Bismillahirrohmanirrohiim......................
MEMBUMIKAN ASWAJA
Oleh: Abdul Kholid Ma’rufi, M.PD.I
A.
GENEOLOGI MUNCULNYA ASWAJA; NUANSA POLITIS ISLAM[1]
Kelahiran
Aswaja, secara historis memang tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik. Diriwayatkan
pada suatu saat Nabi Muhammad Saw, Ali dan Khadijah sedang shalat di Masjidil
Haram, Abu Lahab, Abu Sufyan dan Abu Jahal sedang menunggu Beliau diluar untuk
meminta penjelasan tentang ungkapan Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa umatku
bisa mengalahkan dua imperium besar kala itu yakni Romawi dan Persia. Maka
kemudian, misi yang dibawa Nabi Muhammad adalah misi politik untuk mengalahkan
romawi dan persia.
Selain itu
kultur sunni juga tidak bisa lepas dari sosial budaya bangsa arab yang hidup
dengan nomaden, kesukuan, daya ingat tinggi, cepat menerima nilai kebaikan, labil
dan mengalami keterbelakangn dari pada bangsa bangsa yang lain kala itu.[2]
Setiap hari mereka hanya disibukkan dengan mencari air dan rumput sesuai dengan
kondisi geografis mereka yang tinggal di padang pasir. Watak alami pasir tidak
bisa disatukan dan selalu labil, selalu berpindah. Sifat labil ini nampak dari
kata “arab” yang berarti bergerak, berubah, atau labil.
Kedatangan Rasulullah
Saw, dalam menyebarkan agama Islam selama 23 tahun nampaknya bisa merubah
karakter diatas yang pada mulanya bangga dengan sebutan kafilah mereka seperti At-Taymi,
Al-Adiy, Az-Zuhri, Al-Hasyimi, kini lebih bangga dengan julukan ash-Shiddiq,
al-Faruq dan al-Murtadha. Walhasil mereka mampu membuang fanatisme
kesukuan.
Kemudian
setelah Rasulullah Saw wafat, situasi ideal beangsur angsur menurun. Diawali
masa Khalifah Abu Bakar yang dibuat risau karena dimana-mana banyak orang-orang
murtad, menolak membayar zakat dan munculnya nabi-nabi palsu. Khalifah Umar Ibn
Al-Khaththab juga mengalami masalah yang cukup berat yakni banyak orang orang
munafiq yang mengincar posisi pemerintahan. Apalagi dimasa khalifah Usman Bin
Affan setelah beliau masuk usia tua pemerintahan dikendalikan oleh Marwan Ibn
Al-Hakam, sekretaris khalifah saat itu yang kepemimpinannya nepotisme. Kondisi
politik mulai memanas terlebih setelah Usman terbunuh. Muncul berbagai macam
fitnah dikalangan ummat Islam. Benih-benih perpecahan semakin terbuka dan sulit
diredam.
Ali Ibn Abi
Thalib (600–661), penerus khalifah selanjutnya ternyata tidak bisa membendung
gerakan sparatis Islam. Malah beliau terlibat peperangan dengan kelompok Talhah,
Zubair dan Aisyah yang disebut dengan perang Jamal. Tidak berhenti disitu Ali
Ibn Abi Thalib bahkan juga berperang melawan Mu’awiyah (Gubernur Syiria) yang
disebutan dengan perang Shiffin. Kelicikan Amr Ibn Ash memenangkan peperangan
ini dan Ali Ibn Abi Thalib kalah. Kekalahan ini mengakibatkan Ali harus
merelakan kekhalifahannya diduduki oleh Muawiyah. Disinilah umat muslim
benar-benar mengalami fitnah al-kubro.
Merekapun
akhirnya terkotak-kotak, muncullah firqah yang menentang Ali disebut Khawarij.
Adapula yang mengkultuskan beliau disebut dengan Syiah. Pada akhirnya persoalan
politik juga mewarnai konsep teologis mereka. Muawiyah, sebagai pemenang
memunculkan Aliran Jabariyah yang lebih bersifat pasrah terhadap takdir Allah (qadha
dan qadar). Muawiyah sering mengeluarkan dalil sebagi legetimasi atas
faham fatalismenya yakni “Tuhan masih merestui meridhai diri Aku sebagai
penguasa dengan bukti jika Tuhan tidak berkehendak pasti Aku tidak akan
berkuasa”.
Paham ini
segara mendapatkan reaksi dari Muhammad Ibn Ali Al-Hanafiyah, putra Ali yang
menawarkan faham Qodariyah bahwa Allah tidak akan ikut campur; dan segenap
tindakan manusia berasal dari dirinya sendiri yang akan di pertanggungjawabkan.
Pemahaman ini berusaha menyangkal statemen muawiyah bahwa; “apa yang diperbuat muawiyah
merupakan perbuatannya sendiri yang harus dipertanggungjawabkan. Allah tidak
akan ikut campur, kezaliman adalah kezaliman manusia sendiri”. Pemaham ini
menjadi titik awal embrio faham Muktazilah (rasionalistik-mengabaikan wahyu). Situasi
semakin rumit tatkala Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib dan rombongannya tewas di
padang karbala irak, dibunuh oleh ubaidillah ibn ziyad salah satu gubernur dari
khalifah yazid ibn muawiyah. Golongan ini disebut dengan Al-Qadariyah Al-Ula
yang dikembangkan oleh Washil Ibn ‘Atha’ salah satu murid muhammad
al-hanafiyah.
Ditengah
situasi yang carut marut ada beberapa orang dari kalangan tabi’in (generasi
penerus sahabat) di pelopori oleh Imam Hasan Al-Bashri, Abu Sufyan Atssauri,
Fudlail Ibn Iyad serta Abu Hanifah yang mampu berfikir jernih untuk meletakkan
sikap tengah (tidak berpihak) yakni kembali kepada al-Qur’an dengan dalil:
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ
لَهُ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya
Alquran yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman kepadanya dan tenanglah hati
mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. [QS. Al-Hajj:54]
Komunitas inilah sebagai peletak pertama tatanan paham aswaja yang
dilanjutkan oleh Abdullah Ibnu Kullab, Haris Ibn Asad Al-Muhasibi dan Abu Bakar
Al-Qalanisi, yang pada abad berikutnya dilanjutkan oleh Abu Hasan Al-Asyari dan
Abu Al-Manshur Al-Maturidi. Kemunculan Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Al-Manshur
Al-Maturidi, pada masa emas faham Mu’tazilah, tidak lepas dari kebebasan
pemikiran Mu’tazilah yang menjurus pada anarkistis terutama setelah munculnya Abu
Huzdail Al-Allaf dan Ibrahim An-Nazhzham yang cenderung hendak menundukkan
semua ayat al-Qur’an di bawah kendali rasio.
B. MAKNA ASWAJA
ASWAJA merupakan
singkatan dari istilah ahlus sunnah wal jama'ah. Ada tiga kata yang
membentuk istilah tersebut[3]:
1. Ahlu, berarti
keluarga golongan atau pengikut.
2. Al-sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maksudnya,
semua yang datang dari Nabi Muhammad Saw, berupa perbuatan, ucapan dan
pengakuan Nabi Muhammad Saw.[4]
3. Al-jama’ah, yaitu apa yang telah disepakati oleh para sahabat rasulullah saw pada
masa al-khulafa’ ar-rasyidin (Kholifah Abu Bakr RA, ‘Umar bin Khaththab RA,
‘Utsman bin ‘Affan RA dan ‘Ali bin Abi Thalib RA).
Makna lain Aswaja adalah
golongan yang menerima empat mazhab fiqh (al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas),
menganut teroi musywarah pasca Rasul Saw, mengikuti manhajul fikr (cara berfikir) Abu Hasan Al-Asyari dan Abu
Al-Manshur Al-Maturidi dalam bidang teologi dan dalam bidang tasawuf mengikuti al-Ghazali.[5]
Ditambahkan oleh KH. Said Aqil Siraj sifat atau karakter dari Aswaja adalah Tawassut,
Tawazun, Tassamuh dan Ta’adul (moderat, seimbang, toleran dan
setara) dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Hal ini tercermin dari sikap dan
pandangan kaum sunni yang mendahulukan nash meski memberi porsi yang longgar
terhadap rasio, tidak mengenal sikap ekstrim, serta tidak mengkafirkan sesama
ummat Islam.[6]
C. SYIAH
Istilah Syi'ah
berasal dari Bahasa Arab (شيعة) Syī`ah. Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan
bentuk pluralnya adalah Syiya'an. Pengikut Syi'ah disebut Syī`ī
(شيعي).
Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali (شيعة علي)
yang berarti pengikut Ali, yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah
ayat khair al-bariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda,
"Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya
'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".
Kata Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan
pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu
perkara.
Adapun menurut
terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu
Thalib adalah yang paling utama di antara
para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim,
demikian pula anak cucunya. Muhammad Jamal maghniyah, mendefiniskan syiah
sebagai kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw, telah menetapkan dengan
nash (pernyatan pasti) tentang khalifah (pengganti) Beliau dengan
menunjuk Imam Ali kw. Diperkuat oleh Muhammad Al-Jurjani seorang Sunni
Al-Asyariyah medefinisikan syiah yaitu orang yang mengikuti Sayyidina Ali ra. dan
percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul Saw. dan percaya bahwa Imamah tidak
keluar dari beliau dan keturunanya. Definisi ini mewakili dari syiah terbanyak
saat ini yakni syiah Itsna Asyariyah.[7]
Ditambahkah
oleh asy-syahrastani syiah adalah mereka beranggapan bahwa imamah tidak boleh
keluar dari keturunan ali, sebab hal itu merupakan kezaliman dari orang lain
dan taqiyyah dari pihak keturunan ali.[8]
Secara umum
syiah terbagi menjadi lima kelompok kemudian terbagi lagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Berikut ulasan secara ringkas:[9]
1.
Syiah
Ghulat Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok
Syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah. Di dalam Syiah Ghulat
terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah,
Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah,
dan lainnya.
Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin
Saba' yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti
"Engkau adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki
tetesan ketuhanan.
Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab
Al-Asady yang menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan.
Sementara Imam Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap
tersebut, pemimpin kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.
Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali
Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat
ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok
ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930
Masehi.
2.
Syiah
Ismailiyah
Kelompok ini tersebar di banyak negara, seperti Afganistan, India,
Pakistan, Suriah, Yaman, serta beberapa negara barat, yakni Inggris dan Amerika
Utara.
Kelompok ini meyakini Ismail, putra Imam Ja'far Ash-Shadiq, adalah
imam yang menggantikan ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syiah
secara umum. Ismail dikabarkan wafat lima tahun sebelum ayahnya (Imam Ja'far)
meninggal dunia.
Namun menurut kelompok ini, Ismail belum wafat. Syiah Ismailiyah
meyakini kelak Ismail akan tampil kembali di bumi sebagai Imam Mahdi.
3.
Syiah
Az-Zaidiyah
Ini adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a. Zaid lahir pada 80 H dan terbunuh
pada 122 H. Zaid dikenal sebagai tokoh yang melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan semena-mena yang diterapkan Yazid, putra Muawiyah pada zaman Bani
Umayyah.
Kendati golongan ini yakin kedudukan Ali bin Abi Thalib ra lebih
mulia ketimbang Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka tetap mengakui ketiganya
sebagai khalifah yang sah. Lantaran masih menganggap tiga sahabat nabi yang
lain, Syiah Az-Zaidiyah dinamakan Ar-Rafidhah, yakni penolak untuk menyalahkan
dan mencaci.
Dalam menetapkan hukum, kelompok ini menggunakan Al-Quran, sunah,
dan nalar. Mereka tidak membatasi penerimaan hadis dari keluarga Nabi semata,
tetapi mengandalkan juga riwayat dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.
4.
Syiah
Istna Asyariah
Kelompok ini dikenal juga dengan nama Imamiyah atau Ja'fariyah yang
percaya 12 imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri
Rasulullah SAW.
Syiah Istna Asyariah merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, dan
ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi
Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Sovyet. Ini adalah kelompok Syiah
mayoritas.
D.
SEKELUMIT PENGANTAR TENTANG SEKTE WAHABI/SALAFI[10]
Nama atau julukan
madzhab Wahabi/Salafi ini tidak lain dikaitkan pada kelompok muslimin yang
berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab[11], yang
mengaku sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kami uraikan tersendiri mengenai
sejarah singkat dan paham Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini sering menafsirkan
ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. secara tekstual/dhohir teks (apa
adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah
dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya orang akan lebih
mudah terjerumus kepada penjasmanian (tajsim) dan penyerupaan (tasybih) Allah
Swt kepada makhluk-Nya. Insya Allah nanti kami utarakan tersendiri contoh
riwayat-riwayat yang bila kita pahami secara tekstual, jelas akan mengarah
kepada Tajsim dan Tasybih. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang
mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi
atau kiasan, yang mana kata-kata Allah Swt. harus diartikan sesuai dengan ke
Mahasucian dan ke Maha agungan-Nya.
Banyak ulama yang
mengeritik dan menolak akidah Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan
Allah Swt. terhadap makhluk-Nya, karena bertentangan dengan firman Allah Swt,
antara lain: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘Tiada sesuatupun yang
menyerupai-Nya’. Surat Al-An’aam (6): 103; ‘ Tiada Ia tercapai oleh
penglihatan mata’. Surat Ash-Shaffaat (37) : 159; ‘Mahasuci Allah dari
apa yang mereka sifatkan’, dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.
Dengan adanya
penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah Saw secara tekstual dan literal ini,
maka orang akan mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo’a
pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam
do’anya tersebut), Tabarruk (pengambilan barokah), permohonan syafa’at
pada Rasulallah Saw dan para wali Allah. Golongan ini juga melarang orang
berkumpul untuk mengadakan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan sejarah
Islam (maulidin Nabi Saw, isra-mi'raja dll.), kumpulan majlis-majlis dzikir
(istighothah, tahlil/yasinan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (mengikuti)
kepada imam madzhab tertentu dan lain sebagainya. Insya Allah, semuanya ini
akan kami uraikan sendiri pada babnya masing-masing.
Golongan Salafi/Wahabi
ini sering berkata, bahwa mereka akan mengajarkan syari’at Islam yang paling
murni dan paling benar, oleh karenanya mudah mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan,
mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
(baca uraian selanjutnya).
Paham golongan
Wahabi/Salafi (baca makalah di website-website yang menentang ajaran sekte
Wahabi/Salafi umpama disitus www.abusalafy.wordpress,
www.salafytobat.wordpress, www.majlisrasulllah. dll.) pada zaman akhir ini mirip
dengan golongan al-Hasyawiyyah, karena kepercayaan-kepercayaan dan
pendapat-pendapat mereka mirip dengan golongan yang dikenali sebagai
al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal
daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan.
Ahmad bin Yahya
al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahwa: Nama al-Hasyawiyyah digunakan
kepada orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits sisipan yang sengaja
dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagaimana sabda Nabi Saw dan
mereka menerimanya tanpa melakukan interpretasi semula, dan mereka juga
menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahlal-Sunnah wa al-Jama‘ah. Mereka
bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubungan dengan perbuatan
manusia) dan tasybih (bahwa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahwa
Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota
tubuh dan lain sebagainya.(baca riwayat-riwayat tajsim, tasybih pada kajian
selanjutnya).
Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M)
menuliskan bahwa: Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadits, yaitu
al-Hasyawiyyah dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka tentang tasybih
(yaitu Allah serupa makhluk-Nya, baca uraian selanjutnya mengenai
tajsim/tasybih) ...sehingga mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika,
kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia
(Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya
menjadi merah, dan ‘Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia
melampaui ‘Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut.
[Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]
Begitu juga paham sekte
Wahabi/Salafi ini seakan-akan menjiplak atau mengikuti kaum Khawarij,
yang juga mudah mengkafirkan, mensyirikkan, mensesatkan sesama muslimin karena
tidak sependapat dengan pahamnya. Kaum khawarij ini kelompok pertama yang
secara terang-terangan menonjolkan akidahnya dan bersitegang leher
mempertahankan prinsip keketatan dan kekerasan terhadap kaum muslimin yang
tidak sependapat dan sepaham dengan mereka. Kaum khawarij ini mengkafirkan
Amirul Mu’minin sayidina Ali bin Abi Thalib kw dan para sahabat Nabi Saw yang
mendukungnya. Kelompok ini ditetapkan oleh semua ulama Ahlus-Sunnah sebagai
ahlul-bid’ah, dan dhalalah/sesat berdasarkan dzwahirin-nash (makna
harfiah nash) serta keumuman maknanya yang berlaku terhadap kaum musyrikin.
Kaum khawarij ini menghalalkan pembunuhan, perampasan harta kaum muslimin yang
tidak serumpun atau segolongan/semadzhab dengan mereka.
Ibnu Mardawih mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Mas’ab bin Sa’ad yang
menuturkan sebagai berikut: “Pernah terjadi peristiwa, seorang dari kaum
Khawarij menatap muka Sa’ad bin Abi Waqqash (ayah Mas’ab) ra. Beberapa saat
kemudian orang Khawarij itu dengan galak berkata: ‘Inilah dia, salah seorang
pemimpin kaum kafir’! Dengan sikap siaga Sa’ad menjawab; ‘Engkau bohong! Justru
aku telah memerangi pemimpin-pemimpin kaum kafir‘. Orang khawarij yang lain
berkata: ‘Engkau inilah termasuk orang-orang yang paling merugi amal
perbuatannya‘! Sa’ad menjawab : ‘Engkau bohong juga! Mereka itu adalah
orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka,
mengingkari perjumpaan dengan-Nya’! (yakni tidak percaya bahwa pada hari kiamat
kelak akan dihadapkan kepada Allah Swt.). Riwayat ini dikemukakan juga oleh
Al-Hafidz didalam Al-Fath.
Imam Thabrani
mengetengahkan sebuah riwayat didalam Al-Kabir dan Al-Ausath,
bahwa “ ‘Umarah bin Qardh dalam tugas operasi pengamanan ketempat suara adzan
itu dengan maksud hendak menunaikan sholat berjama’ah. Tetapi alangkah
terkejutnya, ketika tiba disana ternyata ia berada ditengah kaum Khawarij sekte
Azariqah. Mereka menegurnya: ‘Hai musuh Allah, apa maksudmu datang
kemari’?! Umarah menjawab dengan tegas: ‘Kalian bukan kawan-kawanku’ ! Mereka
menyahut: ‘Ya, engkau memang kawan setan, dan engkau harus kami bunuh’ ! Umarah
berkata; ‘ Apakah engkau tidak senang melihatku seperti ketika Rasulallah Saw.
dahulu melihatku’? Mereka bertanya: ‘Apa yang menyenangkan beliau darimu’?
‘Umarah menjawab: ‘ Aku datang kepada beliau Saw. sebagai orang kafir, lalu aku
mengikrarkan kesaksianku, bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwa beliau
Saw. adalah benar-benar utusan Allah. Beliau Saw. kemudian membiarkan aku
pergi’. Akan tetapi sekte Azariqah tidak puas dengan jawaban
‘Umarah seperti itu. Ia lalu diseret dan dibunuh”.
Peristiwa ini dimuat
juga sebagai berita yang benar dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Sikap
dan tindakan kaum khawarij tersebut jelas mencerminkan penyelewengan
akidah mereka, dan itu merupakan dhalalah/kesesatan. Perbuatan mereka ini telah
dan selalu dilakukan oleh pengikut mereka di setiap zaman. Mereka ini
sebenarnya adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh bujukan hawa nafsunya
sendiri dan berpegang kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara harfiah atau
tekstual/dhohir teks. Mereka beranggapan hanya mereka/golongannya sajalah yang
paling benar, suci dan murni, sedangkan orang lain yang tidak sepaham
dengan mereka adalah sesat, berbuat bid’ah, kafir dan musyrik! Mereka ini tidak
sudi mendengarkan siapapun juga selain orang dari kelompok mereka sendiri.
Mereka memandang ummat Islam lainnya dengan kacamata hitam, sebagai kaum bid’ah
atau kaum musyrikin yang sudah keluar meninggalkan agama Islam! Padahal Islam
menuntut dan mengajarkan agar setiap muslim bersangka baik/husnud-dhon terhadap
ummat seagama, terutama terhadap para ulama. Membangkit-bangkitkan perbedaan
pendapat mengenai soal-soal bukan pokok agama –yakni yang masih belum tercapai
kesepakatan diantara para ulama– menyebabkan prasangka buruk terhadap mereka
atau dengan cara lain yang bersifat celaan, cercaan, tuduhan dan lain
sebagainya.
Semula Golongan
Salafi/Wahabi akan menghancurkan dan meratakan dengan tanah AI-Qubbatul
Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad Saw dimakamkan termasuk maqom
Ibrahim akan digeser, tapi karena ancaman Internasional maka orang-orang
yang dangkal pikirannya itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs
sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah
Saw, ahlul bait dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir
dijadikan tempat keramat. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu
digusur, padahal disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat
itu juga putra-putrinya dilahirkan serta sayidah Khadijah wafat. Kaum
Wahabi/Salafi memandang dan mempunyai pikiran bahwa situs-situs sejarah
tersebut bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Ini tidak lain karena
kedangkalan mereka dalam berpikir dan menguraikan ayat-ayat Al-qur'an dan
sunnah Rasulallah Saw secara tekstual dan harfiah.
Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa
bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1400
tahun itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah
jamaah haji dan umrah. Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir
sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun
tempat parkir, katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan
bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir.Bahkan
sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri
pada tahun 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan
Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut
tertulis, Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat
Muslim pada penyembahan berhala. Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi
memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan
Islam sejak masa Rasulallah Saw. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis
oleh modernisasi ala Wahabi.
amun anehnya mereka malah
mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya
ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik
yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata!.
Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah
menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan
pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.
Selama ini kelompok
Wahabi, penerus akidah Muhamad Abdul Wahhab, berdalih bahwa penghancuran
tempat-tempat bersejarah itu ditempuh demi menjaga kemurnian Islam. Mereka
sekadar mengantisipasi agar tempat-tempat itu tidak dijadikan sebagai ajang
pengkultusan dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kemusyrikan.
Akan tetapi dalih
mereka bertolak belakang dengan akidahnya, sebab nyatanya mereka
berupaya mengabadikan sosok Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, salah
seorang tokoh pentolan mereka. Mereka mendirikan sebuah bangunan yang besar
dan mentereng untuk menyimpan peninggalan-peninggalan Syekh al-Utsaimin,
untuk Al-Utsaimin. Bangunan berdesain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan
Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.” Di dalam gedung mewah ini terdapat benda-benda
peninggalan Syekh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena.
Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi
keterangan semisal, “Pena terakhir yang dipakai Syekh al-Utsaimin".
Sungguh aneh sekali
paham golongan wahabi/salafi ini, di satu sisi mereka merobohkan peninggalan
rumah Baginda Nabi Saw dan menjadikan tempat yang berkah itu sebagai WC umum,
bahkan mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan Baginda Nabi
Saw (Alhamdulillah, sebagian benda peninggalan beliau Saw telah dipindahkan ke
Turki.[museum Topkapi, Istanbul] ).Di lain sisi mereka membangun dengan megah
untuk memperingati ulama mereka Syeikh Al-Utsaimin. Kita akan bertanya-tanya
‘Siapakah sebetulnya yang lebih mulia bagi golongan Wahabi/Salafi? Baginda
Rasulullah Saw ataukah Syekh Muhamad Abdul Wahhab, Syeikh al-Utsaimin?
Apa yang berlaku saat
ini di Bumi Haramain adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kaidah cinta.
Di sana orang-orang Wahabi mengaku mencintai Baginda Nabi Saw, akan tetapi
mereka sama sekali tidak menghormati beliau Saw. Mereka bahkan melecehkan
beliau dan melakukan perbuatan yang sangat kurang sopan kepada sosok yang agung
yakni Rasulallah Saw. Bayangkan saja, rumah yang ditempati beliau Saw selama 28
tahun, disana turunnya wahyu ilahi yang semestinya dimuliakan, mereka ratakan
dengan tanah kemudian mereka bangun di atasnya toilet umum. Sungguh
keterlaluan!
Fakta ini belakangan
terkuak lewat video wawancara yang tersebar di Youtube. Adalah Dr. Sami bin
Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala, yang mengungkapkan fakta itu. Dalam
video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan
penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi Saw.
Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak yang
berwenang. Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar
yang mengantongi gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk
dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan. Ketika
ditanya oleh pewawancara mengenai bangunan apa yang didirikan di atas lahan
bersejarah itu, Sami Angawi terdiam dan tak mampu berkata-kata.
Si pewawancara terus
mendesaknya hingga akhirnya ia mengakui bahwa bangunan yang didirikan kelompok
Wahabi di atas bekas rumah Baginda Nabi Saw adalah WC umum. Sami Angawi
merasakan penyesalan yang sangat mendalam lantaran penelitiannya selama
bertahun-tahun berakhir sia-sia. Ia (Angawi) kemudian mengungkapkan harapannya,
“Kita berharap toilet itu segera dirobohkan dan dibangun kembali gedung yang
layak. Seandainya ada tempat yang lebih utama berkahnya, tentu Allah Swt tidak
akan menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal Rasulallah Saw dan tempat
turunnya wahyu selama 13 tahun".
Ulah jahil Wahabi itu
tentu saja mengusik perasaan seluruh kaum muslimin. Situs rumah Baginda Nabi
Saw adalah cagar budaya milik umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka sama
sekali tidak berhak untuk mengusik tempat terhormat itu. Ulah mereka ini kian
mengukuhkan diri mereka sebagai kelompok primitif yang tidak pandai menghargai
nilai-nilai kebudayaan. Sebelum itu mereka telah merobohkan masjid-masjid
bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah, tempat Syajarah
ar-Ridhwan, Masjid Salman Alfarisi dan masjid di samping makam
pamanda Nabi, sayidina Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13
Agustus 2002 lalu, mereka meluluhkan masjid cucu Nabi Saw , Imam Ali
Uraidhi, dengan menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau ra.
Bukti-bukti foto penghancuran rumah Nabi Saw, pemakaman Al-Baqi di Madinah,
al-Ma'la di Mekkah dan lain sebagainya, bisa dicari via google dengan judul
yang berkaitan dengan nama misalnya al-baqi, al-ma'la yang dihancurkan.
[1] Said Aqil
Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagi Inspirasi
Bukan Aspirasi, Jakarta:Khas 2009, h. 413-422.
[2] Forum
Kalimasada, Kearifan Syariat, Khalista & An-Najma: Surabaya, 2010.
h. 40-45
[3]
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, hal 1.
[4] Fath al-Bari,
Juz XII, Surabaya: Alhidayah, hal 245.
[5]
Pengakuan Aswaja sebagai manhajul fikr sebenarnya belum dikenal dimasa
beliau masih hidup yakni tahun 260-324 H, sampai tahun 584 H masa al-Ghazali,
belum dikenal istilah Aswaja yang merujuk pada Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Al-Manshur Al-Maturidi. Baru dikemukakan oleh
Azzabidi pada tahun 1205 H. Jadi penyebutan aswaja yang di nisbahkan kepada
beliau jauh setelah beliau wafat. Secara
eksplisit KH. Hasyim Asyari belum memetakan Aswaja dengan konsep ini baru
kemudian Kh. Bisri Musthofa (Rembang) dan KH. Bisyri Samsyuri (Denanyar Jombang),
Kiai Turaichan Azhuri (Kudus) yang menetapkan dalam Muktamar yang ke XXIII di Solo
tahun 1962. Ahmad Azzahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il,
1926-199, Yogyakarta: Lkis, 2004, h. 48-51
[6] Said Aqil
Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagi Inspirasi
Bukan Aspirasi, Jakarta:Khas 2009, h. 413
[7] M.Qurasih Syihab, Sunnah Syiah
Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Jakarta: Lentera Hati 2007, h. 61.
[8] Asy-Syahrastani,
Terjemah Al-Milal Wa Al-Nihal (Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Umat
Manusia), Surabaya: Bina Ilmu. h. 124
[9] M.Qurasih
Syihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Jakarta: Lentera
Hati 2007, h. 70-83
[10] A. Sihabuddin,
“Kamus Syirik (Edisi Revisi) – Telaah Kritis atas doktrin faham
Wahabi/Salafi”, Surabaya: Ummati Press, 2009.
[11]
1115-1206 H/1702-1787 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar