Sabtu, 19 Oktober 2013

PROBLEMATIKA PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME



Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau yang dipersatukan di bawah satu kekuasaan satu Negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis agama dan budaya.[1] Karena itu yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa bangsa ini adalah amat beragam (yang memang tak bisa disangkal), melainkan cara kita memandang dan mengelola keragaman tersebut. Disinilah letak pentingnya “pluralisme dan multikulturalisme untuk selalu dikaji.
Keragaman ini sebenarnya sudah disadari oleh para pendiri bangsa, dan pertanyaan penting yang harus dijawab mereka saat mendirikan negara ini adalah; atas dasar apakah kiranya segala yang beraneka ragam itu dapat dipersatukan? Sejarah mencatat ada dua jawaban terhadap masalah ini. Satu kelompok mengatakan  bahwa kita bisa berstau atas dasar “kebangsaan” dan satu kelompok yang lain berpendapat kita bisa bersatu atas dasar “agama”.[2] Dialektika ini terus berkembang dan tidak jarang berujung pada tindak kekerasan yang berdarah tetapi kadang pula terjadi suatu sintesis dan integrasi secara damai. Inilah letak pentingnya persoalan Islam dan Pluralisme serta multikulturalisme di Indonesia. Secara garis besar berbagai masalah seputar pluralisme dan multikulturalisme versus Islam di Indonesia dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok masalah: pertama, masalah Islam dalam kaitannya dengan kebijakan keagamaan negara dan kedua, masalah Islam sebagai wacana dan gerakan.[3]
Namun karena cakupan masalah begitu luas maka, makalah ini akan penulis fokuskan untuk membahas tentang definisi pluralisme dan multikulturalisme, berikut akan penulis jelaskan perbedaan masing-masing. Serta teori-teori munculnya keragaman masyarakat kontemporer, sekaligus peredam untuk mengatasi problematika pluralisme dan multikulturalisme.
 
a)   Pengertian Pluralisme
Pengertian tentang pluralisme dapat dilihat dari definisi berbagai tokoh seperti Josh McDowell menjelaskan mengenai definisi pluralisme ada dua macam; Pertama, pluralisme tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut "negative tolerance". Pluralisme ini didefinisikan sebagai "respecting others beliefs and practices without sharing them" (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan "positive tolerance" yang menyatakan bahwa "every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal" (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal)[4].
Menurut The Oxford English Directory, pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai :
1)  Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
2)  Keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi dan sebagainya.[5]
Menurut Mujiburrohman yang dimaksud pluralisme suatu pandangan yang positif terhadap keragaman, disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengelola keragaman itu secara damai dan berkeadilan.[6]
John Hick sebagai tokoh awal pluralisme menyatakan “other religion are equally valid ways to the same truth”. Gagasan dasar pluralisme agama meyakini bahwa semua agama benar adanya. Sekian agama yang ada tak lebih sebagai jalan menuju keselamatan. Senada dengan ungkapan banyak para pemikir-pemikir muslim, pluralisme selalu dihubungkan dengan QS. Al-Baqarah ayat 62 yang artinya:[7]
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,[8] siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,[9] hari kemudian dan beramal saleh,[10] mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[11]

b) Pengertian Multi-Kulturalisme
Dalam masyarakat yang majemuk (terdiri dari suku, ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), sering kita dengan penggunaan istilah tentang pluralitas (plurality), dan multikultural (multikultural). Kedua ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’.
Dibandingkan konsep Pluralisme, Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.[12]
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.[13] Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Menurut Rogers dan Steinfatt Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural.[14] Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi keragaman kultural.[15]

c) Perbedaan Kulturalisme dengan Multi-Kulturalisme
Dari gambaran tersebut di atas, setidaknya dapat dilihat bagaimana sebenarnya perbedaan kulturalisme dengan multikulturalisme. Dr. Turnomo Rahardjo misalnya membedakan keduanya sebagai berikut:[16]
(1)     Kulturalisme
a.    Bertujuan mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam kontak antarbudaya;
b.    Memberikan penekanan pada pemeliharaan identitas kultural;
c.    Mengkombinasikan pendekatan etik (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan data) dalam pertukaran antarbudaya.
(2)     Multikulturalisme
a.    Bertujuan mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal;
b.    Berusaha memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya;
c.    Merupakan proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap keberadaan setiap budaya.
Dalam kaitannya dengan keragaman pemikiran Islam dalam konteks Indonesia, Abudin Nata dalam bukunya “Peta Keragaman Pemikirian Islam di Indonesia” 2001 mengelompokkan mazdhab pemikiran Islam di Indonesia menjadi 12 kelompok.
1.      Islam Fundamentalis, yaitu Islam yang dalam pemahaman dan praktiknya bertumpu pada hal-hal yang asasi. Dengan cirri-ciri sikap dan pandangan yang radikal, militan, berpikiran sempit, bersemangat secara berlebihan, atau ingin mencapai tujuan dengan cara kekerasan.
2.      Islam Teologis Normatif, yaitu Islam yang dalam pemahamannya berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah wahyu Tuhan yang wajib diyakini, diterima sebagai suatu kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat. Asumsinya adalah seluruh ajaran Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadis serta yang dikemukakan oleh para ulama sebagai interpretasi Al-Qur’an tidak boleh diganggu gugat. Ciri paham ini adalah bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.
3.      Islam Eksklusif, salah satu pemahaman yang dinilai tua usianya, karena paling banyak dianut oleh kalangan kurang terpelajar atau umat Islam yang dari kalangan pendidikan tradisionalis. Eksklusif adalah sikap memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip diri sendirilah yang paling benar dianut, sedangkan keyakinan orang lain salah, sesat dan harus dijauhi.
4.      Islam Rasional, Islam yang dalam penjelasannya tidak hanya dengan wahyu tetapi juga mengikut sertakan akal pikiran dan menghargai pendapat akal pikkiran dan mempergunakannnya untuk memperkuat dalil-dalil ajaran agam Islam. Paham ini dianut sebagian kecil masyarakat muslim Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi dibarat.
5.      Islam Transformatif, yaitu Islam yang selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah menjadi masyarakat yang rahmatan lil alamin. Ia muncul sebagai respon terhadap ajaran Islam yang seolah-olah kurang terlibat dalam menjawab berbagai masalah aktual terkesan hanya digunakan sebagai legitimasi terhadap kesalehan individu bukan kesalehan social disamping terjebak ke dalam rutinisme simbolisme dan ritualisme tanpa member makna yang sejalan  dengan cita-cita ideal Islam.
6.      Islam Aktual, yaitu Islam yang dihayati dan dipraktikkan dalam kenyataan hidup sehari-hari di masyarakat, serta dalam interaksinya dalam memecahkan berbagai maslah social kemasyarakatan, ekonomi, politik dan lai-lainnya. Meskipun yang dimaksud Islam adalah merealisasikan al-qur’an dan hadis tetapi pada kenyataannya tidak dapat menghindar dari factor kapabilitas individu, sosio kultural interaksi dengan dunia luar, perkembangan politik dan sebagainya sangat mempengaruhi aktualisasi ajaran Islam.
7.      Islam Kontekstual, yaitu Islam yang dalam penjabarannya senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi di mana Islam itu dikembangakan, khususnya ketika wahyu diturunkan dengan melihat latar belakang sejarahnya (mempertimbangkan asbabunnuzul asbabulwurud).
8.      Islam Esoteris, suatu kajian tentang Islam yang mengonsentrasikan pembahsan pada segi pembersihan anggota bathiniyah agar tercapai kesucian jiwa sehingga dapat memperoleh hubungan dengan tuhan. Paham semacam ini banyak diikuti oleh para ahli tasawuf dan kendaraannya adalah thoriqoh.
9.      Islam Tradisionalis, yaitu mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis juga hasil ijtihad para ulama yang dianggap  unggul dan kokoh.
10.  Islam Modernis, paham keIslaman yang didukung oleh sikap rasional, ilmiah serta sejalan dengan hokum tuhan baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun wahyu yang tidak tertulis (sunnatulloh).
11.  Islam Kultural, Islam yang dipahami melalui pendeketan budaya atau Islam yang dipengaruhi oleh paham atau konsep budaya. Dalam hubungan ini Islam menghargai adanya keanekaragaman (pluralisme) prilaku keagamaan.
12.  Islam Inklusif Pluralis, Islam yang memiliki paham keberagman yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya.
Menurut Alwi Sihab keberagaman inklusif-pluralis harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, relativisme, dan sinkretisme.[17] Ada satu paham lagi yang sekarang sedang menjadi bahan kajian hangat dan kontroversi yang tidak disebut Abuddin Nata dalam analisisnya yaitu Islam liberal. Islam liberal dianggap sebagai suatu respon otentik Islam dewasa ini dalam mengapresiasi gagasan-gagasan terbaik liberalisme barat.[18]
d) Keragaman Masyarakat Kontemporer
Fenomena masyarakat yang plural dan multikultural sebenarnya bukan perkara baru. Dalam sejarah mudah ditemukan suatu masyarakat yang memiliki latar belakang agama, etnis dan budaya yang berbeda-beda. Sebagai contoh adanya Piagam Madinah juga membuktikan bahwa Islam adalah agama yang muncul berada ditengah-tengah masyarakat yang multikultural dan plural.[19]
Lalu apa yang membuat pluralistas dan multikulturalistas masyarakat kontemporer berbeda dengan yang pernah terjadi dengan sejarah? Ada tiga teori yang ditawarkan penulis untuk menemukan jawaban atas masalah ini.
1.    Teroi Globalisasi dan Era Reformasi.
Globalisasi menurut Malcolm Waters adalah : A social process in which the constrains of geography on social and cultural arrangements recede and in which people are becoming increasingly aware that they are receding (Sebagai proses sosial yang didalamnya terdapat desakan geografis atas penataan sosial dan budaya mulai menyusut dan masyarakat menjadi semakin sadar bahwa mereka akan mengalami penyusutan).[20] 
Peradaban manusia telah bergerak melalui tiga tahapan gelombang yaitu, gelombang pertanian, industri, dan terakhir informasi. Ketika memasuki gelombang ini maka benturan masyarakat akan semakin intensif. Melalui radio, televisi, faksimil dan internet, manusia seluruh dunia dapat saling berkomunikasi dan saling mempengaruhi. Dalam keadaan seperti ini tidak ada seorang pun yang dapat membendung serbuan pandangan nilai-nilai hingga produk yang tidak hanya berbeda bahkan saling bertentangan.[21]
2.    Teori Politik Pengakuan.
Charles Taylor menjelaskan, politik pengakuan merupakan konsekwensi dari nilai-nilai masyarakat yang selama ini berkembang di Barat dan kemudian menyebar keseluruh dunia melaluai angin yang disebut demokrasi. Saat ini telah terjadi pergeseran konsep kehormatan kepada konsep martabat. Kehormatan adalah sesuatu yang dimiliki atau diberikan kepada orang-orang tertentu sementara martabat sebaliknya, ia dimiliki oleh semua orang, tidak peduli dengan latar belakang sosial, budaya dan politiknya. Inilah yang oleh taylor disebut sebagai “politik kesamaan martabat”. Singkatnya, politik pengakuan merupakan suara-suara mereka yang tertindas dan terpinggirkan.
3.    Sekularisasi dan Pluralisme Agama.[22]
Menurut Peter L. Berger, salah satu akibat modernisasi yang diterpakan di masyarakat adalah sekularisasi, yakni berkurangnya peran dan signifikansi agama dalam kehidupan masyarakat. Sekularisasi dapat terjadi pada dua level: level kesadaran dan level institusi. Sekularisme terjadi pada kesadaran individu ketika ia merasa ragu atau menolak berbagai kepercayaan agama yang telah mapan karena dianggap tidak rasional. Sekularisasi bisa muncul bila satu institusi masyarakat, khususnya institusi negara, tidak lagi terikat pada agama tertentu.
Sekularisasi, khususnya dalam institusi negara, akan melahirkan apa ysng disebut oleh Berger sebagai situasi pluralistis, suatau keadaan dimana segala hal yang berbeda termasuk didalamnya agama–agama yang berbeda, akan mendapatkan hak dan perlakuan sama dihadapan negara. Inilah yang kemudian melahirkan keragaman masyarakat kontemporer.  
e) Jurus Penangkal Pluralisme dan Multikulturalisme
Setelah kita menelaah teori mengenai keragaman masyarakat kontemporer, sekarang penulis mencoba menawarkan teori startegis dalam merespons serbuan keberagaman.[23]
Jurus penangkal ini kiranya bisa diambil dari teori yang ditawarkan oleh Peter L. Berger, dalam menghadapi pluralitas dan memperkuat kedudukan agama dengan, (1) pengembangan rasionalisasi pengelolaan lembaga agama, tentang manajemen, penggalangan dana hingga pelaksanaan program. (2) membuka kerjasama dengan kelompok yang tadinya dianggap musuh. (3) membuat standarisasi ajaran agama sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. (4) memberikan peran yang luas kepada mereka yang selama ini di anggap tergolong awam soal agama.[24]
Selain empat jurus di atas ternyata ada tiga model jurus lain yang dilakukan oleh agama-agama di dunia dalam menghadapi pluralistik saat ini yaitu:
1.    Strategi penaklukan atau revolusi keagamaan.
Dalam konteks ke Indonesiaan strategi ini coba dilakukan oleh pihak yang ingin membuat Indonesia bukan negara Republik tetapi lebih kepada negara Islam dengan didirikan sistem ke kholifahan. Karena mereka beranggapan bahwa Islam kalah seperti sekarang ini disebabkan umat Islam saat ini telah menyimpang dari ideal-ideal Islam masa lalu dan tunduk pada pengaruh barat.[25]


2.    Strategi Pengasingan Diri.
Daripada hanyut terbawa arus deras kemajemukan yang membingungkan, orang kemudian mencoba membuat benteng-benteng pertahanan dengan membangun subkultur-subkultur. Sejalan dengan analisa dari Abdurrahman Wahid bawa pesantren adalah benteng nilai-nilai yang disebutnya subkultur.[26] Contoh dari model subkultur ini bisa kita lihat Pondok Pesantren Salaf Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, dimana segala hal yang ada disana diupayakan sedekat mungkin dengan kehidupan ideal Islam yang mereka hadapi.  
3.    Startegi Dialog.
Strategi ini juga berat untuk dilakukan sebab membutuhkan kesiapan mental, keberanian bahkan material untuk berdialog dengan baik. Namun, dengan melihat perkembangan masyarakat saat ini nampaknya strategi ketiga ini lebih realistis. Sebab bagaimanapun, strategi revolusi keagamaan akan memakan biaya yang tidak sedikit, bahkan tak ayal akan mengakibatkan banyak korban. Begitu pula dengan strategi pengasingan diri hanya akan efektif untuk jangka waktu yang pendek. Dalam jangka panjang, strategi ini lambat laun akan jebol juga sebab siapa yang bisa mencegah televisi dan internet ke dalam kamar tidur kita?
Dalam konsep Islam jurus penangkal pluralisme dan multikulturalisme sudah di sinyalkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[27] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[28]

Teori ini memberikan bukti bahwa Islam juga telah memberikan jalan keluar terbaik untuk ummatnya supaya bersikap dengan sifat-sifat yang dituntunkan oleh Al-Qur’an yaitu dengan konsep Hikmah dan Mauidhotul Hasanah.
Pada hakikatnya, pluralisme dan multikulturalisme adalah sunnatullah yang tidak akan pernah padam. Sinyal ini bukan tanpa dasar, akan tetapi pluralisme sudah dinyatakan oleh Allah Swt melalui firmannya “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” Al-Qur’an Surah Hud ayat 118.
Pluralisme adalah sebuah realitas kehidupan yang tidak mungkin di ingkari. Sebab Al-Qur’an dengan tegas mengakui hak setiap agama-kecuali agama pagan- untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Prinsip inilah yang menjadi dasar toleransi didalam Islam.
Sedangkan menurut Gus Dur sikap pluraslime dan multikulturalisme ini akan terjaga kalau ada demokrasi. Proses demokrasi akan menjadi jaminan perlindungan dari islam sebagai mayoritas baik kepada kaum sekuler[29] yang menolak peng-agamaan Negara maupun kelompok agama lain yang selama ini merasa “ngeri” melihat kekuatan Islam.[30]












KONKLUSI

Pluralitas dan multikulturalitas adalah keniscayaan yang tidak dapat kita tolak. Berjalan sesuai dengan sunnatullah dengan banyak bukti allah telah menciptakan dunia ini dengan beraneka ragam suku bahsa bangsa dan agama.
Didalam kerangka pluralitas ada kerangka kesatuan. Dan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin hadir dengan menawarkan konsepsi Islamnya adalah untuk menjadi tawashut (penengah) di antara dua kutub ekstrem pandangan manusia terhadap pluralitas.
Nampaknya sebuah statemen “Ikhtulafu Ummati Rohmatun” terlepas dari apakah statemen ini sekedar ungkapan seorang ulama atau Hadis Nabi, bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Apalagi kita hidup di abad XXI dengan hingar bingar keragaman yang menyerbu kita dari setiap arah merupakan masa dimana kepercayaan pada agama menghadapi ujian yang sangat berat.
Perbedaan ini akan membawa banyak dimensi namun yang jelas jika kita berdialog dengan baik maka perbedaan ini akan membawa dimensi positif bagi kehidupan beragama di dunia. Hargai sebuah perbedaan dan tumbuhkan sikap ini di masyarakat yang berbeda namun tetap sama sebagai manusia ciptaan Tuhan.
 Dengan berbagai teori yang di munculkan oleh para ahli diyakinkan dengan al-qur’an maka, pluralitas mengandung banyak hikmah yang utama bagi manusia. Dibalik keragamaan ada potensi kerukunan yang didasarakan atas persamaan dan kebersamaaan.











DAFTAR PUSTAKA

Woodward, Mark R, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.
Mujiburrohman, Mengindonesiakan Islam Representasi Dan Ideologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad, Nur Hidayat, Benteng Ahlussunah Wal Jahma Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, Hizbu Tahrir dan LDII, Kediri: Nasyrul Ilmi, 2012.
Arfan, Abbas, Geneologi Pluralitas Mazhab Dalam Hokum Islam, UIN-Malang Press, 2008.
Muhtarom H. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.  
Rahardjo,Turnomo, Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Kamil, Sukron (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf. Hlm. 73 diakses tanggal 01/10/2012.
Suryadinata, Leo, Indonesia State Policy toward Ethnic Chinese : From Asimilation to Multiculturalism?, dalam simposium Internasional III Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2002.
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993)), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Wahid, Abdurahman, Pesantren Sebagai Subkultur, Jakarta: LP3ES, 1988.
Rahkmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Mizan: Bandung, 1998.
Untung, Moh. Slamet, Wacana Islam Kontemporer, Pekalongan: STAIN Press, 2011.  
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1992.
Berger, Peter L., “The Sacred Canopy: Elements Of A Sociological Theory Of Religion” (New York: Doubleday And Company Inc, 1969).
Nawawi, Muhammad Bin Umar, Maroh Labid, Lebanon: Beirut Dar Alkotob, 2011. 
Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sigma Publisher, 2011.
Ya’qub, Ali Musthofa, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ketiga, 2008.




[1] Barangkali menarik dicatat bahwa mendiang Clifford Geertz dalam sebuah papernya mengatakan Indonesia: “it is not just locally, accidentally and temporarily pluralist. It is, to commit a philosophical solecism and a political truth pervasively, essentially, and permanently so”. Lihat Clifford Geertz, “The Near East In The Far East: On Islam In Indonesia” (Occasional Paper Of The School Of Social Science, Desember, 2001), h. 11.
[2] Mujiburrohman, Mengindonesiakan Islam, h. 45.
[3] Ibid, h. 57.
[5] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, h. 146.
[6] Pandangan ini lebih luas cakupannya dari pada “pluralisme” yang didefiniskan oleh MUI yaitu sebagai pandangan yang menganggap bahwa semua agama sama dan dapat membawa keselamatan Mujiburrohman, Mengindonesiakan  Islam, h. 44.
[7] Ali Musthofa Ya’qub, Haji Pengabdi Setan, H. 17.
[8] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
8Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
9 Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. Lihat Tafsir Munir An-Nawawi.


[11] Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, h. 597.
[12] Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf.Hlm.73diakses tanggal 29/09/2012.
[13] Ruang publik menurut Charles Taylor tampaknya sejalan dengan pandangan Habermas. Menurut taylor, ruang public adalah “ruang bersama di mana anggota masyarakat bertemu melalui berbagai media: cetak, elektronik, dan juga secara tatap muka, untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama; dan dengan demikian mereka dapat membentuk pandangan yang sama atas masalah-masalah tersebut “lihat Charles Taylor, Modernity and the Rise of the Public Sphere”, The Tanner Lectures on human Values No. 14, h. 220. Dikutib dari Mujiburrohman.
[14] Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, hlm. 238
[15] Leo Suryadinata, Indonesia State Policy toward Ethnic Chinese : From Asimilation to Multiculturalism?, dalam simposium Internasional III Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2002.
[16] Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis), h. 87.

[17] Kosmopolitanisme; menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras dan suku bangsa yang hidup berdampingan di suatu lokasi. Relativisme; bahwa hal-hal yang menyangkut  “kebenaran” atau “nilai”ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Tegasnya “semua agama adalah benar”. Konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut. Sinkretisme; menciptakan suatau agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu sebagai komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. Abudin nata, loc cit, h. 189-190. Dikutib dari Mujiburrohman.
[18] Abbas Arfan, Geneogologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam, h. 225-232.
[19] Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 31.
[20] Muhtarom., Reproduksi Ulama Di Era Globalisas, h. 44
[21] Teori dimunculkan oleh Toffler baca di Mujiburrohman, Mengislamkan Indonesia, h. 64-65.
[22] Peter L Berger The Sacred Canopy: Elements Of A Sociological Theory Of Religion (New York: Doubleday And Company Inc, 1969), h. 127.
[23] Meskipun teori ini sebenarnya diterapkan oleh gereja-gereja Kristen di barat. Tetapi sebenarnya strategi itu diterpakan juga di lembaga-lembaga ke islaman seperti yayasan paramadina yang dipimpin Nurcholish Majid. Diambil dari Mujiburrohman h. 71.
[24] Berger, The Sacred Canopy, h. 140-44.
[25] Ide-ide ini hampir mirip dengan konsepsi dari gerakan Hizbutahrir Indonesia, yang sebenarnya HTI bukan lah faham keislaman melainkan gerakan politik yang dibawa dari Palestina dengan pemimpinnya Taqiyuddin An-Nabhaniy (1326-1397/1908-1977 M) baca Nur Hidayat Muhammad “Benteng Ahlussunah Wal Jama’ah”, Kediri: Nasyrul Ilmi, 2012, h. 32.  
[26] Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Raharjo, Pesantren dan pembaharuan, h. 36-60.
[27] Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil sebagai hujjah yang pasti dalam memahami sebuah ideologi lihat Maroh labid karya Syeikh Muhammad Bin Umar Nawawi Al-Jawi W. 1326 H. h. 612. Beirut Dar Alkotob.
[28] Dewan Redaksi, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, h. 559.
[29] Sekularisasi adalah akibat dari rasionalisme dan dan rasionalisme adalah ciri-ciri masyarakat modern disamping industrialisasi dan penemuan subyektifitas. Lihat pemikiran Jalaluddin Rakhmat “Islam Alternatif” 1998, Mizan: Bandung h. 175.
[30] Abdurrahman Wahid, Pluralisme dan Demokratisasi, H. 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar