Sabtu, 14 Februari 2015

MEMBUMIKAN ASWAJA



Bismillahirrohmanirrohiim......................

MEMBUMIKAN ASWAJA
Oleh: Abdul Kholid Ma’rufi, M.PD.I

A.  GENEOLOGI MUNCULNYA ASWAJA; NUANSA POLITIS ISLAM[1]
Kelahiran Aswaja, secara historis memang tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik. Diriwayatkan pada suatu saat Nabi Muhammad Saw, Ali dan Khadijah sedang shalat di Masjidil Haram, Abu Lahab, Abu Sufyan dan Abu Jahal sedang menunggu Beliau diluar untuk meminta penjelasan tentang ungkapan Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa umatku bisa mengalahkan dua imperium besar kala itu yakni Romawi dan Persia. Maka kemudian, misi yang dibawa Nabi Muhammad adalah misi politik untuk mengalahkan romawi dan persia.
Selain itu kultur sunni juga tidak bisa lepas dari sosial budaya bangsa arab yang hidup dengan nomaden, kesukuan, daya ingat tinggi, cepat menerima nilai kebaikan, labil dan mengalami keterbelakangn dari pada bangsa bangsa yang lain kala itu.[2] Setiap hari mereka hanya disibukkan dengan mencari air dan rumput sesuai dengan kondisi geografis mereka yang tinggal di padang pasir. Watak alami pasir tidak bisa disatukan dan selalu labil, selalu berpindah. Sifat labil ini nampak dari kata “arab” yang berarti bergerak, berubah, atau labil. 
Kedatangan Rasulullah Saw, dalam menyebarkan agama Islam selama 23 tahun nampaknya bisa merubah karakter diatas yang pada mulanya bangga dengan sebutan kafilah mereka seperti At-Taymi, Al-Adiy, Az-Zuhri, Al-Hasyimi, kini lebih bangga dengan julukan ash-Shiddiq, al-Faruq dan al-Murtadha. Walhasil mereka mampu membuang fanatisme kesukuan.
Kemudian setelah Rasulullah Saw wafat, situasi ideal beangsur angsur menurun. Diawali masa Khalifah Abu Bakar yang dibuat risau karena dimana-mana banyak orang-orang murtad, menolak membayar zakat dan munculnya nabi-nabi palsu. Khalifah Umar Ibn Al-Khaththab juga mengalami masalah yang cukup berat yakni banyak orang orang munafiq yang mengincar posisi pemerintahan. Apalagi dimasa khalifah Usman Bin Affan setelah beliau masuk usia tua pemerintahan dikendalikan oleh Marwan Ibn Al-Hakam, sekretaris khalifah saat itu yang kepemimpinannya nepotisme. Kondisi politik mulai memanas terlebih setelah Usman terbunuh. Muncul berbagai macam fitnah dikalangan ummat Islam. Benih-benih perpecahan semakin terbuka dan sulit diredam.
Ali Ibn Abi Thalib (600661), penerus khalifah selanjutnya ternyata tidak bisa membendung gerakan sparatis Islam. Malah beliau terlibat peperangan dengan kelompok Talhah, Zubair dan Aisyah yang disebut dengan perang Jamal. Tidak berhenti disitu Ali Ibn Abi Thalib bahkan juga berperang melawan Mu’awiyah (Gubernur Syiria) yang disebutan dengan perang Shiffin. Kelicikan Amr Ibn Ash memenangkan peperangan ini dan Ali Ibn Abi Thalib kalah. Kekalahan ini mengakibatkan Ali harus merelakan kekhalifahannya diduduki oleh Muawiyah. Disinilah umat muslim benar-benar mengalami fitnah al-kubro.
Merekapun akhirnya terkotak-kotak, muncullah firqah yang menentang Ali disebut Khawarij. Adapula yang mengkultuskan beliau disebut dengan Syiah. Pada akhirnya persoalan politik juga mewarnai konsep teologis mereka. Muawiyah, sebagai pemenang memunculkan Aliran Jabariyah yang lebih bersifat pasrah terhadap takdir Allah (qadha dan qadar). Muawiyah sering mengeluarkan dalil sebagi legetimasi atas faham fatalismenya yakni “Tuhan masih merestui meridhai diri Aku sebagai penguasa dengan bukti jika Tuhan tidak berkehendak pasti Aku tidak akan berkuasa”.
Paham ini segara mendapatkan reaksi dari Muhammad Ibn Ali Al-Hanafiyah, putra Ali yang menawarkan faham Qodariyah bahwa Allah tidak akan ikut campur; dan segenap tindakan manusia berasal dari dirinya sendiri yang akan di pertanggungjawabkan. Pemahaman ini berusaha menyangkal statemen muawiyah bahwa; “apa yang diperbuat muawiyah merupakan perbuatannya sendiri yang harus dipertanggungjawabkan. Allah tidak akan ikut campur, kezaliman adalah kezaliman manusia sendiri”. Pemaham ini menjadi titik awal embrio faham Muktazilah (rasionalistik-mengabaikan wahyu). Situasi semakin rumit tatkala Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib dan rombongannya tewas di padang karbala irak, dibunuh oleh ubaidillah ibn ziyad salah satu gubernur dari khalifah yazid ibn muawiyah. Golongan ini disebut dengan Al-Qadariyah Al-Ula yang dikembangkan oleh Washil Ibn ‘Atha’ salah satu murid muhammad al-hanafiyah.
Ditengah situasi yang carut marut ada beberapa orang dari kalangan tabi’in (generasi penerus sahabat) di pelopori oleh Imam Hasan Al-Bashri, Abu Sufyan Atssauri, Fudlail Ibn Iyad serta Abu Hanifah yang mampu berfikir jernih untuk meletakkan sikap tengah (tidak berpihak) yakni kembali kepada al-Qur’an dengan dalil:
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Alquran yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman kepadanya dan tenanglah hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. [QS. Al-Hajj:54]
Komunitas inilah sebagai peletak pertama tatanan paham aswaja yang dilanjutkan oleh Abdullah Ibnu Kullab, Haris Ibn Asad Al-Muhasibi dan Abu Bakar Al-Qalanisi, yang pada abad berikutnya dilanjutkan oleh Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Al-Manshur Al-Maturidi. Kemunculan Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Al-Manshur Al-Maturidi, pada masa emas faham Mu’tazilah, tidak lepas dari kebebasan pemikiran Mu’tazilah yang menjurus pada anarkistis terutama setelah munculnya Abu Huzdail Al-Allaf dan Ibrahim An-Nazhzham yang cenderung hendak menundukkan semua ayat al-Qur’an di bawah kendali rasio.

B.  MAKNA ASWAJA
ASWAJA merupakan singkatan dari istilah ahlus sunnah wal jama'ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut[3]:
1.    Ahlu, berarti keluarga  golongan atau pengikut.
2.    Al-sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi Muhammad Saw, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad Saw.[4]
3.    Al-jama’ah, yaitu apa yang telah disepakati oleh para sahabat rasulullah saw pada masa al-khulafa’ ar-rasyidin (Kholifah Abu Bakr RA, ‘Umar bin Khaththab RA, ‘Utsman bin ‘Affan RA dan ‘Ali bin Abi Thalib RA).
Makna lain Aswaja adalah golongan yang menerima empat mazhab fiqh (al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas), menganut teroi musywarah pasca Rasul Saw, mengikuti manhajul fikr (cara berfikir) Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Al-Manshur Al-Maturidi dalam bidang teologi dan dalam bidang tasawuf  mengikuti al-Ghazali.[5] Ditambahkan oleh KH. Said Aqil Siraj sifat atau karakter dari Aswaja adalah Tawassut, Tawazun, Tassamuh dan Ta’adul (moderat, seimbang, toleran dan setara) dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Hal ini tercermin dari sikap dan pandangan kaum sunni yang mendahulukan nash meski memberi porsi yang longgar terhadap rasio, tidak mengenal sikap ekstrim, serta tidak mengkafirkan sesama ummat Islam.[6]

C.  SYIAH
Istilah Syi'ah berasal dari Bahasa Arab (شيعة) Syī`ah. Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan bentuk pluralnya adalah Syiya'an. Pengikut Syi'ah disebut Syī`ī (شيعي). Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali (شيعة علي) yang berarti pengikut Ali, yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat khair al-bariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda, "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya 'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".
Kata Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu perkara.
Adapun menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang paling utama di antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim, demikian pula anak cucunya. Muhammad Jamal maghniyah, mendefiniskan syiah sebagai kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw, telah menetapkan dengan nash (pernyatan pasti) tentang khalifah (pengganti) Beliau dengan menunjuk Imam Ali kw. Diperkuat oleh Muhammad Al-Jurjani seorang Sunni Al-Asyariyah medefinisikan syiah yaitu orang yang mengikuti Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul Saw. dan percaya bahwa Imamah tidak keluar dari beliau dan keturunanya. Definisi ini mewakili dari syiah terbanyak saat ini yakni syiah Itsna Asyariyah.[7]
Ditambahkah oleh asy-syahrastani syiah adalah mereka beranggapan bahwa imamah tidak boleh keluar dari keturunan ali, sebab hal itu merupakan kezaliman dari orang lain dan taqiyyah dari pihak keturunan ali.[8]
Secara umum syiah terbagi menjadi lima kelompok kemudian terbagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil. Berikut ulasan secara ringkas:[9]
1.    Syiah Ghulat Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah. Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan lainnya.
Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.
Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam. Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.  Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930 Masehi.
2.    Syiah Ismailiyah
Kelompok ini tersebar di banyak negara, seperti Afganistan, India, Pakistan, Suriah, Yaman, serta beberapa negara barat, yakni Inggris dan Amerika Utara.
Kelompok ini meyakini Ismail, putra Imam Ja'far Ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syiah secara umum. Ismail dikabarkan wafat lima tahun sebelum ayahnya (Imam Ja'far) meninggal dunia. 
Namun menurut kelompok ini, Ismail belum wafat. Syiah Ismailiyah meyakini kelak Ismail akan tampil kembali di bumi sebagai Imam Mahdi. 
3.    Syiah Az-Zaidiyah
Ini adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a. Zaid lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Zaid dikenal sebagai tokoh yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan semena-mena yang diterapkan Yazid, putra Muawiyah pada zaman Bani Umayyah.
Kendati golongan ini yakin kedudukan Ali bin Abi Thalib ra lebih mulia ketimbang Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka tetap mengakui ketiganya sebagai khalifah yang sah. Lantaran masih menganggap tiga sahabat nabi yang lain, Syiah Az-Zaidiyah dinamakan Ar-Rafidhah, yakni penolak untuk menyalahkan dan mencaci.
Dalam menetapkan hukum, kelompok ini menggunakan Al-Quran, sunah, dan nalar. Mereka tidak membatasi penerimaan hadis dari keluarga Nabi semata, tetapi mengandalkan juga riwayat dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.
4.    Syiah Istna Asyariah
Kelompok ini dikenal juga dengan nama Imamiyah atau Ja'fariyah yang percaya 12 imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW.
Syiah Istna Asyariah merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, dan ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Sovyet. Ini adalah kelompok Syiah mayoritas.








D.  SEKELUMIT PENGANTAR TENTANG SEKTE WAHABI/SALAFI[10]
Nama atau julukan madzhab Wahabi/Salafi ini tidak lain dikaitkan pada kelompok muslimin yang berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab[11], yang mengaku sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kami uraikan tersendiri mengenai sejarah singkat dan paham Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini sering menafsirkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. secara tekstual/dhohir teks (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya orang akan lebih mudah terjerumus kepada penjasmanian (tajsim) dan penyerupaan (tasybih) Allah Swt kepada makhluk-Nya. Insya Allah nanti kami utarakan tersendiri contoh riwayat-riwayat yang bila kita pahami secara tekstual, jelas akan mengarah kepada Tajsim dan Tasybih. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah Swt. harus diartikan sesuai dengan ke Mahasucian dan ke Maha agungan-Nya.
Banyak ulama yang mengeritik dan menolak akidah Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah Swt. terhadap makhluk-Nya, karena bertentangan dengan firman Allah Swt, antara lain: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya’. Surat Al-An’aam (6): 103; ‘ Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’. Surat Ash-Shaffaat (37) : 159; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’, dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.
Dengan adanya penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah Saw secara tekstual dan literal ini, maka orang akan mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo’a pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam do’anya tersebut), Tabarruk (pengambilan barokah), permohonan syafa’at pada Rasulallah Saw dan para wali Allah. Golongan ini juga melarang orang berkumpul untuk mengadakan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan sejarah Islam (maulidin Nabi Saw, isra-mi'raja dll.), kumpulan majlis-majlis dzikir (istighothah, tahlil/yasinan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (mengikuti) kepada imam madzhab tertentu dan lain sebagainya. Insya Allah, semuanya ini akan kami uraikan sendiri pada babnya masing-masing.
Golongan Salafi/Wahabi ini sering berkata, bahwa mereka akan mengajarkan syari’at Islam yang paling murni dan paling benar, oleh karenanya mudah mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. (baca uraian selanjutnya).
Paham golongan Wahabi/Salafi (baca makalah di website-website yang menentang ajaran sekte Wahabi/Salafi umpama disitus www.abusalafy.wordpress, www.salafytobat.wordpress, www.majlisrasulllah. dll.) pada zaman akhir ini mirip dengan golongan al-Hasyawiyyah, karena kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka mirip dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan.
Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahwa: Nama al-Hasyawiyyah digunakan kepada orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagaimana sabda Nabi Saw dan mereka menerimanya tanpa melakukan interpretasi semula, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahlal-Sunnah wa al-Jama‘ah. Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubungan dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahwa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahwa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota tubuh dan lain sebagainya.(baca riwayat-riwayat tajsim, tasybih pada kajian selanjutnya).
Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahwa: Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadits, yaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka tentang tasybih (yaitu Allah serupa makhluk-Nya, baca uraian selanjutnya mengenai tajsim/tasybih) ...sehingga mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya menjadi merah, dan ‘Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]
Begitu juga paham sekte Wahabi/Salafi ini seakan-akan menjiplak atau mengikuti kaum Khawarij, yang juga mudah mengkafirkan, mensyirikkan, mensesatkan sesama muslimin karena tidak sependapat dengan pahamnya. Kaum khawarij ini kelompok pertama yang secara terang-terangan menonjolkan akidahnya dan bersitegang leher mempertahankan prinsip keketatan dan kekerasan terhadap kaum muslimin yang tidak sependapat dan sepaham dengan mereka. Kaum khawarij ini mengkafirkan Amirul Mu’minin sayidina Ali bin Abi Thalib kw dan para sahabat Nabi Saw yang mendukungnya. Kelompok ini ditetapkan oleh semua ulama Ahlus-Sunnah sebagai ahlul-bid’ah, dan dhalalah/sesat berdasarkan dzwahirin-nash (makna harfiah nash) serta keumuman maknanya yang berlaku terhadap kaum musyrikin. Kaum khawarij ini menghalalkan pembunuhan, perampasan harta kaum muslimin yang tidak serumpun atau segolongan/semadzhab dengan mereka.
Ibnu Mardawih mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Mas’ab bin Sa’ad yang menuturkan sebagai berikut: “Pernah terjadi peristiwa, seorang dari kaum Khawarij menatap muka Sa’ad bin Abi Waqqash (ayah Mas’ab) ra. Beberapa saat kemudian orang Khawarij itu dengan galak berkata: ‘Inilah dia, salah seorang pemimpin kaum kafir’! Dengan sikap siaga Sa’ad menjawab; ‘Engkau bohong! Justru aku telah memerangi pemimpin-pemimpin kaum kafir‘. Orang khawarij yang lain berkata: ‘Engkau inilah termasuk orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya‘! Sa’ad menjawab : ‘Engkau bohong juga! Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka, mengingkari perjumpaan dengan-Nya’! (yakni tidak percaya bahwa pada hari kiamat kelak akan dihadapkan kepada Allah Swt.). Riwayat ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz didalam Al-Fath.
Imam Thabrani mengetengahkan sebuah riwayat didalam Al-Kabir dan Al-Ausath, bahwa “ ‘Umarah bin Qardh dalam tugas operasi pengamanan ketempat suara adzan itu dengan maksud hendak menunaikan sholat berjama’ah. Tetapi alangkah terkejutnya, ketika tiba disana ternyata ia berada ditengah kaum Khawarij sekte Azariqah. Mereka menegurnya: ‘Hai musuh Allah, apa maksudmu datang kemari’?! Umarah menjawab dengan tegas: ‘Kalian bukan kawan-kawanku’ ! Mereka menyahut: ‘Ya, engkau memang kawan setan, dan engkau harus kami bunuh’ ! Umarah berkata; ‘ Apakah engkau tidak senang melihatku seperti ketika Rasulallah Saw. dahulu melihatku’? Mereka bertanya: ‘Apa yang menyenangkan beliau darimu’? ‘Umarah menjawab: ‘ Aku datang kepada beliau Saw. sebagai orang kafir, lalu aku mengikrarkan kesaksianku, bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwa beliau Saw. adalah benar-benar utusan Allah. Beliau Saw. kemudian membiarkan aku pergi’. Akan tetapi sekte Azariqah tidak puas dengan jawaban ‘Umarah seperti itu. Ia lalu diseret dan dibunuh”.
Peristiwa ini dimuat juga sebagai berita yang benar dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Sikap dan tindakan kaum khawarij tersebut jelas mencerminkan penyelewengan akidah mereka, dan itu merupakan dhalalah/kesesatan. Perbuatan mereka ini telah dan selalu dilakukan oleh pengikut mereka di setiap zaman. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh bujukan hawa nafsunya sendiri dan berpegang kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara harfiah atau tekstual/dhohir teks. Mereka beranggapan hanya mereka/golongannya sajalah yang paling benar, suci dan murni, sedangkan orang lain yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, berbuat bid’ah, kafir dan musyrik! Mereka ini tidak sudi mendengarkan siapapun juga selain orang dari kelompok mereka sendiri. Mereka memandang ummat Islam lainnya dengan kacamata hitam, sebagai kaum bid’ah atau kaum musyrikin yang sudah keluar meninggalkan agama Islam! Padahal Islam menuntut dan mengajarkan agar setiap muslim bersangka baik/husnud-dhon terhadap ummat seagama, terutama terhadap para ulama. Membangkit-bangkitkan perbedaan pendapat mengenai soal-soal bukan pokok agama –yakni yang masih belum tercapai kesepakatan diantara para ulama– menyebabkan prasangka buruk terhadap mereka atau dengan cara lain yang bersifat celaan, cercaan, tuduhan dan lain sebagainya.
Semula Golongan Salafi/Wahabi akan menghancurkan dan meratakan dengan tanah AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad Saw dimakamkan termasuk maqom Ibrahim akan digeser, tapi karena ancaman Internasional maka orang-orang yang dangkal pikirannya itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah Saw, ahlul bait dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur, padahal disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta sayidah Khadijah wafat. Kaum Wahabi/Salafi memandang dan mempunyai pikiran bahwa situs-situs sejarah tersebut bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Ini tidak lain karena kedangkalan mereka dalam berpikir dan menguraikan ayat-ayat Al-qur'an dan sunnah Rasulallah Saw secara tekstual dan harfiah.
Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1400 tahun itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah. Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir, katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir.Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada tahun 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala. Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Rasulallah Saw. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi.
amun anehnya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata!. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.
Selama ini kelompok Wahabi, penerus akidah Muhamad Abdul Wahhab, berdalih bahwa penghancuran tempat-tempat bersejarah itu ditempuh demi menjaga kemurnian Islam. Mereka sekadar mengantisipasi agar tempat-tempat itu tidak dijadikan sebagai ajang pengkultusan dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kemusyrikan.
Akan tetapi dalih mereka bertolak belakang dengan akidahnya, sebab nyatanya mereka berupaya mengabadikan sosok Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, salah seorang tokoh pentolan mereka. Mereka mendirikan sebuah bangunan yang besar dan mentereng untuk menyimpan peninggalan-peninggalan Syekh al-Utsaimin, untuk Al-Utsaimin. Bangunan berdesain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.” Di dalam gedung mewah ini terdapat benda-benda peninggalan Syekh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena. Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi keterangan semisal, “Pena terakhir yang dipakai Syekh al-Utsaimin".
Sungguh aneh sekali paham golongan wahabi/salafi ini, di satu sisi mereka merobohkan peninggalan rumah Baginda Nabi Saw dan menjadikan tempat yang berkah itu sebagai WC umum, bahkan mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan Baginda Nabi Saw (Alhamdulillah, sebagian benda peninggalan beliau Saw telah dipindahkan ke Turki.[museum Topkapi, Istanbul] ).Di lain sisi mereka membangun dengan megah untuk memperingati ulama mereka Syeikh Al-Utsaimin. Kita akan bertanya-tanya ‘Siapakah sebetulnya yang lebih mulia bagi golongan Wahabi/Salafi? Baginda Rasulullah Saw ataukah Syekh Muhamad Abdul Wahhab, Syeikh al-Utsaimin?
Apa yang berlaku saat ini di Bumi Haramain adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kaidah cinta. Di sana orang-orang Wahabi mengaku mencintai Baginda Nabi Saw, akan tetapi mereka sama sekali tidak menghormati beliau Saw. Mereka bahkan melecehkan beliau dan melakukan perbuatan yang sangat kurang sopan kepada sosok yang agung yakni Rasulallah Saw. Bayangkan saja, rumah yang ditempati beliau Saw selama 28 tahun, disana turunnya wahyu ilahi yang semestinya dimuliakan, mereka ratakan dengan tanah kemudian mereka bangun di atasnya toilet umum. Sungguh keterlaluan!
Fakta ini belakangan terkuak lewat video wawancara yang tersebar di Youtube. Adalah Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala, yang mengungkapkan fakta itu. Dalam video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi Saw. Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak yang berwenang. Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar yang mengantongi gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan. Ketika ditanya oleh pewawancara mengenai bangunan apa yang didirikan di atas lahan bersejarah itu, Sami Angawi terdiam dan tak mampu berkata-kata.
Si pewawancara terus mendesaknya hingga akhirnya ia mengakui bahwa bangunan yang didirikan kelompok Wahabi di atas bekas rumah Baginda Nabi Saw adalah WC umum. Sami Angawi merasakan penyesalan yang sangat mendalam lantaran penelitiannya selama bertahun-tahun berakhir sia-sia. Ia (Angawi) kemudian mengungkapkan harapannya, “Kita berharap toilet itu segera dirobohkan dan dibangun kembali gedung yang layak. Seandainya ada tempat yang lebih utama berkahnya, tentu Allah Swt tidak akan menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal Rasulallah Saw dan tempat turunnya wahyu selama 13 tahun".
Ulah jahil Wahabi itu tentu saja mengusik perasaan seluruh kaum muslimin. Situs rumah Baginda Nabi Saw adalah cagar budaya milik umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka sama sekali tidak berhak untuk mengusik tempat terhormat itu. Ulah mereka ini kian mengukuhkan diri mereka sebagai kelompok primitif yang tidak pandai menghargai nilai-nilai kebudayaan. Sebelum itu mereka telah merobohkan masjid-masjid bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah, tempat Syajarah ar-Ridhwan, Masjid Salman Alfarisi dan masjid di samping makam pamanda Nabi, sayidina Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13 Agustus 2002 lalu, mereka meluluhkan masjid cucu Nabi Saw , Imam Ali Uraidhi, dengan menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau ra. Bukti-bukti foto penghancuran rumah Nabi Saw, pemakaman Al-Baqi di Madinah, al-Ma'la di Mekkah dan lain sebagainya, bisa dicari via google dengan judul yang berkaitan dengan nama misalnya al-baqi, al-ma'la yang dihancurkan.


    


[1] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagi Inspirasi Bukan Aspirasi, Jakarta:Khas 2009, h. 413-422.
[2] Forum Kalimasada, Kearifan Syariat, Khalista & An-Najma: Surabaya, 2010. h. 40-45
[3] Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, hal 1.
[4] Fath al-Bari, Juz XII, Surabaya: Alhidayah, hal 245.
[5] Pengakuan Aswaja sebagai manhajul fikr sebenarnya belum dikenal dimasa beliau masih hidup yakni tahun 260-324 H, sampai tahun 584 H masa al-Ghazali, belum dikenal istilah Aswaja yang merujuk pada Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Al-Manshur Al-Maturidi. Baru dikemukakan oleh Azzabidi pada tahun 1205 H. Jadi penyebutan aswaja yang di nisbahkan kepada beliau jauh setelah beliau wafat. Secara eksplisit KH. Hasyim Asyari belum memetakan Aswaja dengan konsep ini baru kemudian Kh. Bisri Musthofa (Rembang) dan KH. Bisyri Samsyuri (Denanyar Jombang), Kiai Turaichan Azhuri (Kudus) yang menetapkan dalam Muktamar yang ke XXIII di Solo tahun 1962. Ahmad Azzahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-199, Yogyakarta: Lkis, 2004, h. 48-51 
[6] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagi Inspirasi Bukan Aspirasi, Jakarta:Khas 2009, h. 413
[7]  M.Qurasih Syihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Jakarta: Lentera Hati 2007, h. 61.
[8] Asy-Syahrastani, Terjemah Al-Milal Wa Al-Nihal (Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Umat Manusia), Surabaya: Bina Ilmu. h. 124
[9] M.Qurasih Syihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Jakarta: Lentera Hati 2007, h. 70-83
[10] A. Sihabuddin, “Kamus Syirik (Edisi Revisi) – Telaah Kritis atas doktrin faham Wahabi/Salafi”, Surabaya: Ummati Press, 2009.
[11] 1115-1206 H/1702-1787 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar