Sabtu, 14 Februari 2015

Review Abdul Kholid Ma’rufi STUDI ISLAM INTEGRATIF

A.  Pra Kuliah  
Saya adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo yang melanjutkan studi  S1 di Institut Agama Islam Kediri (IAIT).  Diakui memang dalam menempuh studi di pesantren dan S1, saya belum menemukan kerangka berfikir dalam mengkomparasikan antara keilmuan yang terkandung dalam kitab kuning yang menjadi latar belakang keilmuan saya dan ilmu-ilmu yang sedikit kontradiktif misalkan filsafat. Memang ketika di pondok pesantren dan S1 saya tidak bisa memaksimalkan untuk memahami filsafat, tafsir dan tasawuf. Yang lebih didalami adalah ilmu fiqh dan ilmu alat (nahwu dan shorrof). Karena memang dipondok pesantren yang lebih ditekankan adalah memahami bidang ilmu fiqh dan ilmu alat, tidak mendalami ilmu tafsir dan ilmu hadis meskipun hadis dan tafsir dipelajari.
Ditambah lagi dengan linieritas keilmuan, artinya yang lebih banyak dipelajari adalah fiqh yang bermazhab al-Syafi’i. Diluar itu memang tidak didalami untuk tidak mengatakan tidak dipelajari. Sedangkan dalam bidang tafsir yang dipelajari concern pada kitab tafsir jalalain, tidak mempelajari tafsir lain seperti al-Fakhrurozi, al-Alusi. Linieritas inilah yang saya pikir dapat membekukan paradigma berfikir. Sehingga sulit mencari kerangka berfikir yang bisa memajukan cakrwala pemikiran untuk kehidupan di luar pondok pesantren yang plural dan multikultural (budaya, agama, seni, ideologi, keilmuan, egoisitas).
11 tahun menimba ilmu yang saya sebut dalam “linieritas keilmuan”, sehingga yang saya rasakan adalah “kejemuan akademik”,  kemudian saya ingin mencari petunjuk untuk mendapat kerangka berfikir lebih universal keluar dari liniertisa keilmuan dan kejemuan akdemik itu. Dan jika tidak diluar lingkungan pondok pesantren maka saya pikir tidak akan ditemukan. Sehingga saya pelu meneruskan studi keilmuan menuju jenjang S2. Mencari orientasi baru dalam berparadigma dan mencari kerangka berfikir untuk menghadapi tantangan keilmuan yang semakin global. Apalagi dalam konteks studi Islam yang bisa dipandang dari dua sisi yaitu sisi out siders dan in siders. Nah untuk bisa memahami dari dua sisi ini maka saya harus memahami studi Islam dengan dan bisa menjawab bacaan para out siders terhadap in siders perlu ada pengetahuan mendalam.
Disamping murni karena saya butuh ilmu yang lebih luas, adalagi penyebab saya masuk S2 yaitu “gengsi” keilmuan. Bagi saya, title bisa menjadi penunjang dan pendukung dalam berdakwah. Untuk memperlebar “sayap” dalam berdakwah maka title harus saya miliki. Harapannya orang-orang akan lebih mantab mendengarkan ceramah dari seorang dai yang memiliki gelar Magister Pendidikan Islam. Meskipun dalam keilmuan, saya belum sepenuhnya menguasai tentang pendidikan agama Islam dengan konsep yang luas.
Sehingga pemikiran saya sebelum kuliah S2 khususnya dengan DR. Fajar kalau meminjam istilah Amin Abdulloh belum dikatakan sebagai integratif-interkonektif, dalam arti masih dikotomi keilmuan yang sangat tajam.


B.  Ketika Kuliah
Gayung pun bersambut, kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pun saya dapatkan. Adalah mata kuliah “Studi al-Qur’an Integratif” dengan Dr. Fajar sebagai dosen, banyak hal baru yang saya terima sebagai bahan dalam menata kerangka befikir.
Filsafat, hermeneutika al-Qur’an, tasawwuf falsafi ala Ibnu Arobi dan scientific adalah corak sekaligus warna pemikiran beliau. Empat bidang keilmuan inilah yang kemudian diracik dan dipadukan dalam metodologi mata kuliah “al-Qur’an Integratif” ala Dr. Fajar. Sehingga membuat saya tertarik untuk mempelajari hermeneutika baik dalam al-Qur’an, hadis maupun sosial yang pada masa sebelumnya (dipondok pesantren), menganggap bahwa hermenutika al-Qur’anharam” untuk dipelajari. 
“Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan: Telaah Atas Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack” adalah artikel hermeneutik pertama yang saya fahami. Dari artikel inilah saya memahami bahwa al-Qur’an memiliki 2 karakter seperti yang diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat; karakter sentrifugal dan karakter sentripetal. Dan ternyata al-Qur’an dibaca oleh dua golongan besar yaitu Islam terbagi menjadi tiga golongan; Islam awam, Ulama konfensional, Ulama kritis. Golongan kedua yaitu Dunia luar terbagi menjadi Pengamat Partisipan, Revisionis, Pecinta Polemik. Dalam hal ini Dr. Fajar juga memberikan pandangannya bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an perlu pengembangan jangan hanya terkungkung dalam satu kotak saja tanpa memandang kotak-kotak lain.
Konsep pemikiran M. Amin Abdullah[1] yang tertuang dalam “spider web” membuat saya juga mampu memahami dimana posisi saya saat sebelum mengikuti kuliah Dr. Fajar, dalam kelimuan serta pemahaman keberagamaan. Saya semakin mampu memahami bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki Allah Swt. Sementara “Bendera” yang saya anut hanya sekedar pengantar untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang al-din. Dari spider web itupun saya mengenal metodologi jarak pandang, sudut pandang dan cara pandang. Maksud “jarak pandang” itu misal “A=B=C = A=B=C” artinya menyamakan agama dan pemahaman ini adalah keliru. Pemahaman “sudut pandang” itu berbeda misal a + b + c =  A besar ini adalah konsep perbandingan agama. Sedangkan istilah cara pandang seperti A+B+C = A+B+C ini adalah cara pandang pluralisme agama.  
Sebagaimana yang terlihat dalam jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi perkembangan dalam ilmu keIslaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” ke Islaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keIslaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.
Dalam bidang Tafsir, konsep baru yang menjadi tambahan keilmuan saya adalah corak penafsiran “Antisinonimitas” yang digagas pertama kali oleh M. Syahrur. Pengenalan teori tafsir antisinonimitas oleh Dr. Fajar membuka cakrawala pemikiran baru bahwa kitab yang selama ini saya pelajari seperti tafsir jalalain, tafsir munir, tafsir ibnu katsir, hampir memiliki corak yang sama yaitu sinonimitas meskipun dalam hal lain warna diantara tiga kitab tafsir ini berbeda. Antisinonimitas ini semakin memperjelas tingkat kesusastraan al-Qur’an yang sangat tinggi. Semakin jelas pula antara satu kata dengan kata yang lain dalam al-Qur’an pasti memiliki perbedaan. Seperti kata rojul dan nisa’ beda dengan kata zdakarun dan untsa. Kata rojul dan nisaa’ lebih mengarah kepada ranah sosial sedangkan kata zdakar dan untsa mmengarah kepada unsur biologis. Sedangkan dalam konteks spiritual tergabung dalam kata auliyaa’.
Tafsir-tafsir yang ditampilkan dalam pemikiran Dr. Fajar lebih banyak mengarah kepada ranah tasawwuf dari pada yang bercorak fiqh. Adalah Ibnu Arobi yang lebih banyak diadopsi dalam pemikiran tasawwufnya. Dan jenis tasawuf yang dipakai adalah tasawuf falsafi ala Ibnu Arobi. Namun disini, Dr. Fajar belum bisa menampilkan pemikiran beliau sendiri dan saya katakan masih mengekor terhadap Ibnu Arobi. Misal dalam kitab Syajarotul Kaun, Imam Ibnu Arobi menjelaskan bahwa tafsir min nafsiwwahidah dalam ayat pertama Surat An-Nisaa’ adalah Nabi Muhammad Saw. Berbeda dengan kebanyakan ulama ahli tafsir seperti Syekh Jalaluddin Al-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Alusi, Ibnu Katsir yang menafsirkan kata min nafsiwwahidah dengan Adam as.
Tidak hanya itu, Dr. Fajar, juga mencoba memberikan alasan penafsiran yang berbeda dalam menafsiri fawaatih as-suwar seperti yaasin. Dikatakannya yasin itu adalah nama lain dari Nabi Muhammad Saw dan dua qodhiyah setelah ayat pertama menunjukkan bahwa posisi Nabi Muhammad Saw lebih tinggi dari pada al-Qur’an. Logikanya yaasin singkatan dari huruf yaa’ nida’ dan sin adalah singkatan dari kata insaan. Ayat berikutnya wal qur’anil hakiim ditafsirkan risalah dari Allah Swt (al-Qur’an) lalu ayat innaka laminal mursaliin adalah penjelas bahwa yaasin itu adalah seorang laki-laki yang merupakan utusan yaitu “Nabi Muhammad Saw”.
Dalam menafsiri Al-kitab dalam ayat kedua surat al-Baqarah juga dengan tafsiran Nabi Muhammad Saw. Kata zdalika merupakan isim isyarah pada sesuatu yang jauh, dan yang jauh dari kata zdalika adalah alif dalam ayat pertama surat al-Baqarah yaitu alif, lam, mim. Alif ini adalah singkatan dari nama Allah Swt. Kata alkitab ini dibandingkan dengan ayat syahru romadhon al-lazdi unzila fiihi al-Qur’an hudan linnas wa bayyinatimminal huda wal furqon. kata al-Qur’an yang tedapat pada ayat diatas berarti Nabi Muhammad saw, logikanya bahwa yang memberikan petunjuk kepada manusia itu adalah Nabi Muhammad Saw bukan al-Qur’an, sebab banyak manusia yang membaca al-Qur’an tidak mendapatkan apa yang disebut dengan hudaan pada ayat selanjutnya. Nabi Muhammad saw lah yang memberikan petunjuk dan yang menjelaskan petunjuk itu adalah al-Qur’an inilah yang dimaksud dengan wabayyinatim minal huda wal furqon. Sehingga disimpulkan bahwa nama-nama Nabi itu bukan nama sebenarnya tetapi hanya sekedar kiasan saja, karena Nabi dan Rosul itu dalah rahasia Allah Swt, maka yang tahu hanya Allah Swt semata. al-Qur’an itu untuk Nabi Muhammad Saw maka banyak sekali nama lain dari Nabi Muhammad Saw didalam al-Qur’an.  
Begitu pula kata kun dalam ayat kun fayakun, huruf kaf melewati huruf  lam dan mim lalu bertemu dengan nun. Penggabungan antara kaf dan nun sehingga menjadi kun itu melewati dua huruf tadi, bahwa lam itu singkatan dari kata Allah Swt dan mim itu singkatan dari kata Muhammad saw. Artinya, setiap apa yang diciptakan Allah Swt itu pasti berhubungan dengan Nabi Muhammad Saw sebagai makhuk pertama berbentuk ruh yang diciptakan Allah Swt. Sedangkan makhluk Allah Swt yang berbentuk jasad pertama kali adalah Adam as.
Dalam berfikir Dr. Fajar memberikan teori yang dibuat oleh Kuntowijoyo memberikan kerangka pemikiran dengan konsep metologi bergerak menuju ideologi kemudian menuju ke arah science selanjutnya kepada global. Seperti dalam tabel berikut ini:

   Mitologi                  Ideologi             Science                Global
Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam
Adam dan Hawa
Tidak terbukti secara ilmu kedokteran, tentang tulung rusuk laki-laki yang hilang

Kerangka berfikir ini membuat pikiran saya tidak lagi terkungkung dalam dua ranah yaitu mitologi dan ideologi saja akan tetapi semua itu perlu dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Seperti halnya peristiwa isro’ dan mi’roj ketika dibawa keranah ilmu pengetahuan ternyata misal bisa dibuktikan dengan teori pytagoras.
Cukup baik proses transfer ilmu yang dilakukan selama masa perkuliahan semester 1 bersama Dr. Fajar. Namun yang perlu dicermati mengenai sistematika perkuliahan. Mungkin anggapan saya Dr. Fajar terlalu  “dosen sentris” sehingga penalaran keilmuan oleh teman-teman mahasiswa S2 tidak bisa berkembang dengan baik. Sebab, selama masa perkuliahan, tidak ada silabus atau semacam guide dalam memahami Studi al-Qur’an Integratif,  apalagi studi ini “katanya” adalah produk baru keilmuan yang belum ada di Perguruan Tinggi selain STAIN Pekalongan sebab, yang membuat mata kuliah ini adalah Dr. Fajar. Tidak adanya tuntunan inilah akhirnya membuat perkuliahan hanya sekedar “obrolan”, meskipun memang penting untuk diperbincangkan sebagai tambahan keilmuan. Setelah saya pahami mungkin artikel-artikel yang di cari lalu dikumpulkan itulah yang kemudian dijadikan semacam silabi, namun poin pokok dari apa yang dianggap sebagai “integratif al-Qur’an” belum bisa disajikan dengan rapi.
C.  Pasca Kuliah  
Satu semester saya belajar olah otak dengan DR. Fajar. Paradigma dikotomis yang selama ini ada dalam benak saya terasa kental. Pada tahap akhir dari studi ini, agakanya saya bisa memahami bahwa, hendaknya dalam berfikir, memandang dan melihat sesuatu harus luas dan tidak sempit. Tapi tidak dalam segala hal, tentu harus ada yang menjadi pegangan khusus agar tidak menjadi rancu yaitu dalam hal Aqidah.
Dari proses perkuliahan ini, saya lihat ada dua persoalan yang saya perlu cermati sekaligus difahami, Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keIslaman yang selama ini saya pahami sebagai dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya meminjam istilah Amin Abdulloh “normativitas” ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis seperti yang saya pelajari dipondok Pesantren Salaf.
Disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini–pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Jika pendekatan teologis-normatif saja yang dipakai maka akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.  
Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan narrowmindedness.
Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada.
Pemikiran semacam inilah yang harus saya kembangkan untuk kedepan. Paradigma berfikir saya sudah berjalan kearah integratif-interkonektif, tinggal bagaimana saya mengembangkannya. Dan insyaAllah pengembangan pemikiran ini bisa saya temukan lebih luas lagi jika melanjutkan S3 semoga dan itu harapan saya.
D.  ARTIKEL ANTISINONIMITAS
Bahasa al-Qur’an bukan bahasa Arab, tetapi bahasa al-Qur’an juga bukan bahasa Ajam (sekitar/luar arab). Dialektika bahasa ini antara universalisme dan partikularisme. Umumnya, yang terdapat dalam teori bahasa arab, untuk memahami al-Qur’an tentu ada teori yang berbeda yaitu taroduf atau sinonimitas dan teori antisinonimitas. Artikel ini berupaya mengungkap tentang implikasi dari teori antisinonimitas untuk menafsirkan sebuah hukum dalam al-Qur’an, tentang poligami. Terlihat jelas bahwa dengan teori antisinonimitas inilah bisa menjawab dan mengklarifikasi masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga kontemporer, lebih khususnya masalah poligami. Teori ini jelas membedakan anatar apa yang dikatakan al-Qur’an sebagai libas (monogami) dan ungkapan siyab (poligami).
al-Qur’an adalah kitab bahasa (arab), oleh karenanya, mengkaji al-Qur’an berarti, mengkaji aspek bahasanya. Sebagai kitab bahasa, al-Qur’an bersifat multidipliner. Komunikasi yang dibangun oleh al-Qur’an dengan bahasanya yang nampak yaitu bahasa Arab, pada hakikatnya tidak bisa dikatakan komunikasi, karena syarat komunikasi menurut mastuhu ada dua prasyarat; pertama, tersedianya sistem isyarat (bahasa) yang sama-sama dimiliki oleh pelibat tutur dan kedua kesamaan hakikat ontologis pelibat tutur. Sedangkan bahasa sendiri menurut Kridalaksana misalanya, didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Karena bahasa hanya dimiliki manusia, maka komunikasi linguistik hanya terjadi pada sesama manusia. Jika manusia berkomunikasi dengan non manusia maka disebut komunikasi non linguistik istilah ini didalam al-Qur’an disebut dengan nutqun, sedangkan komunikasi linguistik didalam al-Qur’an disebut dengan lisanun. Pewahyuan al-Qur’an merupakan komunikasi linguistik antara T dan N bukan T kepada MAD maka ketika T berkomunikasi dengan MAD ini merupakan bentuk non linguistik. Maka supaya terjadi komunikasi linguistik Kalamulloh (parole) dengan MAD (langue) dibutuhkan N sebagai penerjemah dari T maka, berubahlah kalamulloh menjadi bahasa Arab. Dari sinilah kemudian tidak mungkin terjadi sinonimitas dalam al-Qur’an karena menurut syahrur jika terjadi sinonimitas dalam al-Qur’an akan confused (membingungkan) karena memberikan makna sama terhadap beberapa kata yang berbeda. Syahrur kemudian menyimpulkan bahwa semua kata dalam al-qur’an memiliki makna yang spesifik, berbeda dengan kata-kata yang lain alias antisisnonimitas. Implikasinya adalah pembcaaan al-Qur’an terhadap kata libas dan siyab. Tidak bisa dikatakan sama antara satu dengan yang lain.
Antisinonimitas ini menjadi penting untuk diteliti/dipelajari karena; pertama, menurut Syahrur, linguistik arab tidak mengandung karakter sinonim, tetapi sebaliknya, satu kata dapat memiliki lebih dari satu arti (polisemi) dalam kesemppatan lain Syahrur mengatakan bahwa kata-kata yang selama berabad-abad diangap sinonim, sebenarnya adalah polisemi. Kedua, jika al-qur’an sinonim maka kita bisa menyangkal dimana letak kemukjizatan al-Qur’an. ketiga, sinonimitas al-qur’an berarti mengurangi bobot kesusatraakan al-qur’an yang tinggi. Keempat, implikasi negatif dan membingungkan akan muncul jika al-qur’an berbentuk sinonimitas, contoh kata libas dan siyab jika diartikan sama maka memiliki efek samping yang luar biasa dalam hukum keluarga, dimana wanita dianggap pakaian dhohir saja ketika bosan atau kotor maka dibuang begitu saja.   
Persoalan yang dibahas dan dikupas tuntas adalah differensiasi antara kata siyab dan libas. Yang oleh khalayak umum bahkan dalam banyak kitab tafsir diartikan sama yaitu baju secara dzohiriyah. Karena dua kata ini termasuk ada dalam ayat-ayat tentang hukum Islam. Sehingga perlu dijelaskan secara detail arti dari keduanya.
Batasan masalah dalam artikel ini adalah penejelasan kata siyab dan libas serta implikasinya terhadap penasfiran al-Qur’an kontemporer tentang poligami. Sedangkan istilah-istilah kunci artikel ini adalah Bahasa Arab, al-Qur’an dan Ayat Ahkam.
Artikel ini meupakan bagian dari pemikiran M. Syahrur. Yang telah memberikan sumbangan ilmu-ilmu Islam, seperti apa yang dikatakannya “azaz bahasa arab adalah linguistik arab tidak mengandung karakter sinonim” ini jelas memberikan hal baru kepada umat Islam bahwa kata yang terdapat dalam al-Qur’an tentu memiliki perbedaan satu sama lain. Teori antisinonimitas ini merupakan penafsiran al-Qur’an dengan metode terbaru yang digagas oleh M. Syahrur. Agar supaya pandangan penafsiran menjadi beragam. Sebab hampir semua tafsir al-Qur’an arahnya kepada sinonimitas. Sehingga sahrur membuka pemikiran baru bahwa ada antisinonimitas dalam al-Qur’an.
Penjelasan singkat artikel ini sebagai berikut; Pendahuluan, membahas tentang definisi bahasa, tentang definisi komunikasi, syarat-syarat komunikasi, klasifikasi komunikasi, juga dikemukakan tiga cara komunikasi pewahyuan dalam al-Qur’an. Selanjutnya membahas tentang definisi sinonim, serta pandangan ulama tentang teori antisinonimitas (pendukung dan penolak) serta alasan-alasan yang dikemukakan oleh M. Syahrur dalam menjawab ulama yang tidak sependapat dengannya mengapa dalam al-Qur’an semua kata memiliki makna yang tidak sama, atau dengan bahasa yang lebih spesifik “antisinonimitas linguistik dalam al-Qur’an”  tentang . Pada sub selanjutnya ada bentuk-bentuk antisinonimitas-antisinonimitas dalam al-Qur’an yang berjumlah 90 bentuk antisinonimitas al-Qur’an. Sedangkan sub terakhir ini adalah bagian inti dari artikel ini yaitu penjelasan tentng kata libas dan siyab serta implikasi metode antisinonimitas terhadap pembacaan al-Qur’an: studi hukum keluarga “poligami” kontemporer (libas dan siyab). Yang terakhir dari artikel ini adalah konklusi.
E.  Artikel Pendekatan Integrasi-Interkoneksi Dalam Penelitian.
Sebuah penawaran secara praktis yang dituangkan dalam artikel ini, tentang sebuah metode penelitian dengan pendekatan akademis berbasis integratif-interkonektif. Seperti dalam penelitian skripsi, tesis dan disertasi. Metode yang digunakan dan dimaksud oleh penulis adalah “SAH” singkatan dari Sirkulasi, Abduktifikasi, dan Hermeneutisasi. Dengan tiga metode ini, penulis mencoba menawarkan metode triadiknya yang memiliki kaitan dengan metode trialektis, yaitu: pertama; hubungan trialektis antara kauniyah-takwiniyah (alam), nafsiyah-taqwimiyah (manusia), qouliyah-tadwiniyah (al-Qur’an) sehingga Allah Swt sebagai poros utama atau disebut Etika Tauhidik; kedua, hubungan trialektis antara “s”irkulasi (reading absolut-relatively-context non finality), “a”abduktif (reading intersubjectively-context sensitivity), dan “h”ermeunetis (reading productively-context productivity), yang berporos pada  sebuah imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan (creative imagination). Diharapakan dengan hubungan triadik/trialektis ini, dapat memunculkan contribution to knwoledge (penemuan-penemuan baru) dalam penelitian berbasis integratif-interkonektif (skripsi, tesis dan disertasi). 
Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari sebuah “kegelisahan” Amin Abdulloh, terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK, genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keIslaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan.
Paradigma integratif-interkonektif ini merupakan jalan keluar dari teori-teori sebelumnya yang mengakibatkan terjadinya sekat-sekat tanpa “ventilasi” dan pemisah antara ilmu-ilmu keislaman dan “diluar Islam”. Sehingga terjadi dikotomi ilmu yang begitu sulit untuk dipisahkan dan teroi sebelumnya dipandang tidak lagi bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Rolston misalnya menyebut dengan istilah “semipermeable” yang sangat tajam antara  science dan religion dimana keduanya seolah beridir sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai objek sendiri-sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kreteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan hingga institusi penyelenggaranya maka seakan-akan (religion tidak membutuhkan science dan science tidak membutuhkan religion, tetapi manusia membutuhkan keduanya. Maka untuk menyatukannya harus ada teori dan teori itu adalah metodologi integratif-interkonektif.
Teori yang ditawarkan oleh Amin Abdulloh ini tentu memberikan sumbangan yang begitu besar dalam studi Islam di Indonesia. Sebab, dengan paradigma integratif-interkonektif memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan Islam, dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan Islam dalam menjawab tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Sehingga, jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegur sapa” satu sama lain.
Pembatasan masalah pada artikel ini, adalah untuk mendalami dan memaparkan lebih jauh serta bagaimana cara mengaplikasikan penelitian baik berupa skripsi, thesis dan disertasi dengan menggunakan paradigma integratif-interkonektif dapat dibangun dan bagaimana relevansinya serta aplikasinya bagi penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan khususnya studi Islam di Indonesia, serta implikasinya ketika paradigma ini coba diterapkan “untuk membaca” dalam bentuk sebuah penelitian yang bernafaskan integrasi-interkoneksi.
Artikel ini diawali dengan latar belakang yang membahasa tentang kegelisahan Amin Abdulloh maka kemudian lahirlah metodologi integratif-interkonektif pada bagian ini juga dijelaskan batasan masalah pada artikel ini serta paradigma ini ada dalam tiga wilayah dan paradigma ini dipengaruhi oleh teori yang diciptakan Abid al-Jabiri dengan menggabungkan konsep bayani, irfani dan burhani. Sub berikutnya membahas tentang skripsi tesis dan disertasi apakah hanya monumental atau seremonial. Juga penjelasan tentang empat kaca mata dalam menulis dan membaca penelitian integrasi-interkoneksi, juga dijelaskan tentang tiga indikator dalam menulis, membaca, meneliti dan menilai apakah sudah memakai prinsip integratif-interkonektif. Pemikiran Kuntowijoyo tentang perencanaan sistematis dalam penelitian berbasis integratif-interkonektif juga dijelaskan dalam sub ini. Dan diakhiri dengan penjelasan big umbrella jurusan keilmuan di UIN Sunan Kalijaga. Sub berikutnya menjelaskan tentang integrasi-interkoneksi dalam penelitian secara menyeluruh baik pemahaman serta batasan-batasan kata integratif dan interkonektif, ruang penelitian, tawaran empat kaca mata baca penelitian I-kon (triple religion, philosophy, science). Dan secara singkat juga dijelaskan konsep spider web Amin Abdulloh. Berikutnya penjelasan tentang aksiologi integrasi-interkoneksi “spheres” I-kon. Juga tentang kerangka delapan point penelitian. Tema terakhir yang paling pook dalam masalah ini adalah pembahasan tentang metode SAH serta teatrikal antara sirkularisasi, abduktif dan hermeneutisasi (SAH) dan penjabaran metode SAH itu sendiri. 

F.   Artikel “Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan: Telaah Atas Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack
Problem dalam artikel ini adalah Farid Esack dengan pengalaman pribadi di negerinya sendiri dan di Pakistan, melihat kontradiksi mendalam antara idealitas kitab suci dengan praktek keberagamaan penganut-penganutnya. Mengapa atas nama Islam, sebagian penganut agama Islam mengucilkan penganut agama lain, serta sebagian penganut agama Islam tidak menghargai perempuan, dan kenapa agama Islam yang ceritanya membela kelompok miskin dan terlemahkan tidak bisa menjadi kekuatan pembebas dari ketertindasan, diskriminasi dan kmiskinan.
Kegelisahan inilah yang membuat Farid Esack kembali menafsirkan al-Qura’n dengan keluar dari paradigmanya serta konteks sejarah keNabian. Farid Esack kemudian mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan corak hermeneutika, warna yang dipakai adalah Tafsir Pembebasan. Namun sebelumnya Farid Esack membagi pembacaan al-Qur’an ke dalam dua garis; garis pembaca internal dan garis pembaca eksternal. Tafsir pembebasan ala Farid Esack terdiri dari tiga prinsip dasar; Pertama, pewahyuan al-Qur’an menggambarkan bahwa Tuhan adalah zat yang Maha transenden yang aktif dalam urusan dunia dan ummat manusia. Kedua, al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbab an-nuzul. Ketiga, perdebatan teori naskh seharusnya dilihat dalam persepektif yang progresif; adanya fakta situasional al-Qur’an. Implikasi dari prinsip ini kunci-kunci penafsiran yang diambil dari tema penting dalam al-Qur’an seperti taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid, (keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustadh’afina fi al-ardh (yang tertindas di bumi), adl wa qisth ( keadilan dan keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan praksis).
Sebagaimana para pemikir muslim kontemporer lain, Farid Esack tidak memiliki sebuah tafsir utuh al-Qur’an sebagaimana intelektul masa lalu. Kepentingan esack adalah melakukan kritik atas kecendrungan penafsir tradisional yang mengarahkan metodologinya pada tradisi literalisme yang terlalu kuat terutama di Afrika Selatan dan dunia Islam pada umumnya. Tradisi semacam inilah yang meneguhkan penindasan atas umat Islam tidak merasa dibela oleh ajaran agamanya. Atau pada sisi lain, tafsir seperti ini digunakan oleh kelomok penguasa untuk mengafirmasi kekuasaan otoritarianismenya. Kasus yang ada di Afrika tempat Dia hidup, adalah refleksi dari kondisi semacam ini.
Disisi lain Farid Esack hidup dalam wilayah minoritas muslim dalam kekuasaan mayoritas non muslim. Dalam kondisi kemiskinan, marjinalisasi politik dan ekonomi serta sistem yang diskriminatif perlu adanya tafsir yang progressif untuk kepentingan umat Islam minoritas ini. Esack hanyalah sebagian kecil intelektual yang melihat kondisi sosial ini secara jeli dan mengarahkannya pada tafsir al-Qur’an. Kenapa al-Qur’an? al-Qur’an adalah kitab suci yang dijadikan sumber primer oleh setiap umat Islam tanpa protes. Kecenderungan tanpa protes inilah yang acap kali dimanfaatkan oleh para penafsir untuk kepentingan tertentu.




[1] Sosok seorang Prof. Dr. M. Amin Abdulloh, M.A, sepertinya tidak bisa terpisahkan dari pemikirn sang Dr. Fajar. Saya kira hampir seluruh pemikiran Dr. Fajar mengacu terhadap Prof. Amin Abdulloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar