-Arqam), ulama (rumah dan masjid), guru tasawuf (al-Ribath dan Zawiyah), penguasa (madrasah, istana, Salon Adabiyah, al-Maristan, al-Badiyah, dan perpustakaan), para peneliti dan ilmuwan (observatorium), para pedagang buku (toko buku). Kedaan ini menunjukkan, bahwa maslah pendidikan telah menjadi perhatian, kepedulian dan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Pada masa itu, pendidikan telah menjadi gerakan yang telah membudaya dalam masyarakat Islam, dan inilah yang selanjutnya memberikan kontribusi yang besar bagi kemjuan kebudayaan dan peradaban Islam.[25]
Pada berbagai lembaga pendidikan tersebut, juga terdapat kurikulum yang sangat beragam, sesuai dengan visi, misi dan tujuan lembaga pendidikan tersebut. Ada kurikulum yang isisnya khusus tentang baca tulis al-Qur’an dan dasar-dasar agama; ada kurikulum yang isinya mengenai berbagai macam ilmu agam Islam dengan cabang-cabangnya; ada kurikulum yang khusus berkaitan dengan ajaran tasawuf, ilmu pengetahuan, kedokteran; keterampilan kepemimpinan,  bahsa arab, sastra dan lain sebagainya.[26]
Demikian pula guru yang mengajarnya pun berbeda-beda, sesuai dengan bidang ilmu yang diajarkan. Masing-masing guru tersebut, memiliki kode etik, tanggung jawab, peran dan fungsi yang secara keseluruhan berkaitan dengan keahliannya. Mereka itu selain menguasai ilmu yang diajarkannya dengan mendalam dan komprehensif, juga memiliki pengalaman mengajarkannya dengan baik dan efektif, kepribadian yang baik, tradisi meneliti yang kuat serta kemampuan membangun komunikasi dengan berbagai kalangan. Mereka itu antara lain guru dalam bidang fikih: imam abu hanifah, imam malik, imam syafi’i, dan ahmad bin hambal; dalam bidang kalam: Hasan Al-Bashriy, Washil Bin Atha’, Al-Juba’i, Abu Hasan Al-Asy’ari Dan Abu Manshur Al-Maturidi; Dalam Bidang Tafsir: Ibn Abbas, Imam Ath-Thabawy, Dan Zamakhsyari, dalam bidang hadis: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam Al-Nasa’i, Dan Imam Ibn Majah; dalam bidang filsafat: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali  dan Ibnu Rusyd; dan dalam bidang tasawuf: Hasan Al-Bashri, Abu Yazid Al-Bustami, Al-Hallaj, Dan Al-Ghazali.[27]
Para guru tersebut memiliki tradisi ilmiah yang amat kuat, seperti melakukan Rihlah Ilmiah (perjalanan menuntut ilmu), yakni melakukan perjalanan jauh dan pengembaraan dengan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain untuk mencari ilmu. Imam syafi’i misalnya pergi ke mekkah, madinah, kuffah dan mesir untuk mencari ilmu; imam bukhari juga pergi mengunjungi lebih dari 13 negeri dalam waktu 23 tahun untuk melakukan penelitian tentang hadis Nabi yang selajutnya ia sususn dalam kitab terkenalnya shahih bukhari. Selain itu mereka juga memiliki tradisi munadzarah (diskusi), mujadalah (berdebat), mengoleksi buku, mendirikan lembaga kajian dan lain sebagainya.[28]
Mereka juga telah mengembangkan strategi pengajaran dengan mencontoh pada metode dan strategi pengajaran yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat, serta mengembangkannya sendiri, seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab, observasi, eksperimen, penugasan, tutorial dan lain sebagainya. Selanjutnya, mereka juga telah melakukan penggalian dan pengembangan dana bagi kegiatan pendidikan, yaitu melalui anggaran yang disediakan oleh pemerintah, infaq, waqaf, hibah, bantuan dari dermawan, serta dana yang berasal dari perorangan.[29]   
C.  Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Setelah kita mengetahui lembaga-lembaga ditimur tengah seperti di Makkah, Madinah, Persia, India dan Iran. Sekarang akan kita lihat sejarah Lembaga Pendidikan Islam dan bentuknya di Indonesia.
Tidak dipungkiri lagi bahwa, lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah Pesantren.[30] Namun memang terjadi semacam perbedaan pendapat dikalangan para peneliti khususnya peneliti Pesantren tentang sejarah kemunculannya dibumi pertiwi. Kita awali dari Martin Van Bruinessen, beranggapan bahwa pesantren muncul mulai abad ke-18.[31] Apa yang menjadi anggapan Martin nampaknya, selaras dengan hasil penelitian Karel A. Steenbrink yang menyatakan bahwa pendidikan semacam pesantren itu muncul pada awal abad ke 19.[32] Namun dua pendapat ini nampaknya pada perkembangan berikutnya ditolak oleh beberapa peneliti di antaranya adalah Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati dengan mengatakan ada tiga hal yang perlu dicermati dalam melihat perjalanan sejarah pesantren yang muncul pada abad ke-7 M/1 H sebab sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad itu, tetapi baru meluas pada abad ke-13.[33] Pertama, pesantren di era pertumbuhan (pada abad 16-18). Kedua, pesantren di era perkembangan (pada abad 18-20). Dan ketiga, pesantren di era globalisasi di mulai pada abad 20 hingga saat ini.[34] Mengapa terjadi berbagai macam pendapat karena memang para peneliti kurang mendapatkan data pada masa itu ini yang diungkapkan oleh Karel A. Steenbrink, Martin Van Bruinessen.[35]
Kalau kita menerima spekulasi yang ditawarkan oleh Azyumardi Azra yang mengakatakan bahwa pesantren telah ada sebelum masa Islam, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan diluar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga “counter culture” (budaya tandingan) terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan Istana dan Elite Brahmana.[36] 
Pesantren tua itu adalah bercorak tradisional (salaf) yang oleh Azyumardi Azra didefinisikan Dunia pesantren, menurut Azyumardi Azra, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam. Pengertian ini berbeda dengan pengertian salaf dalam konteks kaum salafi, dimana kaum salafi adalah mereka yang memegang paham tentang Islam pada masa awal, yaitu periode Sahabat dan Tabi’in besar, yang belum dipengaruhi bid’ah dan khurafat. Karena itulah kaum Salafi di indonesia sering menjadikan pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya sebagai sasaran kritik mereka; setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kiyai dengan tasawuf atau tarekat.[37]
Secara terminologis dilihat dari bentuk dan sistemnya pendidikan pesantren berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di indonesia istilah pesantren telah dimunculkan untuk pendidikan dan pengajaran agama hindu sebagaimana yang diuangkapakan oleh Soegarda Poerbakawatja. Namun terminologis ini ditolak oleh Mahmud Yunus, sebab sistem yang ada dalam pesntren juga ditemukan dalam dunia Islam.[38] Dari sisi ini berarti istilah pesantren memang bukan berasal dari Islam namun secara sistem berasal dari Islam.  
Dalam hubungannya dengan kajian sejarah Pesantren, Kitab Kuning (KK) merupakan tradisi yang nampaknya tidak dapat dipisahkan. Sehingga jika ada sebuah pondok pesantren tidak menggunakan tradisi KK di dalamnya maka ruh pesantren tidak nampak. Dalam kajian sejarah pendidikan Islam indonesia dalam lembaga pesantren memang harus di akui sulit untuk melacak kapan waktu persis mulai terjadinya penyebaran dan pembentukan awal tradisi KK. Historiografi tradisional dan berbagai catatan baik lokal maupun asing tentang penyebaran Islam di indonesia tidak menyebut judul banyak kitab yang digunakan pada masa awal perkembangan Islam di indonesia. Meski ada beberapa Historiografi tradisional, seperti hikayat raja-raja pasai, sejarah melayu dan semacamnya, juga tentang kitab undang-undang yang dipakai kesultanan, sering mengutip ketentuan fikih imam syafi’i misalnya, juga tidak menjelaskan kitab rujukannya dan tentu saja tidak mnyinggung apakah kitab-kitab tersebut ditulis pengarangnya atau penyalinannya di timur tengah.[39] Momentung KK baru muncul di Indonesia—lengkap dengan nama pengarang dan judul kitabnya—ketika para murid Jawi belajar di Haramayn[40] kembali ketanah air khsususnya sejak abad ke-17.[41] Sedangkan tradisi KK menurut Azyumardi Azra menjadi sebuah tradisi dalam pesantren baru abad ke-19 ketika institusi pesantren mulai mapan. Artinya bahwa KK muncul sebelum pesantren[42] namun bukan berarti KK tidak dipelajari sebelumnya. Kitab klasik jelas sudah dipelajari pada abad ke 16.


DAFTAR PUSTAKA

Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nata,Abudin. Sejarah Pendidikan Islam Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Grafindo Persada, 2004.
Syukur, Fatah. Sejarah Pendidikan Islam, Semarang: Rizqi Putra, 2011.
Munawwir, Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
Nata, Abudin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2011.
Azra. Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III, Jakarta : Kencana, 2012.
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1985.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan 1999.
Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha. Intelektual Pesantren Jakarta: Diva Pustaka, 2006 seri 2.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Internasional Abad Ke XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1999.
Dyah Kumalasari, M.Pd. Diktat Pengantar Sejarah Pendidikan staff.uny.ac.id/..../diktat.pdf. di Akses tanggal 2 April 2013.
Imam nasruddin, Masjid; lembaga Pendidikan Islam (Suatu Kajian menurut Pendidikan Islam). www.sumsel.kemenag.go.id. Diakses tanggal 12 mei 2013.
Azra. Azyumard.i Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.





                                                                                       


[1] Q.S Yusuf ayat 3.
[2] Periode Klasik menurut Harun Nasution mulai tahun 650-1250 dibagi menjadi dua masa yaitu masa kemajuan Islam I tahun 650-1000 M dan masa integrasi  mulai tahun 1000-1250 M.
[3] Periode Pertengahan menurut Harun Nasution di mulai 1250-1800 M dan terbagi dalam du masa yaitu masa kemunduran (1250-1500 M) dan masa tiga kerajaan besar (Kerajaan Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India yang berlangsung 1500 – 1800 M).
[4] Periode ini menurut Harun Nasution dianggap sebagai zaman kebangkitan Islam. Adanya pendudukan napoleon di mesir yang berakhir pada 1801 M, membuka mata dunia Islam, terutaa Turki dan Mesir, terhadap kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan barat.
[5] Kutipan dari pandangan Harun Nasution dalam Abduin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 339-357.
[6] Ahmad Syalabi,  At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuna, dalam h. Maksum, Madrasah Sejarah Dan Perkembangannya, hlm. 52.
[7] Abudin Nata (terj), Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000, hlm. 12. Dalam Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Periode Klasik Dan Pertengahan, hlm. 32.
[8]  Ibid, hlm. 32.
[9] Institusi-institusi ini menurut Hasan Abd ’Al Muncul Abad ke Empat Hijriyah, H. Maksum, Madrasah Sejarah Dan Perkembangannya, hlm. 53.
[10] Helenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani (Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan. Diktat pengantar Sejarah Pendidikan Dyah Kumalasari, M.Pd. staff.uny.ac.id/..../DIKTAT.pdf. di akses tanggal 2 april 2013.
[11] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Periode Klasik Dan Pertengahan, hlm. 34.
[12] Muncul Abad ke Empat Hijriyah
[13] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 217.
[14] A. Shalabiy, History Of Moslem Education, Beirut 1954, hlm 16. Dalam Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Periode Klasik Dan Pertengahan, hlm. 37.
[15] Ibid, hlm. 38.
[16]  Masjid; lembaga Pendidikan Islam (Suatu Kajian menurut Pendidikan Islam) www.sumsel.kemenag.go.id. Diakses tanggal 12 mei 2013.
[17] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 218.
[18] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 40.
[19] Muncul Abad ke Empat Hijriyah
[20] Muncul Abad ke Empat Hijriyah
[21] Ahmad Syalabi,  At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuna, dalam H. Maksum, Madrasah Sejarah Dan Perkembangannya, hlm. 52.
[22] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 48.
[23] H. Maksum, Madarsah dan Perkembangannya, hlm. 51.
[24] Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin, Madaris Al-Tarbiyyah Fi Al-Hadrah Al-Islamiyyah, Kairo: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, 1988, h. 16-23. Dalam H. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, hlm. 51-52.
[25] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 218.
[26] Ibid, hlm. 218.
[27] Peran guru dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan tersebut adalah saling berguru antara satu dan lainnya:  misalnya imam syafi’i berguru kepada imam malik dan imam abu hanifah, dan imam ahmad berguru kepada syafi’i. Demikian pula washil bin atha’ berguru kepada hasan bashri, dan al-jubni berguru kepada washil bin atha’. Demikian seterusnya. Ini menunjukkan bahwa, dengan tidak bermaksud melangkahi atau tidak menghormati guru ternyata para ulama atau guru dimasa lalu tidak menghalangi murid-muridnya untuk mengembangkan lebih jauh ilmu yang dipelajarainya. Baca Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 219.
[28] Untuk elaborasi baca Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
[29] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 219
[30] Dan dewasa ini, setidaknya dikenal tiga wadah pendidikan yang cukup mewarnai pendidikan Indonesia di era globalisasi dan modernisasi yaitu Sekolah, Madrasah dan Pesantren. Padahal, sebelum diadakan pembaruan sistem pendidikan, baik yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda maupun kaum Modernis, dikenal beberapa pendidikan tradisional Islam di berbagai daerah di Nusantara ini seperti Pesantren di Jawa, Surau di Minangkabau, dan Dayah di Aceh. Baca Azyumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Millenium III, Jakarta : Kencana, 2012. Hlm. 107.
[31] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hlm. 27.
[32] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, hlm. 7.
[33] Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia h. 20.
[34] A. Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual Pesantren, h. 2. 
[35] Karel, hlm. 19 dan Martin, hlm. 24.
[36] Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam, hlm. 87.
[37] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di tengah tantangan millenium III, hlm. 129.
[38] Seperti dikutib dari Mahmud Yunus dalam Karel Steenbrink, hlm. 22.
[39] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 143.
[40] Makkah dan Madinah atau disebut dengan Haramayn ini merupakan latar belakang historis kebangkitan jaringan Ulama Internasional. Baca Azyumardi Azra Jaringan Ulama Internasional Abad ke XVII dan XVIII. Hlm. 59.
[41] Ibid, Hlm. 146.
[42] Ini merupakan dugaan dari Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning dan Pesantren, hlm. 27.

1 komentar:

  1. 1xbet korean - Best legalbet betting sites
    The biggest and fastest way to bet on esports in South Korea is by joining one of our leading brands, 1xbet. You can have the best odds 1xbet com gh and the best live betting odds from

    BalasHapus