Sabtu, 14 Februari 2015

ISLAMIC STUDIES



ISLAMIC STUDIES
A.  Latar Belakang
Studi Islam di Indonesia merupakan sebuah jalan untuk mengetahui seluk beluk Islam di Indonesia. Dengan studi Islam diharapkan diperoleh gambaran yang komprehensif tentang keberadaan Islam di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah, Islam merupakan agama yang termasuk baru bagi Indonesia. Sebelum Islam berkembang, terlebih dahulu agama Budha dan Hindu yang mendominasi Indonesia sehingga bukan suatu hal yang salah jika seluruh budaya Indonesia berakar dari kebudayaan Hindu-Budha. Setelah itu datanglah mubaligh dari Islam menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Dengan keberadaan mereka itulah Islam berkembang dan menyebar ke seluruh Indonesia dan hingga akhirnya menjadi agama mayoritas bagi bangsa Indonesia. Dalam perjalanan tersebutlah diperlukan sebuah studi atau pembelajaran yang sistemastis terbimbing untuk memperoleh gambaran tentang kontribusi studi Islam bagi bangsa Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 
1.      Analisis tujuan Studi Islam
2.      Metode Studi Islam
3.      Kelembagaan Studi Islam

C.  Pengertian Studi Islam
Secara etimologis merupakan terjemahan dari bahasa Arab Dirasah Islamiah. Dalam kajian Barat Studi Islam disebut Islamic Studies. Dengan demikian, studi Islam secara harfiah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan ke Islaman. Sedangkan pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian ini, yaitu kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memahami dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaanya dalam kehidupan.[1]
Secara teoritas Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai Rasul, Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagi segi dari kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Quran dan Hadits. Sumber-sumber ajaran Islam yang merupakan bagian pilar penting kajian Islam dimunculkan agar dikursuskan dan paradigma keIslaman tidak keluar dari sumber asli, yaitu al- Quran dan al-hadits.
Studi berarti pembelajaran. Dapat juga diartikan dengan pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan berarti tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.[2]
Pendidikan dalam bahasa Arab adalah Tarbiyah dengan arti memelihara, mengawasi, mensucikan hati, mengajarkan, mengarahkan ke arah yang baik-baik.[3]
Sedangkan Islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia kepada manusia sejak manusia digelarkan ke muka bumi dan dibina dlam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Qur’an yang suci yang diwahyukan Allah kepada nabi-Nya yang terakhir yakni Muhammad Saw berisi satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.[4]
Dengan demikian studi Islam merupakan usaha terprogram dan terencana untuk mewujudkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kajian keIslaman serta seluk beluk di dalamnya.

D.  Analisis Tujuan Studi Islam di Indonesia
Karena pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh manusia melalui syariat Islam. Konsep ketinggian dan keuniversalan pendidikan Islam harus dipahami sebelum beranjak kepada metoe dan karakteristik. penulis beranggapan, karena studi Islam sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam tentang Islam dan segala seluk beluk yang berhubungan dengan Islam, sudah barang tentu mempunyai tujuan yang jelas, yang sekaligus menunjukkan kemana studi Islam diarahkan. Ada beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan Islam, berikut penjelasannya:
Tujuan asas pendidikan Islam sebagaimana diuangkapkan oleh Muhammad Munir Mursi adalah dengan melaksanakan tugas ke khalifahan agar terbentuk akhlakk yang mulia sehingga dengannya tercapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.[5] Tujuan tersebut memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah (1) mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas untuk memakmurkan  dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan, (2) mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya dimuka bumi agar dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah swt, sehingga tugas terseut dirasa ringan, (3) mengarahkan manusia agara berakhlaq mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya, (4) membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya, dan (5) mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.[6]
Dalam pendapat lain konsep tentang tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:[7] Pertama, untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agama Islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia. Kedua, untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran dan operasionalnya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya. Ketiga, untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya. Keempat, untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern.
Kedua bentuk konsep tujuan pendidikan Islam ini, saling melengkapi satu dengan yang lain sebagai penguat bahwa tujuan studi Islam khususnya di indonesia terus mengalami perubahan hal ini diakibatkan tuntutan zaman. Sehingga asumsi-asumsi mengenai tujuan pendidikan Islam meskipun tidak diharuskan, nampaknya perlu mempertimbangkan faktor zaman dimana kita hidup saat ini di era transformasi global.[8]
Dinamisasi pemikiran Islam terus mengalami perubahan dan pembaharuan (tajdid). Term tajdid ini adalah usaha untuk melepaskan diri dari belenggu lama dalam konteks kekinian. Dalam dunia barat term tajdid ini sring disebut reformisme, modernisme, puritanisme dan lain sebagainya.[9] Pembaharuan ini tidak hanya dalam segi tujuan saja, seperti kedua konsep diatas, namun perombakan juga terjadi dalam metode, sistem, kelembagaan dan komposisi bidang kajian dari yang bersifat tradisional kepada bersifat modern atau dari murni agama menjadi lebih terbuka  dengan ilmu-ilmu sekuler.
Karel A Steenbrink menyimpulkan ada empat faktor yang mendorong berlangsungnya pembaharuan Islam di indonesia. Empat faktor yang melatar belakangi gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad XX yaitu: (1) keinginan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadist dalam melihat kegiatan dan tradisi keagamaan yang ada; (2) semangat perlawanan nasional terhadap pemerintah kolonial belanda; (3) keinginan yang kuat dalam organisasisosial ekonomi; dan (4) pembaharuan pendidikan Islam, karena pendidikan Islam yang ada saat itu kurang dapat mencapai hasil sebagaimana yang diinginkan.[10]
Pembahruan-pembahruan dalam studi Islam ini tidak hanya di Indonesia namun juga negara-negara lain seperti Mesir dengan tokohnya misal Abduh, Rasyid Ridho, At-Tahtawi dan lain-lain.[11] Di Turki juga terjadi pembaharuan studi Islam dan didengungkan oleh Mahmud II yang mendirikan skolah modern.[12] Juga di India dengan tokoh misalnya, Sayyid Ahmad Khan.[13] Gambaran bahwa pembaharuan studi Islam yang laksanakan di Mesir, Turki dan India adalah sebuah langkap pasti dalam menyongsong perubahan dunia melalui jalur pendidikan. Sebuah institusi apapun bentuknya ketika tidak mempunyai kepekaan terhadap perubahan yang terjadi disekitarnya pada akhirnya akan ditinggalkan oleh peminatnya.
Dari sini kita tidak bisa memaksakan tujuan studi Islam itu hanya bersifat ukhrowi saja dengan meningglkan duniawi. Jangan sampai kemudian pemikiran ini menjadikan munculnya dikhotomi ilmu. Memang betul jika dikatakan didalam Islam ada dikhotomi. Karena dikhotomi ini muncul pada zaman pertengahan Islam, disaat Islam mengalami kemunduran. Perlu diketahui bahwa pada zaman klasik, ilmu belum terpisah secara tajam. Pemisahan baru terjadi pada zaman pertengahan. Disini ilmu dibagi menjadi tiga pilihan besar, yakni (a) ilmu pengetahuan tentang dasar-dasar agama (usul), (b) ilmu pengetahuan tentang alat cabang-cabang agama (furu’), dan (c) ilmu pengetahuan tentang alat untuk mengetahui agama.[14]
Sehingga pada tataran global, studi Islam telah mengalami sebuah transformasi paradigma. Carl W. Ernst dan Richard C. Martin menganalisis transformasi ini dari orientalsime ke post-orientalisme.[15] Perubahan paradigma ini sekarang telah dirasakan oleh PTAI. Jika dulu mungkin PTAI banyak diisi oleh intelektual pesantren yang mahir mengajarkan kitab kuning, tetapi saat ini PTAI bergerak ke arah humanistik dan lebih banyak diajar oleh skolar Islam yang tidak hanya paham ilmu-ilmu keIslaman tetapi juga ilmu-ilmu sosial yang dipelajari langsung dari pusat studi Islam di Eropa Amerika atau Belanda.[16]
Dari penjelasan diatas maka tujuan studi Islam tidak statis dalam arti menyesuaikan terhadap zaman dan tujuan yang dihasilkan tidak mengakibatkan adanya dikhotomi pendidikan. Tetapi justru tujuan pendidikan Islam itu harus bisa memberikan ruang untuk integratif dan interkonektif dengan sesuatu yang diluar Islam itu sendiri. Hal ini bertujuan untuk menjawab tantang zaman. Maka tujuan pendidikan Islam bisa diarahkan kepada integratif-interkonektif pendidikan Islam atau yang lazim disebut dengan Islamic Studies dengan teori “spider web” Amin Abdulloh.



E.  Metode Studi Islam Di Indonesia    
Secara etimologi, kata metode berasal dari bahasa Yunani metodos. Kata ini terdiri dari dua suku kata: yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang bermkana jalan atau cara. Jadi, metode adalah suatu cara yang di lalui untuk mencapai tujuan.[17] Dalam kamus besar bahasa indonesia, metode diartikan sebagai cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud tertentu.[18] Dengan demikian, metode studi Islam diartikan sebagai suatu cara yang harus dilalui dalam menyajikan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan studi Islam.
1.    Pemikiran M.  Amin Abdullah : dari Normativitas-historisitas menuju Integratif-interkonektif.[19]
Jika dilihat dari karya-karyanya, setidak-tidaknya ada dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya kedua-duanya merupakan respon dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin. Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keIslaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.
Sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini – pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.
Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut.
Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan  narrow-mindedness.
Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada. Lebih lanjut tentang paradigma interkonektif dan integratif ini akan penulis paparkan di bawah ini.
2.    Paradigma Integratif-Interkonektif dan Relevansinya bagi Islamic Studies.
Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama (baca ilmu keIslaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini  mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia. 
Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.
Paradigma integratif-interkonektif  yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keIslaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.
Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities, tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.
Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm.
Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislmanan (integrasi-interkoneksi).
Sementara itu, sebagaimana yang terlihat dalam jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi perkembangan dalam ilmu keIslaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” keIslaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keIslaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.  
Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemologI Islam menjadi tiga, yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani. Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan.
Selama ini epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemologI irfani dan burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani. Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak  dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang ada.  
Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan Islam (Islamic Studies), dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan Islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menurut subyektifitas penulis menjadi tidak applicable dalam pengembangan studi Islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN –sekali lagi menurut pandangan penulis- justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan.
Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian fakultas sosial humaniora juga akan membuka antropologi maka yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya” epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni.
Disini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitas dalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan. Paradigma baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini. Koneksitas ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan Islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah dengan perubahan IAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan terutama bagi program-program studi yang muncul kemudian, dan hal ini menurut harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan ideal dari integrasi dan interkoneksi ini dapat terwujud.

F.   Lembaga Studi Islam Di Indonesia
Kajian tentang lembaga Studi Islam, menurut saya lebih pantas jika “pesantren” sebagai objek kajiannya. Karena pesantren tidak bisa lepas dari sejarah Studi Islam di Indonesia. Sub ini akan menjelaskan Pesantren dengan seluruh ruang lingkupnya juga konsep peantren di era transformasi global.
1.    Definisi Pesantren  
Pesantren berarti, asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji.[20] Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe, dan akhiran an yang berarti tempat untuk tinggal dan belajar para santri. Manfred Ziemek menyatakan bahwa secara etimologi pesantren berasal dari pe-santri-an, berarti tempat santri.[21]
Istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, istilah tersebut berasal dari istilah sashtri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[22] Kata sashtri yang berasal kata sashtra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[23] Ini menunjukkan secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau lebih tepatnya India.
Pesantren memang bukan berasal dari Arab tapi istilah pondok berasal dari Arab; yaitu funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian.[24] Mengacu kepada definisi yang diberikan Zamakhsyari Dhofier, bisa disebut pesantren jika memenuhi beberapa elemen yaitu masjid, pembelajaran kitab kuning, santri dan kyai. Elemen ini pula yang membedakan antara pendidikan pesantren dan tidak.[25]
 
2.    Perkembangan Pesantren
Ada tiga hal yang perlu dicermati dalam melihat perjalanan sejarah pesantren yang muncul pada abad ke-7 M/1 H sebab sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad itu, tetapi baru meluas pada abad ke-13.[26] Pertama, pesantren di era pertumbuhan (pada abad 16-18). Kedua, pesantren di era perkembangan (pada abad 18-20). Dan ketiga, pesantren di era globalisasi di mulai pada abad 20 hingga saat ini. Ada perbedaan di masing-masing era. Perbedaan yang paling menonjol antara pesantren di era pertumbuhan dan era perkembangan adalah jika pesantren di era pertumbuhan lebih menitik beratkan pada trasnmisi mistisisme dan ketarekatan, maka pesantren di era perkembangan berdiri dan berkembang secara variatif, berciri khas sesuai kurikulum yang dikembangkan.[27]
Sejak abad ke 20 M model pendidikan pesantren mulai dilakukan pembaruan diberbagai segi sebagai konsekuensi dari globalisasi dan bahkan dewasa ini pesantren mulai dilirik sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi pembangunan bangsa kedepan.[28] Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren yang tidak lagi terpusat ke Hijaz seperti pada abad 16-18, namun telah merambah kewilayah Timur Tengah lainnya semisal Mesir, Baghdad atau bahkan Eropa. Ketiga, gerakan pembaruan Islam.[29]
Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi luhur yang telah menjadi karateristik pesantren pada hampir perjalanan sejarahnya secara potensial, karateristik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyikapi arus globalisasi dan persoalan-persoalan lainnya yang menghadang pesantren secara khusus, dan masyarakat luas secara umum.[30]
Pondok Pesantren sebagai sub-kultur,[31] sejak masa orde lama dimana saat itu pesantren dan madrasah dalam politik pendidikan masih didominasi oleh ilmu-ilmu umum[32] menghadapi tantangan yang tidak bisa diremehkan. Otonomi pendidikan pondok pesantren yang dibanggakan dengan tradisi pesantren (salafisme) juga harus mengalami ujian yang sangat dilematis. Dialektika antara mempertahankan watak tradisionalisme dan modernisme sungguh dialami oleh banyak pondok pesantren.
Sedangkan pada masa orde baru pesantren dan madrasah dalam politik pendidikan mulai menuju pada integrasi monolitik.[33] Dimasa reformasi pesantren dan madrasah berada pada inkonsistensi posisi madrasah dan integrasi pendidikan keagamaan.[34]
Namun dewasa ini, perjalanan tradisi pesantren antara tahun 1998 sampai dengan 2008 telah mengembangkan jenis pendidikan modern di lembaga-lembaga pesantrennya. Jumlah lembaganya juga meningkat drastis dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Lonjakan drastis berlangsung pada 2008. Selama setahun itu, jumlah pesantren baru mencapai 4.015. Dalam 10 tahun kedepan jumlah pesantren diperkirakan mencapai sekitar 35.000. dalam upaya memadu modernitas pendidikan, 1.078 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan 625 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi umum.[35]
Selain itu perkembangan pesantren juga ditandai dengan semakin mesranya hubungan antara pesantren dengan pemerintah hal ini terbukti dengan adanya alokasi dana untuk pengembangan pesantren disamping memberi bantuan tenaga administratif dalam pengembangan sistem pendidikan.[36] Ditambah lagi dengan masuknya pesantren menjadi bagian Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang kemudian muncul PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan, yang menjelaskan status pesantren.
Disatu sisi, perkembangan ini akan bernilai positif, karena kebutuhan santri terhadap lembaga pendidikan formal akan terpenuhi. Sementara disisi yang lain, identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu-ilmu agama akan tenggelam. Hal ini disebabkan nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan pesantren akan lebih terfokus pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, mengingat tuntutan kebutuhan pasar lebih cenderung pada legalitas formal yang disediakan oleh lembaga pendidikan formal secara umum.[37]
3.    Karakteristik Pondok Pesantren
Ciri khas paling menyolok dalam tradisi pesantren yang telah menjadi karakternya adalah jaringan, silsilah, sanad ataupun genealogi yang bersifat berkesinambungan. Hal inilah yang membedakan tradisi intelektual pesantren dengan – misalnya – tradisi intelektual dilingkungan kampus dan bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Kata tradisi berasal dari bahasa Latin tradere yang berarti memindahkan atau memberikan sesuatu pada orang lain untuk disimpan dan merupakan harta milik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya untuk dilindungi dan dipelihara. Tradisi bisa mengandung arti penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar.[38] Sikap dan cara berfikir serta bertindak yang berpegang teguh pada tradisi, norma dan adat istiadat secara turun menurun itulah selanjutnya yang disebut tradisional. Namun, tradisional bukan harus konservatif dalam arti intelektual, seperti yang telah dibuktikan oleh tradisi mencari ilmu agama yang teguh, yaitu dahaga santri terhadap ilmu pengetahuan.[39]
Istilah tradisional yang menjadi predikat pondok pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fikih, tafsir, tauhid dan tasawuf yang hidup antara abad ke tujuh sampai dengan abad ke tiga belas.[40] Walau demikian, derap dinamika pondok pesantren salaf tidak terbelenggu oleh ulama-ulama salaf, melainkan mau beradaptasi dengan lingkungan sosial, bahkan terhadap kemodernan.
Karakter pondok pesantren tradisional dapat dilihat dari bebrapa dimensi yang mencakup dimensi institusioanl, historic konvensional dan kultur adaptive.[41]
Pertama, Dimensi Institusional. Cakupan dimensi institusional agaknya tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren adalah sebagai institusi pendidikan asli Indonesia dan memiliki himmah yang tinggi terhadap keilmuan. Itulah sebabnya, dunia pondok pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu karena fungsi pondok pesantren tradisional senantiasa merujuk pada fungsi pembelajaran dan transfer keilmuan Islam dan tradisi pikiran ulama-ulama salaf.[42]
Konteks fungsi institusional pondok pesantren salaf dapat dilihat paling tidak pada fungsi transmisi ilmu-ilmu Islam (transmission of knowledge), pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition) reproduksi ulama (reproduction of ulama).[43] Fungsi-fungsi ini berjalan dibawah inspirasi dan dorongan simbol karisma seorang kyai yang diperoleh secara turun menurun. Kyai, sebagai pemimpin institusi pendidikan tradisional, mempunyai otoritas menyiapkan kader-kader ulama melalui transfer keilmuan Islam.
Kedua, dimensi historic konvensional. Dari pendekatan ini pondok pesantren tradisional memiliki tugas menyebarkan Islam dan menyebarkan tauhid dan nilai-nilai moral. Sejarah membuktikan bahwa pada abad ke-7 M saudagar-saudagar muslim pada waktu itu tidak hanya melakukan bisnis, tetapi menyebarkan Islam sehingga mereka memiliki jaringan dikota-kota bisnis di sepanjang Jawa Timur dan Jawa Tengah. Komunitas ini dipelopori oleh salah seorang dari Walisongo yaitu Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk mendirikan pusat transmisi Islam dengan nama pesantren yang menjadikan masjid sebagai pusat mewariskan memelihara kontinuitas tradisi Islam.[44]
Ketiga, dimensi cultural adaptif. Adaptabilitas Maulana Malik Ibrohim sebagai the father of early pesantren, yang kemudian dicontoh para kyai pondok pesantren salaf merupakan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa kyai berhasil beradaptasi dengan lingkungan sosial dan berhasil meraih simpati masyarakat. Refleksi pola hidup ikhlas, sederhana dan saleh dari seorang kyai yang menjadi karakter pondok pesantren, juga menjadi jalan lurus menuju adaptabilitas terhadap kemajemukan masyarakat.[45]
Adaptabilitas pondok pesantren salaf juga bisa dilihat pada proses pembaruan sistem pendidikan Islam. Ketika pondok pesantren salaf merespons gagasan pembaruan dalam sistem pendidikannya, hal itu bukan tanpa syarat. Ia merespons gagasan pembaruan tetapi dengan komitmen terhadap prinsip-prinsip ketradisionalan dan senantiasa berpegang teguh pada kaidah
أَلْمُحَا فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَأَلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ أَلأَصْلاَحِ
Artinya:  Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”.[46]
Dalam perkembangan selanjutnya, pondok pesantren salaf senantiasa responsif dan adaptif terhadap kemunculan kebutuhan masyarakat maupun santri. Hal ini diwujudkan melalui pemberian latihan keterampilan, perkoprasian, pertanian, olah raga, dan kesenian.
Paparan contoh tersebut memberikan ilustrasi bahwa pondok pesantren tradisioanal berwatak cultural adaptive terhadap kecendrungan yang terjadi di luar dirirnya. Ketika merespons semua itu, pondok pesantren salaf tidak tergesa-gesa mentransformasikan pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan yang sepenuhnya modern, tetapi hanya dalam skala yang sangat terbatas. Kebijakan ini ditempuh supaya menjamin kelangsungan hidup pondok pesantren salaf dan agar tetap relevan dengan fungsi-fungsi tradisionalnya.   
4.    Kontribusi Pondok Pesantren
Pesantren dalam eksistensinya merupakan lembaga pendidikan yang tak kenal batas usia, batas geografis, batas kelas sosial ekonomi, dan batas-batas lainnya. Pesantren, selain dapat dikatakan sebagai benteng pendidikan masyarakat yang telah teruji oleh zaman, juga merupakan wahana pengembangan masyarakat yang menyentuh pemenuhan dan pengembangan kualitas hidup warga mayarakat disekitar pesantren.[47]
Menurut KH. Sahal Mahfudz, Pesantren seharusnya tidak hanya dapat mewarnai, namun sanggup membentuk masyarakat. Kyai Sahal berpendapat bahwa orientasi pesantren harus semakin luas dengan memadukan dimensi pendidikan agama dan dimensi pendidikan masyarakat.[48]
Kontribusi pondok pesantren baik tradisional atau bukan, pada masyarakat di era globalisasi antar lain berkaitan erat dengan pemeliharaan tradisi, transfer ilmu agama, transmisi Islam, pelestarian budaya dan sosial politik.[49]
Pertama, pemeliharaan tradisi. Tradisi yang dipelihara oleh pondok pesantren salaf adalah tradisi dan tata nilai Islam yang mengutamakan ibadah dan menuntut ilmu, yang memegang teguh sumber hukum Islam, berpegang teguh pada sistem nilai ahlusunnah waljam’ah, internalisasi keimanan dan akhlak, berorientasi pada lambang dan simbol-simbol, melaksanakan kompetensi menumbuhkan kompetensi santri berilmu (Ulama) dan penanaman nilai-nilai moral melalui kutub al-salaf serta tradisi berfikir yaitu:
أَلْمُحَا فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَأَلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ أَلأَصْلاَحِ
Sehingga santri yang mencari ilmu dipondok pesantren akan menyerap tradisi dan tata nilai ini. Setelah kembali kemasyarakat ia akan senantiasa berpegang teguh kepada tradisi tersebut dan mensosialisasikannya.[50]
Kedua, mentrasnfer ilmu agama Islam. Tradisi transfer ilmu merupakan tradisi intelektual yang patut diklaim sebagai sebuah kebenaran dalam dunia ilmu pengetahuan karena membentuk kontinuitas dan memberikan faedah dalam artikulasi kehidupan. Sampai saat ini artikulasi ilmu agama Islam dan fungsi luhur pondok pesantren di bawah inspirasi dan dorongan simbol kyai tidak berubah. Melaksanakan transfer ilmu agama Islam pada santri berarti melaksanakan kompetensi menumbuhkan potensi santri menjadi ulama, sekalipun lahirnya potensi menjadi kenyataan adalah menjadi kewenangan santri di masyarakat. Memang harus diakui bahwa tidak semua produk pesantren layak disebut kyai, namun setidak-tidaknya ia dapat mengamalakan ilmunya dilingkungan dirinya sendiri dan tampil sebagai profil kyai.[51]
Ketiga, transmisi Islam. Sosok kyai yang faqih (ahli) dalam ilmu agama Islam memiliki kontribusi besar dalam hal transmisi Islam (dakwah Islamiah). Meminjam konsepsi Kyai Sahal, kontribusi kyai pengasuh pondok pesantren setidak-tidaknya sebagai seorang alim yang mengamalkan ilmunya dan sebagai konsekwensi dakwah kepada masyarakat yang belum mengetahui hakikat ajaran Islam. Berawal dari sini, pesantren memiliki tugas berupa transmisi Islam, menanamkan tauhid dan nilai-nilai moral terhadap generasi muda yang tidak tertampung pada pendidikan formal atau kehendak orang tuanya. Media formal yang dibentuk adalah madrasah bagi anak-anak, dan media non formal yang diselenggarakan semacam majelis taklim, tahlilan dan manaqiban untuk orang tua disekitar pondok pesantren.[52]
Keempat, memberikan kesadaran identitas budaya. Pondok pesantren sebagai sebuah komunitas sekaligus sebagai lembaga keagamaan, memberikan kontribusi penanaman watak humanistik pada santri, melalui ilmu teologi, ilmu hukum, sejarah, bahasa dan etika. Secara kolektif ilmu-ilmu ini merupakan bidang studi yang menelaah nilai-nilai humanistik. Oleh karena itu bidang studi tersebut memberikan kesadaran tentang identitas budaya yang melekat pada dirinya dan nilai-nilai budaya tertentu yang menjadi ciri budaya bangsa yang bersangkutan.[53]
Kelima, kontribusi politik. Kontribusi pesantren tidak hanya berkisar pada dua hal saja yaitu implementasi pendidikan dan pengajaran (tarbiyah wa ta’lim), namun juga memberikan kontribusi politik dalam bentuk upaya mewujudkan kemaslahatan umum. Kontribusi politik ini tidak selalu masuk dalam wilayah birokrasi pemerintahan, karena ia memiliki kekuatan tradisional, kemampuan intelektual, hubungan sosial yang baik, lagi pula terhormat dan disegani di masyarakat. Oleh karena itu, maka ia sering diikutsertakan oleh masyarakat dalam pengambilan keputusan masyarakat dan sanggup membela kepentingan terhadap kekuatan politik.[54] Karakteristik semacam itu telah mengantarkan pesantren kepada eksistensinya yang unik sebagai subkultur dengan alternatif way of life.
5.    Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
a.    Teori Belajar Mengajar
Teori belajar yang dipakai untuk memperoleh ilmu pengetahuan menggunakan teori elektik dan belajar dengan mengahafal. Teori ini berasusmsi bahwa sebuah teks atau seperangkat pengetahuan yang ditransfer dari satu generasi kegenerasi dapat diserap dan diingat. Pendidikan pesantren menjadi pendukung utama teori psikologi belajar Skinner. Teori operant conditioning  yang diciptakan oleh Skinner dengan teknik stimulus-respons yang mengarahkan dan mengubah perilaku orang yang belajar. Teori ini dijadikan rujukan oleh pendidikan pesantren. Praktisnya, sejak anak masuk pertama dalam lembaga pendidikan, prilakunya di kondisikan oleh suatu stimulus, misalnya dengan cara memberi hadiah kalau berprilaku baik dan memberikan hukuman jika berprilaku menyimpang.[55]
Metode pengajaran yang dilakukan oleh pondok pesantren umumnya menggunakan sorogan, bandongan atau wetonan dan hafalan.[56] Metode ini diakui paling baik sebab telah menjadi budaya yang berlangsung sejak lama.
b.      Tipologi Pondok Pesantren.
Apresisasi dan aplikasi dari metode pengajaran sorogan, bandongan dan hafalan sangat terkait dengan tipe-tipe pondok pesantren. Sebenarnya sulit untuk membedakan sekaligus menentukan tipe-tipe pondok pesantren di Indonesia. Namun, dalam wacana Islam Indonesia dewasa ini dibagi menjadi tiga salaf, khalaf dan pesantren semi salaf-semi modern (terpadu).[57]
Salaf artinya lama, dahulu, atau tradisional. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pendidikan modern yang dikenal dengan sistem belajar tuntas. Dengan cara ini, santri dapat lebih intensif mempelajari suatu cabang ilmu.[58]
Khalaf artinya kemudian atau belakang. Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu sistem pendidikan formal, baik madrasah(MI, MTs, MA atau MAK) maupun sekolah (SD, SMP, SMU dan SMK) atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan klasikal pembelajaran pondok pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan, dengan program-program didasarkan pada satuan waktu, seperti catur wulan, semester, tahun/kelas dan seterusnya. Pada pondok pesantren khlafiyah, “pondok” lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.[59]
Dalam pesantren model terpadu, pendidikan diarahkan kepada bagaimana pembelajaran dipesantren tidak hanya sekedar mempelajari ilmu-ilmu agama (al-Qur’an, hadis, fiqih, akhlak, tasawuf dll) yang biasa di pelajari di semua pesantren, akan tetapi yang sangat penting adalah apa kontribusi dari proses pendidikan yang sedang berlangsung (antara kyai dan santri di pesantren) dengan masyarakat sekitar pesantren dan yang lebih luas masyarakat umum. Oleh sebab itu, pendidikan pesantren harus memilki makna sosial dan dapat dirasakan oleh  masyarakat sebagai pihak pengguna jasa pesantren (salah satu stakeholders) dari pendidikan. Dengan demikian, pendidikan pesantren tidak tercabut dari akarnya, yakni masyarakat itu sendiri.[60]

Pesantren Di Era Globalisasi
Tidak bisa dielakkan bahwa pesantren saat ini berada ditengah arus ideologi-ideologi pendidikan maka penulis perlu memformulasikan kembali tentang pentingnya pesantren perlu merubah paradigma yang selama ini dipegang dan beralih kepada paradigma baru agar mampu berkomunikasi dan berkompetisi di era transformasi global maka, paradigma itu adalah sebagai berikut:
a.    Paradigma Pembaruan Pendidikan Pesantren
Kata pembaruan, merupakan terjemahan dari istilah asing reformation adalah derivasi dari kata to reform yang berarti menjadikan seseorang, lembaga, prosedur, sistem atau tradisi yang lebih baik.[61] Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan pembaruan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di bidang sosial, polotik, agama di masyarakat atau negara.[62] Pembaharauan pesantren berarti proses perubahan untuk menuju kualitas pendidikan yang lebih baik, sejalan dengan fitrah alam dan manusia baik itu perubahan atau pembaruan dibidang pembentukan pola pikir warga belajar pesantren.
Pembaruan pendidikan pesantren menarik untuk dikaji di tengah  arus globalisasi yang tak terelakkan karena mengandung empat signifikansi: Pertama, kajian pembaruan pesantren merupakan kajian yang relevan dalam konteks Indonesia yang sedang melakukan pembangunan modernisasi; Kedua, pesantren merupakan subkultural pendidikan Islam Indonesia sehingga dalam menghadapi pembaruan akan memberikan warna yang unik; Ketiga, pendidikan pesantren disinyalir merupakan prototype model pendidikan yang ideal bagi bangsa Indonesia. Karena didalamnya menyeimbangkan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotorik; Keempat, untuk mengamati apakah pesantren yang dikatakan sebuah lembaga pendidikan tradisional melakukan pembaruan atau tidak.[63] Perubahan paradigma pun harus dilakukan guna menjadikan pesantren berdialektika dengan masyarakat ditengah arus globalisasi.
1.    Perubahan Paradigma dari Teosentris ke Anthroposentris  
Pada awalnya tujuan pendidikan pesantren lebih berorientasi pada urusan ukhrawi, dan nyaris terlepas dari urusan duniawi. Dengan tujuan demikian, maka sistem pendidikan di pesantren lebih banyak didominasi dengan warna-warna fiqh, tasawuf dan sejenisnya. Ini bisa dimaklumi karena sumber teologi yang dianut bersifat fatalis dan tidak rasional. Keyakinan semacam ini mengakibatkan sebagian besar pengasuh pesantren menolak masuknya ide pembaruan.
Melihat keadaan semacam ini, Wahid Hasyim menawarkan ide pembaruan dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran pesantren untuk tidak hanya mencetak ulama, namun tetap memahami ajaran agama yang dipelajari di pesantren.[64]
Maksud dari ide beliau, santri belajar di pesantren tidak semata-mata mengharapkan keridlaan Allah semata tetapi juga agar nantinya setelah tamat mampu beradaptasi, berdialog dengan masyarakat karena disana juga mempelajari berbagai macam keterampilan. Dengan demikian, manfaat dan keuntungan yang diraih bukan hanya kebahagiaan akhirat, tapi juga duniawi.[65]
Oleh karena itu, santri diharapakan menggunakan akal pikirannya untuk menyelesaikan berbagai problem kemasyarkatan tidak hanya yang hubungnnya vertikal (antara mahluk dengan sang Kholiq), namun juga problem riil yang dihadapi masyarakat Islam (bersifat horizontal). Sehingga dari pesantren akan dihasilkan kyai intelek sebagai produk idealnya.
Pesantren dan madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik saja. Dibongkar dan dikritisi oleh Wahid Hasyim. Sebab hal ini akan memunculkan dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Beliau berpendapat bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan dipesantren haruslah ilmu-ilmu yang komprehensif. Di samping agama juga non agama, ajaran mengenai ilmu, iman dan amal. Para santri diajarkan ilmu agama seperti fiqih, tafsir, hadits dan ibadah praktis lainnya, tetapi juga dikenalakan ilmu umum seperti bahasa asing, matematika, ilmu bumi dan lain sebagainya. Dengan kata lain, dikotomi ilmu merupakan sesuatu yang tidak diperlukan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.[66]
Meskipun pada dasarnya pendikotomian ini menimbulkan  beberapa problem. Namun Wahid Hasyim berkaca kepada ilmuwan masa lalu yang sangat produktif sehingga Islam mencapai masa keemasannya. Salah satu faktornya adalah tidak adanya dikotomi dalam dikalangan para ilmuwan cerdik pada masa itu. Karena menurut Wahid Hasyim, dikotomi ilmu disatu sisi akan menghasilkan ilmuan yang tidak bermoral, dan disisi lain akan lahir ulama-ulama yang ketinggalan zaman.[67]
2.      Paradigma Teoritis ke Praktis
Wahid Hasyim menekankan pentingnya pengamalan ilmu yang dipelajari di pesantren. Orientasi paradigma ini adalah terciptanya insan yang berakhlakul karimah. Salah satu ciri tujuan pendidikan Islam adalah ilmu itu tidak dicari untuk ilmu itu sendiri namun ilmu dicari sebagai landasan teoritis bagi amal perbuatan kita.[68]
Konsep implementasi ilmu dalam kehidupan nyata  (praktis) menjadi sebuah tuntutan terutama di era krisis multidimensi seperti yang saat ini dialami bangsa Indonesia. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan yang berbasis keagamaan yang menelorkan siswa/santri yang mampu menyelaraskan antara ilmu dan amal. Wahid Hasyim menerapkan konsep pendidikan ideal sebagaimana yang diharapkan yaitu, santri tidak hanya menguasai konsep dengan sempurna namun juga menerapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menjadi penting karena lembaga pendidikan bukan hanya merupakan tempat di mana proses indoktrinisasi berlangsung, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap moral dan perilaku peserta didiknya. Jika hal ini bisa terwujud maka kombinasi antara paradigma teoritis menuju praksis dimana tujuan pendidikan bukan hanya semata-mata transfer of knowledge namun juga transfer of values bukan mustahil akan tercapai.[69]  
b.   Model Pembaruan Pesantren
Aroma pembaruan yang bergema dikawasan Timur Tengah dengan tokohnya Rasyid Ridho, Muhammad Abduh, dan lain-lain telah berhembus hingga ke bumi nusantara, termasuk dalam dunia pendidikan. Wahid Hasyim merupakan salah satu tokoh lokal yang membawa ide pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, yaitu pesantren dan madrasah. Model pembaruan pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) di Indonesia yang dikemukakan oleh Wahid Hasyim terdiri dari empat bentuk perubahan, yaitu: pemabahruan ada aspek institusi pendidikan, aspek kurikulum, aspek metodologi dan fungsi lembaga pendidikan.[70]
1.    Pembaruan Kelembagaan (Institusi)
Model pembaruan kelembagaan (institusi), maksudnya yaitu pembaruan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui transformasi diri lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam yang baru. Dalam konteks ini, Wahid Hasyim mentransformasi lembaga yang sudah ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian dimodifikasi dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah yang dilengkapi dengan perpustakaan sebgai tempat belajar santri di luar pesantren dan madrasah. Namun menurut Rachman Busori madrasah Nizamiyah yang didirikan Wahid Hasyim, hanya sebatas simbol atau pada namanya saja, karena dalam kenyataannya ada perbedaan yang signifikan.[71]
Wahid Hasyim melakukan pembaruan kelembagaan/institusi melalui pembaruan kelembagaan pesantren dilengkapi dengan upaya mendirikan madrasah. Selain itu beliau juga mendirikan institusi perpustakaan sebagai majlis ilmu pengetahuan untuk menambah variasi bacaan santri. Dan juga mendirikan organisasi-organisasi pelajar dan daerah sebagai tempat meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan.
2.    Isi Kurikulum
Kurikulum pesantren disini dimaknai sebagai jenis mata pelajaran yang diajarkan dalam proses belajar mengajar di pesantren atau madrasah. Steenbrink mengemukakan tiga kelompok mata pelajaran: Pertama, bidang teknis yaitu fiqh, ilmu tafsir, mawaris, ilmu falaq, dan sebagainya. Kedua bidang hafalan, yaitu pelajaran Al-Qur’an, ilmu bahasa arab dan ketiga, ilmu yang bersifat membina emosi keagamaan seperti aqidah, tasawuf dan akhlaq.[72]
Melihat kurikulum yang demikian, dimana pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, Wahid Hasyim, meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, memperkenalkan ilmu-ilmu sekuler[73], hal ini disebabkan atas dasar asumsi beliau bahwa dalam beberapa hal, pesantren tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga sangat membutuhkan pembaruan.[74]
Sebagai implementasinya, para santri tidak hanya dibekali ilmu-ilmu agama sebagai bekal di akherat kelak, namun juga dibekali alat untuk hidup didunia berupa materi kurikulum yang komprehensif yang berfungsi memberdayakan kemampuan head (pikiran), heath (perasaan) dan hand (keterampilan) yang dalam istilah sekarang dibekali dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan kinistetik (keterampilan).[75]
3.    Metodologi Pembelajaran
Sebagaimana diungkapkan oleh banyak tokoh bahwa metode pembelajaran pesantren (terutama pesantren salaf) menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Metode semacam inilah yang ingin diperbaharui oleh Wahid Hasyim. Yang dimaksud model pembaruan aspek metodologis pesantren dan madrasah yaitu perubahan metodologi pengajaran yang selama ini diterapkan dalam lembaga pendidikan Islam yang dianggap kurang relevan.[76]
Mengenai efektifas metode yang digunakan dipesantren sebagai pengganti sistem bandongan, Wahid Hasyim mengsulkan mengadopsi sisitem tutoril. Sebab metode bandongan kurang efektof dalam mengembangkan inisiatif pemikiran santri. Sehingga santri kurang keritis dalam menyikapi pelajaran yang diberikan.
Dalam diskursus pembelajaran modern ada dua istilah yang diusulkan oleh Wahid Hasyim yaitu, teacher centered learning dan student centered learning. Istilah pertama menempatkan posisi ustadz sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran, perannya demikian dominan sehingga eksistensi peserta didik hanya sebagai objek.
Sementara istilah kedua (student centered learning) menggamabarkan peserta didik sebagai pelaku utama proses belajar mengajar sehingga diharapkan melalui proses tersebut potensinya akan berkembang secara maksimal.[77]
4.    Fungsi
Wahid Hasyim juga melakukan pembaruan dalam aspek fungsi pesantren. Secara tradisional fungsi lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) meliputi transfer ilmu-ilmu keIslaman, memelihara tradisi Islam dan melahirkan ulama. Diubah menjadi lebih komplek seperti lembaga pendidikan Islam berfungsi sebagai agent of  development atau agent of social transformation. Belajar merupakan proses partisipasi santri/siswa dalam berbagai kehidupan sosial kemasyarakatan disekitarnya.[78]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pemabahruan pesantren yang digagas oleh Wahid Hasyim adalah dengan cara memperbaharui aspek kelembagaan, isi, metodologi dan fungsi lembaga pesantren dan madrasah. Sedangkan model yang diambil adalah mengembangkan sistem lembaga yang dimilikinya, bukan dengan cara mengadopsi sistem pendidikan barat secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Azyumardi Azra yang menyimpulkan bahwa model pembaruan pesantren itu ada dua: pertama, dengan mengadopsi sistem secara menyeluruh dari sistem Barat. Kedua, pembaharun pendidikan berasal dari sistem dan kelembagaan sendiri.[79]  

KESIMPULAN
Studi Islam di Indonesia terus mengalami pembaharuan dalam segala aspek. Baik dalam tujuan, metode dan kelembagaan. Dalam dunia pesantren di era transformasi global misalnya, ada perubahan dalam paradigma seperti perubahan paradigma teoritis ke praktis,  Perubahan Paradigma dari Teosentris ke Anthroposentris, paradigma dikotomik kepada non dikotomik.
Dalam metode studi Islam tentu semuanya harus bisa terkoneksi maka di era transformasi global ini harus memiliki teori baru yaitu Integratif-Interkonektif. Studi Islam jika ingin terus bisa berkomunikasi dengan zaman maka harus memiliki pembaharuan. Pembaharuan-pembahruan ini dimaksudkan untuk menuju studi Islam yang bisa menjawab tantangan zaman yang semakin menggelobal.
Harus diakui memang kita tidak bisa selalu memegang tradisi lama, namun kita juga tidak bisa membuangnya begitu saja. Sehingga kita perlu mengambil nilai-nilai yang masih relevan dan mengadopsi hal-hal baru yang dapat memajukan dan mengembangkan studi Islam khususnya di Indonesia.  










DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003.
Suresman,Edi, Pendidikan Agama Islam, Bandung: UPI Press, 2006.
Lubis, Saiful Akhyar, Konseling Islami: Kyai Dan Pesantren, Yogyakarta: elSaq Press,2007.
Anwar,Ali, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT Press, 2008.
Arifin, Bustanul, “Sistem Manajemen Pendidikan Pesantren”, Tribakti, 1 Januari, 2008.
Nasikhin dkk, Profil Pondok Pesantren Modern, Samarinda: Pondok Pesantren Nabil Husein, 2006.
Amin Haedari dkk, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Divisi Pustaka, 2006.
Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2006.
A Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2006 seri 2.
Assegaf, Abdur Rahman,  Pendidikan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2007.
A’la, Abdul,  Pembaruan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.
Wahid, Abdurrahman,  Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren,Yogyakarta: LKiS,. Cet I, 2001.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk Kemajuan Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Newesea Press, 2009.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi,. Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005.
Arifi,  Ahmad, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi Dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras, 2009.
Rahim,Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Logos 2006.
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.  
Asmani, Jamal Ma’mur, Fiqh Sosial Kyai Sahal Mahfudh, Antara Konsep Dan Implementasi. Surabaya : Khalista, Cet I, 2007.
TIM Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Profil Pesantren Muadalah, Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2004.
Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Jejak Langkah K. H. A. Wahid Hasyim. Jakarta: Inceis, 2006.
Anton Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1990.
Faisal Ismail, Masa Depan pendidikan Islam, Jakarta: Bhakti Aksara Persada, 2003.
Riyanto, Waryani Fajar, Artikel Pendekatan Integrasi-Interkoneksi Dalam Penelitian (Menawarkan Metode “SAH” dalam Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang dipresentasikan dalam acara Workshop Peningkatan Kualitas Skripsi Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bagi Dosen Pembimbing Skripsi, Tawangmangu, Karanganyar, 15-16 Desember 2012.
Moh. Mukhlis Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam, at-tahrir, vol. 6 No. 2 Juli 2006
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Ulum, M. Miftahul, Pembaharuan Pendidikan Islam Pada Awal Abad Ke 20 Dari Tradisionalisme-Konservatif Menuju Modernisme-Liberal, Jurnal Cendekia, Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2006.
------------------------, Akar Sejarah Pemikiran Modern Islam Dan Pendidikan Islam Di Indonesia.
Mukhlas, Moh, Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam, At-Tahrir, Vol. 6 No. 2 Juli 2006.
Saputro, M. Endy, Alternatif Trend Studi Al-Qur’an, At-Tahrir, vol. 11 No. 1 mei 2011.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1995. Edisi ke-2.
Tantowi, H. Ahmad, Pendidikan Islam Di Era Transformasi Global, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2009.

           


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 232-233
[2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 1.
[3] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005), hal. 4.
[4] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 3.Edi Suresman, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2006), hal. 5.
[5] Muhammad Munir Mursi, Al-Taribiyah Al-Islamiyah Usuluha Watatawwuriha Fi Al-Bilad Al-Arabiyah, Mesir Dar-Alma’arif, 1987, hal. 54. Moh. Mukhlis Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam, Dalam jurnal at-tahrir, vol. 6 No. 2 Juli 2006
[6] Abduin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 hal. 453-454.
[7] Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005. Hal. 9-12.
[8] Istilah globalisasi di ambil dari kata global yang berarti secara umum atau secara garis besar. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkontruksi sebagai kesatuan utuh. Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu bangsa. Globalisasi membuat dunia menjadi transparan akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit. Globalisasi menurut Malcolm Waters adalah : A social process in which the constrains of geography on social and cultural arrangements recede and in which people are becoming increasingly aware that they are receding. (Sebagai proses sosial yang didalamnya terdapat desakan geografis atas penataan sosial dan budaya mulai menyusut dan masyarakat menjadi semakin sadar bahwa mereka akan mengalami penyusutan). Muhtarom., Reproduksi Ulama Di Era Globalisas, h. 44
[9] M. Miftahul Ulum, Pembaharuan Pendidikan Islam Pada Awal Abad Ke 20 Dari Tradisionalisme-Konservatif Menuju Modernisme-Liberal, Jurnal Cendekia, Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2006, h. 55.
[10] Karel A Streenbrink, Pesantren, Madrasah Dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, h 26-28, dalam M. Miftahul Ulum, Jurnal Cendekia, Vol. 7 No.1 Januari-Juni 2009, hal. 100.
[11] . Miftahul Ulum, Jurnal Cendekia, Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2006, h. 56.
[12] Ruchman Basori, The Founding Father: Pesantren Modern Indonesia Jejak Langkah K. H. A. Wahid Hasyim (Jakarta: Inceis, 2006), h.22.
[13] . Miftahul Ulum, Jurnal Cendekia, Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2006, h. 58.
[14] Moh. Mukhlas, Integrasi Sains Dan Agama Dalam Pendidikan Islam, At-Tahrir, Vol. 6 No. 2 Juli 2006. Hal. 168.
[15] Carl w. Ernst dan richard c. Martin ed, Rethingking Islamic Studies: From Orientaslime To Cosmopolitanisme (South Carolina: South Carolina University Press 2010), dalam M. Endy Saputro, Alternatif Trend Studi Al-Qur’an, At-Tahrir, vol. 11 No. 1 mei 2011. Hal. 20.  
[16] Ibid, hal 20.
[17] M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hlm, 62.
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 625.
[19] Metode Studi Islam yang saya tulis ini adalah hasil resume terhadap artikel  Dr. Waryani Fajar Riyanto, S.H.I., M.Ag tentang pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam penelitian (menawarkan metode “SAH” dalam penulisan skripsi, tesis dan disertasi) yang dipresentasikan dalam acara Workshop Peningkatan Kualitas Skripsi Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bagi Dosen Pembimbing Skripsi, Tawangmangu, Karanganyar, 15-16 Desember 2012. Yang dimiliki oleh seluruh mahasiswa Pasca Sarjana PAI STAIN Pekalongan.
[20] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 878.
[21] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami: Kyai Dan Pesantren, h. 163.
[22] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, h. 23
[23] Bustanul Arifin, “Sistem Manajemen Pendidikan Pesantren”, Tribakti, 1 (Januari, 2008), h. 11. 
[24] Nasikhin dkk, Profil Pondok Pesantren Modern, h. 8.
[25] Amin Haedari dkk, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, h. 5.
[26] Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, h. 20.
[27] A. Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual Pesantren, h. 2. 
[28] Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam Di Indonesia, h. 83.
[29] A. Mujib dkk Editor Mastuki dan Ishom, El-Saha, Intelektual Pesantren, h. 3-4.
[30] Abd A’la, Pembaruan Pesantren, h. 9.
[31] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, h. 171
[32] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, h. 36.
[33] Ibid, h, 43.
[34] Ibid, h, 49.
[35] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk Kemajuan Bangsa, h. 13. 
[36] A. Mujib dkk Intelektual Pesantren,  Seri 3, h. 2.
[37] Nasikhin dkk, Profil Pondok Pesantren Modern, h. 39.
[38] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 959. 
[39] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 132.
[40] Ibid, h. 134.
[41] Ibid, h. 135.
[42] Ibid, h. 136.
[43] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi Dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, h. 44.
[44] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 137.
[45] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, h. 152.
[46] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 140.
[47] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam, h. 40.
[48] Ibid, h. 40.
[49] Muhtarom. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 245.
[50] Ibid, h. 245.
[51] Ibid, h. 246.
[52] Ibid, h. 246.
[53] Ibid, h. 247.
[54] Ibid, h. 248.
[55] Alex Sobur, Psikologi Umum, h. 229. 
[56] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami : Kyai Dan Pesantren, h. 165. 
[57] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kyai Sahal Mahfudh, h. 192.
[58] TIM Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Profil Pesantren Muadalah, h. 15.
[59] Ibid, h. 16.
[60] Arifi, Politik Pendidikan Islam, h. 23.
[61] Ruchman Basori, The Founding Father, h. 11.
[62] Anton Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 735.
[63] Ruchman Basori, The Founding Father, h. 33.
[64] Ibid, h.103.
[65] Ibid, h. 104.
[66] Ibid, h, 111.
[67] Ibid, h. 115.
[68] Ibid, h. 118.
[69] Ibid, h. 120.
[70] Ibid, h. 121.
[71] Ibid.
[72] Ibid, h. 125.
[73] Istilah sekuler ini hanya ditujukan pada mata pelajarnnya saja, tidak sampai pada mengadopsi sistem pendidikannya karena sistem pendidikan sekuler, menurut Faisal Amin adalah sistem yang dapat memisahkan pendidikan dari ajaran dan nilai-nilai agama. Lihat Faisal Ismail, Masa Depan pendidikan Islam (Jakarta:Bhakti Aksara Persada, 2003), h. 9. 
[74] Ruchman Basori, The Founding Father, h. 126.
[75] Ibid, h. 127.
[76] Ibid, h. 130.
[77] Ibid, h. 132.
[78] Ibid, h. 133.
[79] Ibid, h. 134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar