ISLAMIC STUDIES
A. Latar Belakang
Studi Islam di Indonesia merupakan
sebuah jalan untuk mengetahui seluk beluk Islam di Indonesia. Dengan studi Islam
diharapkan diperoleh gambaran yang komprehensif tentang keberadaan Islam di
Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah, Islam merupakan agama
yang termasuk baru bagi Indonesia. Sebelum Islam berkembang, terlebih dahulu
agama Budha dan Hindu yang mendominasi Indonesia
sehingga bukan suatu hal yang salah jika seluruh budaya Indonesia berakar dari kebudayaan
Hindu-Budha. Setelah itu datanglah mubaligh
dari Islam menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Dengan keberadaan mereka itulah Islam
berkembang dan menyebar ke seluruh Indonesia dan hingga akhirnya menjadi agama
mayoritas bagi bangsa Indonesia. Dalam perjalanan tersebutlah diperlukan sebuah studi atau pembelajaran yang sistemastis
terbimbing untuk memperoleh gambaran tentang kontribusi studi Islam bagi bangsa
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1. Analisis tujuan Studi Islam
2. Metode Studi Islam
3. Kelembagaan Studi Islam
C. Pengertian Studi Islam
Secara etimologis merupakan terjemahan dari bahasa Arab
Dirasah Islamiah. Dalam kajian Barat Studi Islam disebut Islamic Studies. Dengan demikian, studi Islam
secara harfiah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan ke Islaman.
Sedangkan pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian ini, yaitu
kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam,
pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaanya dalam
kehidupan.[1]
Secara teoritas Islam adalah agama yang
ajaran-ajaranya diwahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai Rasul,
Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi
dari kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagi segi dari kehidupan
manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Quran dan Hadits.
Sumber-sumber ajaran Islam yang merupakan bagian pilar penting kajian Islam
dimunculkan agar dikursuskan dan paradigma keIslaman tidak keluar dari sumber asli,
yaitu al- Quran dan al-hadits.
Studi berarti pembelajaran. Dapat juga
diartikan dengan pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Ki Hajar
Dewantara, pendidikan berarti tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.[2]
Pendidikan dalam bahasa
Arab adalah Tarbiyah dengan arti memelihara, mengawasi, mensucikan hati,
mengajarkan, mengarahkan ke arah yang baik-baik.[3]
Sedangkan Islam adalah
kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia kepada manusia sejak manusia
digelarkan ke muka bumi dan dibina dlam bentuknya yang terakhir dan sempurna
dalam Al-Qur’an yang suci yang diwahyukan Allah kepada nabi-Nya yang terakhir
yakni Muhammad Saw berisi satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan
lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.[4]
Dengan demikian studi Islam
merupakan usaha terprogram dan terencana untuk mewujudkan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan kajian keIslaman serta seluk beluk di dalamnya.
D. Analisis Tujuan Studi Islam di Indonesia
Karena pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan, Allah telah menyusun
landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh manusia melalui syariat Islam.
Konsep ketinggian dan keuniversalan pendidikan Islam harus dipahami sebelum
beranjak kepada metoe dan karakteristik. penulis beranggapan, karena
studi Islam sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam tentang Islam dan
segala seluk beluk yang berhubungan dengan Islam, sudah barang tentu mempunyai
tujuan yang jelas, yang sekaligus menunjukkan kemana studi Islam diarahkan. Ada
beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan Islam, berikut penjelasannya:
Tujuan asas pendidikan Islam
sebagaimana diuangkapkan oleh Muhammad Munir Mursi adalah dengan melaksanakan tugas
ke khalifahan agar terbentuk akhlakk yang mulia sehingga dengannya tercapai
kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.[5] Tujuan
tersebut memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah (1) mengarahkan manusia
agar menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu
melaksanakan tugas untuk memakmurkan dan
mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan, (2) mengarahkan manusia agar
seluruh tugas kekhalifahannya dimuka bumi agar dilaksanakan dalam rangka
beribadah kepada Allah swt, sehingga tugas terseut dirasa ringan, (3)
mengarahkan manusia agara berakhlaq mulia, sehingga tidak menyalahgunakan
fungsi kekhalifahannya, (4) membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini
dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya, dan (5)
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.[6]
Dalam pendapat lain konsep
tentang tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:[7] Pertama,
untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agama Islam
itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam
kehidupan budaya manusia. Kedua, untuk mempelajari secara mendalam
pokok-pokok ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran dan
operasionalnya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam
sepanjang sejarahnya. Ketiga, untuk mempelajari secara mendalam sumber
dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana
aktualisasinya sepanjang sejarahnya. Keempat, untuk mempelajari secara
mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan
bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol
perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern.
Kedua bentuk konsep tujuan
pendidikan Islam ini, saling melengkapi satu dengan yang lain sebagai penguat
bahwa tujuan studi Islam khususnya di indonesia terus mengalami perubahan hal
ini diakibatkan tuntutan zaman. Sehingga asumsi-asumsi mengenai tujuan
pendidikan Islam meskipun tidak diharuskan, nampaknya perlu mempertimbangkan
faktor zaman dimana kita hidup saat ini di era transformasi global.[8]
Dinamisasi pemikiran Islam
terus mengalami perubahan dan pembaharuan (tajdid). Term tajdid ini adalah
usaha untuk melepaskan diri dari belenggu lama dalam konteks kekinian. Dalam
dunia barat term tajdid ini sring disebut reformisme, modernisme, puritanisme
dan lain sebagainya.[9]
Pembaharuan ini tidak hanya dalam segi tujuan saja, seperti kedua konsep
diatas, namun perombakan juga terjadi dalam metode, sistem, kelembagaan dan
komposisi bidang kajian dari yang bersifat tradisional kepada bersifat modern
atau dari murni agama menjadi lebih terbuka
dengan ilmu-ilmu sekuler.
Karel A Steenbrink menyimpulkan
ada empat faktor yang mendorong berlangsungnya pembaharuan Islam di indonesia.
Empat faktor yang melatar belakangi gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada
awal abad XX yaitu: (1) keinginan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadist dalam
melihat kegiatan dan tradisi keagamaan yang ada; (2) semangat perlawanan
nasional terhadap pemerintah kolonial belanda; (3) keinginan yang kuat dalam
organisasisosial ekonomi; dan (4) pembaharuan pendidikan Islam, karena
pendidikan Islam yang ada saat itu kurang dapat mencapai hasil sebagaimana yang
diinginkan.[10]
Pembahruan-pembahruan
dalam studi Islam ini tidak hanya di Indonesia namun juga negara-negara lain
seperti Mesir dengan tokohnya misal Abduh, Rasyid Ridho, At-Tahtawi dan
lain-lain.[11]
Di Turki juga terjadi pembaharuan studi Islam dan didengungkan oleh Mahmud II
yang mendirikan skolah modern.[12] Juga di
India dengan tokoh misalnya, Sayyid Ahmad Khan.[13]
Gambaran bahwa pembaharuan studi Islam yang laksanakan di Mesir, Turki dan India
adalah sebuah langkap pasti dalam menyongsong perubahan dunia melalui jalur
pendidikan. Sebuah institusi apapun bentuknya ketika tidak mempunyai kepekaan
terhadap perubahan yang terjadi disekitarnya pada akhirnya akan ditinggalkan oleh
peminatnya.
Dari sini kita tidak bisa
memaksakan tujuan studi Islam itu hanya bersifat ukhrowi saja dengan
meningglkan duniawi. Jangan sampai kemudian pemikiran ini menjadikan
munculnya dikhotomi ilmu. Memang betul jika dikatakan didalam Islam ada
dikhotomi. Karena dikhotomi ini muncul pada zaman pertengahan Islam, disaat Islam
mengalami kemunduran. Perlu diketahui bahwa pada zaman klasik, ilmu belum
terpisah secara tajam. Pemisahan baru terjadi pada zaman pertengahan. Disini
ilmu dibagi menjadi tiga pilihan besar, yakni (a) ilmu pengetahuan tentang
dasar-dasar agama (usul), (b) ilmu pengetahuan tentang alat cabang-cabang agama
(furu’), dan (c) ilmu pengetahuan tentang alat untuk mengetahui agama.[14]
Sehingga pada tataran
global, studi Islam telah mengalami sebuah transformasi paradigma. Carl W.
Ernst dan Richard C. Martin menganalisis transformasi ini dari orientalsime ke
post-orientalisme.[15]
Perubahan paradigma ini sekarang telah dirasakan oleh PTAI. Jika dulu mungkin
PTAI banyak diisi oleh intelektual pesantren yang mahir mengajarkan kitab
kuning, tetapi saat ini PTAI bergerak ke arah humanistik dan lebih banyak
diajar oleh skolar Islam yang tidak hanya paham ilmu-ilmu keIslaman tetapi juga
ilmu-ilmu sosial yang dipelajari langsung dari pusat studi Islam di Eropa
Amerika atau Belanda.[16]
Dari penjelasan diatas
maka tujuan studi Islam tidak statis dalam arti menyesuaikan terhadap zaman dan
tujuan yang dihasilkan tidak mengakibatkan adanya dikhotomi pendidikan. Tetapi
justru tujuan pendidikan Islam itu harus bisa memberikan ruang untuk integratif
dan interkonektif dengan sesuatu yang diluar Islam itu sendiri. Hal ini
bertujuan untuk menjawab tantang zaman. Maka tujuan pendidikan Islam bisa
diarahkan kepada integratif-interkonektif pendidikan Islam atau yang lazim
disebut dengan Islamic Studies dengan teori “spider web” Amin
Abdulloh.
E. Metode Studi Islam Di Indonesia
Secara etimologi, kata metode berasal dari bahasa Yunani metodos.
Kata ini terdiri dari dua suku kata: yaitu “metha” yang berarti
melalui atau melewati, dan “hodos” yang bermkana jalan atau cara. Jadi,
metode adalah suatu cara yang di lalui untuk mencapai tujuan.[17] Dalam kamus besar bahasa indonesia, metode
diartikan sebagai cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai
maksud tertentu.[18] Dengan demikian, metode studi Islam diartikan
sebagai suatu cara yang harus dilalui dalam menyajikan bahan pelajaran untuk
mencapai tujuan studi Islam.
Jika dilihat dari karya-karyanya, setidak-tidaknya ada
dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya kedua-duanya merupakan
respon dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin. Pertama
adalah persoalan pemahaman terhadap keIslaman yang selama ini dipahami sebagai
dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu
ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari
teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan
skripturalis.
Sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan
manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis,
sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama
dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan
hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis
pendekatan ini – pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang
bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan
masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur
dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada
dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu
menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan
teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan
berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan
histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti
aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek
ajaran teologis.
Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali
penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di
sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah
kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan
menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu
sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak
berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan
untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut.
Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan
integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas
persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan
kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan
tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup
tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada
paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama,
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.
Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu
justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa
saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu akan menjadikan narrow-mindedness.
Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan
dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka
dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan
antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun
blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada.
Lebih lanjut tentang paradigma interkonektif dan integratif ini akan penulis
paparkan di bawah ini.
2.
Paradigma Integratif-Interkonektif dan Relevansinya bagi Islamic Studies.
Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara
keilmuan sekuler dan keilmuan agama (baca ilmu keIslaman). Keduanya seolah
mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga
berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua
jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum
sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan
ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah
tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara
itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya
menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab
tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang
keilmuan ini mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa
dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.
Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini,
tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah
perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang
dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu,
bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.
Paradigma integratif-interkonektif yang ditawarkan oleh Amin
Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan
interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun
keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain,
“bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan
demikian maka ilmu agama (baca ilmu keIslaman) tidak lagi hanya berkutat pada
teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.
Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu
pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities, tidak
lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya
juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi
paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak
ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para
ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir
yang berbeda dari sebelumnya.
Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang
menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas
tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah
al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga
sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan
gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya
teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan
dihadapi oleh hadarah al-‘ilm.
Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam
penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk
mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislmanan (integrasi-interkoneksi).
Sementara itu, sebagaimana yang terlihat dalam jaring
laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi
perkembangan dalam ilmu keIslaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1
dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada
lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum
menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan
zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan
perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang
merupakan representasi dari “tradisi lokal” keIslaman yang berbasis pada
“bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3
disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan
humanitas pemikiran keIslaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan
lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies
sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial
kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences)
umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.
Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat
dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemologI Islam menjadi tiga,
yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani.
Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak
penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga
epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan.
Selama ini epistemologi bayani lebih banyak
mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan
tradisi epistemologI irfani dan burhani, pola pikir bayani
ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat
sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani.
Karenanya hubungan yang baik antara
ketiga epistemologi ini tidak dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi
dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang
berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu
dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari
ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar
belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan
bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam
akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil
manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam
rangka memperbaiki kekurangan yang ada.
Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma
integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi
perkembangan keilmuan Islam (Islamic Studies), dimana dialog antar
disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan Islam dalam menghadapi tantangan
zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah
digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan
model UIN menurut subyektifitas penulis menjadi tidak applicable dalam
pengembangan studi Islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi
UIN –sekali lagi menurut pandangan penulis- justru semakin menyisihkan keilmuan
agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan.
Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi
yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan
psikologi agama, kemudian jika fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi
agama dan kemudian fakultas sosial humaniora juga akan membuka antropologi maka
yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak
terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya”
epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin
Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang
dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN
menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni.
Disini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas
dan normativitas dalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik
dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks
Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam
tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali
sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan. Paradigma
baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini
memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini. Koneksitas ini
diharapkan mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan Islam dan lebih jauh lagi
dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun
paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika
paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang
mengejawantah dengan perubahan IAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan
kerancuan terutama bagi program-program studi yang muncul kemudian, dan hal ini
menurut harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan ideal dari integrasi dan
interkoneksi ini dapat terwujud.
F.
Lembaga Studi Islam
Di Indonesia
Kajian tentang lembaga Studi Islam,
menurut saya lebih pantas jika “pesantren” sebagai objek kajiannya. Karena
pesantren tidak bisa lepas dari sejarah Studi Islam di Indonesia. Sub ini akan
menjelaskan Pesantren dengan seluruh ruang lingkupnya juga konsep peantren di
era transformasi global.
1. Definisi Pesantren
Pesantren berarti, asrama tempat santri atau tempat murid-murid
belajar mengaji.[20]
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe, dan akhiran an yang
berarti tempat untuk tinggal dan belajar para santri. Manfred Ziemek menyatakan
bahwa secara etimologi pesantren berasal dari pe-santri-an, berarti tempat
santri.[21]
Istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang
berarti guru mengaji, istilah tersebut berasal dari istilah sashtri yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[22] Kata sashtri yang berasal kata sashtra
yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan.[23] Ini
menunjukkan secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau
lebih tepatnya India.
Pesantren memang bukan berasal dari Arab tapi istilah pondok
berasal dari Arab; yaitu funduk yang berarti pesanggrahan atau
penginapan bagi orang yang bepergian.[24]
Mengacu kepada definisi yang diberikan Zamakhsyari Dhofier, bisa disebut
pesantren jika memenuhi beberapa elemen yaitu masjid, pembelajaran kitab
kuning, santri dan kyai. Elemen ini pula yang membedakan antara pendidikan
pesantren dan tidak.[25]
2.
Perkembangan Pesantren
Ada tiga hal yang perlu dicermati dalam
melihat perjalanan sejarah pesantren yang muncul pada abad ke-7 M/1 H sebab
sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad itu, tetapi
baru meluas pada abad ke-13.[26] Pertama, pesantren di era pertumbuhan (pada abad 16-18). Kedua,
pesantren di era perkembangan (pada abad 18-20). Dan ketiga, pesantren
di era globalisasi di mulai pada abad 20 hingga saat ini. Ada perbedaan di
masing-masing era. Perbedaan yang paling menonjol antara pesantren di era
pertumbuhan dan era perkembangan adalah jika pesantren di era pertumbuhan lebih
menitik beratkan pada trasnmisi mistisisme dan ketarekatan, maka pesantren di
era perkembangan berdiri dan berkembang secara variatif, berciri khas sesuai
kurikulum yang dikembangkan.[27]
Sejak abad ke 20 M model pendidikan pesantren
mulai dilakukan pembaruan diberbagai segi sebagai konsekuensi dari globalisasi
dan bahkan dewasa ini pesantren mulai dilirik sebagai lembaga pendidikan
alternatif bagi pembangunan bangsa kedepan.[28] Hal
ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, kolonialisme dan sistem
pendidikan liberal. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren yang
tidak lagi terpusat ke Hijaz seperti pada abad 16-18, namun telah merambah
kewilayah Timur Tengah lainnya semisal Mesir, Baghdad atau bahkan Eropa. Ketiga,
gerakan pembaruan Islam.[29]
Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi
luhur yang telah menjadi karateristik pesantren pada hampir perjalanan
sejarahnya secara potensial, karateristik tersebut memiliki peluang cukup besar
untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyikapi arus globalisasi dan
persoalan-persoalan lainnya yang menghadang pesantren secara khusus, dan
masyarakat luas secara umum.[30]
Pondok Pesantren sebagai sub-kultur,[31]
sejak masa orde lama dimana saat itu pesantren dan madrasah dalam politik
pendidikan masih didominasi oleh ilmu-ilmu umum[32]
menghadapi tantangan yang tidak bisa diremehkan. Otonomi pendidikan pondok
pesantren yang dibanggakan dengan tradisi pesantren (salafisme) juga
harus mengalami ujian yang sangat dilematis. Dialektika antara mempertahankan watak
tradisionalisme dan modernisme sungguh dialami oleh banyak pondok pesantren.
Sedangkan pada masa orde baru pesantren dan madrasah dalam politik
pendidikan mulai menuju pada integrasi monolitik.[33]
Dimasa reformasi pesantren dan madrasah berada pada inkonsistensi posisi
madrasah dan integrasi pendidikan keagamaan.[34]
Namun dewasa ini, perjalanan tradisi
pesantren antara tahun 1998 sampai dengan 2008 telah mengembangkan jenis
pendidikan modern di lembaga-lembaga pesantrennya. Jumlah lembaganya juga
meningkat drastis dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008.
Lonjakan drastis berlangsung pada 2008. Selama setahun itu, jumlah pesantren
baru mencapai 4.015. Dalam 10 tahun kedepan jumlah pesantren diperkirakan
mencapai sekitar 35.000. dalam upaya memadu modernitas pendidikan, 1.078
pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan 625
pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi umum.[35]
Selain itu perkembangan pesantren juga ditandai dengan semakin
mesranya hubungan antara pesantren dengan pemerintah hal ini terbukti dengan
adanya alokasi dana untuk pengembangan pesantren disamping memberi bantuan
tenaga administratif dalam pengembangan sistem pendidikan.[36]
Ditambah lagi dengan masuknya pesantren menjadi bagian Pendidikan Nasional yang
tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang
kemudian muncul PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan,
yang menjelaskan status pesantren.
Disatu sisi, perkembangan ini akan bernilai positif, karena
kebutuhan santri terhadap lembaga pendidikan formal akan terpenuhi. Sementara
disisi yang lain, identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan dan mengembangkan ilmu-ilmu agama akan tenggelam. Hal ini
disebabkan nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan pesantren akan lebih terfokus
pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, mengingat tuntutan kebutuhan
pasar lebih cenderung pada legalitas formal yang disediakan oleh lembaga pendidikan
formal secara umum.[37]
3.
Karakteristik Pondok Pesantren
Ciri khas paling menyolok dalam tradisi pesantren yang telah
menjadi karakternya adalah jaringan, silsilah, sanad ataupun genealogi yang
bersifat berkesinambungan. Hal inilah yang membedakan tradisi intelektual
pesantren dengan – misalnya – tradisi intelektual dilingkungan kampus dan
bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Kata tradisi berasal dari bahasa Latin tradere yang berarti
memindahkan atau memberikan sesuatu pada orang lain untuk disimpan dan
merupakan harta milik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya
untuk dilindungi dan dipelihara. Tradisi bisa mengandung arti penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan
benar.[38]
Sikap dan cara berfikir serta bertindak yang berpegang teguh pada tradisi,
norma dan adat istiadat secara turun menurun itulah selanjutnya yang disebut
tradisional. Namun, tradisional bukan harus konservatif dalam arti intelektual,
seperti yang telah dibuktikan oleh tradisi mencari ilmu agama yang teguh, yaitu
dahaga santri terhadap ilmu pengetahuan.[39]
Istilah tradisional yang menjadi predikat
pondok pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier masih terikat kuat dengan
pikiran-pikiran para ulama ahli fikih, tafsir, tauhid dan tasawuf
yang hidup antara abad ke tujuh sampai dengan abad ke tiga belas.[40] Walau
demikian, derap dinamika pondok pesantren salaf tidak terbelenggu oleh
ulama-ulama salaf, melainkan mau beradaptasi dengan lingkungan sosial,
bahkan terhadap kemodernan.
Karakter pondok pesantren tradisional dapat dilihat dari bebrapa
dimensi yang mencakup dimensi institusioanl, historic konvensional dan kultur
adaptive.[41]
Pertama, Dimensi Institusional. Cakupan dimensi institusional agaknya tidak
diragukan lagi bahwa pondok pesantren adalah sebagai institusi pendidikan asli
Indonesia dan memiliki himmah yang tinggi terhadap keilmuan. Itulah
sebabnya, dunia pondok pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu karena
fungsi pondok pesantren tradisional senantiasa merujuk pada fungsi pembelajaran
dan transfer keilmuan Islam dan tradisi pikiran ulama-ulama salaf.[42]
Konteks fungsi institusional pondok pesantren salaf dapat dilihat
paling tidak pada fungsi transmisi ilmu-ilmu Islam (transmission of
knowledge), pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic
tradition) reproduksi ulama (reproduction of ulama).[43]
Fungsi-fungsi ini berjalan dibawah inspirasi dan dorongan simbol karisma
seorang kyai yang diperoleh secara turun menurun. Kyai, sebagai pemimpin
institusi pendidikan tradisional, mempunyai otoritas menyiapkan kader-kader
ulama melalui transfer keilmuan Islam.
Kedua,
dimensi historic konvensional. Dari pendekatan ini pondok pesantren
tradisional memiliki tugas menyebarkan Islam dan menyebarkan tauhid dan
nilai-nilai moral. Sejarah membuktikan bahwa pada abad ke-7 M saudagar-saudagar
muslim pada waktu itu tidak hanya melakukan bisnis, tetapi menyebarkan Islam
sehingga mereka memiliki jaringan dikota-kota bisnis di sepanjang Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Komunitas ini dipelopori oleh salah seorang dari Walisongo yaitu Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk
mendirikan pusat transmisi Islam dengan nama pesantren yang menjadikan masjid
sebagai pusat mewariskan memelihara kontinuitas tradisi Islam.[44]
Ketiga,
dimensi cultural adaptif. Adaptabilitas Maulana Malik Ibrohim sebagai the
father of early pesantren, yang kemudian dicontoh para kyai pondok
pesantren salaf merupakan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa kyai berhasil
beradaptasi dengan lingkungan sosial dan berhasil meraih simpati masyarakat.
Refleksi pola hidup ikhlas, sederhana dan saleh dari seorang kyai yang menjadi
karakter pondok pesantren, juga menjadi jalan lurus menuju adaptabilitas
terhadap kemajemukan masyarakat.[45]
Adaptabilitas pondok pesantren salaf juga bisa dilihat pada proses
pembaruan sistem pendidikan Islam. Ketika pondok pesantren salaf merespons
gagasan pembaruan dalam sistem pendidikannya, hal itu bukan tanpa syarat. Ia
merespons gagasan pembaruan tetapi dengan komitmen terhadap prinsip-prinsip
ketradisionalan dan senantiasa berpegang teguh pada kaidah
أَلْمُحَا
فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَأَلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ أَلأَصْلاَحِ
Artinya: Memelihara tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik”.[46]
Dalam
perkembangan selanjutnya, pondok pesantren salaf senantiasa responsif dan
adaptif terhadap kemunculan kebutuhan masyarakat maupun santri. Hal ini
diwujudkan melalui pemberian latihan keterampilan, perkoprasian, pertanian,
olah raga, dan kesenian.
Paparan
contoh tersebut memberikan ilustrasi bahwa pondok pesantren tradisioanal
berwatak cultural adaptive terhadap kecendrungan yang terjadi di luar
dirirnya. Ketika merespons semua itu, pondok pesantren salaf tidak tergesa-gesa
mentransformasikan pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan yang sepenuhnya
modern, tetapi hanya dalam skala yang sangat terbatas. Kebijakan ini ditempuh
supaya menjamin kelangsungan hidup pondok pesantren salaf dan agar tetap
relevan dengan fungsi-fungsi tradisionalnya.
4.
Kontribusi
Pondok Pesantren
Pesantren
dalam eksistensinya merupakan lembaga pendidikan yang tak kenal batas usia, batas geografis, batas kelas sosial
ekonomi, dan batas-batas lainnya. Pesantren, selain dapat dikatakan sebagai
benteng pendidikan masyarakat yang telah teruji oleh zaman, juga merupakan wahana pengembangan masyarakat yang menyentuh
pemenuhan dan pengembangan kualitas hidup warga mayarakat disekitar pesantren.[47]
Menurut
KH. Sahal Mahfudz,
Pesantren seharusnya tidak hanya dapat mewarnai, namun sanggup membentuk
masyarakat. Kyai Sahal berpendapat bahwa orientasi pesantren harus semakin luas dengan memadukan
dimensi pendidikan agama dan dimensi pendidikan masyarakat.[48]
Kontribusi
pondok pesantren baik tradisional atau bukan, pada masyarakat di era
globalisasi antar lain berkaitan erat dengan pemeliharaan tradisi, transfer
ilmu agama, transmisi Islam, pelestarian budaya dan sosial politik.[49]
Pertama, pemeliharaan tradisi.
Tradisi yang dipelihara oleh pondok pesantren salaf adalah tradisi dan tata nilai
Islam yang mengutamakan ibadah dan menuntut ilmu, yang memegang teguh sumber
hukum Islam, berpegang teguh pada sistem nilai ahlusunnah waljam’ah,
internalisasi keimanan dan akhlak, berorientasi pada lambang dan simbol-simbol,
melaksanakan kompetensi menumbuhkan kompetensi santri berilmu (Ulama) dan
penanaman nilai-nilai moral melalui kutub al-salaf serta
tradisi berfikir yaitu:
أَلْمُحَا فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ
وَأَلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ أَلأَصْلاَحِ
Sehingga
santri yang mencari ilmu dipondok pesantren akan menyerap tradisi dan tata
nilai ini. Setelah kembali kemasyarakat ia akan senantiasa berpegang teguh
kepada tradisi tersebut dan mensosialisasikannya.[50]
Kedua,
mentrasnfer ilmu agama Islam. Tradisi transfer ilmu merupakan tradisi intelektual
yang patut diklaim sebagai sebuah kebenaran dalam dunia ilmu pengetahuan karena
membentuk kontinuitas dan memberikan faedah dalam artikulasi kehidupan. Sampai
saat ini artikulasi ilmu agama Islam dan fungsi luhur pondok pesantren di bawah
inspirasi dan dorongan simbol kyai tidak berubah. Melaksanakan transfer ilmu
agama Islam pada santri berarti melaksanakan kompetensi menumbuhkan potensi
santri menjadi ulama, sekalipun lahirnya potensi menjadi kenyataan adalah
menjadi kewenangan santri di masyarakat. Memang harus diakui bahwa tidak semua
produk pesantren layak disebut kyai, namun setidak-tidaknya ia dapat
mengamalakan ilmunya dilingkungan dirinya sendiri dan tampil sebagai profil
kyai.[51]
Ketiga,
transmisi Islam. Sosok kyai yang faqih (ahli) dalam ilmu agama Islam
memiliki kontribusi besar dalam hal transmisi Islam (dakwah Islamiah).
Meminjam konsepsi Kyai Sahal, kontribusi kyai pengasuh pondok pesantren
setidak-tidaknya sebagai seorang alim yang mengamalkan ilmunya dan sebagai
konsekwensi dakwah kepada masyarakat yang belum mengetahui hakikat ajaran Islam.
Berawal dari sini, pesantren memiliki tugas berupa transmisi Islam, menanamkan
tauhid dan nilai-nilai moral terhadap generasi muda yang tidak tertampung pada
pendidikan formal atau kehendak orang tuanya. Media formal yang dibentuk adalah
madrasah bagi anak-anak, dan media non formal yang diselenggarakan semacam
majelis taklim, tahlilan dan manaqiban untuk orang tua disekitar pondok
pesantren.[52]
Keempat,
memberikan kesadaran identitas budaya. Pondok pesantren sebagai sebuah
komunitas sekaligus sebagai lembaga keagamaan, memberikan kontribusi penanaman
watak humanistik pada santri, melalui ilmu teologi, ilmu hukum, sejarah, bahasa
dan etika. Secara kolektif ilmu-ilmu ini merupakan bidang studi yang menelaah
nilai-nilai humanistik. Oleh
karena itu bidang studi tersebut memberikan kesadaran tentang identitas budaya
yang melekat pada dirinya dan nilai-nilai budaya tertentu yang menjadi ciri
budaya bangsa yang bersangkutan.[53]
Kelima, kontribusi politik. Kontribusi
pesantren tidak hanya berkisar pada dua hal saja yaitu implementasi pendidikan
dan pengajaran (tarbiyah wa ta’lim), namun juga memberikan
kontribusi politik dalam bentuk upaya mewujudkan kemaslahatan umum. Kontribusi
politik ini tidak selalu masuk dalam wilayah birokrasi pemerintahan, karena ia
memiliki kekuatan tradisional, kemampuan intelektual, hubungan sosial yang
baik, lagi pula terhormat dan disegani di masyarakat. Oleh
karena itu, maka ia sering diikutsertakan oleh masyarakat dalam pengambilan
keputusan masyarakat dan sanggup membela kepentingan terhadap kekuatan politik.[54]
Karakteristik semacam itu telah mengantarkan pesantren kepada eksistensinya
yang unik sebagai subkultur dengan alternatif way of life.
5.
Sistem
Pendidikan Pondok Pesantren
a.
Teori
Belajar Mengajar
Teori belajar yang dipakai untuk memperoleh
ilmu pengetahuan menggunakan teori elektik dan belajar dengan mengahafal. Teori
ini berasusmsi bahwa sebuah teks atau seperangkat pengetahuan yang ditransfer
dari satu generasi kegenerasi dapat diserap dan diingat. Pendidikan pesantren menjadi pendukung utama
teori psikologi belajar Skinner. Teori operant conditioning yang diciptakan oleh Skinner dengan teknik
stimulus-respons yang mengarahkan dan mengubah perilaku orang yang belajar. Teori
ini dijadikan rujukan oleh pendidikan pesantren. Praktisnya, sejak anak masuk
pertama dalam lembaga pendidikan, prilakunya di kondisikan oleh suatu stimulus,
misalnya dengan cara memberi hadiah kalau berprilaku baik dan memberikan
hukuman jika berprilaku menyimpang.[55]
Metode pengajaran yang dilakukan oleh pondok
pesantren umumnya menggunakan sorogan, bandongan atau wetonan
dan hafalan.[56]
Metode ini diakui paling baik sebab
telah menjadi budaya yang berlangsung sejak lama.
b.
Tipologi
Pondok Pesantren.
Apresisasi
dan aplikasi dari metode pengajaran sorogan, bandongan dan hafalan
sangat terkait dengan tipe-tipe pondok pesantren. Sebenarnya sulit untuk
membedakan sekaligus menentukan tipe-tipe pondok pesantren di Indonesia. Namun,
dalam wacana Islam Indonesia dewasa ini dibagi menjadi tiga salaf, khalaf
dan pesantren semi salaf-semi modern (terpadu).[57]
Salaf artinya
lama, dahulu, atau tradisional. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok
pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan tradisional,
sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pendekatan ini sejalan
dengan prinsip pendidikan modern yang dikenal dengan sistem belajar tuntas.
Dengan cara ini, santri dapat lebih intensif mempelajari suatu cabang ilmu.[58]
Khalaf artinya
kemudian atau belakang. Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren
yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern melalui
suatu sistem pendidikan formal, baik madrasah(MI, MTs, MA atau MAK) maupun
sekolah (SD, SMP, SMU dan SMK) atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan
klasikal pembelajaran pondok pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang
dan berkesinambungan, dengan program-program didasarkan pada satuan waktu,
seperti catur wulan, semester, tahun/kelas dan seterusnya. Pada pondok
pesantren khlafiyah, “pondok” lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang
memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.[59]
Dalam pesantren model terpadu, pendidikan diarahkan
kepada bagaimana pembelajaran dipesantren tidak hanya sekedar mempelajari
ilmu-ilmu agama (al-Qur’an, hadis, fiqih, akhlak, tasawuf dll) yang
biasa di pelajari di semua pesantren, akan tetapi yang sangat penting adalah
apa kontribusi dari proses pendidikan yang sedang berlangsung (antara kyai dan
santri di pesantren) dengan masyarakat sekitar pesantren dan yang lebih luas
masyarakat umum. Oleh sebab itu, pendidikan pesantren harus
memilki makna sosial dan dapat dirasakan oleh
masyarakat sebagai pihak pengguna jasa pesantren (salah satu stakeholders)
dari pendidikan. Dengan demikian, pendidikan pesantren tidak tercabut dari
akarnya, yakni masyarakat itu sendiri.[60]
Pesantren Di Era Globalisasi
Tidak bisa dielakkan bahwa pesantren saat ini
berada ditengah arus ideologi-ideologi pendidikan maka penulis perlu
memformulasikan kembali tentang pentingnya pesantren perlu merubah paradigma
yang selama ini dipegang dan beralih kepada paradigma baru agar mampu
berkomunikasi dan berkompetisi di era transformasi global maka, paradigma itu
adalah sebagai berikut:
a.
Paradigma
Pembaruan Pendidikan Pesantren
Kata pembaruan, merupakan terjemahan dari istilah asing reformation
adalah derivasi dari kata to reform yang berarti menjadikan
seseorang, lembaga, prosedur, sistem atau tradisi yang lebih baik.[61]
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan pembaruan sebagai perubahan radikal
untuk perbaikan di bidang sosial, polotik, agama di masyarakat atau negara.[62]
Pembaharauan pesantren berarti proses perubahan untuk menuju kualitas
pendidikan yang lebih baik, sejalan dengan fitrah alam dan manusia baik itu
perubahan atau pembaruan dibidang pembentukan pola pikir warga belajar
pesantren.
Pembaruan pendidikan pesantren menarik untuk dikaji di
tengah arus globalisasi yang tak
terelakkan karena mengandung empat signifikansi: Pertama, kajian
pembaruan pesantren merupakan kajian yang relevan dalam konteks Indonesia yang
sedang melakukan pembangunan modernisasi; Kedua, pesantren merupakan
subkultural pendidikan Islam Indonesia sehingga dalam menghadapi pembaruan akan
memberikan warna yang unik; Ketiga, pendidikan pesantren disinyalir
merupakan prototype model pendidikan yang ideal bagi bangsa Indonesia.
Karena didalamnya menyeimbangkan antara ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik; Keempat, untuk mengamati apakah pesantren yang dikatakan
sebuah lembaga pendidikan tradisional melakukan pembaruan atau tidak.[63]
Perubahan paradigma pun harus dilakukan guna menjadikan pesantren berdialektika
dengan masyarakat ditengah arus globalisasi.
1. Perubahan Paradigma dari Teosentris
ke Anthroposentris
Pada awalnya tujuan pendidikan pesantren lebih berorientasi
pada urusan ukhrawi, dan nyaris terlepas dari urusan duniawi. Dengan
tujuan demikian, maka sistem pendidikan di pesantren lebih banyak
didominasi dengan warna-warna fiqh, tasawuf dan sejenisnya. Ini bisa dimaklumi
karena sumber teologi yang dianut bersifat fatalis dan tidak rasional. Keyakinan
semacam ini mengakibatkan sebagian besar pengasuh pesantren menolak masuknya
ide pembaruan.
Melihat keadaan semacam ini, Wahid Hasyim
menawarkan ide pembaruan dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran pesantren
untuk tidak hanya mencetak ulama, namun tetap memahami ajaran agama yang
dipelajari di pesantren.[64]
Maksud dari ide beliau, santri belajar di
pesantren tidak semata-mata mengharapkan keridlaan Allah semata tetapi juga
agar nantinya setelah tamat mampu beradaptasi, berdialog dengan masyarakat
karena disana juga mempelajari berbagai macam keterampilan. Dengan demikian, manfaat dan keuntungan yang diraih bukan hanya
kebahagiaan akhirat, tapi juga duniawi.[65]
Oleh karena itu, santri diharapakan menggunakan
akal pikirannya untuk menyelesaikan berbagai problem kemasyarkatan tidak hanya
yang hubungnnya vertikal (antara mahluk dengan sang Kholiq), namun juga problem
riil yang dihadapi masyarakat Islam (bersifat horizontal). Sehingga dari pesantren akan dihasilkan kyai intelek sebagai produk
idealnya.
Pesantren dan madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang
bersumber dari kitab-kitab klasik saja. Dibongkar dan dikritisi oleh Wahid Hasyim.
Sebab hal ini akan memunculkan dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Beliau
berpendapat bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan dipesantren haruslah ilmu-ilmu yang
komprehensif. Di samping agama juga non agama, ajaran mengenai ilmu, iman dan
amal. Para santri diajarkan ilmu agama seperti fiqih, tafsir, hadits dan ibadah
praktis lainnya, tetapi juga dikenalakan ilmu umum seperti bahasa asing,
matematika, ilmu bumi dan lain sebagainya. Dengan kata lain, dikotomi ilmu
merupakan sesuatu yang tidak diperlukan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.[66]
Meskipun pada dasarnya pendikotomian ini menimbulkan beberapa problem. Namun Wahid Hasyim berkaca
kepada ilmuwan masa lalu yang sangat produktif sehingga Islam mencapai masa
keemasannya. Salah satu faktornya adalah tidak adanya dikotomi dalam dikalangan
para ilmuwan cerdik pada masa itu. Karena menurut Wahid Hasyim, dikotomi ilmu
disatu sisi akan menghasilkan ilmuan yang tidak bermoral, dan disisi lain akan
lahir ulama-ulama yang ketinggalan zaman.[67]
2. Paradigma Teoritis ke Praktis
Wahid Hasyim menekankan pentingnya pengamalan ilmu yang
dipelajari di pesantren. Orientasi paradigma ini adalah terciptanya insan yang
berakhlakul karimah. Salah satu ciri tujuan pendidikan Islam adalah ilmu itu
tidak dicari untuk ilmu itu sendiri namun ilmu dicari sebagai landasan teoritis
bagi amal perbuatan kita.[68]
Konsep implementasi ilmu dalam kehidupan nyata (praktis) menjadi sebuah tuntutan terutama di
era krisis multidimensi seperti yang saat ini dialami bangsa Indonesia. Banyak
pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia
pendidikan yang berbasis keagamaan yang menelorkan siswa/santri yang mampu
menyelaraskan antara ilmu dan amal. Wahid Hasyim menerapkan konsep pendidikan
ideal sebagaimana yang diharapkan yaitu, santri tidak hanya menguasai konsep
dengan sempurna namun juga menerapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menjadi penting karena lembaga pendidikan bukan hanya
merupakan tempat di mana proses indoktrinisasi berlangsung, akan tetapi juga
bertanggung jawab terhadap moral dan perilaku peserta didiknya. Jika hal ini
bisa terwujud maka kombinasi antara paradigma teoritis menuju praksis dimana
tujuan pendidikan bukan hanya semata-mata transfer of knowledge namun
juga transfer of values bukan mustahil akan tercapai.[69]
b.
Model
Pembaruan Pesantren
Aroma pembaruan yang bergema dikawasan Timur Tengah dengan tokohnya
Rasyid Ridho, Muhammad Abduh, dan lain-lain telah berhembus hingga ke bumi
nusantara, termasuk dalam dunia pendidikan. Wahid Hasyim merupakan salah satu
tokoh lokal yang membawa ide pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, yaitu
pesantren dan madrasah. Model pembaruan pendidikan Islam (pesantren dan
madrasah) di Indonesia yang dikemukakan oleh Wahid Hasyim terdiri dari empat
bentuk perubahan, yaitu: pemabahruan ada aspek institusi pendidikan, aspek
kurikulum, aspek metodologi dan fungsi lembaga pendidikan.[70]
1.
Pembaruan Kelembagaan (Institusi)
Model pembaruan kelembagaan (institusi), maksudnya
yaitu pembaruan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui
transformasi diri lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam
yang baru. Dalam konteks ini, Wahid Hasyim mentransformasi lembaga yang sudah
ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian dimodifikasi dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah
yang dilengkapi dengan perpustakaan sebgai tempat belajar santri di luar
pesantren dan madrasah. Namun menurut Rachman Busori madrasah Nizamiyah yang
didirikan Wahid Hasyim, hanya sebatas simbol atau pada namanya saja, karena
dalam kenyataannya ada perbedaan yang signifikan.[71]
Wahid Hasyim melakukan pembaruan kelembagaan/institusi melalui
pembaruan kelembagaan pesantren dilengkapi dengan upaya mendirikan madrasah.
Selain itu beliau juga mendirikan institusi perpustakaan sebagai majlis ilmu
pengetahuan untuk menambah variasi bacaan santri. Dan juga mendirikan organisasi-organisasi
pelajar dan daerah sebagai tempat meningkatkan kemampuan manajerial dan
kepemimpinan.
2.
Isi
Kurikulum
Kurikulum pesantren disini dimaknai sebagai jenis mata pelajaran
yang diajarkan dalam proses belajar mengajar di pesantren atau madrasah. Steenbrink
mengemukakan tiga kelompok mata pelajaran: Pertama, bidang teknis yaitu fiqh,
ilmu tafsir, mawaris, ilmu falaq, dan
sebagainya. Kedua bidang hafalan, yaitu pelajaran Al-Qur’an, ilmu bahasa arab
dan ketiga, ilmu yang bersifat membina emosi keagamaan seperti aqidah, tasawuf
dan akhlaq.[72]
Melihat kurikulum yang demikian, dimana pesantren
hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, Wahid Hasyim, meskipun tidak pernah
mengenyam pendidikan Barat, memperkenalkan ilmu-ilmu sekuler[73], hal ini disebabkan atas dasar asumsi beliau
bahwa dalam beberapa hal, pesantren tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman
sehingga sangat membutuhkan pembaruan.[74]
Sebagai implementasinya, para santri tidak hanya
dibekali ilmu-ilmu agama sebagai bekal di akherat kelak, namun juga dibekali
alat untuk hidup didunia berupa materi kurikulum yang komprehensif yang
berfungsi memberdayakan kemampuan head (pikiran), heath
(perasaan) dan hand (keterampilan) yang dalam istilah sekarang dibekali
dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan kinistetik
(keterampilan).[75]
3.
Metodologi
Pembelajaran
Sebagaimana diungkapkan oleh banyak tokoh bahwa metode pembelajaran
pesantren (terutama pesantren salaf) menggunakan sistem sorogan dan bandongan.
Metode semacam inilah yang ingin diperbaharui oleh Wahid Hasyim. Yang dimaksud
model pembaruan aspek metodologis pesantren dan madrasah yaitu perubahan
metodologi pengajaran yang selama ini diterapkan dalam lembaga pendidikan Islam
yang dianggap kurang relevan.[76]
Mengenai efektifas metode yang digunakan dipesantren sebagai
pengganti sistem bandongan, Wahid Hasyim mengsulkan mengadopsi sisitem tutoril.
Sebab metode bandongan kurang efektof dalam mengembangkan inisiatif pemikiran
santri. Sehingga santri kurang keritis dalam menyikapi pelajaran yang diberikan.
Dalam diskursus pembelajaran modern ada dua istilah yang diusulkan
oleh Wahid Hasyim yaitu, teacher centered learning dan student centered
learning. Istilah pertama menempatkan posisi ustadz sebagai sumber utama
dalam proses pembelajaran, perannya demikian dominan sehingga eksistensi
peserta didik hanya sebagai objek.
Sementara istilah kedua (student centered learning)
menggamabarkan peserta didik sebagai pelaku utama proses belajar mengajar
sehingga diharapkan melalui proses tersebut potensinya akan berkembang secara
maksimal.[77]
4.
Fungsi
Wahid Hasyim juga melakukan pembaruan dalam aspek fungsi pesantren. Secara
tradisional fungsi lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) meliputi
transfer ilmu-ilmu keIslaman, memelihara tradisi Islam dan melahirkan ulama.
Diubah menjadi lebih komplek seperti lembaga pendidikan Islam berfungsi sebagai
agent of development atau agent
of social transformation. Belajar merupakan proses partisipasi santri/siswa
dalam berbagai kehidupan sosial kemasyarakatan disekitarnya.[78]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pemabahruan
pesantren yang digagas oleh Wahid Hasyim adalah dengan cara memperbaharui aspek
kelembagaan, isi, metodologi dan fungsi lembaga pesantren dan madrasah.
Sedangkan model yang diambil adalah mengembangkan sistem lembaga yang
dimilikinya, bukan dengan cara mengadopsi sistem pendidikan barat secara
keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Azyumardi Azra yang menyimpulkan
bahwa model pembaruan pesantren itu ada dua: pertama, dengan mengadopsi
sistem secara menyeluruh dari sistem Barat. Kedua, pembaharun pendidikan
berasal dari sistem dan kelembagaan sendiri.[79]
KESIMPULAN
Studi Islam di Indonesia terus mengalami
pembaharuan dalam segala aspek. Baik dalam tujuan, metode dan kelembagaan.
Dalam dunia pesantren di era transformasi global misalnya, ada perubahan dalam
paradigma seperti perubahan paradigma teoritis ke
praktis, Perubahan Paradigma
dari Teosentris ke Anthroposentris, paradigma
dikotomik kepada non dikotomik.
Dalam metode studi Islam tentu semuanya harus bisa
terkoneksi maka di era transformasi global ini harus memiliki teori baru yaitu Integratif-Interkonektif.
Studi Islam jika ingin terus bisa berkomunikasi dengan zaman maka harus memiliki
pembaharuan. Pembaharuan-pembahruan ini dimaksudkan untuk menuju studi Islam
yang bisa menjawab tantangan zaman yang semakin menggelobal.
Harus diakui memang kita tidak bisa selalu
memegang tradisi lama, namun kita juga tidak bisa membuangnya begitu saja.
Sehingga kita perlu mengambil nilai-nilai yang masih relevan dan mengadopsi
hal-hal baru yang dapat memajukan dan mengembangkan studi Islam khususnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008.
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Hasbullah, Dasar-Dasar
Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003.
Suresman,Edi, Pendidikan Agama Islam, Bandung: UPI Press, 2006.
Lubis, Saiful
Akhyar, Konseling Islami: Kyai Dan Pesantren, Yogyakarta:
elSaq Press,2007.
Anwar,Ali, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri:
IAIT Press, 2008.
Arifin, Bustanul, “Sistem Manajemen Pendidikan Pesantren”, Tribakti,
1 Januari, 2008.
Nasikhin dkk, Profil
Pondok Pesantren Modern, Samarinda:
Pondok Pesantren Nabil Husein, 2006.
Amin Haedari
dkk, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, Jakarta:
Divisi Pustaka, 2006.
Enung K.
Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Bandung
: Pustaka Setia, 2006.
A Mujib dkk
Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual Pesantren, Jakarta:
Diva Pustaka, 2006 seri 2.
Assegaf, Abdur
Rahman, Pendidikan Islam Di
Indonesia, Yogyakarta:
Suka Press, 2007.
A’la, Abdul, Pembaruan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi:
Esai-Esai Pesantren,Yogyakarta:
LKiS,. Cet I, 2001.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk Kemajuan Bangsa, Yogyakarta:
Pesantren Newesea Press, 2009.
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007.
Muhtarom. M, Reproduksi
Ulama Di Era Globalisasi,. Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005.
Arifi, Ahmad, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi
Dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta:
Teras, 2009.
Rahim,Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta
: Logos 2006.
Alex Sobur, Psikologi
Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Asmani, Jamal
Ma’mur, Fiqh Sosial Kyai Sahal Mahfudh, Antara
Konsep Dan Implementasi. Surabaya : Khalista, Cet I, 2007.
TIM Direktorat
Jendral Kelembagaan Agama Islam, Profil Pesantren Muadalah, Jakarta
: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2004.
Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Jejak Langkah K. H. A. Wahid Hasyim. Jakarta: Inceis, 2006.
Anton Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka,1990.
Faisal Ismail, Masa Depan pendidikan Islam, Jakarta: Bhakti Aksara Persada,
2003.
Riyanto, Waryani Fajar, Artikel Pendekatan Integrasi-Interkoneksi Dalam
Penelitian (Menawarkan Metode “SAH” dalam Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi) yang dipresentasikan dalam acara Workshop Peningkatan Kualitas
Skripsi Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bagi Dosen
Pembimbing Skripsi, Tawangmangu, Karanganyar, 15-16 Desember 2012.
Moh. Mukhlis Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam,
at-tahrir, vol. 6 No. 2 Juli 2006
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam,
Jakarta: Kencana, 2005.
Ulum, M. Miftahul, Pembaharuan Pendidikan Islam Pada Awal Abad Ke 20
Dari Tradisionalisme-Konservatif Menuju Modernisme-Liberal, Jurnal
Cendekia, Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2006.
------------------------, Akar Sejarah Pemikiran Modern Islam Dan
Pendidikan Islam Di Indonesia.
Mukhlas, Moh, Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam,
At-Tahrir, Vol. 6 No. 2 Juli 2006.
Saputro, M. Endy, Alternatif
Trend Studi Al-Qur’an, At-Tahrir, vol. 11 No. 1 mei 2011.
Arifin, M, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1995.
Edisi ke-2.
Tantowi, H. Ahmad, Pendidikan
Islam Di Era Transformasi Global, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2009.
[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hal. 232-233
[2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 1.
[4] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 3.Edi Suresman, Pendidikan
Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2006), hal. 5.
[5] Muhammad Munir Mursi, Al-Taribiyah Al-Islamiyah Usuluha Watatawwuriha Fi
Al-Bilad Al-Arabiyah, Mesir Dar-Alma’arif, 1987, hal. 54. Moh. Mukhlis Integrasi
Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam, Dalam jurnal at-tahrir, vol. 6 No.
2 Juli 2006
[7] Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam,
Jakarta: Kencana, 2005. Hal. 9-12.
[8] Istilah globalisasi di ambil dari kata global yang berarti secara
umum atau secara garis besar. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia
adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkontruksi sebagai kesatuan utuh.
Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu
bangsa. Globalisasi membuat dunia menjadi transparan akibat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit. Globalisasi
menurut Malcolm Waters adalah : A social process in which the constrains of
geography on social and cultural arrangements recede and in which people are
becoming increasingly aware that they are receding. (Sebagai proses
sosial yang didalamnya terdapat desakan geografis atas penataan sosial dan
budaya mulai menyusut dan masyarakat menjadi semakin sadar bahwa mereka akan
mengalami penyusutan). Muhtarom., Reproduksi Ulama Di Era Globalisas, h. 44
[9] M. Miftahul Ulum, Pembaharuan Pendidikan Islam Pada Awal Abad Ke 20 Dari
Tradisionalisme-Konservatif Menuju Modernisme-Liberal, Jurnal Cendekia,
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2006, h. 55.
[10] Karel A Streenbrink, Pesantren, Madrasah Dan Sekolah, Pendidikan Islam
Dalam Kurun Modern, h 26-28, dalam M. Miftahul Ulum, Jurnal Cendekia, Vol.
7 No.1 Januari-Juni 2009, hal. 100.
[12] Ruchman Basori, The Founding Father: Pesantren Modern Indonesia Jejak
Langkah K. H. A. Wahid Hasyim (Jakarta: Inceis, 2006), h.22.
[14] Moh. Mukhlas, Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam,
At-Tahrir, Vol. 6 No. 2 Juli 2006. Hal. 168.
[15] Carl w. Ernst dan richard
c. Martin ed, Rethingking Islamic Studies: From Orientaslime To
Cosmopolitanisme (South Carolina: South Carolina University Press 2010), dalam
M. Endy Saputro, Alternatif Trend Studi Al-Qur’an, At-Tahrir,
vol. 11 No. 1 mei 2011. Hal. 20.
[19] Metode Studi Islam yang saya tulis ini adalah
hasil resume terhadap artikel Dr.
Waryani Fajar Riyanto, S.H.I., M.Ag tentang pendekatan Integrasi-Interkoneksi
dalam penelitian (menawarkan metode “SAH” dalam penulisan skripsi, tesis dan
disertasi) yang dipresentasikan dalam acara Workshop Peningkatan Kualitas
Skripsi Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bagi Dosen
Pembimbing Skripsi, Tawangmangu, Karanganyar, 15-16 Desember 2012. Yang
dimiliki oleh seluruh mahasiswa Pasca Sarjana PAI STAIN Pekalongan.
[20] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 878.
[21] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami: Kyai Dan Pesantren,
h. 163.
[22] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri,
h. 23
[24] Nasikhin dkk, Profil Pondok Pesantren Modern, h. 8.
[25] Amin Haedari dkk, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern,
h. 5.
[26] Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam
Di Indonesia, h. 20.
[27] A. Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual
Pesantren, h. 2.
[29] A. Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual
Pesantren, h. 3-4.
[30] Abd A’la, Pembaruan Pesantren, h. 9.
[31] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren,
h. 171
[32] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri,
h. 36.
[33] Ibid, h, 43.
[34] Ibid, h, 49.
[35] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk
Kemajuan Bangsa, h. 13.
[36] A. Mujib dkk Intelektual Pesantren, Seri 3, h. 2.
[37] Nasikhin dkk, Profil Pondok Pesantren Modern, h. 39.
[38] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 959.
[39] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 132.
[40] Ibid, h. 134.
[41] Ibid, h. 135.
[42] Ibid, h. 136.
[43] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam
Menelusuri Ideologi Dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi,
h. 44.
[44] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 137.
[45] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, h.
152.
[46] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 140.
[49] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 245.
[55] Alex Sobur, Psikologi Umum, h. 229.
[56] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami : Kyai Dan Pesantren,
h. 165.
[57] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kyai Sahal Mahfudh, h.
192.
[58] TIM Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Profil
Pesantren Muadalah, h. 15.
[61] Ruchman Basori, The Founding Father, h. 11.
[62] Anton Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 735.
[64] Ibid, h.103.
[65] Ibid, h. 104.
[66] Ibid, h, 111.
[67] Ibid, h. 115.
[68] Ibid, h. 118.
[69] Ibid, h. 120.
[70] Ibid, h. 121.
[71] Ibid.
[72] Ibid, h. 125.
[73] Istilah sekuler ini hanya ditujukan pada mata pelajarnnya saja, tidak
sampai pada mengadopsi sistem pendidikannya karena sistem pendidikan sekuler,
menurut Faisal Amin adalah sistem yang dapat memisahkan pendidikan dari ajaran
dan nilai-nilai agama. Lihat Faisal Ismail, Masa Depan pendidikan Islam
(Jakarta:Bhakti Aksara Persada, 2003), h. 9.
[78]
Ibid, h. 133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar