Kenyataan bahwa Indonesia adalah
bangsa yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh
siapapun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau yang
dipersatukan di bawah satu kekuasaan satu Negara, melainkan juga keragaman
warna kulit, bahasa, etnis agama dan budaya.[1]
Karena itu yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa bangsa ini adalah
amat beragam (yang memang tak bisa disangkal), melainkan cara kita memandang
dan mengelola keragaman tersebut. Disinilah letak pentingnya “pluralisme dan
multikulturalisme” untuk selalu dikaji.
Keragaman ini sebenarnya sudah
disadari oleh para pendiri bangsa, dan pertanyaan penting yang harus dijawab
mereka saat mendirikan negara ini adalah; atas dasar apakah kiranya segala yang
beraneka ragam itu dapat dipersatukan? Sejarah mencatat ada dua jawaban
terhadap masalah ini. Satu kelompok mengatakan
bahwa kita bisa berstau atas dasar “kebangsaan” dan satu kelompok yang
lain berpendapat kita bisa bersatu atas dasar “agama”.[2]
Dialektika ini terus berkembang dan tidak jarang berujung pada tindak kekerasan
yang berdarah tetapi kadang pula terjadi suatu sintesis dan integrasi secara
damai. Inilah letak pentingnya persoalan Islam dan Pluralisme serta
multikulturalisme di Indonesia. Secara garis besar berbagai masalah seputar
pluralisme dan multikulturalisme versus Islam di Indonesia dapat dimasukkan ke
dalam dua kelompok masalah: pertama, masalah Islam dalam kaitannya dengan
kebijakan keagamaan negara dan kedua, masalah Islam sebagai wacana dan gerakan.[3]
Namun karena cakupan masalah begitu
luas maka, makalah ini akan penulis fokuskan untuk membahas tentang definisi pluralisme
dan multikulturalisme, berikut akan penulis jelaskan perbedaan masing-masing.
Serta teori-teori munculnya keragaman masyarakat kontemporer, sekaligus peredam
untuk mengatasi problematika pluralisme dan multikulturalisme.
a) Pengertian Pluralisme
Pengertian tentang pluralisme dapat dilihat dari definisi
berbagai tokoh seperti Josh McDowell menjelaskan mengenai definisi
pluralisme ada dua macam; Pertama, pluralisme tradisional (Social
Pluralism) yang kini disebut "negative tolerance".
Pluralisme ini didefinisikan sebagai "respecting others beliefs and
practices without sharing them" (menghormati keimanan dan praktik
ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka). Kedua,
pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan "positive
tolerance" yang menyatakan bahwa "every single individual's
beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal" (setiap
keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah
sama (equal)[4].
Menurut The Oxford English Directory, pluralisme
berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan
sebagai :
1) Sebuah
teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk
meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili
keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus
dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
2) Keberadaan
toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat
atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau
institusi dan sebagainya.[5]
Menurut Mujiburrohman yang dimaksud “pluralisme” suatu pandangan yang positif terhadap keragaman, disertai dengan
usaha yang sungguh-sungguh untuk mengelola keragaman itu secara damai dan
berkeadilan.[6]
John Hick sebagai tokoh awal pluralisme menyatakan “other
religion are equally valid ways to the same truth”. Gagasan dasar pluralisme
agama meyakini bahwa semua agama benar adanya. Sekian agama yang ada tak lebih
sebagai jalan menuju keselamatan. Senada dengan ungkapan banyak para
pemikir-pemikir muslim, pluralisme selalu dihubungkan dengan QS. Al-Baqarah
ayat 62 yang artinya:[7]
Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin,[8] siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,[9] hari kemudian dan beramal saleh,[10] mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[11]
b) Pengertian Multi-Kulturalisme
Dalam masyarakat yang majemuk (terdiri dari suku, ras,
agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), sering kita dengan penggunaan istilah
tentang
pluralitas
(plurality), dan multikultural (multikultural). Kedua
ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun
semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’.
Dibandingkan konsep Pluralisme, Multikulturalisme
sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh, baru
sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan
Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara
konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan
multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok
lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik,
jender, bahasa, ataupun agama.[12]
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya
kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan
bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.[13] Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Menurut Rogers dan Steinfatt Multikulturalisme merupakan
pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang
sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap
pluralisme kultural.[14] Sedang
Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi
keragaman kultural.[15]
c) Perbedaan
Kulturalisme dengan Multi-Kulturalisme
Dari gambaran tersebut di atas, setidaknya dapat dilihat
bagaimana sebenarnya perbedaan kulturalisme dengan
multikulturalisme. Dr. Turnomo Rahardjo misalnya membedakan keduanya sebagai
berikut:[16]
(1) Kulturalisme
a. Bertujuan
mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam
kontak antarbudaya;
b. Memberikan
penekanan pada pemeliharaan identitas kultural;
c. Mengkombinasikan
pendekatan etik (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan
data) dalam pertukaran antarbudaya.
(2) Multikulturalisme
a. Bertujuan
mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh
kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal;
b. Berusaha
memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya;
c. Merupakan
proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap
keberadaan setiap budaya.
Dalam kaitannya dengan keragaman
pemikiran Islam dalam konteks Indonesia, Abudin Nata dalam bukunya “Peta
Keragaman Pemikirian Islam di Indonesia” 2001 mengelompokkan mazdhab pemikiran Islam
di Indonesia menjadi 12 kelompok.
1.
Islam Fundamentalis,
yaitu Islam yang dalam pemahaman dan praktiknya bertumpu pada hal-hal yang
asasi. Dengan cirri-ciri sikap dan pandangan yang radikal, militan, berpikiran
sempit, bersemangat secara berlebihan, atau ingin mencapai tujuan dengan cara
kekerasan.
2.
Islam Teologis Normatif, yaitu Islam yang dalam pemahamannya berkeyakinan bahwa ajaran Islam
adalah wahyu Tuhan yang wajib diyakini, diterima sebagai suatu kebenaran yang
tidak boleh diganggu gugat. Asumsinya adalah seluruh ajaran Islam yang berasal
dari Al-Qur’an dan Hadis serta yang dikemukakan oleh para ulama sebagai
interpretasi Al-Qur’an tidak boleh diganggu gugat. Ciri paham ini adalah
bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.
3.
Islam Eksklusif, salah
satu pemahaman yang dinilai tua usianya, karena paling banyak dianut oleh
kalangan kurang terpelajar atau umat Islam yang dari kalangan pendidikan
tradisionalis. Eksklusif adalah sikap memandang bahwa keyakinan, pandangan,
pikiran dan prinsip diri sendirilah yang paling benar dianut, sedangkan
keyakinan orang lain salah, sesat dan harus dijauhi.
4.
Islam Rasional, Islam
yang dalam penjelasannya tidak hanya dengan wahyu tetapi juga mengikut sertakan
akal pikiran dan menghargai pendapat akal pikkiran dan mempergunakannnya untuk
memperkuat dalil-dalil ajaran agam Islam. Paham ini dianut sebagian kecil
masyarakat muslim Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi
dibarat.
5.
Islam Transformatif,
yaitu Islam yang selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam,
yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam, yaitu
membentuk dan mengubah menjadi masyarakat yang rahmatan lil alamin. Ia muncul
sebagai respon terhadap ajaran Islam yang seolah-olah kurang terlibat dalam
menjawab berbagai masalah aktual terkesan hanya digunakan sebagai legitimasi
terhadap kesalehan individu bukan kesalehan social disamping terjebak ke dalam
rutinisme simbolisme dan ritualisme tanpa member makna yang sejalan dengan cita-cita ideal Islam.
6.
Islam Aktual,
yaitu Islam yang dihayati dan dipraktikkan dalam kenyataan hidup sehari-hari di
masyarakat, serta dalam interaksinya dalam memecahkan berbagai maslah social
kemasyarakatan, ekonomi, politik dan lai-lainnya. Meskipun yang dimaksud Islam
adalah merealisasikan al-qur’an dan hadis tetapi pada kenyataannya tidak dapat
menghindar dari factor kapabilitas individu, sosio kultural interaksi dengan
dunia luar, perkembangan politik dan sebagainya sangat mempengaruhi aktualisasi
ajaran Islam.
7.
Islam Kontekstual,
yaitu Islam yang dalam penjabarannya senantiasa memperhatikan situasi dan
kondisi di mana Islam itu dikembangakan, khususnya ketika wahyu diturunkan
dengan melihat latar belakang sejarahnya (mempertimbangkan asbabunnuzul
asbabulwurud).
8.
Islam Esoteris, suatu
kajian tentang Islam yang mengonsentrasikan pembahsan pada segi pembersihan
anggota bathiniyah agar tercapai kesucian jiwa sehingga dapat memperoleh
hubungan dengan tuhan. Paham semacam ini banyak diikuti oleh para ahli tasawuf
dan kendaraannya adalah thoriqoh.
9.
Islam Tradisionalis,
yaitu mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis juga hasil ijtihad
para ulama yang dianggap unggul dan
kokoh.
10.
Islam Modernis,
paham keIslaman yang didukung oleh sikap rasional, ilmiah serta sejalan dengan
hokum tuhan baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun wahyu yang tidak tertulis
(sunnatulloh).
11.
Islam Kultural, Islam
yang dipahami melalui pendeketan budaya atau Islam yang dipengaruhi oleh paham
atau konsep budaya. Dalam hubungan ini Islam menghargai adanya keanekaragaman
(pluralisme) prilaku keagamaan.
12.
Islam Inklusif Pluralis, Islam yang memiliki paham keberagman yang didasarkan pada
pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung
kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya.
Menurut Alwi
Sihab keberagaman inklusif-pluralis harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,
relativisme, dan sinkretisme.[17] Ada
satu paham lagi yang sekarang sedang menjadi bahan kajian hangat dan
kontroversi yang tidak disebut Abuddin Nata dalam analisisnya yaitu Islam
liberal. Islam liberal dianggap sebagai suatu respon otentik Islam dewasa ini
dalam mengapresiasi gagasan-gagasan terbaik liberalisme barat.[18]
d) Keragaman Masyarakat Kontemporer
Fenomena
masyarakat yang plural dan multikultural sebenarnya bukan perkara baru. Dalam
sejarah mudah ditemukan suatu masyarakat yang memiliki latar belakang agama,
etnis dan budaya yang berbeda-beda. Sebagai contoh adanya Piagam Madinah juga
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang muncul berada ditengah-tengah
masyarakat yang multikultural dan plural.[19]
Lalu apa yang
membuat pluralistas dan multikulturalistas masyarakat kontemporer berbeda
dengan yang pernah terjadi dengan sejarah? Ada tiga teori yang ditawarkan penulis
untuk menemukan jawaban atas masalah ini.
1.
Teroi Globalisasi dan Era Reformasi.
Globalisasi
menurut Malcolm Waters adalah : A social process in which the constrains of
geography on social and cultural arrangements recede and in which people are
becoming increasingly aware that they are receding (Sebagai proses sosial
yang didalamnya terdapat desakan geografis atas penataan sosial dan budaya
mulai menyusut dan masyarakat menjadi semakin sadar bahwa mereka akan mengalami
penyusutan).[20]
Peradaban
manusia telah bergerak melalui tiga tahapan gelombang yaitu, gelombang
pertanian, industri, dan terakhir informasi. Ketika memasuki gelombang ini maka
benturan masyarakat akan semakin intensif. Melalui radio, televisi, faksimil
dan internet, manusia seluruh dunia dapat saling berkomunikasi dan saling
mempengaruhi. Dalam keadaan seperti ini tidak ada seorang pun yang dapat
membendung serbuan pandangan nilai-nilai hingga produk yang tidak hanya berbeda
bahkan saling bertentangan.[21]
2.
Teori Politik Pengakuan.
Charles Taylor
menjelaskan, politik pengakuan merupakan konsekwensi dari nilai-nilai
masyarakat yang selama ini berkembang di Barat dan kemudian menyebar keseluruh
dunia melaluai angin yang disebut demokrasi. Saat ini telah terjadi pergeseran
konsep kehormatan kepada konsep martabat. Kehormatan adalah sesuatu yang
dimiliki atau diberikan kepada orang-orang tertentu sementara martabat
sebaliknya, ia dimiliki oleh semua orang, tidak peduli dengan latar belakang
sosial, budaya dan politiknya. Inilah yang oleh taylor disebut sebagai “politik
kesamaan martabat”. Singkatnya, politik pengakuan merupakan suara-suara mereka
yang tertindas dan terpinggirkan.
Menurut Peter
L. Berger, salah satu akibat modernisasi yang diterpakan di masyarakat adalah sekularisasi,
yakni berkurangnya peran dan signifikansi agama dalam kehidupan masyarakat. Sekularisasi
dapat terjadi pada dua level: level kesadaran dan level institusi. Sekularisme
terjadi pada kesadaran individu ketika ia merasa ragu atau menolak berbagai
kepercayaan agama yang telah mapan karena dianggap tidak rasional. Sekularisasi
bisa muncul bila satu institusi masyarakat, khususnya institusi negara, tidak
lagi terikat pada agama tertentu.
Sekularisasi,
khususnya dalam institusi negara, akan melahirkan apa ysng disebut oleh Berger
sebagai situasi pluralistis, suatau keadaan dimana segala hal yang berbeda
termasuk didalamnya agama–agama yang berbeda, akan mendapatkan hak dan
perlakuan sama dihadapan negara. Inilah yang kemudian melahirkan keragaman masyarakat
kontemporer.
e) Jurus Penangkal Pluralisme dan Multikulturalisme
Setelah kita
menelaah teori mengenai keragaman masyarakat kontemporer, sekarang penulis
mencoba menawarkan teori startegis dalam merespons serbuan keberagaman.[23]
Jurus penangkal
ini kiranya bisa diambil dari teori yang ditawarkan oleh Peter L. Berger, dalam
menghadapi pluralitas dan memperkuat kedudukan agama dengan, (1) pengembangan
rasionalisasi pengelolaan lembaga agama, tentang manajemen, penggalangan dana
hingga pelaksanaan program. (2) membuka kerjasama dengan kelompok yang tadinya
dianggap musuh. (3) membuat standarisasi ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang dilayaninya. (4) memberikan peran yang luas kepada mereka yang
selama ini di anggap tergolong awam soal agama.[24]
Selain empat
jurus di atas ternyata ada tiga model jurus lain yang dilakukan oleh
agama-agama di dunia dalam menghadapi pluralistik saat ini yaitu:
1.
Strategi penaklukan atau revolusi keagamaan.
Dalam konteks
ke Indonesiaan strategi ini coba dilakukan oleh pihak yang ingin membuat
Indonesia bukan negara Republik tetapi lebih kepada negara Islam dengan
didirikan sistem ke kholifahan. Karena mereka beranggapan bahwa Islam kalah
seperti sekarang ini disebabkan umat Islam saat ini telah menyimpang dari
ideal-ideal Islam masa lalu dan tunduk pada pengaruh barat.[25]
2.
Strategi Pengasingan Diri.
Daripada hanyut
terbawa arus deras kemajemukan yang membingungkan, orang kemudian mencoba
membuat benteng-benteng pertahanan dengan membangun subkultur-subkultur.
Sejalan dengan analisa dari Abdurrahman Wahid bawa pesantren adalah benteng
nilai-nilai yang disebutnya subkultur.[26]
Contoh dari model subkultur ini bisa kita lihat Pondok Pesantren Salaf Lirboyo
Kota Kediri Jawa Timur, dimana segala hal yang ada disana diupayakan
sedekat mungkin dengan kehidupan ideal Islam yang mereka hadapi.
3.
Startegi Dialog.
Strategi ini
juga berat untuk dilakukan sebab membutuhkan kesiapan mental, keberanian bahkan
material untuk berdialog dengan baik. Namun, dengan melihat perkembangan
masyarakat saat ini nampaknya strategi ketiga ini lebih realistis. Sebab
bagaimanapun, strategi revolusi keagamaan akan memakan biaya yang tidak
sedikit, bahkan tak ayal akan mengakibatkan banyak korban. Begitu pula dengan
strategi pengasingan diri hanya akan efektif untuk jangka waktu yang pendek.
Dalam jangka panjang, strategi ini lambat laun akan jebol juga sebab siapa yang
bisa mencegah televisi dan internet ke dalam kamar tidur kita?
Dalam konsep
Islam jurus penangkal pluralisme dan multikulturalisme sudah di sinyalkan oleh Allah
Swt dalam firman-Nya:
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[27] dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[28]
Teori
ini memberikan bukti bahwa Islam juga telah memberikan jalan keluar terbaik
untuk ummatnya supaya bersikap dengan sifat-sifat yang dituntunkan oleh
Al-Qur’an yaitu dengan konsep Hikmah dan Mauidhotul Hasanah.
Pada
hakikatnya, pluralisme dan multikulturalisme adalah sunnatullah yang tidak akan
pernah padam. Sinyal ini bukan tanpa dasar, akan tetapi pluralisme sudah
dinyatakan oleh Allah Swt melalui firmannya “Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat” Al-Qur’an Surah Hud ayat 118.
Pluralisme
adalah sebuah realitas kehidupan yang tidak mungkin di ingkari. Sebab Al-Qur’an
dengan tegas mengakui hak setiap agama-kecuali agama pagan- untuk hidup dan
menjalankan ajaran masing-masing secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Prinsip inilah yang menjadi dasar toleransi didalam Islam.
Sedangkan
menurut Gus Dur sikap pluraslime dan multikulturalisme ini akan terjaga kalau
ada demokrasi. Proses demokrasi akan menjadi jaminan perlindungan dari islam
sebagai mayoritas baik kepada kaum sekuler[29]
yang menolak peng-agamaan Negara maupun kelompok agama lain yang selama ini
merasa “ngeri” melihat kekuatan Islam.[30]
KONKLUSI
Pluralitas dan multikulturalitas
adalah keniscayaan yang tidak dapat kita tolak. Berjalan sesuai dengan
sunnatullah dengan banyak bukti allah telah menciptakan dunia ini dengan
beraneka ragam suku bahsa bangsa dan agama.
Didalam kerangka pluralitas ada
kerangka kesatuan. Dan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin
hadir dengan menawarkan konsepsi Islamnya adalah untuk menjadi tawashut
(penengah) di antara dua kutub ekstrem pandangan manusia terhadap pluralitas.
Nampaknya sebuah statemen “Ikhtulafu
Ummati Rohmatun” terlepas dari apakah statemen ini sekedar ungkapan seorang
ulama atau Hadis Nabi, bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Apalagi kita hidup
di abad XXI dengan hingar bingar keragaman yang menyerbu kita dari setiap arah
merupakan masa dimana kepercayaan pada agama menghadapi ujian yang sangat
berat.
Perbedaan ini akan membawa banyak
dimensi namun yang jelas jika kita berdialog dengan baik maka perbedaan ini
akan membawa dimensi positif bagi kehidupan beragama di dunia. Hargai sebuah
perbedaan dan tumbuhkan sikap ini di masyarakat yang berbeda namun tetap sama
sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Dengan berbagai teori yang di munculkan oleh
para ahli diyakinkan dengan al-qur’an maka, pluralitas mengandung banyak hikmah
yang utama bagi manusia. Dibalik keragamaan ada potensi kerukunan yang
didasarakan atas persamaan dan kebersamaaan.
DAFTAR PUSTAKA
Woodward, Mark
R, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia,
Bandung: Mizan, 1999.
Mujiburrohman, Mengindonesiakan
Islam Representasi Dan Ideologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad, Nur
Hidayat, Benteng Ahlussunah Wal Jahma Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA,
Hizbu Tahrir dan LDII, Kediri: Nasyrul Ilmi, 2012.
Arfan, Abbas, Geneologi
Pluralitas Mazhab Dalam Hokum Islam, UIN-Malang Press, 2008.
Muhtarom H. M, Reproduksi
Ulama Di Era Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.
Rahardjo,Turnomo, Menghargai
Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Kamil,
Sukron (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf.
Hlm. 73 diakses tanggal 01/10/2012.
Suryadinata, Leo, Indonesia
State Policy toward Ethnic Chinese : From Asimilation to Multiculturalism?, dalam
simposium Internasional III Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana,
Bali, 2002.
Abdillah, Masykuri, Demokrasi
di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep
Demokrasi (1966-1993)), Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999.
Wahid, Abdurahman,
Pesantren Sebagai Subkultur, Jakarta: LP3ES, 1988.
Rahkmat,
Jalaluddin, Islam Alternatif, Mizan: Bandung, 1998.
Untung, Moh.
Slamet, Wacana Islam Kontemporer, Pekalongan: STAIN Press, 2011.
Haekal,
Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1992.
Berger, Peter L.,
“The Sacred Canopy: Elements Of A Sociological Theory Of Religion” (New York: Doubleday
And Company Inc, 1969).
Nawawi, Muhammad Bin Umar, Maroh Labid, Lebanon:
Beirut Dar Alkotob, 2011.
Dewan Redaksi, Syaamil
Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sigma Publisher, 2011.
Ya’qub, Ali
Musthofa, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ketiga,
2008.
[1]
Barangkali menarik dicatat bahwa mendiang Clifford Geertz dalam sebuah papernya
mengatakan Indonesia: “it is not just locally, accidentally and temporarily
pluralist. It is, to commit a philosophical solecism and a political truth
pervasively, essentially, and permanently so”. Lihat Clifford Geertz, “The
Near East In The Far East: On Islam In Indonesia” (Occasional Paper Of The
School Of Social Science, Desember, 2001), h. 11.
[2] Mujiburrohman,
Mengindonesiakan Islam, h. 45.
[3]
Ibid, h. 57.
[5] Masykuri Abdillah, Demokrasi di
Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep
Demokrasi, h. 146.
[6] Pandangan ini lebih luas cakupannya dari pada “pluralisme” yang
didefiniskan oleh MUI yaitu sebagai pandangan yang menganggap bahwa semua agama
sama dan dapat membawa keselamatan Mujiburrohman, Mengindonesiakan
Islam, h. 44.
[8] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at
Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
8Orang-orang
mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah
termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan
mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
9 Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan
oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. Lihat Tafsir
Munir An-Nawawi.
[11]
Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, h. 597.
[12] Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam
Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf.Hlm.73diakses tanggal 29/09/2012.
[13] Ruang publik menurut Charles Taylor tampaknya sejalan dengan
pandangan Habermas. Menurut taylor, ruang public adalah “ruang bersama di mana
anggota masyarakat bertemu melalui berbagai media: cetak, elektronik, dan juga
secara tatap muka, untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi kepentingan
bersama; dan dengan demikian mereka dapat membentuk pandangan yang sama atas
masalah-masalah tersebut “lihat Charles Taylor, Modernity and the Rise of
the Public Sphere”, The Tanner Lectures on human Values No. 14, h. 220.
Dikutib dari Mujiburrohman.
[14] Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural
Communication, hlm. 238
[15] Leo Suryadinata, Indonesia State Policy toward Ethnic Chinese :
From Asimilation to Multiculturalism?, dalam simposium Internasional III
Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2002.
[16] Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness
dalam Komunikasi Antaretnis), h. 87.
[17] Kosmopolitanisme; menunjuk kepada suatu realita di
mana aneka ragam agama, ras dan suku bangsa yang hidup berdampingan di suatu
lokasi. Relativisme; bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”ditentukan oleh
pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Tegasnya
“semua agama adalah benar”. Konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut. Sinkretisme;
menciptakan suatau agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu sebagai
komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama
tersebut. Abudin nata, loc cit, h. 189-190. Dikutib dari Mujiburrohman.
[18] Abbas
Arfan, Geneogologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam, h. 225-232.
[19]
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 31.
[22] Peter L Berger The Sacred Canopy: Elements Of A Sociological Theory
Of Religion (New York: Doubleday And Company Inc, 1969), h. 127.
[23]
Meskipun teori ini sebenarnya diterapkan oleh gereja-gereja Kristen di barat.
Tetapi sebenarnya strategi itu diterpakan juga di lembaga-lembaga ke islaman
seperti yayasan paramadina yang dipimpin Nurcholish Majid. Diambil dari
Mujiburrohman h. 71.
[24]
Berger, The Sacred Canopy, h. 140-44.
[25]
Ide-ide ini hampir mirip dengan konsepsi dari gerakan Hizbutahrir Indonesia,
yang sebenarnya HTI bukan lah faham keislaman melainkan gerakan politik yang
dibawa dari Palestina dengan pemimpinnya Taqiyuddin An-Nabhaniy
(1326-1397/1908-1977 M) baca Nur Hidayat Muhammad “Benteng Ahlussunah Wal
Jama’ah”, Kediri: Nasyrul Ilmi, 2012, h. 32.
[26] Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur” dalam M.
Dawam Raharjo, Pesantren dan pembaharuan, h. 36-60.
[27] Hikmah: ialah perkataan yang tegas
dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil sebagai
hujjah yang pasti dalam memahami sebuah ideologi lihat Maroh labid
karya Syeikh Muhammad Bin Umar Nawawi Al-Jawi W. 1326 H. h. 612. Beirut
Dar Alkotob.
[29] Sekularisasi adalah akibat dari rasionalisme dan dan rasionalisme
adalah ciri-ciri masyarakat modern disamping industrialisasi dan penemuan
subyektifitas. Lihat pemikiran Jalaluddin Rakhmat “Islam Alternatif” 1998,
Mizan: Bandung h. 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar