Sabtu, 19 Oktober 2013

PENDIDIKAN ALA IBNU SHINA



A.  Prolog
Pada abad VII-XII M, hampir semua sarjana muslim pada saat itu belum merasa cukup puas dengan hanya menguasai satu cabang ilmu saja. Mereka selalu berusaha melengkapi dan menguasai dirinya dengan berbagai macam kompetensi keilmuan. Kecende­rungan seperti ini merupakan kebiasaan para tokoh Islam dalam rangka meningkatkan kualitas diri sekaligus sebagai upaya untuk memajukan Islam dalam berbagai aspek. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar dan pandangan Islam sendiri terhadap eksistensi ilmu pengetahuan dan pentingnya penguasaan berbagai disiplin ilmu bagi umat Islam.[1]
Dan di antara tokoh-tokoh Islam yang mampu menguasai beberapa cabang ilmu ialah Ibnu Sina. Beliau, bukan saja seorang ahli kedokteran kelas dunia, tetapi juga seorang yang ahli di bidang sains dan falsafah. Di samping itu Ibnu Sina juga merupakan ahli politik dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber dunia. Ia dikenal di Eropa sebagai Avicenna yang disebut sebagai the greatest Muslim thinker and the last of the Muslim philoshopher in the East”.[2]
Meskipun beliau lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, namun generasi sesudahnya menemukan tentang pemikiran Ibnu Sina dalam bidang konsep pendidikan Islam. Oleh sebab itu, Ibnu Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant dan beberapa teorinya masih cukup relevan untuk dikembangkan dalam konteks pendidi­kan Islam modern.
Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam memang telah banyak dikaji oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut ber­henti di situ saja. Pemikiran Ibnu Sina yang tertulis dalam karya-karyanya akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat ini sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang bersifat solutif terhadap ber­ba­gai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini, termasuk juga prob­lem pendidikan di Indonesia.
Makalah ini mencoba untuk menghadirkan konsep pendidikan ala Ibnu Sina, baik yang berkaitan dengan pendidikan, tujuan pendidikan dan kurikulum. Di akhir makalah ini akan di jelaskan aplikasinya dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia dalam sebuah analisis dari penulis.
B.  Pembahasan
1.    Ibnu Sina[3]
Ibnu Sina bernama lengkap Abu ‘Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir pada tahun 370 H/980 M di Afshana (Kharmisin), sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Syi’ah Isma’illiyah,[4] berasal dari Balkh Khorasan, suatu kota yang termasyhur di kalangan orang-orang Yuna­ni dengan nama Bakhtra. Ayahnya tinggal di kota Balkh, tetapi bebe­rapa tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, keluarganya pindah ke Bukhara karena ayahnya menjadi gubernur di suatu daerah di salah satu pe­mu­kiman Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn Mansur,[5] sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia).
Ibunya, bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afghanistan. Ada yang menyebutkan ibunya sebagai orang yang berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 Masehi, wilayah Afghanistan ini termasuk daerah Persia.[6]
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Isma’iliyah, pemikiran Ibnu Sina independen dengan tingkat kecerda­san dan ingatan luar biasa.[7] Banyak orang yang meng­aguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepan­daiannya (child prodigy). Sejarah mencatat, bahwa ia memulai pendidikannya pada usia 5 tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang ia pelajari adalah al-Quran, setelah itu ia melan­jutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur'an dan âlim dalam berbagai ilmu keislaman yang berkembang saat itu, seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat, logika dan pengobatan.
Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun juga. Karena kepintarannya itulah, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi setelah ia berhasil mengo­bati Pangeran Nuh ibn Manshur, di mana sebelumnya tidak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi Menteri oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan, karena berhasil mengobati penyakitnya.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai".[8]
Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas" tapi hanya perlu me­ning­katkan pemahamannya secara "mendalam" atas apa yang sudah di­pelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia me­masuki usia senja, ia pernah menyatakan kepada murid­nya, al-Jurjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Menurut Ibnu Sina ”masa muda sangat menentukan keber­hasilan seseorang”.
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 980 H/1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wa­fat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.[9]
2.    Ontologi Filsafat Pendidikan ala Ibnu Sina
Membahas tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia. Dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibnu Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa. Ibnu Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an. Adapun pembagian jiwa tersebut adalah:
a.    Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatîyah). Daya ini terbagi tiga macam, yaitu ghadzîyah (makan); munmîyah (tumbuh); muwallidah (mere­produksi). Daya jiwa nabatîyah ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain.
b.    Jiwa binatang (hayawanîyah). Daya jiwa ini terdiri dari dua macam, yakni: 1) Daya jiwa hayawanîyah muhrikah (menggerakkan) sesuai dengan tuntutan daya-daya keinginan; 2) Daya jiwa hayawanîyah mudrikah (menanggap); ialah jiwa menangkap dari penginderaan terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar, dan yang datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri.
c.    Jiwa manusia (insânîyah), yang disebut juga al-nafs al-nâthiqât, mem­punyai dua daya, yaitu: 1) daya praktis (al-'âmilah), hubungan­nya dengan jasad. Daya jiwa al-'âmilah disebut juga al-'aql al-'amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya keku­a­saan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertim­ba­ngan dan pemikiran yang membedakan dia dengan  binatang; 2) Daya teoretis (al-'âlimah) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'âlimah disebut juga "aql al-nazhari" (akal inte­le­gensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum yang ditimbulkan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai be­berapa tingkatan akal, yaitu; a) al-'aql bi al-quwwâb, yaitu intele­gensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan ling­kungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun penga­laman-pengalaman. Di dalamnya terdapat; a) al-aql al-hayulanî (akal material), al-'aql al-malakât, (kebenaran aksioma) dan al-aql  bi al-fi'l, (akal aktual); b) al-‘aql al-mustafâd (konsepsi rasio­nal). Jadi, akal se­perti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[10]
Ibnu Sina menerangkan tujuan pendidikan memiliki tiga fungsi yang kesemuanya bersifat normatif. Pertama, tujuan itu menentukan haluan bagi proses pendidikan. Kedua, tujuan itu bukan hanya menen­tukan haluan yang dituju tetapi juga sekaligus memberi rangsangan. Ketiga, tujuan itu adalah nilai, dan jika dipandang bernilai, dan jika diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Tujuan itu mempunyai fungsi untuk menjadi kriteria dalam memulai proses pendidikan.[11]
Berangkat dari pandangan tersebut, Ibnu Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelek­tual dan budi pekerti”[12]. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiap­an, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.[13]
Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembina­an fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah­raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tuju­an pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendi­dikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan mun­cul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.
Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan seorang anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedang­kan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memi­liki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan pula dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayal­nya. Begitu pula tujuan pendidikan keterampilan, diharap­kan bakat dan minat anak dapat berkembang secara optimal.
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bah­wa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'âdah). Keba­ha­giaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih. Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Sina adalah "mengembangkan potensi anak didik secara optimal sehingga memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperoleh kebahagiaan (sa'âdah) dalam hi­dupnya”.[14]
3.    Kurikulum ala Ibnu Sina[15]
Kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, ilmu apa saja yang dipelajari dan dikuasai oleh anak didik dapat disebut kurikulum. Ibnu Sina juga menyinggung tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak didik. Abuddin Nata menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibnu Sina didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu:[16]
a.    Usia 3 sampai 5 tahun
Menurut Ibnu Sina, pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. Masing-masing materi ini memiliki tujuan dan cara pengembangannya dapat dilakukan sebagai berikut:
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat perkem­bangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberi pendidikan olah raga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Pelajaran olah raga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik anak dan fungsi organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat fisik adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat.
Adapun pelajaran akhlak/budi pekerti diarahkan untuk mem­bekali anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian anak sehingga jiwanya menjadi suci dan terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sulit diperbaiki kelak pada usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu Sina memandang pela­ja­ran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini.
Sedangkan pelajaran pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian Ibnu Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam. Untuk pendidikan seni suara dan kesenian diperlukan agar anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang senang keindahan. Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak pada usia 3–5 tahun, menunjukkan bahwa Ibnu Sina telah memandang penting pendidikan pada usia dini.
b.   Usia 6 sampai 14 tahun
Kurikulum untuk anak usia 6 - 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olah raga. Dan di umur 6 tahun anak-anak wajib dipasrahkan ke pada guru.[17]
Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran agama yang paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya. Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lain-nya yang sumber utamanya adalah al-Qur'an.
Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak agar mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional. Pelajaran sya'ir dibutuhkan pada usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah.
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dima­suk­kan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran adalah olah raga adu kekuatan, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini ber­da­sarkan kebutuhan anak dan disuasaikan dengan tingkat per­kem­bangannya.
Berdasarkan pemikiran di atas, jika pada usia 3-5 tahun lebih ditekankan pada aspek afektif atau pendidikan akhlak, maka pada usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan pada usia ini telah diajarkan al-Qur'an dengan membaca, menghafal dan memahami tata bahasanya. Dengan demikian, aspek afektif dan psikomotorik sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini beralasan mengingat pada usia ini, otak anak didik telah berkembang dan mulai mampu memahami persoalan yang abstrak.
c.    Usia 14 tahun ke atas
Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina memandang mata pela­ja­ran yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas, sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran ter­sebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini, anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu (spesialisasi bidang ke­ilmuan).
Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Tampaknya pembagian ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibnu Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang ber­sifat teoritis dan praktis yang berdasarkan kepada ajaran Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:
1.    Ilmu yang bersifat teoritis meliputi: a) ilmu tabi'i, (mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;), b) ilmu mate­matika; c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi (mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu'jizat, berita ghaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh, dan sebagainya).
2.    Ilmu yang bersifat praktis, meliputi: a) ilmu akhlak; b) ilmu pengurusan rumah tangga, c) ilmu politik, terutama dalam kehi­dupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadi­lan dengan menetapkan undang-undang dan syariat.
Dari uraian pemikiran Ibnu Sina tentang kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertim­bang­­kan aspek psikologis anak. Oleh karena itu, mengenal psikologi anak sangat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal bakat minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi ma­sing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu maka mata pela­jaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah di­kuasai oleh anak didik.
Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potenanak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelek­tual, dan akhlaknya. Namun masing-masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing tingkat usia. Pada usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja di­seimbangkan antara afektif, psikomotorik dan kognitif. Sedangkan pada usia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan keahlian  dan kesenangan anak.
Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan kete­ram­pilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di masyarakat.
Keempat, kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada aja­ran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak di­dik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang di­tawarkan oleh Ibnu Sina sejak usia kanak-kanak.
Kelima, kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan sya­ir merupakan bukti bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak. Sedangkan perhatian Ibnu Sina terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan ia memahami bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus terintegrasi antara iman, ilmu, dan amal.[18]
4.      Metode Pembelajaran ala Ibnu Sina
Ibnu Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran. Pada dasarnya metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki per­bedaan antara materi yang satu dan materi pelajaran lainnya. Artinya, pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan karak­teristik dari masing-masing materi pelajaran, di samping juga harus mempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak didik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode yang ditawarkannya. Menu­rut Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibnu Sina ada­lah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan.[19] Ketujuh metode pembelajaran ini akan dijelaskan di bawah ini, ditambah lagi dengan metode dera dan hukuman (metode targhîb dan tarhîb).[20]
a.    Metode talqîn; perlu digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur'an, mulai dengan cara memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal.
b.    Metode demonstrasi; dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar menulis. Menurut Ibnu Sina jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di ha­dapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para mu­rid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
c.    Metode pembiasaan dan keteladanan; termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak. Ibnu Sina mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru" atau contoh tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara thabî'îyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang  dilihat, di rasakan dan yang didengarnya.
d.   Metode diskusi; dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat be­ru­pa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis. Pengetahuan model ini pada masa Ibnu Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, ma­ka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.
e.    Metode magang; Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabung­kan teori dan praktik. Metode ini akan menimbulkan manfaat gan­da, yaitu di samping akan membuat anak didik mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis.
f.     Metode penugasan; dilakukan dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikan kepada para murid untuk dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan kepada salah seorang muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab, pengajaran dengan penu­gasan ini dikenal dengan istilah al-ta'lîm bi al-marâsil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).
g.    Metode targhîb dan tarhîb; dalam pendidikan modern dikenal isti­lah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau im­balan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhîb) atau punishment dapat dilakukan dengan cara diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik. Tetapi jika sudah terpaksa memu­kul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, dan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menja­dikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.
Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendi­dikan. Paling tidak ada empat karakteristik metode yang ditawar­kan oleh Ibnu Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran; kedua, metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik, terma­suk bakat dan minat anak; ketiga, metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.




C.  Analisis  
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang menurut penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam pelaksanaan pen­didikan Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran Ibnu Sina ini bisa menjadi pendidikan alternatif dalam mewujudkan pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibnu Sina tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pentingnya pendidikan anak usia dini. Di Indonesia da­lam konteks ini sudah cukup serius melangsungkan proses pendi­dikan sejak dini, terutama dengan maraknya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kedua, pentingnya pendidikan akhlak. Sebagaimana yang diurai­kan di atas, pendidikan akhlak menjadi salah satu tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibnu Sina.
Ketiga, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibnu Sina yang sering dikenal dunia internasional sebagai ahli di bidang kedokteran (terma­suk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami benar tentang al-Qur'an. Tampaknya ia juga menyadari pengaruh al-Qur'an tersebut sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari al-Qur'an yang dimulai sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya pada usia 6 - 14 tahun.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendi­dikan al-Qur'an kurang mendapat perhatian serius. Misalnya, di tingkat Sekolah Dasar, masih lebih memfokuskan belajar baca tulis al-Qur'an, sementara di madrasah,  al-Qur'an hanya menjadi salah satu pelajaran yang digabung dengan Al-Qur’an-Hadits, itu pun kadang-kadang kurang maksimal. Untuk itu orang tua harus meng­ajarkan al-Qur'an sejak dini kepada anaknya. Sementara pihak seko­lah, seharus­nya mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an ke seluruh mata pelajaran, khususnya untuk tingkat pendidikan SMP/MTs dan MA/SMA. Dengan upaya ini, di­harapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Qur'an serta akan lahir generasi penerus Ibnu Sina sebagai "ulama yang ilmuwan, atau ilmuwan yang ulama".
Keempat, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs). Salah satu pemikiran penting Ibnu Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa. Jika ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibnu Sina tampaknya akan diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik agar memiliki tingkat jiwa yang tertinggi.  
Penulis memahami bahwa konsep jiwa yang ditawarkannya telah mencakup kecerdasan intelektual, emosio­nal, dan spiritual sebagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan mungkin melebihi dari konsep itu. Oleh karena itu, pendidikan harus ber­orientasi kepada kecerdasan jiwa. Salah satu di antaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafsiyyah).
Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepa­da jiwa (al-nafs) dapat mencerdaskan anak didik sekaligus mem­bentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Profil anak didik seperti sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian.
Kelima, perlu membangun paradigma pendidikan non-dikotomik, atau pendidikan integralistik.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan "pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini sering kali menimbulkan para­digma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap beragama hanya urusan privasi seseorang, pem­binaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibnu Sina ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan kebaha­giaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.






D.  Daftar Pustaka
Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, cet. 1. 2011.
-------------------, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam cet. III (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani Dan Kalbu Memenausiakan Manusia, Bandung: Rosda Karya, Cet. 5 September 2012.
Munawwir, Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa Ke Masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat Dan Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. 2. Maret 2012.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Cet.1, 2011.
Utsman, Fathor Rachman. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina Dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal: Tadris Vol 5, No.1 .2010.  
al-Naqib, Abd al-Rahman. Avicenna 370-428/980-1037, Paris, UNESCO: International Bureau of Education, vol. XXIII, no. 1/2, 1993. ©UNESCO: International Bureau of Education, 2000.
Azra, Azyumardi. Esai-Esai Intelektual Muslim Dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998.




[1] Kuliah dengan Prof. Dr. H. Soetrisno, M.A tanggal 10-03-2013. Dan memang para Ulama terdahulu menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj terinspirasi dan mengamalkan al-Qur’an Surat al-Haj ayat 45. Berbeda dengan zaman sekarang dimana spirit al-Qur’an sudah mulai sering dikaburkan oleh isu-isu politik dll.
[2] M. Ihsan Dacholfany, Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina.  Makalah ini ditulis dan diterbitkan dalam Bahasa Malaysia di  http://www.teknologipendidikan.net/sistem-dan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Diakses pada hari Kamis, 21 Maret 2013.
[3] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 296-297.
[4] Imam Tholkhah & Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 248. Meskipun ayahnya seorang penganut paham Syi’ah Isma’illiyah, dan Ibnu Sina sendiri banyak belajar kepada ulama-ulama Isma’illiyah, ia sendiri menolak identitas tersebut.
[5]Muhammad Tolhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), hlm. 116.
[6]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 61.
[7] (Paris, UNESCO: International Bureau of Education), vol. XXIII, no. 1/2, 1993, p. 53-69.©UNESCO: International Bureau of Education, 2000. Page. 1

[8]Mohammad Kosim, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009). Makalah Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis di http://mhdkosim.blogspot.com/ 2009/02/makalah-filsafat-pendidikan-islam_04.html. Diambil pada hari Jum’at, 22 Juni 2013.

[9] Imam Tholkhah & Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 250.
[10] Utsman, Fathor Rachman. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal: Tadris Vol 5, No.1 .2010. 
[11] Ibid, hlm. 44.
[12]Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 2. Dalam jurnal Tadris.
[13] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 77.
[14] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 220.
[15] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 78.
[16] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 70-74.
[17] Ini menurut Syalabi dalam buku H.M Arifin M.Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, hlm. 78.
[18] Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani Dan Kalbu Memenausiakan Manusia, hlm. 117-118.
[19]Ibid., hlm. 74-76.

[20]Metode ini merupakan temuan Ali al-Jumbulati dalam mengkaji pemikiran pendidikan Ibnu Sina. Pendapat ini dikutip juga oleh Mohammad Kosim dalam tilisannya tentang, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009). yang ditulis di http://mhdkosim.blogspot.com/2009/02/makalah-filsafat-pendidikan-islam_04.html. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar