A.
Prolog
Pada abad VII-XII M,
hampir semua sarjana muslim pada saat itu belum merasa cukup puas dengan hanya menguasai
satu cabang ilmu saja. Mereka selalu berusaha melengkapi dan menguasai dirinya
dengan berbagai macam kompetensi keilmuan. Kecenderungan
seperti ini merupakan kebiasaan para tokoh Islam dalam rangka meningkatkan
kualitas diri sekaligus sebagai upaya untuk memajukan Islam dalam berbagai aspek. Hal
ini dilatarbelakangi oleh dasar dan pandangan Islam sendiri terhadap eksistensi
ilmu pengetahuan dan pentingnya penguasaan berbagai disiplin ilmu bagi umat
Islam.[1]
Dan di antara tokoh-tokoh
Islam yang mampu menguasai beberapa cabang ilmu ialah Ibnu Sina. Beliau, bukan
saja seorang ahli kedokteran kelas dunia, tetapi juga seorang yang ahli di
bidang sains dan falsafah. Di samping itu Ibnu Sina juga merupakan ahli
politik dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber dunia.
Ia dikenal di Eropa sebagai Avicenna yang disebut sebagai “the greatest Muslim thinker and the last of the
Muslim philoshopher in the East”.[2]
Meskipun beliau lebih
dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, namun generasi
sesudahnya menemukan tentang pemikiran Ibnu Sina dalam bidang konsep pendidikan
Islam. Oleh sebab itu, Ibnu Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh
pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant dan beberapa teorinya masih cukup relevan
untuk dikembangkan dalam konteks pendidikan Islam modern.
Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam
memang telah banyak dikaji oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut
berhenti di situ saja. Pemikiran Ibnu Sina yang tertulis dalam karya-karyanya
akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat ini sehingga
menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang
bersifat solutif terhadap berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini,
termasuk juga problem pendidikan di Indonesia.
Makalah ini mencoba untuk
menghadirkan konsep pendidikan ala Ibnu Sina, baik yang berkaitan dengan pendidikan, tujuan pendidikan dan
kurikulum. Di akhir makalah ini akan di jelaskan aplikasinya dalam pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia dalam sebuah analisis dari penulis.
B.
Pembahasan
Ibnu Sina bernama lengkap Abu ‘Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir pada tahun
370 H/980 M di Afshana (Kharmisin), sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang
wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya bernama Abdullah, seorang
sarjana terhormat penganut Syi’ah Isma’illiyah,[4] berasal dari Balkh Khorasan, suatu kota yang termasyhur
di kalangan orang-orang Yunani dengan nama Bakhtra. Ayahnya tinggal di kota
Balkh, tetapi beberapa tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, keluarganya pindah ke
Bukhara karena ayahnya menjadi gubernur di suatu daerah di salah satu pemukiman
Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn Mansur,[5]
sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia).
Ibunya, bernama Astarah, berasal dari Afshana yang
termasuk wilayah Afghanistan. Ada yang menyebutkan ibunya sebagai orang yang berkebangsaan
Persia, karena pada abad ke-10 Masehi, wilayah Afghanistan ini termasuk daerah
Persia.[6]
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam
Isma’iliyah, pemikiran Ibnu Sina independen dengan tingkat kecerdasan dan ingatan luar
biasa.[7]
Banyak orang yang mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa
kepandaiannya (child prodigy). Sejarah mencatat, bahwa ia memulai
pendidikannya pada usia 5 tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang
ia pelajari adalah al-Quran, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari
ilmu-ilmu agama Islam. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, pada usia 10 tahun
telah hafal al-Qur'an dan ‘âlim dalam berbagai ilmu
keislaman yang berkembang saat itu, seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat,
logika dan pengobatan.
Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah
memahami seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun
juga. Karena kepintarannya
itulah, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini
terjadi setelah ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, di mana sebelumnya tidak
seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi Menteri
oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan, karena berhasil mengobati
penyakitnya.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang
fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "kedokteran tidaklah ilmu
yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga
saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai
merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai".[8]
Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas"
tapi hanya perlu meningkatkan pemahamannya secara "mendalam" atas
apa yang sudah dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun.
Ketika ia memasuki usia senja, ia pernah menyatakan kepada muridnya, al-Jurjani, bahwa sepanjang
tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang ia ketahui
sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Menurut Ibnu Sina ”masa muda sangat
menentukan keberhasilan seseorang”.
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun
980 H/1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat
ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.[9]
2. Ontologi
Filsafat Pendidikan ala Ibnu Sina
Membahas tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian
tentang hakikat manusia. Dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibnu Sina tidak
pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep
jiwa. Ibnu Sina menguraikan
lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an.
Adapun pembagian jiwa tersebut adalah:
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatîyah). Daya ini terbagi tiga macam, yaitu ghadzîyah (makan); munmîyah (tumbuh); muwallidah (mereproduksi). Daya jiwa nabatîyah
ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain.
b. Jiwa binatang (hayawanîyah). Daya jiwa ini terdiri dari dua macam, yakni: 1) Daya jiwa hayawanîyah
muhrikah (menggerakkan) sesuai dengan tuntutan daya-daya keinginan; 2) Daya
jiwa hayawanîyah mudrikah (menanggap); ialah jiwa menangkap dari penginderaan
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar, dan yang datang dari
dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri.
c. Jiwa manusia (insânîyah),
yang disebut juga al-nafs al-nâthiqât, mempunyai dua daya, yaitu: 1)
daya praktis (al-'âmilah), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-'âmilah disebut
juga al-'aql al-'amali (akal atau intelegensia
praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang
dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang
mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia dengan binatang; 2) Daya teoretis (al-'âlimah) hubungannya dengan
hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'âlimah disebut juga "aql al-nazhari" (akal intelegensia teoretis), daya jiwa ini menemukan
konsep-konsep umum yang ditimbulkan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa
tingkatan akal, yaitu; a) al-'aql bi al-quwwâb, yaitu intelegensia yang
berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui
proses belajar mengajar ataupun pengalaman-pengalaman. Di dalamnya terdapat;
a) al-aql al-hayulanî (akal material), al-'aql
al-malakât, (kebenaran aksioma) dan al-aql bi al-fi'l, (akal aktual); b) al-‘aql al-mustafâd (konsepsi rasional). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan
ilmu pengetahuan dari akal aktif.[10]
Ibnu Sina menerangkan tujuan pendidikan memiliki tiga
fungsi yang kesemuanya bersifat normatif. Pertama, tujuan itu menentukan
haluan bagi proses pendidikan. Kedua, tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju
tetapi juga sekaligus memberi rangsangan. Ketiga, tujuan itu adalah nilai, dan jika
dipandang bernilai, dan jika diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga
yang diperlukan untuk mencapainya. Tujuan itu mempunyai fungsi untuk menjadi
kriteria dalam memulai proses pendidikan.[11]
Berangkat dari pandangan tersebut, Ibnu Sina mengemukakan
bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya
yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti”[12].
Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama
dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan
potensi yang dimilikinya.[13]
Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu
Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala
sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan.
Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada
pendidikan bidang perkayuan,
penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu
mengerjakan pekerjaan secara profesional.
Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan
seorang anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi
pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup
sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak
diharapkan pula dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya. Begitu pula tujuan
pendidikan keterampilan, diharapkan bakat dan minat anak dapat berkembang secara optimal.
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia
yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia
tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia.
Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi
berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus
berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga
bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'âdah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina
dapat diperoleh manusia secara bertahap. Dari tujuan pendidikan yang berkenaan
dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat
dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini
menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan
yang lebih. Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Sina
adalah "mengembangkan potensi anak didik secara optimal sehingga memiliki
akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta memiliki
keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperoleh
kebahagiaan (sa'âdah) dalam hidupnya”.[14]
Kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat mata
pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik untuk mencapai tujuan tertentu.
Dengan demikian, ilmu apa saja yang dipelajari dan dikuasai oleh anak didik dapat disebut kurikulum. Ibnu Sina juga
menyinggung tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak
didik. Abuddin Nata menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibnu Sina didasarkan
kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu:[16]
a.
Usia 3 sampai 5 tahun
Menurut Ibnu Sina, pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara, dan kesenian. Masing-masing materi ini memiliki tujuan
dan cara pengembangannya dapat dilakukan sebagai berikut:
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik
serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti
mana saja di antara anak didik yang perlu diberi pendidikan olah raga sekedarnya saja, dan
mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak
lagi. Pelajaran olah raga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina
kesempurnaan pertumbuhan fisik anak dan fungsi organ tubuh secara optimal. Hal ini penting
mengingat fisik adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan
kuat.
Adapun pelajaran akhlak/budi pekerti diarahkan
untuk membekali anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam
rangka membina kepribadian anak sehingga jiwanya menjadi suci dan terhindar dari
perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sulit diperbaiki kelak pada
usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting
ditanamkan kepada anak sejak usia dini.
Sedangkan pelajaran pendidikan kebersihan juga
mendapat perhatian Ibnu Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak memiliki
kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam
Islam. Untuk pendidikan seni suara dan kesenian diperlukan agar anak
memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya.
Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang
pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang senang keindahan. Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan
kepada anak pada usia 3–5 tahun, menunjukkan bahwa Ibnu Sina telah
memandang penting pendidikan pada usia dini.
b.
Usia 6 sampai 14 tahun
Kurikulum untuk anak usia 6
- 14 tahun menurut Ibnu
Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama,
pelajaran sya'ir, dan pelajaran olah raga. Dan di umur 6 tahun
anak-anak wajib dipasrahkan ke pada guru.[17]
Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran agama yang
paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya.
Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibnu Sina berguna di samping
untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an,
juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti
pelajaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lain-nya
yang sumber utamanya adalah al-Qur'an.
Pelajaran keterampilan diperlukan untuk
mempersiapkan anak agar mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan
modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional. Pelajaran sya'ir dibutuhkan pada usia ini sebagai lanjutan
dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir
yang mengandung nilai-nilai pendidikan dalam menuntun perilakunya, di samping
petunjuk al-Qur'an dan Sunnah.
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan
tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu
dimasukkan ke dalam kurikulum
atau rancangan mata pelajaran adalah olah raga adu kekuatan, meloncat, jalan cepat, memanah,
berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak dan
disuasaikan dengan tingkat perkembangannya.
Berdasarkan pemikiran di atas, jika pada usia 3-5 tahun
lebih ditekankan pada aspek afektif atau pendidikan akhlak, maka pada usia 6-14
tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan pada usia
ini telah diajarkan al-Qur'an dengan membaca, menghafal dan memahami tata bahasanya.
Dengan demikian, aspek afektif dan psikomotorik sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini beralasan
mengingat pada usia ini, otak anak didik telah berkembang dan mulai mampu
memahami persoalan yang abstrak.
c.
Usia 14 tahun ke atas
Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan
kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan
kepada anak usia 14 tahun ke atas, sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai
dengan bakat dan minat anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan
kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk
menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para
pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu
yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini, anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu
(spesialisasi bidang keilmuan).
Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam
mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Tampaknya pembagian ini
dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis
dan praktis. Akan tetapi, Ibnu Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam
kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang berdasarkan kepada ajaran
Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:
1.
Ilmu yang bersifat teoritis meliputi: a) ilmu tabi'i,
(mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu
tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;), b) ilmu matematika; c) ilmu ketuhanan,
disebutnya ilmu paling tinggi (mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu,
hakikat jiwa pembawa wahyu, mu'jizat, berita ghaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh, dan
sebagainya).
2.
Ilmu yang bersifat praktis, meliputi: a) ilmu
akhlak; b) ilmu pengurusan rumah tangga, c) ilmu politik, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang
menginginkan tegaknya keadilan dengan menetapkan undang-undang dan syariat.
Dari uraian pemikiran Ibnu Sina tentang kurikulum di
atas, dapat dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak.
Oleh karena itu, mengenal psikologi anak sangat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern
mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal bakat
minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu maka mata
pelajaran yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh anak didik.
Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan
potenanak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Namun
masing-masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing
tingkat usia. Pada usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada
usia remaja diseimbangkan antara afektif, psikomotorik dan kognitif. Sedangkan
pada usia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan
keahlian dan kesenangan anak.
Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan
melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat,
atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian,
setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan
pekerjaan yang ada di masyarakat.
Keempat, kurikulum yang disusun
harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah
sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral.
Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang ditawarkan oleh Ibnu Sina
sejak usia kanak-kanak.
Kelima, kurikulum yang ditawarkan
adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa
Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak.
Sedangkan perhatian Ibnu Sina terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini
membuktikan ia memahami bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus
terintegrasi antara iman, ilmu, dan amal.[18]
4.
Metode Pembelajaran ala Ibnu Sina
Ibnu Sina juga memiliki beberapa konsep metode
pembelajaran. Pada dasarnya metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang
satu dan materi pelajaran lainnya.
Artinya, pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan karakteristik dari masing-masing
materi pelajaran, di samping juga harus mempertimbangkan tingkat
perkembangan/psikologis anak didik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode
yang ditawarkannya. Menurut Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibnu
Sina adalah metode talqin, demonstrasi,
pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan.[19] Ketujuh metode pembelajaran ini akan dijelaskan di bawah
ini, ditambah lagi dengan metode dera dan hukuman (metode targhîb dan
tarhîb).[20]
a. Metode talqîn;
perlu digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur'an, mulai dengan cara
memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada anak didik, sebagian demi sebagian.
Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut
perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal.
b. Metode demonstrasi; dapat
digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar
menulis. Menurut Ibnu Sina jika seorang guru akan mempergunakan metode
tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya.
Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai
dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara
menulisnya.
c. Metode pembiasaan dan
keteladanan; termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif,
khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan
pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak. Ibnu
Sina mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru" atau contoh
tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap
kehidupan mereka, karena secara thabî'îyah anak mempunyai
kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang dilihat, di rasakan dan yang didengarnya.
d. Metode diskusi; dapat
dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada
suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan
dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan
pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis. Pengetahuan model ini pada
masa Ibnu Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan
metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut.
e. Metode magang; Ibnu
Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya.
Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar
menggabungkan teori dan praktik. Metode ini akan menimbulkan
manfaat ganda, yaitu di samping akan membuat anak didik mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian
dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis.
f. Metode penugasan; dilakukan
dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikan kepada para
murid untuk dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan kepada salah seorang
muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam
bahasa Arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah al-ta'lîm bi al-marâsil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau
modul).
g. Metode targhîb dan tarhîb;
dalam pendidikan modern dikenal istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah,
penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan
berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang
baik. Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhîb) atau punishment
dapat dilakukan dengan cara diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan
menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi
motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar
ia kembali kepada perbuatan baik. Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan
sekali yang menimbulkan rasa sakit, dan dilakukan setelah diberi peringatan
keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh
yang positif dalam jiwa anak.
Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan
bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada
empat karakteristik metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan
penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran; kedua,
metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak; ketiga,
metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih
dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.
C. Analisis
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan
Islam yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang menurut
penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia
dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran Ibnu Sina ini bisa menjadi pendidikan
alternatif dalam mewujudkan pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan
zaman. Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibnu Sina tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama, pentingnya pendidikan anak usia dini. Di Indonesia dalam konteks ini sudah
cukup serius melangsungkan proses pendidikan sejak dini, terutama dengan maraknya Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD). Kedua, pentingnya pendidikan
akhlak. Sebagaimana yang diuraikan di atas, pendidikan akhlak menjadi salah satu tujuan
pendidikan dalam pemikiran Ibnu Sina.
Ketiga, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibnu Sina yang
sering dikenal dunia internasional sebagai ahli di bidang kedokteran (termasuk rumpun sains) dan
filosof, ternyata memahami benar tentang al-Qur'an. Tampaknya ia juga menyadari
pengaruh al-Qur'an tersebut sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari
al-Qur'an yang dimulai sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya
pada usia 6 - 14 tahun.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya
pendidikan al-Qur'an kurang
mendapat perhatian serius. Misalnya, di tingkat Sekolah Dasar, masih lebih memfokuskan belajar
baca tulis al-Qur'an, sementara di madrasah, al-Qur'an hanya
menjadi salah satu pelajaran yang digabung dengan Al-Qur’an-Hadits, itu pun kadang-kadang kurang
maksimal. Untuk itu orang tua harus mengajarkan al-Qur'an sejak dini kepada anaknya. Sementara
pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an ke seluruh mata
pelajaran, khususnya untuk tingkat pendidikan SMP/MTs dan MA/SMA. Dengan upaya
ini, diharapkan anak didik akan
merasa semakin dekat dengan al-Qur'an serta akan lahir generasi penerus Ibnu
Sina sebagai "ulama yang ilmuwan, atau ilmuwan yang ulama".
Keempat, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs).
Salah satu pemikiran penting Ibnu Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa. Jika
ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibnu Sina tampaknya akan diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik agar memiliki tingkat jiwa
yang tertinggi.
Penulis memahami bahwa konsep jiwa yang ditawarkannya
telah mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagaimana yang dikenal dewasa ini,
bahkan mungkin melebihi dari konsep itu. Oleh karena itu,
pendidikan harus berorientasi kepada kecerdasan jiwa. Salah satu di antaranya
yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafsiyyah).
Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs)
dapat mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Profil anak
didik seperti sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian.
Kelima, perlu membangun paradigma pendidikan non-dikotomik, atau
pendidikan integralistik.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam
ini harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan
"pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini sering kali menimbulkan paradigma dikotomik yang
mempertentangkan antara satu ilmu dengan yang lain. Paradigma semacam ini
menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan
seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap beragama hanya urusan privasi
seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak
berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih
menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibnu Sina ini patut
diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas:
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta cerdas dalam menyelesaikan
berbagai persoalan sehingga menemukan kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
D. Daftar Pustaka
Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, cet. 1. 2011.
-------------------, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam cet. III (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003).
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan
Islami Integrasi Jasmani, Rohani Dan Kalbu Memenausiakan Manusia, Bandung:
Rosda Karya, Cet. 5 September 2012.
Munawwir,
Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa Ke Masa,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985.
Jalaluddin dan Abdullah
Idi. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat Dan Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet. 2. Maret 2012.
Syamsul Kurniawan
dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, Cet.1, 2011.
Utsman, Fathor Rachman. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina Dan Aplikasinya Dalam
Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal: Tadris Vol 5, No.1 .2010.
al-Naqib, Abd al-Rahman. Avicenna
370-428/980-1037, Paris, UNESCO: International Bureau of Education, vol. XXIII,
no. 1/2, 1993. ©UNESCO: International Bureau of Education, 2000.
Azra, Azyumardi. Esai-Esai Intelektual Muslim Dan
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998.
[1] Kuliah dengan Prof. Dr. H. Soetrisno, M.A tanggal
10-03-2013. Dan memang para Ulama terdahulu menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil
Siraj terinspirasi dan mengamalkan al-Qur’an Surat al-Haj ayat 45. Berbeda
dengan zaman sekarang dimana spirit al-Qur’an sudah mulai sering dikaburkan
oleh isu-isu politik dll.
[2] M. Ihsan Dacholfany, Sistem dan Pendidikan Menurut
Ibnu Sina. Makalah ini ditulis dan
diterbitkan dalam Bahasa Malaysia di http://www.teknologipendidikan.net/sistem-dan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Diakses pada hari Kamis, 21 Maret 2013.
[4] Imam Tholkhah & Ahmad
Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi
Keilmuan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 248. Meskipun
ayahnya seorang penganut paham Syi’ah Isma’illiyah, dan Ibnu Sina sendiri
banyak belajar kepada ulama-ulama Isma’illiyah, ia sendiri menolak identitas
tersebut.
[5]Muhammad Tolhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang
Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), hlm. 116.
[6]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 61.
[7] (Paris, UNESCO:
International Bureau of Education), vol. XXIII, no. 1/2, 1993, p.
53-69.©UNESCO: International Bureau of Education, 2000. Page. 1
[8]Mohammad Kosim, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009). Makalah Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis di http://mhdkosim.blogspot.com/ 2009/02/makalah-filsafat-pendidikan-islam_04.html. Diambil pada hari Jum’at, 22 Juni 2013.
[10] Utsman, Fathor Rachman. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jurnal: Tadris Vol 5,
No.1 .2010.
[17] Ini menurut Syalabi dalam buku H.M Arifin M.Ed, Hubungan
Timbal Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, hlm. 78.
[18] Tafsir,
Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani Dan Kalbu
Memenausiakan Manusia, hlm. 117-118.
[19]Ibid., hlm. 74-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar