ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A.
KONSEP DASAR ANALISIS KEBIJAKAN
1)
Arti Penting Mempelajari Kebijakan
Merupakan suatu
kebutuhan bagi ilmuwan pendidikan, utamanya ilmuwan administrasi pendidikan
untuk memahami studi mengenai kebijakan publik (public policy)
khususnya kebijakan pendidikan (educational policy). Kepentingan ini
erat kaitannya dengan peran yang diharapkan dari ilmuwan administrasi
pendidikan, tidak saja nantinya diharapkan sebagai seorang perumus kebijakan
pendidikan yang berkualitas – apabila ilmuwan administrasi pendidikan terlibat
dalam proses pembuatan kebijakan (policy maker) – akan tetapi lebih dari
sekedar itu, ilmuwan administrasi pendidikan diharapkan akan memberikan peran
yang besar dalam memberikan koreksi terhadap berbagai kesalahan-kesalahan
(ketidaktepatan) dalam perumusan berbagai kebijakan pendidikan yang telah
dihasilkan oleh pemerintah selama ini. Dengan demikian studi kebijakan
pendidikan akan memberikan dasar yang kuat bagi seseorang yang ingin
mengembangkan profesi sebagai seorang analis kebijakan pendidikan. Profesi
analis kebijakan pendidikan ini merupakan bidang kajian yang mulai berkembang
dan merupakan peluang bagi ilmuwan administrasi pendidikan.
2)
Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik
Mengkaitkan
studi kebijakan publik, khususnya kebijakan pendidikan dengan ilmu administrasi
pendidikan akan selalu berbicara tentang administrasi pendidikan secara makro.
Secara prinsip, administrasi pendidikan merupakan aplikasi ilmu administrasi ke
dalam lingkup pendidikan dan merupakan bagian dari applied sciences terutama
pada bidang pendidikan baik di sekolah maupun luar sekolah. Prinsip-prinsip
yang dimiliki oleh ilmu administrasi pendidikan tidak berbeda dengan prinsip-prinsip
yang ada pada konsep administrasi pada umumnya, demikian pula dengan
fungsi-fungsi administrasi pendidikan adalah juga merupakan rangkaian konsep
dari rumusan administrasi dan manajemen. Penerapan administrasi di bidang pendidikan
diarahkan pada usaha untuk menunjang kelancaran pencapaian tujuan pendidikan,
sedangkan untuk fungsi dan strategi dari konsep manajerial pada prinsipnya sama
dengan yang diterapkan dalam lingkup manajemen. Administrasi pendidikan dapat
dikatakan sebagai kegiatan penataan aspek pendidikan, termasuk dalam sistem
penyelenggaraan pendidikan yang tercakup dalam proses pembuatan kebijakan
pendidikan, seperti yang dilakukan dalam kegiatan administrasi pendidikan di
level nasional (makro) maupun level regional (messo). Aspek pendidikan yang
merupakan kajian administrasi pendidikan merupakan public goods bukan private
goods. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan barang dan jasa milik umum
(publik), yang mana masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran (pasal 31 UUD 1945), dan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah
untuk melaksanakannya, utamanya peranan mendasar menyediakan kesempatan
belajar.. Oleh karena pendidikan merupakan public goods, maka sudah
semestinya kajian kebijakan pendidikan masuk dalam dimensi kajian administrasi
pendidikan yang multidisipliner.
3)
Proses Pembuatan Kebijakan
Sebelum
membicarakan mengenai kebijakan publik, sangat perlu memahami dahulu konsep
kebijakan. Hal ini perlu dilakukan karena begitu luasnya penggunaan konsep dan
istilah kebijakan, sehingga akan menimbulkan sudut pandang yang berbeda dalam
memahami konsep kebijakan dan kebijakan publik, khususnya kebijakan pendidikan.
Solichin Abdul
Wahab (1990) menjelaskan mengenai ragam penggunaan istilah kebijakan sebagai
berikut: (a) merek bagi suatu bidang kegiatan tertentu; (b) pernyataan mengenai
tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki; (c) usulan khusus; (d)
keputusan pemerintah; (e) bentuk pengesahan formal; (f) program; (g) keluaran;
(h) hasil akhir; (i) teori atau model; (j) proses. Terdapat perbedaan definisi
tentang konsep kebijakan publik (public policy) dengan kebijakan privat
(private policy). Kebijakan publik biasanya dibuat oleh pemerintah dan
memberikan dampak yang besar dan luas pada publik (masyarakat), misalnya
kebijakan Sisdiknas dan UAN. Sedangkan kebijakan privat biasanya dibuat oleh
badan perseorangan atau swasta, namun bisa juga kebijakan tersebut membawa dampak
dan mengikat pada publik (masyarakat), misalnya kebijakan yang berupa iklan
dari perusahaan di media televisi yang memberikan dampak yang besar bagi publik. Beragam definisi tentang konsep kebijakan
publik dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua pendapat yang mengemuka. Pertama,
pendapat yang memandang bahwa kebijakan publik identik dengan tindakan-tindakan
yang dilakukan pemerintah. Pendapat ini cenderung beranggapan bahwa semua
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya dapat disebut sebagai
kebijakan publik. Kedua, pendapat yang memusatkan perhatian pada
implementasi kebijakan (policy implementation). Pandangan yang
pertama melihat bahwa kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan pemerintah
yang mempunyai tujuan atau sasaran tertentu, dan pandangan yang kedua
beranggapan bahwa kebijakan publik mempunyai akibat-akibat atau dampak yang
dapat diramalkan atau diantisipasi sebelumnya.
Definisi
kebijakan publik yang agak menyeluruh dikemukakan oleh Peters (1980) yang
melihat bahwa kebijakan negara adalah keseluruhan aktivitas pemerintah baik
yang dilakukan sendiri atau melalui berbagai badan-badan yang lain yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat atau warga negara. Selanjutnya Peters
(1980) membagi tingkat kebijakan dengan menggolongkan berdasarkan pengaruhnya
terhadap perubahan yang ditimbulkan pada kehidupan masyarakat.
Pada tingkat
pertama adalah keputusan-krputusan yang dihasilkan oleh DPR, Presiden dan
berbagai kelompok penekan (pressure groups), yang hasilnya berupa
kebijakan untuk dilakukan (policy in action). Pada tingkat kedua adalah output
kebijakan, yang mana pemerintah melaksanakan hasil-hasil kebijakan dengan membelanjakan
uang dan membuat peraturan pelaksanaan yang akan mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat.
Pada tahap
ketiga adalah policy impact (akibat-akibat kebijakan) yang ditumbulkan
oleh berbagai pilihan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pada dasarnya
aspek kebijakan publik sangat kompleks. Pertama, dalam pelaksanaannya yang
menyangkut pada strukturnya. Struktur yang ada dalam sistem pemerintahan
seringkali menimbulkan konflik dalam implementasi kebijakan karena adanya
perbedaan kepentingan pada masing-masing jenjang pemerintahan. Kedua, bahwa
tidak semua kebijakan pemerintah dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah sendiri,
seringkali kebijakan pemerintah dilaksanakan oleh organisasi swasta dan individu.
Ketiga, bahwa kebijakan yang diambil pemerintah akan selalu menimbulkan akibat
terhadap kehidupan warga negara. Dengan kata lain kebijakan publik merupakan
suatu proses yang amat kompleks, bersifat analitis dan politis yang tidak
mempunyai awal atau akhir dan batas-batas dari proses tersebut pada umumnya
tidak pasti. Kadangkala rangkaian kekuatan-kekuatan yang kompleks yang disebut
pembuatan kebiajakan itu menghasilkan suatu akibat yang dinamakan kebijakan
(Lindbolm, 1986).
Untuk dapat
melaksanakan berbagai kebijakan yang telah dibuat pemerintah, maka sangat
diperlukan instrumen untuk mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan
berbagai kebijakan (Peters, 1980).
a. Hukum. Instrumen yang paling umum digunakan pemerintah, karena
hanya pemerintah yang berwenang menetapkan hukum. Dengan menetapkan suatu hukum,
pemerintah mempunyai legitimasi untuk dapat melaksanakan suatu kebijakan yang
dapat memaksa setiap warga negara untuk mentaatinya..
b. Services. Dalam melaksanakan kebijakan, pemerintah dapat melakukannya dengan
memberikan pelayanan kepada warga negara. Pemberian pelayanan dapat meliputi
berbagai bidang termasuk pelayanan pendidikan.
c. Dana. Instrumen kebijakan yang penting, karena pemberian pelayanan
kepada masyarakat dan jalannya organisasi pemerintah hanya mungkin dilakukan
apabila tersedia sumberdaya untuk membiayai semua kegiatan pemerintah.
d. Pajak. Instrumen kebijakan pemerintah untuk terciptanya pemerataan
berbagai jenis pelayanan kepada masyarakat. Walaupun pajak dipungut dari
masyarakat, namun akan dikembalikan oleh pemerintah kepada masyarakat melalui
berbagai bentuk program yang lebih memberikan keuntungan secara lebih baik
kepada masyarakat yang kurang beruntung.
e. Suasi. Apabila semua instrumen di atas gagal digunakan oleh
pemerintah, maka pemerintah dapat menggunakan keyakinan moral untuk mempengaruhi
masyarakat. Karena kedudukan pemerintah dan lembaga politik lain, sepanjang mereka
masih memiliki legitimasi di mata rakyat, mereka mempunyai posisi yang menguntungkan
untuk menumbuhkan keyakinan dalam mempengaruhi masyarakat, sebab mereka memiliki
akses untuk berbicara atas nama kepentingan umum.
Namun Lindblom
(1986) memperingatkan adanya bahaya yang harus diperhatikan dalam membuat pengkategorian
atau pembagian secara kaku pada proses pembentukan suatu kebijakan. Namun
demikian adalah hal yang logis bagi analis kebijakan untuk melihat sebuah
kebijakan melalui tahapan proses perumusannya secara lebih mendalam bagaimana
suatu kebijakan dapat terjadi.
4)
Agenda Kebijakan
a.
Agenda Setting
Tahapan
pembuatan agenda kebijakan (agenda setting) adalah langkah pertama yang
sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Tahapan ini merupakan langkah kunci
yang harus dilalui sebelum suatu isu kebijakan diangkat dalam agenda kebijakan
pemerintah (government agenda) dan akhirnya menjadi suatu kebijakan. Sebab
tanpa terlebih dahulu masuk dalam agenda setting, tidak mungkin suatu masalah
yang ada pada masyarakat – seberapa pentingnya masalah tersebut – dapat diangkat
menjadi suatu kebijakan oleh pemerintah. Masalah merupakan keadaan atau kondisi
yang mampu menciptakan ketidakpuasan pada sebagian besar orang dan mendorong
mereka untuk memenuhi ketidakpuasannya atau mencari penyelesaiannya.
Terdapat
sejumlah kriteria untuk membedakan masalah publik yang ada. Pertama,
berdasarkan pada aktor perumus kebijakan. Masalah publik dibedakan dalam procedural
problems dan substantive problems. Procedural problems berkaitan
dengan bagaimana persoalan tersebut disusun oleh pemerintah, termasuk operasionalisai
dan kegiatannya, dan penentuan sepenuhnya di tangan pemerintah. Substantive
problems adalah persoalan publik yang terkait dengan akibat nyata dari aktivitas
masyarakat, yang penentuan persoalan sepenuhnya di tangan masyarakat.
Kedua, berdasarkan pada kemurnian persoalan (originality).
Persoalan publik dibedakan menjadi persoalan domestik (seperti pendidikan,
transportasi, pajak) dan non domestik (foreign problems) seperti
liberalisasi pendidikan dalam WTO.
Ketiga, persoalan publik yang didasarkan pada jumlah orang yang dipengaruhi
dan hubungan antar aktornya, yang dibedakan persoalan distributif (distributive
problems) seperti permintaan masyarakat mengenai program kompensasi BBM
untuk pendidikan; persoalan regulasi (regulatory problems) adalah
persoalan yang mampu memunculkan seperangkat aturan yang membatasi aktivitas
kelompok tertentu dan membiarkan kelompok lain melakukannya untuk mencegah
akibat yang tidak diinginkannya, misalnya persoalan peredaran buku-buku
pelajaran berbasis KBK; dan persoalan redistributif (redistributive problems)
yang menyangkut pada persoalan yang menimbulkan kebijakan transfer sumberdaya
maupun dana antar kelompok atau kelas dalam masyarakat, misalnya persoalan
pendapatan yang memunculkan kebijakan kompensasi dana BBM untuk pendidikan.
Terdapat pembedaan
agenda kebijakan dalam melihat tingkat perhatian yang diberikan oleh pemerintah
terhadap masalah yang diangkat menjadi isu kebijakan sebagai berikut: (Islamy,
1986).
Pertama, agenda sistemik merupakan semua isu yang secara umum dipandang
masyarakat politik sebagai hal yang patut memperoleh perhatian publik. Agenda
ini bersifat lebih abstrak, umum dan kurang menunjukkan alternatif cara
pemecahan masalahnya. Kedua, agenda pemerintah merupakan serangkaian
masalah yang secara tegas memerlukan pertimbangan secara aktif dan serius dari policy
maker. Agenda ini lebih konkrit dan mempunyai sifat khas. Agenda sistemik
sering masih memerlukan tahapan panjang – melalui konsesus – untuk dapat
menentukan apakah masalah tersebut memperoleh persepsi yang sama sebagai
masalah publik. Terdapat beragam pendekatan dalam pembuatan agenda kebijakan
sebagai berikut:
1. Pendekatan Pluralistik
Pendekatan ini
berasumsi bahwa semua kekuatan baik lembaga pemerintah maupun bukan mempunyai
kesempatan yang sama dalam membuat suatu agenda kebijakan melalui mekanisme
pasar untuk diusulkan kepada pemerintah.
2. Pendekatan Elitis
Pendekatan ini
berasumsi bahwa hanya ada kelompok kecil dalam suatu negara yang mempunyai
kewenangan untuk merumuskan suatu agenda kebijakan, dengan argumentasi ada
keterbatasan kemampuan warga negara dan golongan diluar elit dalam memahamai
masalah yang dihadapi negara.
3. Pendekatan Negara – Pusat Kekuasaan
Menekankan
bahwa penyusunan agenda kebijakan merupakan wewenang lembaga negara melalui
interaksi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, daripada wewenang kelompok
kepentingan ataupun masyarakat.
a)
Outside Initiative Model
Model inisiatif
dari luar untuk menggambarkan proses yang datang dari masyarakat melalui
tahapan artikulasi masalah, memperluas isu menjadi masalah publik dan
memberikan tekanan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan.
b)
Inside Access Model
Model akses
dari dalam digunakan bahwa agenda kebijakan publik hanya dibuat oleh unit atau
lembaga resmi pemerintah dan mencegah adanya keterlibatan pihak dari luar.
c)
Mobilization Model
Untuk
menjelaskan proses penyusunan agenda kebijakan yang dilakukan pemimpin politik
dan perlunya dukungan dari masyarakat dalam implementasinya.
b.
Dari Issue Menjadi Agenda
Untuk dapat
menjadi agenda kebijakan, baik sistemik maupun pemerintah, suatu masalah harus
melalui proses atau tahapan tertentu. Ripley (1985) menguraikan proses suatu
isu diangkat menjadi agenda kebijakan dan selanjutnya menjadi kebijakan yang
diambil pemerintah sebagai berikut: terdapat (1) masalah sosial dan (2)
diterima kelompok, kemudian (3) bergabung dengan kelompok yang berbeda dan (4)
menjadi isu sosial (5) sampai pada agenda publik. Dalam tahapan ini memerlukan (6)
tindakan pengartikulasian isu (7) sampai pada agenda pemerintah. Selanjutnya pemerintah
menetapkan (8) keputusan kebijakan mengenai beberapa masalah telah dibuat, dan
(9) kelompok mulai menekankan strategi isu terkait. Dengan memperhatikan pada
jenis masalah, Peters (1985) memberikan strategi untuk memperbesar peluang
suatu masalah dapat masuk dalam agenda kebijakan pemerintah sebagai berikut.
a.
Efek
yang ditimbulkan oleh suatu masalah, menyangkut siapa yang terkena dampak,
konsentrasinya, intensitas dan visibilitas masalah.
b.
Membuat
analogi dan mengkaitkannya dengan kebijakan yang telah ada, karena seringkali
suatu program yang dibuat pemerintah menimbulkan kebutuhan akan program
tambahan, sehingga efek peluberan dapat dimanfaatkan untuk membawa kebijakan
baru dalam agenda pemerintah.
c.
Menghubungkan
dengan simbol-simbol dan nilai-nilai yang dianut suatu negara, seperi di
Indonesia dengan simbol Pancasila, adil makmur, menjaga persatuan dan kesatuan
d.
Tidak
dapat dilakukan oleh swasta
e.
Ketersediaan
teknologi.
5)
Formulasi dan Legitimasi Kebijakan
a.
Formulasi Kebijakan
Setelah tahapan
agenda setting dilalui atau suatu isu telah masuk agenda pemerintah,
maka tahapan berikutnya adalah membuat formulasi kebijakan. Aktor-aktor yang
terlibat dalam proses formulasi tersebut, menurut Peters (1985) terbagi dalam:
1.
Birokrasi
publik merupakan aktor yang menonjol peranannya dalam setiap proses formulasi
kebijakan, bureaucracies are central to the process of policy formulation
(Peters, 1985), karena birokrasi mempunyai pengalaman yang paling banyak
dalam prosedur formulasi kebijakan.
2.
Tangki-tangki
pemikir dan kabinet bayangan yang berada di sekitar birokrasi merupakan
alternatif lain sebagai formulator kebijakan publik diluar birokrasi pemerintah,
karena bisa disebabkan oleh kepakarannya.
3.
Kelompok
kepentingan (interest groups) dengan memberikan tekanan kepada pemerintah
agar suatu masalah dapat masuk dalam agenda pemerintah dan berlanjut pada
proses formulasi kebijakan.
4.
Anggota
dewan secara individual juga merupakan salah satu aktor yang cukup berperan
dalam proses formulasi kebijakan, yang kadangkala dimaksudkan untuk menunjang
karier politik mereka sebagai perumus kebijakan.
Alat bantu untuk membantu menganalisis masalah dan mencari
pemecahan masalah dalam proses formulasi adalah:
1.
Social
- cost – benefit analysis, digunakan
untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dan memaksimalkan manfaat
yang dapat diperoleh. Dalam analisis ini juga menggunakan perhitungan social
cost dan efek perluasan manfaat (externalities).
2.
Decision
analysis, dengan asumsi bahwa suatu akibat
tertentu akan terjadi bila decision maker mengambil keputusan yang
tertentu pula, seperti dalam pohon pembuatan keputusan.
b.
Legitimasi Kebijakan
Setelah
kebijakan berhasil diformulasikan, sebelum diterapkan pada masyarakat,
kebijakan tersebut haruslah memperoleh legitimasi (pengesahan) atau kekuatan
hukum yang mengatur penerapan (implementasi) kebijakan pada masyarakat. Legitimasi
sangat penting karena akan membawa pengaruh terhadap masyarakat banyak, baik
yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat maupun yang membawa dampak yang
merugikan kelompok lain. Selain itu setiap kebijakan juga membawa implikasi
terhadap anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah. Terdapat beberapa tipe
legitimasi yang umum digunakan pemerintah dalam melegitimasi suatu kebijakan
sebagai berikut:
1)
Legitimasi
oleh lembaga legislatif sebagai perwujudan dari rakyat, sebagai pemegang
legitimasi tertinggi dalam kehidupan bernegara.
2)
Peraturan
dan prosedur administrasi, dengan memberlakukan peraturan tertentu yang
ditetapkan pemerintah.
3)
Lembaga
peradilan dengan maksud untuk melindungi warga negara yang berupa ketetapan
hukum.
4)
Legitimasi
oleh masyarakat dengan melalui proses secara langsung seperti referendum.
6.
Implementasi Kebijakan
a.
Penentu Implementasi
Implementasi merupakan tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan. Interaksi
merupakan konsep penting dalam implementasi, yang mengacu pada suatu hubungan
yang terkadang kompleks. Dalam implementasi terdapat dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu (a) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk kelompok
sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus dilaksanakan;
dan (b) dana pendukung yang proporsional. Tanpa dana kebijakan tidak akan
pernah terealisir. Implementasi dalam kenyataannya tidak selalu berjalan dengan
baik, beberapa faktor diantaranya adalah:
1)
Faktor
Organisasi
Suatu kebijakan
dalam implementasinya seringkali memerlukan keterlibatan dari banyak organisasi
(aktor) yang terkadang memiliki persepsi dan interest yang berlainan,
baik dalam organisasi pemerintah maupun antara organisasi pemerintah dengan
organisasi swasta. Keadaan ini sering menimbulkan masalah (a) koordinasi,
menyangkut bagaimana mengkoordinasikan kepentingan yang berbeda; (b) compliance,
menyangkut ketaatan bawahan pada instansi yang lebih tinggi.
2)
Faktor
Politik
Faktor politik seringkali disebit sebagai faktor non teknis, yang
mencakup: (a) legislasi tentang isu yang terlalu kabur sebagai akibat dari
tujuan yang ingin dicapai yang sering tidak jelas. Misalnya masalah
penanggulangan anak putus sekolah; (b) log-rolling, dimaksudkan sebagai
gagalnya implementasi suatu program diakibatkan kesalahan pada saat proses
legitimasi, proses bargaining yang dilakukan aktor-aktor perumus
kebijakan dilakukan dengan cara setuju atau ketidaksetujuan terhadap uslan
kebijakan dilakukan dengan tukar tambah atau modifikasi usulan, sehingga
akibatnya setelah usulan ditetapkan menjadi kebijakan, tujuan menjadi tidak
jelas (vague).
3)
Faktor
politik antar organisasi (aktor)
Merupakan perbedaan mengenai lingkungan politik masing-masing organisasi,
yang disebabkan oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing faktor.
Dalam konteks hubungan antar organisasi politik (pelaksana) terbagi dalam: a.
Struktur implementasi secara vertikal Yang mempengaruhi keberhasilan
impelementasi adalah kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk
melaksanakan kebijakan seperti yang telah digariskan b. Struktur Implementasi
Secara horisontal Dalam struktur ini, koordinasi menjadi kata kunci
keberhasilan implementasi, walaupun seringkali ada kesombongan sektoral masing-masing
instansi dalam mengejar keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang dalam
terminologi implementasi disebut politik antar organisasi dalam
implementasi. Implementasi kebijakan dalam beberapa kasus dapat dilakukan
oleh bukan organisasi pemerintah, tetapi oleh swasta (interest groups),
yang sering bias karena pelaksana mempunyai keterkaitan dengan kelompok sasaran
(target groups).
b.
Perspektif Keberhasilan Implementasi
Implementasi
tidak hanya dilihat dari pendekatan kepatuhan semata, tetapi juga melihat
bagaimana meraih hasil-hasil program yang diinginkan, baik jangka pendek maupun
jangka panjang, sehingga implementasi menjadi lebih kompleks. Untuk melihat
keberhasilan implementasi dapat dilihat dari dua perspektif yaitu: (a) melihat
implementasi sebagai kepatuhan pemerintah daerah (organisasi pelaksana)
terhadap pemerintah pusat atau organisasi di atasnya (complience perspective)
dengan menggunakan pendekatan satu organisasi pelaksana (single agency);
dan (b) melihat apa yang terjadi (what happened perspective). Pendekatan
ini melihat interaksi berbagai organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah
(multiple agency and non governmental actor) untuk melihat faktor-faktor
penyebab yang mempengaruhi suatu kejadian ( a linier model of anticedent).
7.
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
a.
Monitoring Kebijakan
Monitoring
ditujukan untuk menghasilkan informasi dalam usaha menjawab pertanyaan mengapa
kebijakan / program itu pada suatu tahap dapat menghasilkan konsekuensi yang
demikian. Monitoring sendiri terutama berhubungan dengan mendapatkan premis
faktual suatu kebijakan, dengan bergerak mundur dari apa yang diamati sekarang
untuk menginterpretasikan apa yang telah terjadi sebelumnya (expost facto).
Dunn (1981) mengemukakan bahwa monitoring berfungsi untuk: 1. Ketaatan (compliance)
Menentukan apakah tindakan administrator, staf dan semua yang terlibat mengikuti
standar dan prosedur yang ditetapkan 2. Pemeriksaan (auditing) Menetapkan
apakah sumber dan layanan yang diperuntukkan bagi target group telah
mencapai sasaran 3. Laporan (accounting) Menghasilkan informasi yang
membantu menghitung hasil perubahan sosial dan masyarakat sebagi akibat
implementasi kebijakan sebuah periode waktu tertentu 4. Penjelasan (explanation) Menghasilkan
informasi yang membantu menjelaskan bagaimana akibat kebijakan dan mengapa
antara perencanaan dan pelaksanaan tidak cocok.
Dunn (1981,284)
menjelaskan dalam beragam pendekatan monitoring berikut:
Pendekatan
|
Jenis kontrol
|
Jenis informasi yang diperlukan
|
Pelaporan sistem sosial
|
Kuantitatif
|
Informasi yang ada / baru
|
Eksperimentasi sosial
|
Manipulasi langsung dan kuantitatif
|
Informasi baru
|
Pemeriksaan sosial
|
Kuantitatif dan kualitatif
|
Informasi baru
|
Pengumpulan bahan untuk penelitian sosial
|
Kuantitatif dan kualitatif
|
Informasi yang ada
|
b.
Evaluasi Implementasi
Tahap akhir
proses kebijakan adalah penilaian mengenai apa yang telah terjadi sebagai
akibat pilihan dan implementasi kebijakan, dan apabila dipandang Monitoring Pelaksanaan
kebijakan Informasi tentang hasil kebijakan Evaluasi proses Situasi problematik
perlu, dapat dilakukan perubahan terhadap kebijakan yang telah dilakukan. Berbagai
kendala yang menghambat evaluasi adalah (Peters,1985, 146-157) sebagai berikut:
1)
Kebijakan
publik kadang tidak memiliki tujuan yang jelas, yang diakibatkan dari pertimbangan
politis. Ketidakjelasan tujuan meliputi: a) tujuan yang tidak mungkin dicapai; b)
tujuan yang kontradiktif; c) tujuan yang terlalu sempit atau terlalu spesifik;
dan c) tujuan antara atau tujuan sementara.
2)
Pengukuran
(measurement), menyangkut pada penggunaan konsep tertentu sebagai suatu
alat untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan suatu program. Misalnya
persoalan efisiensi: perbandingan cost - benefit atau input –
output, sangat sulit untuk mengukur cost maupun benefit khususnya
untuk persoalan sosial. Contoh lain persoalan efektivitas: sulit dilihat
khususnya yang menyangkut kualitasnya.
3)
Kelompok
sasaran (target groups), yang perlu diperhatikan adalah program meskipun
berdampak pada keseluruhan populasi sasaran, tetapi belum tentu memiliki dampak
terhadap kelompok sasaran. Seringkali terjadi justru bukan kelompok sasaran
yang memperoleh manfaat program tetapi kelompok lain dalam populasi tersebut,
yang kadang disebabkan bias birokrasi.
4)
Sistem
nilai yang berkembang di masyarakat. Seorang analis kebijakan terkadang sulit
untuk menterjemahkan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Padahal pertimbangan
sistem nilai tidak dapat diabaikan dalam melakukan evaluasi kebijakan.
Secara khusus
evaluasi implementasi menurut Ripley (1985,144) adalah (1) ditujukan untuk
melakukan evaluasi terhadap proses; (2) menambah pertanyaanpertanyaan yang
harus dijawab pada perspektif apa yang terjadi dan perspektif kepatuhan; dan
(3) ditujukan untuk melakukan evaluasi aspek-aspke dampak kebijakan yang
terjadi dalam jangka pendek.
Dapat
disimpulkan bahwa evaluasi implementasi mempunyai beberapa kegunaan yaitu:
1)
Untuk
menggambarkan realitas yang muncul dengan pola-pola sejauh dapat dilakukan
2)
Menjelaskan
pola-pola yang ada termasuk berbagai pengaruh yang ada, arah, dan hubungan
sebab akibat dari berbagai pengaruh tersebut
3)
Untuk
melakukan evaluasi terhadap berbagai aspek proses implementasi pada fase awal
program dilaksanakan; bagaimana pencapaian terhadap tujuan yang telah
ditetapkan; bagaimana cara menghadapi perbedaan dari berbagai harapan dan
tujuan.
Evaluasi implementasi akan mencapai hasil yang memuaskan apabila
dapat dipenuhi berbagai aitribut yang diperlukan sebagaimana penjelasan Ripley
(1985) sebagai berikut: a. perlu adanya berbagai studi terhadap berbagai macam
program atau kebijakan yang ada sehingga akan dapat digunakan sebagai bahan
perbandingan. b. Perlu adanya petugas lapangan yang cukup pada berbagai lokasi
penelitian. c. Sumber-sumber informasi yang diwawancarai harus berasal dari
berbagai sumber. d. Wawancara akan lebih baik jika dilakukan dengan sistem
terbuka dan tertutup sekaligus. e. Dalam pelaksanaan evaluasi yang berskala
besar, kelompok pengevaluasi dapat tinggal bersama dalam kelompok kecil dalam
mengunjungi sumber-sumber informasi. f. Kondisi organisasi pengevaluasi (evaluator)
yang dapat membantu keberhasilan pelaksanaan evaluasi.
c.
Evaluasi Dampak Kebijakan
Evaluasi dampak (evaluation of impact) berbeda dengan
evaluasi implementasi dalam hal waktu. Evaluasi dampak hanya dapat dilakukan
secara memuaskan apabila program telah dilaksanakan secara lengkap dan berjalan
dalam waktu yang relatif lama. Kebijakan hanya akan terlihat dampaknya apabila
telah cukup lama diimplementasikan dalam masyarakat. Dampak atau hasil-hasil
kebijakan memiliki makna atau arti yang berlainan. Pemberian arti sangat
tergantung siapa aktor yang menafsirkan arti dampak tersebut sesuai dengan latar
belakang kepentingan mereka. Menurut Ripley (1985) ada empat dimensi yang
berkaitan dengan dampak yaitu: waktu; hubungan antara dampak yang sebenarnya
dengan dampak yang ingin dicapai; akumulasi dampak; dan tipe dampak
(kesejahteraan ekonomi; pembuatan keputusan; sistem politik; kualitas
kehidupan).
Untuk membuat desain evaluasi, maka dapat digunakan evaluasi
formatif yang merupakan bagian dari penelitian evaluasi yang dilaksanakan pada
awal program dilaksanakan dan biasanya dilakukan bersama-sama dengan evaluasi implementasi.
Desain evaluasi formatif berisi tentang tujuan yang erat dengan evaluasi
implementasi; mengidentifikasi sumber-sumber pembuat tujuan program; pelaksanaan
evaluasi dengan fokus analisis pada salah satu tujuan yang ingin diwujudkan dari
program; dan mengorganisasi petugas lapangan.
B.
STUDI ANALISIS KEBIJAKAN
1)
Karakteristik Studi Analisis Kebijakan
Analisis
kebijakan menurut Dunn (1981) merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda untuk menghasilkan
dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam proses pengambilan
keputusan yang bersifat politis untuk memecahkan masalah kebijakan. Dapat
disimpulkan bahwa pengertian tersebut mengandung dimensi rasional yaitu analisis
yang menghasilkan informasi teknis; dan dimensi politik yaitu proses penentuan
kebijakan melalui suatu perjuangan politik dari beberapa kelompok kepentingan
berbeda. Studi analisis kebijakan sendiri mempunyai karakteristik berikut:
a. Bersifat terapan (applied)
Analisis
kebijakan lebih berorientasi pada masalah (problem oriented bukan problem
blind).
b.
Bersifat
deskriptif dan preskriptif
Analisis
kebijakan bersifat preskriptif, bila upaya analisis berserta semua hasilnya
secara sengaja dimaksudkan untuk keperluan pragmatis praktis dengan membantu
menyediakan input yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah
kebijakan relevan. Dengan pengertian itu analisis kebijakan identik dengan
penelitian kebijakan (policy research) (Majchrzak, dalam Solichin Abdul
Wahab, 1998) yaitu proses pelaksanaan penelitian / analisis mengenai suatu
masalah sosial mendasar guna membantu pembuat kebijakan dengan cara menyajikan
rekomendasi bersifat pragmatis, berorientasi pada aksi untuk mengatasi masalah
tersebut.
Analisis kebijakan
bisa bersifat deskriptif, analitis atau berkaitan dengan proses-proses kausal
dan penjelasan atas proses itu sendiri (Marshall, dalam Solichin Abdul Wahab,
1998). Bersifat deskriptif apabila kegiatan analisis kebijakan berserta seluruh
hasil pengetahuan yang diperoleh dimaksudkan untuk tujuan mencari hubungan
kausalitas antara tindakan pemerintah dan efek / perubahan yang ditimbulkan
pada kelompok sasaran / masyarakat umum; dan memperkuat pemahaman atas proses
pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan sebagai sistem tindakan atau
sebagai suatu subsistem dari sistem politik yang lebih luas.
c.
Bersifat
interdisipliner, multidisipliner, dan integratif Analisis kebijakan bukan
sebuah disiplin tunggal (a single discipline) melainkan bersifat multidisipliner
terhadap persoalan-persoalan sosial yang kompleks dan saling berkaitan.
d.
Kaitan
relevansi sosial
2)
Analisis Kebijakan Sebagai Diskursus
Pemikiran
mengenai analisis kebijakan sebagai diskursus dapat dijelaskan berikut
(Solichin Abdul Wahab, 1998,61-62).
a.
Para
analis kebijakan umumnnya menolak anggapan bahwa dengan menggunakan metode
ilmiah bisa memperoleh pemahaman yang netral dan objektif atas isu-isu kebijakan.
Mereka meyakini bahwa fakta mesti berdiri pada apa yang penting dan apa
yang menyebabkan apa. Realitas sesungguhnya bukanlah gambaran mengenai apa
yang ada di luar sana, melainkan apa yang secara sosial dikonstruksikan (socially
construct) melalui keyakinan dan nilai-nilai.
b.
Adanya
kemajemukan / pluralisme nilai-nilai dan argumentasi yang bisa dimanfaatkan
untuk memahami isu kebijakan apapun.
Pemahaman analisis kebijakan sebagai diskursus berdasar White
(dalam Solichin Abdul Wahab, 1998,62-66) dikelompokkan berikut:
a.
Model
diskursus analitik Teknik-teknik analisis apapun pada dasarnya memuat bias
tertentu, dan untuk mengatasinya dengan mengundang beragam pendapat dan
pandangan. Analisis kebijakan perlu memanfaatkan beragam perumusan masalah,
beragam sumber data dan menggunkana beragam teknik dalam menganalisis data,
serta menghendaki adanya keterbukaan dan keluwesan sikap analis pada
keseluruhan tahap proses analisis.
b.
Model
diskursus kritis Pentingnya kaitan fakta dan nilai-nilai, bukan hanya pada
nilai-nilai semata dan bukan hanya pertukaran gagasan dan pandangan secara
kritis, melainkan juga pengujian kritis atas fakta-fakta yang relevan.
Rasionalitas bukan sekedar dipelakukan dan dipahami sebagai instrumen utnuk
menemukan cara yang tepat mencapai tujuan, melainkan justru dijadikan sebagai
refleksi kritis dalam menetapkan asumsi dan pilihan.
c.
Model
diskursus persuasif Para analis dan pembuat kebijakan bermaksud mempengaruhi
gagasan-gagasan, namun untuk bisa berbuat demikian mereka harus mau berbagi
gagasan atau pengalaman dengan publik (masyarakat atau target group)
lewat diskursus. Gagasan dan preferensi individu sulit untuk dibedakan apakah
merupakan pengejawantahan kepentingan pribadi (self interest) atau
kepentingan umum (public interest). Oleh karenanya perspektif ini
memfokuskan persoalan itu dengan melihat pada bagaimana gagasan dan preferensi
itu terbentuk, dan lewat mekanisme tertentu bagaimana hal tersebut dapat
diubah, serta peluang yang dimiliki para pembuat kebijakan dan analis kebijakan
dalam mempengaruhi preferensi tersebut.
3)
Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan
a.
Pendekatan
deskriptif / positif
Merupakan
prosedur / cara untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi dalam masyarakat
dengan keadaan tiadak adanya kriteria; bertujuan mengemukakan penafsiran yang
benar secara ilmiah mengenai keadaan apa adanya (state of the art) dari
gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu
permasalahan yang sedang disoroti. Dengan kata lain pendekatan ini menekankan pada penafsiran
tentang terjadinya gejala yang bersangkutan. Dalam analisis kebijakan,
pendekatan ini dimaksudkan menyajikan informasi apa adanya pada para pengambil
keputusan, agar memahami permasalahan yang sedang disotori dari kebijakan.
Pendekatan ini hanyalah sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi
rasional.
b.
Pendekatan
normatif / preskriptif
Merupakan upaya
untuk menawarkan suatu norma, kaidah, resep yang dapat digunakan dalam rangka
memecahkan suatu masalah, yang. Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini
dimaksudkan membantu para pengambil keputusan dalam bentuk pemikiran mengenai
prosedur paling efisien dalam memecahkan masalah kebijakan publik, yang
biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data.
Pendekatan ini hanyalah sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi
rasional.
c.
Pendekatan
evaluatif
Menerangkan apa
adanya tentang hasil dari suatu keadaan / upaya yang dilakukan oleh suatu
kegiatan / program dengan menerapkan kriteria atas terjadinya keadaan tersebut.
Gejala yang diterangkan adalah gejala yang berkaitan dengan nilai dan pengukuran
setelah dihubungkan dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya. Misalnya,
meningkatnya mutu pendidikan adalah suatu gejala yang dipersepsikan setelah
dilakukan pengukuran dalam kaitannya dengan kriteria tentang mutu pendidikan
yang ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain, pendekatan ini lebih menekankan
pada pengukuran.
4)
Ragam Model Analisis Kebijakan
Teknik yang dikembangkan sebagai alat bantu untuk mendesain sistem
informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat dibuat lebih baik dan
implementasinya dapat dikontrol. Teknik analisis yang dimaksudkan untuk
mendesain dan mengembangkan organisasi, dengan cara menciptakan unit organisasi
spesialis yang dimaksudkan untuk memberikan dukungan analisis bagi perumusan
pilihan kebijakan (policy options) (Solichin Abdul Wahab, 1998,76).
a.
Model Kuantitatif Analisis Kebijakan
Metode
kuantitatif merupakan bentuk operasional dari paradigma empiris atau pendekatan
kuantitatif-empiris. Pengukuran secara objektif masalah sosial dilakukan dengan
menjabarkan terlebih dahulu masalah sosial ke dalam beberapa komponen masalah,
variabel, dan indikator . Setiap variabel yang ditentukan dalam suatu model kemudian
diukur dengan memberikan simbol-simbol angka yang berbeda-beda terhadap
kategori informasi yang berkaitan dengan variabel yang sedang diukur. Dengan
menggunakan simbol angka, teknik perhitungan secara kuantitatif-matematik dapat
dilakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang berlaku umum dalam
suatu parameter. Tujuan utama kuantitatif bukan menjelaskan suatu masalah
tetapi menghasilkan suatu generalisasi atau realitas yang diperkirakan.
Beragam teknik
kuantitatif untuk analisis kebijakan – disebut pula pendekatan analycentric sebagai
bentuk social engineering – yang umumnya digunakan adalah operation
research (OR); programme evaluation and review technique (PERT) sebagai
network analysis; critical path method (CPM) sebagai network
analysis; planning programming and budgetting system (PPBS) yang
merupakan pengembangan dari budgetting theory; management by
objective (MBO); cost-benefit analysis (CBA); dan game theory.
Studi kuantitatif tersebut dalam penggunaannya menggunakan pendekatan analisis
sistem (system analysis) yang memadukan beragam model kuantitatif.
Menurut Quade (dalam Solichin Abdul Wahab, 1998) analisis sistem merupakan
studi analitik yang dirancang secara khusus untuk membantu pembuat kebijakan
mengidentifikasikan suatu pilihan tindakan tertentu yang diinginkan diantara
sejumlah alternatif yang tersedia.
Namun menurut Dror
(dalam Solichin Abdul Wahab, 1998) bahwa keberhasilan analisis sistem tersebut
lebih terletak pada kearifan, kecanggihan dan keterbukaan dari orang-orang yang
berada di belakangnya, serta kesigapan sikap mereka untuk memerangi kelambanan
organisasi dan kecenderungan berpikir yang bertele-tele ketimbang pada teknik
itu sendiri (atau dengan kata lain human factors yang menjadi penentu).
Oleh karenanya analisis sistem kuantitatif sekedar berfungsi sebagai faktor
penunjang dalam analisis kebijakan. Dampak dari aplikasi model ekonomi ke dalam
pembuatan kebijakan menurut Johnson (dalam Solichin Abdul Wahab, 1998)
mengakibatkan cenderung dianggap tidak pentingnya dimensi kekuasaan,
nilai-nilai prosedural diabaikan, hadirnya kepentingan kolektif (collective
interest) dan dampaknya tidak dilihat, dan faktor ketidakpastian dalam
pencapaian tujuan dan harapan cenderung diremehkan. Padahal esensi atau
substansi pembuatan kebijakan publik adalah proses politik bukan sekedar proses
solusi atas suatu masalah secara intelektual (Gregory dan Hammerseley, dalam Solichin
Abdul Wahab, 1998). Untuk mengatasi permasalahan bagaimana teknik analisis
kebijakan alternatif yang baik dan mampu menjelaskan kompleksitas kebijakan,
Dror (dalam Solichin Abdul Wahab, 1998) mengemukakan persyaratan berikut:
a)
Aspek
politik dari pembuatan kebijakan publik, khususnya kelayakan politik, perekrutan
dukungan politik, pengakomodasian atas tujuan yang saling bertentangan, dan
kesadaran diri akan adanya keragaman nilai-nilai.
b)
Konsepsi
pembuatan kebijakan haruslah diperluas tidak sekedar memandang pembuatan
keputusan sebagai persoalan alokasi sumberdaya ekonomi semata namun diperlukan
eksplorasi kualitatif jauh melampaui analisis kuantitatif dan estimasi biaya-
manfaat (cost-benefit).
c)
Upaya
kreatif dan pencarian alternatif kebijakan baru dibarengi dengan pemikiran inovatif,
ketimbang pada analisis yang hanya memperbandingkan alternatif yang telah
tersedia.
d)
Aspek
kearifan (tacit knowledge), pemunculan ide segar, pemanfaatan pemikiran imajinatif,
pengintegrasian secara sistematik intuisi terlatih dalam analisis kebijakan
(penyusunan skenario dengan soft system methodology in action), model
dan metode kualitatif, ketimbang pada pengetahuan eksplisit dan model kuantitatif.
e)
Pemikiran
ke depan dengan jangkauan prediksi panjang, dan pemikiran spekulatif mengenai
keadaan masa depan sebagai esensi untuk pembuatan kebijakan sekarang.
f)
Pendekatan
harus luwes, tidak kaku, dan sistematik. Harus menyadari kompleksitas saling
ketergantungan sarana (means) dan tujuan (ends), sifat kemajemukan
kriteria pengambilan keputusan, sifat parsial dan sifat kesementaraan.
Sedangkan tujuan utamanya adalah klarifikasi isu, upaya penemuan alternatif
baru, dan perhatian lebih masa depan.
b.
Model Kualitatif Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan pada dasarnya merupakan proses pemahaman
terhadap masalah kebijakan sehingga dapat melahirkan gagasan / pemikiran
mengenai cara-cara pemecahannya. Masalah kebijakan sendiri bersifat kualitatif
sehingga proses pemahaman tersebut juga penuh dengan pemikiran yang bersifat
kualitatif.
Metode kualitatif dalam analisis kebijakan dilakukan untuk memahami
secara mendalam terhadap masalah kebijakan daripada melihat permasalahan
kebijakan untuk kepentingan generalisasi. Metode ini menggunakan teknis
analisis mendalam (in-depth analysis) yang mengkaji masalah kebijakan
secara kasus per kasus dikarenakan sifat masalah yang berbeda satu sama lain,
sehingga cara pemecahannya pun akan berbeda antar satu masalah dengan masalah
lain. Model kualitatif menurut Kent (dalam Solichin Abdul Wahab, 1998) dijabarkan
ke dalam langkah-langkah dalam analisis kebijakan berikut:
a)
Mengidentifikasi
masalah yang dihadapi sekarang
b)
Mengidentifikasi
para aktor kepada siapa rekomendasi / nasehat kebijakan ditujukan.
c)
Mendeskripsikan
karakteristik permasalahan secara rinci; identifikasi pihak terkait; bagaimana
preferensi, sikap, nilai mereka terhadap masalah
d)
Mengkaji
saran dan pandangan yang pernah diajukan dalam menangani masalah tersebut
e)
Mangkaji
pengalaman sebelumnya dalam menangai masalah tersebut
f)
Membuat
daftar tentang berbagai macam tindakan yang mungkin akan ditempuh aktor
berkenaan dengan masalah tersebut.
g)
Memilih
tindakan tertentu yang bermanfaat untuk diteliti lebih lanjut dengan masuknya
sejumlah informasi, opini dan peluang baru dalam analisis.
h)
Menguraikan
secara rinci tindakan yang telah disusun, termasuk saran bagaimana mengimplementasikan,
sehingga dihasilkan daftar calon tindakan yang direkomendasikan.
i)
Menguraikan
berbagai akibat / konsekuensi dari masing-masing tindakan, termasuk tanggapan
stakeholders / pihak yang akan dipengaruhi.
j)
Mengestimasi
bagaimana peluang masing-masing tindakan akan membawa konsekuensi / akibat.
k)
Mengevaluasi
kualitas dampak yang diduga muncul, akibat mana yang dikehendaki dan tidak
dikehendaki.
l)
Menyingkirkan
tindakan tertentu yang menimbulkan dampak tidak baik.
m)
Merumuskan
kembali daftar tindakan yang mungkin menjadi seperangkat alternatif yang
sifatnya mutually exclusive (satu sama lain jelas bedanya) untuk mempertegas
pilihan yang harus dilakukan.
n)
Mengemukakan
akibat / hasil tindakan yang direkomendasi dan alasan mengapa alternatif itu
dipilih.
o)
Menguraikan
rinci karakter masing-masing tindakan dan peluang modifikasi, dan bagaimana
kriteria memilihnya.
p)
Mengkaji
ulang estimasi akibat yang bakal terjadi dari tindakan yang direkomendasi
beserta asumsi mengenai fakta dan nilai yang mendasari rekomendasi, resiko yang
mungkin terjadi, dan mengembangkan cara baru mengurangi resiko.
q)
Menguraikan
rangkuman kesimpulan dari rekomendasi yang diajukan
r)
Merangkum
rekomendasi pada pihak berkompeten untuk kritik, dan revisi analisis /
rekomendasi dari hasil kritik.
s)
Mengkomunikasikan
rangkuman hasil analisis dan kesimpulan rekomendasi pada pembuat kebijakan dan
pihak yang akan dipengaruhi kebijakan.
5)
Keterbatasan Analisis Kebijakan
a)
Analisis
kebijakan tidak dapat menyediakan jawaban yang cepat untuk masalah yang ruwet
dan tidak bisa dikelola (intractable).
b)
Analisis
kebijakan bukan ilmu pasti dan tidak akan menjadi demikian.
c)
Analisis
kebijakan bukanlah obat mujarab bagi kerusakan-kerusakan yang terjadi pada
kebijakan publik, dan tidak akan menjamin bahwa keputusan kebijakan akan dengan
sendirinya berpihak / sejalan dengan kepentingan publik (Quade dalam Solichin
Abdul Wahab, 1998)
Namun demikian, fungsi utama analisis kebijakan adalah kemampuan memainkan
peran secara maksimal utamanya dalam meluruskan kembali posisi suatu permasalahan;
menjernihkan sesuatu isu kebijakan; dan menemukan alternatif baru dengan cara
melibatkan diri secara total dalam proses pemikiran yang kreatif dan imajinatif.
6)
Skenario Analisis Kebijakan
Skenario
merupakan langkah-langkah hipotetik yang difokuskan pada prosesproses kausalitas
dan titik-titik kritis keputusan (Solichin Abdul Wahab, 1998). Selanjutnya
seorang analis perlu memikirkan beberapa hal dalam menentukan langkah menyusun
skenario analisis kebijakan sebagai berikut:
a.
Merumuskan
lingkungan politik yang relevan dengan masalah kebijakan yang ditanganinya.
b.
Menghimpun
dan mengorganisasikan informasi politik yang diperlukan.
c.
Membuat
pertimbangan politik dan mneyiapkan perkiraan kelayakan politiknya.
Adapun langkah-langkah secara garis besar dalam membuat skenario
analisis kebijakan adalah sebagai berikut.
a.
Sebelum
menyusun desain alternatif kebijakan, perlu merumuskan dulu bentuk serangkaian
pernyataan-pernyataan hipotetikal, misalnya, jika kita merekomendasikan
kebijakan X, maka kelompok Y akan mendukungnya, sebaliknya kelompok Z
akan cenderung menentangnya.
b.
Merumuskan
secara tepat policy space (ruang kebijakan) dan mengkaitkannya dengan
substansi kebijakan sebagai policy issue area (daerah isu kebijakan). Setiap
sistem politik pada esensinya diasumsikan terdiri atas sejumlah ruangruang kebijakan
yang posisinya tumpang tindih, yang dicirikan adanya sejumlah aktor tertentu
yang preferensi dan predesposisi atas kebijakan sangat jelas. Misalnya guru,
siswa, dinas pendidikan, orangtua murid, stakeholders adalah termasuk daerah
isu kebijakan dalam lingkup ruang kebijakan pendidikan dasar dan
menengah.
c.
Memperhatikan
aspek waktu dan fisibilitas sebuah kebijakan.
d.
Mengkaji
informasi politik yang relevan yaitu menyangkut aktor kunci; motivasi aktor;
kepercayaan politik aktor; sumberdaya; pentas para aktor; dan pertukaran (Solichin
Abdul Wahab, 1998,102).
Dalam kaitan dengan skenario analisis kebijakan, ramalan (estimasi)
merupakan hal penting bagaimana fakta yang ada digunakan untuk memperkirakan apa
yang akan terjadi. Estimasi sendiri berkaitan dengan data dan teori yang dapat menjelaskan tentang subjek yang kompleks.
Data dilihat dalam kaitannya dengan teori yang menjelaskan tentang hubungan
antara komponen dalam sistem sosial. Kekurang pahaman tentang hubungan sosial
elementer dalam mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengklasifikasikan data akan
mengakibatkan gagalnya analisis kebijakan dilaksanakan. Dunn (1981)
mengemukakan mengenai bentuk-bentuk estimasi (ramalan) kebijakan seperti
berikut.
Bentuk
ramalan
|
Dasar
ramalan
|
Fakus
utama argumen yang, mendukung
|
Proyeksi
|
Kecenderungan
sekarang dan historis
|
Metode
kasus paralel
|
Prediksi
|
Asumsi
teoritis
|
Sebab
(hukum teoritis) analogi
|
Perkiraan
|
Judgment
subjektif
|
Pemahaman
motivasi
|
C.
STUDI ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
1)
Kerangka Berpikir Studi Analisis Kebijakan Pendidikan
a.
Dimensi Metodologis
Analisis kebijakan
mempunyai fungsi yang integral sebagai fungsi alokasi, inquiri, dan
komunikasi. Fungsi alokasi menunjukkan kemampuan analisis kebijakan untuk
melahirkan agenda penelitian dan pengembangan tepat guna dan tepat waktu dan
mengacu permasalahan makro dalam kebijakan pendidikan. Fungsi inquiri menunjuk
pada kemampuan dalam melakukan analisis lanjutan terhadap penemuan penelitian
dan pengembangan sehingga melahirkan usulan kebijakan yang realistis dan sesuai
kebutuhan. Fungsi komunikasi menunjuk pada kemampuan dalam menyampaikan gagasan
yang dihasilkan dari proses inquiri dan mewujudkan menjadi keputusan pimpinan.
b.
Dimensi Substansi
Analisis
substansi dimaksudkan untuk mengorganisasikan berbagai isu kebijakan pendidikan
sehingga penyajiannya dapat dilakukan secara sistematis (Ace Suryadi,1993,9). Selanjutnya
kerangka berpikir makro dalam analisis kebijakan pendidikan dapat digambarkan
berikut (Ace Suryadi,1993,10). Umpan balik, Kebijakan, nasional, Fungsi
analisis agenda, alokasi makro litbang, Fungsi analisis penemuan inquiri
kebijakan litbang Fungsi info usulan proses komunikasi lainnya kebijakan
pembuatan keputusan respon masyarakat masyarakat. .
Kajian interdisipliner
sistem pendidikan dalam kaitan dengan bidang kehidupan lain Kajian substansi analisis
kebijakan selain untuk menghasilkan beberapa alternatif kebijakan sehubungan dengan
isu kebijakan yang sedang disoroti, juga dimaksudkan untuk menguji apakah suatu
gagasan kebijakan cukup realistis. Untuk memperolah usulan kebijakan yang
diuji, maka harus didasarkan pula pada analisis ekonomis, politis, sosiologis /
sosiokultural, dan administratif sehingga setiap gagasan pembaharuan dapat
dilaksnakan sesuai kondisi objektif yang ada. Terdapat ragam untuk
menterjemahkan suatu penemuan penelitian / suatu informasi menjadi suatu
alternatif tindakan kebijakan. Argumentasi kebijakan dapat menggunakan
pendekatan silogisme , suatu cara untuk menarik suatu kesimpulan dari dua
kebenaran yang tingkatannya berbeda, yaitu premis mayor dan premis minor.
Dunn (1981)
sendiri mengemukakan tentang modes of policy arguments. Argumentasi
kebijakan model ini dapat digambarkan berikut.
a. Seorang analis kebijakan akan dihadapkan pada penemuan penelitian /
informasi yang sesuai dengan kebijakan yang sedang disoroti (info).
b.
Info
tersebut akan memiliki konsekuensi langsung dengan alternatif / usulan kebijakan
(claim) yang mungkin dapat memecahkan masalah bersangkutan.
c.
Hubungan
langsung antara info dengan claim tidak terjadi secara otomatis karena masih
harus diuji dengan faktor pendukung (warrant) dan faktor penghambat (rebutal).
Dengan
aplikasi argumen kebijakan dari Dunn, Sutjipto (1987,78) mengemukakan tentang
argumen kebijakan sebagai berikut:
a.
Argumen
konvergen tidak bertumbuhnya ekonomi tidak relevan sistem menyebabkan tidak
terciptanya pengangguran pendidikan dengan kesempatan kerja intelektual dunia
kerja.
b.
Argumen
divergen bertambahnya jumlah anak terbatasnya daya bertumbuhnya sekolah golongan
tidak mampu tampung sekolah swasta yang tidak bersekolah negeri.
c.
Argumen
serial meledaknya tuntutan dibukanya sekolah mutu lulusan pendidikan tanpa
memperhatikan yang menurun kualitas.
d.
Argumen
melingkar kualitas perguruan staf pengajar harus waktu staf pengajar tinggi
menurun menggunakan waktu untuk belajar menjadi lebih banyak untuk berkurang membantu
mahasiswa staf pengajar tidak berkembang dalam ilmunya
2)
Perspektif Dalam Analisis Kebijakan Pendidikan
a.
Perspektif Fungsionalisme
Mencurahkan
pada perhatian bagaimana mendayagunakan SDM intelektual secara efektif sehingga
berdampak sangat besar pada kekuatan negara. Sebagai pencetus technological
functionalism (landasan penting bagi pengembangan dan pemeliharaan SDM
intelektual), Clark (dalam Ace Suryadi,1993) mengemukakan bahwa perluasan
pendidikan di sekolah tidak selamanya merupakan suatu ciri demokratisasi
pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah dapat diperluas dan
merata, tetapi apa yang diterima peserta didik tidak seluruhnya sama. Clark
menilai bahwa sruktur pendidikan yang ada merupakan suatu fungsi pemilihan
golongan masyarakat, dan sistem pendidikan dianggap sebagai alat ideologis atau
sebagai alat saring terhadap golongan yang ada dalam masyarakat. Merton (dalam
Ace Suryadi,1993) menjelaskan pula, bahwa perluasan kesempatan pendidikan dan
pemilihan program pendidikan menjadi program pendidikan umum dan kejuruan
memiliki ciri ideologis tertentu sebagai suatu upaya legitimasi status quo karena
jenis program pendidikan yang selama ini diperoleh golongan masyarakat
beruntung (advantaged group) dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat
dijangkau golongan masyarakat luas atau kelompok masyarakat tidak beruntung (disadvantaged
group). Perspektif technological functionalism sendiri mencoba
menjawab persoalan ascription yaitu faktor-faktor pembawaan (status sosial,
ekonomi, koneksi, jenis kelamin,
keturunan, karakteristik individual dan lainnya) yang sering memberikan pengaruh
lebih besar dalam mekanisme seleksi dan promosi tenaga kerja. Perspektif technological
functionalism juga melihat bahwa keuntungan perseorangan dari pendidikan
akan memberikan keuntungan pada masyarakat dan negara. Kondisi demikian akan
terwujud apabila pola-pola seleksi didasaikan pada merit system dengan
melihat faktor kemampuan dan ketrampilan tenaga kerja sebagai faktor penentu
dalam mekanisme seleksi dan promosi tenaga kerja. Di sisi lain, perspektif ini
menganggap bahwa mekanisme seleksi yang menekankan faktor askriptif sangat
berbahaya bila telah dimulai dalam sistem pendidikan, yang mengakibatkan sistem
pendidikan dapat digunakan sebagai alasan untuk menyeleksi pihak-pihak yang
secara askriptif telah diuntungkan dengan menggunakan justifikasi bahwa
pendidikan dapat menumbuhkan tenaga trampil dan terlatih. Pada akhirnya
pendidikan hanya dijadikan sebagai alat saring yang dianggap memiliki kekuatan
dalam suatu mekanisme seleksi dan promosi, dan bukan merupakan suatu sistem
yang berguna untuk mengembangkan kemampuan dan produktivitas SDM. Dalam
perkembangannya muncul perspektif technological society yang menekankan
perkembangan teknologi dalam sistem produksi akan memberikan dorongan kuat
terhadap perubahan bidang pendidikan. Kegiatan inovasi dalam bidang pendidikan
turut mempengaruhi perubahan struktural dalam sistem pendidikan. Perkembangan
perspektif muncul ini akibat terjadinya konflik dan perpecahan antara berbagai
golongan masyarakat yang ditafsirkan sebagai
perbedaan keahlian teknologis diantara golongan masyarakat sendiri, satu
sisi; sisi lain adanya keraguan kalangan peneliti dan masyarakat mengenai teori
fungsionalisme dalam perubahan sosial. Munculnya keraguan akan teori fungsionalesme
dipengaruhi oleh perspektif egalitarianisme (berkaiatan dengan tujuan
peningkatan efisiensi pendidikan dalam memelihara dan mengembangkan SDM) yang
menekankan pentingnya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equity of
educational opportunity) sebagai salah satu kekuatan penggerak dalam
perubahan sosial. Mereka menilai bahwa ketidakmerataan kesempatan memperoleh
pendidikan bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak efisien, sehingga harus perubahan
struktur pendidikan dalam meningkatkan pemerataan memperoleh pendidikan. Perspektif
fungsionalisme mendapat kritikan, bahwa penerapan technological functionalsm
dalam bidang pendidikan terlalu mempersoalkan peranan sisi teknis pendidikan,
dan tidak menganggap penting sisi lain seperti pentingnya konflik dan ideologi
dalam pendidikan. Namun demikian, perspektif ini banyak berguna dalam melihat
peranan lembaga pendidikan sebagai fungsi seleksi dalam suatu mobilitas sosial
yang sangat berguna dalam analisis hubungan antara pendidikan dengan bidang
kehidupan lain. Dalam perkembangannya, perspektif ini lebih banyaj menekankan
pada konsesus dan keseimbangan dalam masyarakat.
b.
Perspektif Human Capital
Perspektif ini
mencoba menjawab persoalan ekonomik yang juga menjadi pusat perhatian
para pembuat keputusan, yaitu apakah investasi pendidikan merupakan suatu hal
yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi, dan mencoba menjawab
tantangan persoalan underinvestment in human capital yaitu kurang dikembangkannya
seluruh potensi SDM untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Pemikiran human
capital mendasarkan pada konsep tentang investasi SDM (human capital)
yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja menurut human capital
merupakan pemegang kapital yang tercermin dalam ketrampilan, pengetahuan
dan produktivitas kerja; sehingga dapat menginvestasikan dirinya untuk
kepentingan dirinya, bukan untuk dimanfaatkan bagi keuntungan seseorang atau
kelompok (tuan tanah, majikan, pemilik modal dan lainnya). Apabila eksploitasi
terjadi pada tenaga kerja, maka mereka hanya memiliki fungsi sebagai alat
produksi kekayaan pemilikan, proses produksi dan hasil produksi, yang pada
akhirnya keuntungan potensial mereka telah dipindahkan ke tangan para pemilik
modal. Schultz sebagai peletak dasar perspektif human capital (dalam Ace
Suryadi,1993) menekankan bahwa proses perolehan pengetahuan dan ketrampilan melalui
pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata, akan tetapi juga
merupakan suatu investasi. Manusia merupakan suatu bentuk kapital (sebagaimana
teknologi, mesin, tanah, uang, dan lainnya) yang sangat menentukan terhadap
pertumbuhan produktivitas bangsa. Melalui investasi dirinya sendiri, seseorang
dapat memperluas alternatif untuk memilih profesi, pekerjaan atau kegiatan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Human capital dapat
diaplikasikan melalui bentuk investasi
SDM dalam pendidikan di sekolah, pendidikan luar sekolah, pengalaman kerja,
kesehatan dan lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk investasi SDM
mempunyai fungsi membantu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk
bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan di masa datang;
sebagai bentuk konsumsi yang dapat memenuhi kepuasan seseorang untuk menikmati perolehan
pengetahuan dan ketrampilan waktu sekarang; dan memberikan pengaruh pemerataan
pendapatan masyarakat melalui pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan..
c.
Perspektif Empirisme
Perspektif ini
disebut juga sebagai methodological empiricism (Karabel & Halsey
dalam Ace Suryadi,1993) yang memusatkan perhatian pada kombinasi antara
metodologi dan substansi, khususnya dalam melakukan diagnosis terhadap masalah
pemerataan pendidikan. Dasar pemikirannya adalah metodologi dalam penelitian
pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan substansinya. Sebagai sebuah
pendekatan, teori empiris mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, analisis
yang didukung oleh pengujian secara matematis-empiris merupakan bagian yang
secara intrinsik tidak dapat dipisahkan dari prosedur ilmiah yang terlahir dari
ilmu-ilmu sosial modern; kedua penelitian yang sifatnya
empiriskuantitatif berakar pada aliran positivisme. Permasalahan pemerataan
pendidikan sendiri semakin mengemuka setelah adanya tuntutan masyarakat luas
mengenai perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan sebagai akibat
meluasnya paham egalitarianisme. Permasalahan pemerataan pendidikan sendiri
menurut conflict theory, terjadi sebagai akibat perselisihan antara
kelas sosial yang berbeda kepentingan. Kelas sosial elit dianggap lebih suka
mempertahankan terjadinya ketidakmerataan pendidikan untuk mempertahankan status
quo mereka. Sedangkan kelas yang dianggap populis berjuang
melawan kelas elite agar memperoleh kesempatan pendidikan yang merata
sehingga memungkinkan untuk memperoleh kesempatan dan pemerataan pendidikan. Secara
metodologis, penelitian tentang pemerataan pendidikan berkembang mencakup hal
berikut (Ace Suryadi,1993,27). Pertama, penelitian pendidikan bersifat
empiris dan kuantitatif telah menyerap sejumlah besar dana dan daya, hasil-hsilnya
diarahkan untuk melakukan analisis terhadap peranan pendidikan dalam mengurangi
/ mempertahankan struktur pemerataan pendidikan. Kedua, berkembang
penelitian terapan (action research) pada bidang pendidikan dalam bentuk
quasi-experiments yang umumnya dilaksanakan atas dasar dukungan dana penelitian
dari pemerintah.
Daftar Pustaka
Ace Suryadi dan HAR Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu
Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya 1983.
Checkland, Peter and Scholes, Jim, , Soft Systems Methodology in
Action, England John Wiley & Sons, 1990.
Dye, Thomas R, , Understanding Public Policy, Cliff: Prentice-Hall,
Englewood, 1981.
Dunn, William N, , An Introduction to Public Policy Analysis,
Cliff: Prentice Hall Englewood NJ. 1981
Erman Aminullah, Mustopadidjaja AR, dkk, Berpikir Sistemik,
Analisis Kebijakan Dengan Simulasi Komputer, Jakarta: PSIOAN LAN,. 2000.
Grindle, Merielle S, , Politics and Policy Implementation in The
Third World, New Jersey Princenton University Press, 1980.
Jones, Charles O, , An Introduction to The Study of Public
Policy, Duxbury Press, North Scituate, Massachusetts 1991.
Kim, Daniel H and Anderson, Virginia, , Systems Archetype Basics
From Strory to Structure, Pegasus
Communication, Waltham MA. 1998
Lindblom, Charles E, The
Policy-Making Process, Prentice-Hall Inc, New Jersey 1986.
Mazmanian, Daniel A, and Sabatier, Paul A, , Implementation and
Public Policy, The Scott, Foresman and Company, Dallas, Texas 1983.
Muhadjir Darwin, Implementasi Kebijakan, dalam Pelatihan
Analisis Kebijaksanaan Sosial, Yogyakarta: PPK UGM, 1993.
Peters, B. Guy, , American Public Policy Process and
Performance, New York Frankiln Watts, 1982.
Pressman, Jeffrey L, and Wildavsky, Aaron, Implementation,
The Oakland Project, University of California, Berkeley 1984.
Quade, E.S, , Analysis for Public Decisions, New York: North-Holland,
1984.
Ripley, Randall, Political Analysis in Political Science, Nelson-Hall
Publisher, Chicago 1985.
Wahab, Sholihin Abdul. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke
Impelementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Wahab, Sholihin Abdul. Analisis Kebijakan Publik Teori dan
Aplikasinya, ,Malang :Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, 1998.
Sutjipto, Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Suatu Pengantar,
Padang: IKIP Padang, 1987.
oke bang, ijin download ya
BalasHapus