A.
Pra Kuliah
Saya adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo yang melanjutkan studi S1 di Institut Agama Islam Kediri (IAIT). Diakui memang dalam menempuh studi di pesantren
dan S1, saya belum menemukan kerangka berfikir dalam mengkomparasikan antara keilmuan
yang terkandung dalam kitab kuning yang menjadi latar belakang keilmuan saya dan
ilmu-ilmu yang sedikit kontradiktif misalkan filsafat. Memang ketika di pondok
pesantren dan S1 saya tidak bisa memaksimalkan untuk memahami filsafat, tafsir
dan tasawuf. Yang lebih didalami adalah ilmu fiqh dan ilmu alat (nahwu
dan shorrof). Karena memang dipondok pesantren yang lebih ditekankan adalah
memahami bidang ilmu fiqh dan ilmu alat, tidak mendalami ilmu tafsir
dan ilmu hadis meskipun hadis dan tafsir dipelajari.
Ditambah lagi dengan linieritas keilmuan, artinya yang lebih
banyak dipelajari adalah fiqh yang bermazhab al-Syafi’i. Diluar
itu memang tidak didalami untuk tidak mengatakan tidak dipelajari. Sedangkan dalam
bidang tafsir yang dipelajari concern pada kitab tafsir
jalalain, tidak mempelajari tafsir lain seperti al-Fakhrurozi, al-Alusi.
Linieritas inilah yang saya pikir dapat membekukan paradigma berfikir.
Sehingga sulit mencari kerangka berfikir yang bisa memajukan cakrwala pemikiran
untuk kehidupan di luar pondok pesantren yang plural dan multikultural (budaya,
agama, seni, ideologi, keilmuan, egoisitas).
11 tahun menimba ilmu yang saya sebut dalam “linieritas keilmuan”, sehingga
yang saya rasakan adalah “kejemuan akademik”,
kemudian saya ingin mencari petunjuk untuk mendapat kerangka berfikir lebih
universal keluar dari liniertisa keilmuan dan kejemuan akdemik itu. Dan jika
tidak diluar lingkungan pondok pesantren maka saya pikir tidak akan ditemukan.
Sehingga saya pelu meneruskan studi keilmuan menuju jenjang S2. Mencari
orientasi baru dalam berparadigma dan mencari kerangka berfikir untuk
menghadapi tantangan keilmuan yang semakin global. Apalagi dalam konteks studi
Islam yang bisa dipandang dari dua sisi yaitu sisi out siders dan in
siders. Nah untuk bisa memahami dari dua sisi ini maka saya harus memahami
studi Islam dengan dan bisa menjawab bacaan para out siders terhadap in siders
perlu ada pengetahuan mendalam.
Disamping murni karena saya butuh ilmu yang lebih luas, adalagi
penyebab saya masuk S2 yaitu “gengsi” keilmuan. Bagi saya, title bisa
menjadi penunjang dan pendukung dalam berdakwah. Untuk memperlebar “sayap”
dalam berdakwah maka title harus saya miliki. Harapannya orang-orang akan lebih
mantab mendengarkan ceramah dari seorang dai yang memiliki gelar
Magister Pendidikan Islam. Meskipun dalam keilmuan, saya belum sepenuhnya
menguasai tentang pendidikan agama Islam dengan konsep yang luas.
Sehingga pemikiran saya sebelum kuliah S2 khususnya dengan DR.
Fajar kalau meminjam istilah Amin Abdulloh belum dikatakan sebagai
integratif-interkonektif, dalam arti masih dikotomi keilmuan yang sangat tajam.
B.
Ketika Kuliah
Gayung pun bersambut, kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pun
saya dapatkan. Adalah mata kuliah “Studi al-Qur’an Integratif” dengan Dr.
Fajar sebagai dosen, banyak hal baru yang saya terima sebagai bahan dalam
menata kerangka befikir.
Filsafat, hermeneutika al-Qur’an, tasawwuf falsafi ala Ibnu Arobi dan scientific adalah corak sekaligus warna pemikiran
beliau. Empat bidang keilmuan inilah yang kemudian diracik dan dipadukan dalam
metodologi mata kuliah “al-Qur’an Integratif” ala Dr. Fajar. Sehingga membuat saya
tertarik untuk mempelajari hermeneutika baik dalam al-Qur’an, hadis
maupun sosial yang pada masa sebelumnya (dipondok pesantren), menganggap
bahwa hermenutika al-Qur’an “haram” untuk dipelajari.
“Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan: Telaah Atas
Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack” adalah artikel hermeneutik pertama yang
saya fahami. Dari artikel inilah saya memahami bahwa al-Qur’an memiliki 2
karakter seperti yang diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat; karakter
sentrifugal dan karakter sentripetal. Dan ternyata al-Qur’an dibaca
oleh dua golongan besar yaitu Islam terbagi menjadi tiga golongan; Islam awam,
Ulama konfensional, Ulama kritis. Golongan kedua yaitu Dunia luar terbagi
menjadi Pengamat Partisipan, Revisionis, Pecinta Polemik. Dalam hal ini Dr.
Fajar juga memberikan pandangannya bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an perlu
pengembangan jangan hanya terkungkung dalam satu kotak saja tanpa memandang
kotak-kotak lain.
Konsep pemikiran M. Amin Abdullah[1]
yang tertuang dalam “spider web” membuat saya juga mampu memahami dimana
posisi saya saat sebelum mengikuti kuliah Dr. Fajar, dalam kelimuan serta pemahaman
keberagamaan. Saya semakin mampu memahami bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki
Allah Swt. Sementara “Bendera” yang saya anut hanya sekedar pengantar
untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang al-din. Dari spider web
itupun saya mengenal metodologi jarak pandang, sudut pandang dan
cara pandang. Maksud “jarak pandang” itu misal “A=B=C =
A=B=C” artinya menyamakan agama dan pemahaman ini adalah keliru. Pemahaman “sudut
pandang” itu berbeda misal a + b + c =
A besar ini adalah konsep perbandingan agama. Sedangkan istilah cara
pandang seperti A+B+C = A+B+C ini adalah cara pandang pluralisme agama.
Sebagaimana yang terlihat dalam
jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan
terjadi perkembangan dalam ilmu keIslaman, dimana tidak lagi terfokus pada
lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4.
Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1
dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada
lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan
kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan
perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang
merupakan representasi dari “tradisi lokal” ke Islaman yang berbasis pada
“bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3
disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan
humanitas pemikiran keIslaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan
lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies
sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial
kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences)
umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.
Dalam bidang Tafsir, konsep baru yang menjadi tambahan keilmuan saya
adalah corak penafsiran “Antisinonimitas” yang digagas pertama kali oleh
M. Syahrur. Pengenalan teori tafsir antisinonimitas oleh Dr. Fajar membuka
cakrawala pemikiran baru bahwa kitab yang selama ini saya pelajari seperti tafsir
jalalain, tafsir munir, tafsir ibnu katsir, hampir memiliki corak yang sama
yaitu sinonimitas meskipun dalam hal lain warna diantara tiga kitab
tafsir ini berbeda. Antisinonimitas ini semakin memperjelas tingkat
kesusastraan al-Qur’an yang sangat tinggi. Semakin jelas pula antara satu kata dengan
kata yang lain dalam al-Qur’an pasti memiliki perbedaan. Seperti kata rojul
dan nisa’ beda dengan kata zdakarun dan untsa. Kata rojul
dan nisaa’ lebih mengarah kepada ranah sosial sedangkan kata zdakar
dan untsa mmengarah kepada unsur biologis. Sedangkan dalam konteks spiritual
tergabung dalam kata auliyaa’.
Tafsir-tafsir yang ditampilkan dalam pemikiran Dr. Fajar lebih
banyak mengarah kepada ranah tasawwuf dari pada yang bercorak fiqh.
Adalah Ibnu Arobi yang lebih banyak diadopsi dalam pemikiran
tasawwufnya. Dan jenis tasawuf yang dipakai adalah tasawuf falsafi ala Ibnu
Arobi. Namun disini, Dr. Fajar belum bisa menampilkan pemikiran beliau
sendiri dan saya katakan masih mengekor terhadap Ibnu Arobi. Misal dalam
kitab Syajarotul Kaun, Imam Ibnu Arobi menjelaskan bahwa tafsir min
nafsiwwahidah dalam ayat pertama Surat An-Nisaa’ adalah Nabi Muhammad
Saw. Berbeda dengan kebanyakan ulama ahli tafsir seperti Syekh Jalaluddin
Al-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Alusi, Ibnu Katsir yang menafsirkan kata
min nafsiwwahidah dengan Adam as.
Tidak hanya itu, Dr. Fajar, juga mencoba memberikan alasan
penafsiran yang berbeda dalam menafsiri fawaatih as-suwar seperti yaasin.
Dikatakannya yasin itu adalah nama lain dari Nabi Muhammad Saw dan
dua qodhiyah setelah ayat pertama menunjukkan bahwa posisi Nabi Muhammad
Saw lebih tinggi dari pada al-Qur’an. Logikanya yaasin singkatan dari
huruf yaa’ nida’ dan sin adalah singkatan dari kata insaan.
Ayat berikutnya wal qur’anil hakiim ditafsirkan risalah
dari Allah Swt (al-Qur’an) lalu ayat innaka laminal mursaliin adalah
penjelas bahwa yaasin itu adalah seorang laki-laki yang merupakan utusan
yaitu “Nabi Muhammad Saw”.
Dalam menafsiri Al-kitab dalam ayat kedua surat al-Baqarah
juga dengan tafsiran Nabi Muhammad Saw. Kata zdalika merupakan isim isyarah
pada sesuatu yang jauh, dan yang jauh dari kata zdalika adalah alif
dalam ayat pertama surat al-Baqarah yaitu alif, lam, mim. Alif
ini adalah singkatan dari nama Allah Swt. Kata alkitab ini dibandingkan
dengan ayat syahru romadhon al-lazdi unzila fiihi al-Qur’an hudan linnas wa
bayyinatimminal huda wal furqon. kata al-Qur’an yang tedapat pada
ayat diatas berarti Nabi Muhammad saw, logikanya bahwa yang memberikan petunjuk
kepada manusia itu adalah Nabi Muhammad Saw bukan al-Qur’an, sebab banyak
manusia yang membaca al-Qur’an tidak mendapatkan apa yang disebut dengan hudaan
pada ayat selanjutnya. Nabi Muhammad saw lah yang memberikan petunjuk dan yang
menjelaskan petunjuk itu adalah al-Qur’an inilah yang dimaksud dengan wabayyinatim
minal huda wal furqon. Sehingga disimpulkan bahwa nama-nama Nabi itu bukan
nama sebenarnya tetapi hanya sekedar kiasan saja, karena Nabi dan Rosul itu
dalah rahasia Allah Swt, maka yang tahu hanya Allah Swt semata. al-Qur’an itu
untuk Nabi Muhammad Saw maka banyak sekali nama lain dari Nabi Muhammad Saw
didalam al-Qur’an.
Begitu pula kata kun dalam ayat kun fayakun, huruf
kaf melewati huruf lam dan
mim lalu bertemu dengan nun. Penggabungan antara kaf dan nun
sehingga menjadi kun itu melewati dua huruf tadi, bahwa lam itu
singkatan dari kata Allah Swt dan mim itu singkatan dari kata Muhammad
saw. Artinya, setiap apa yang diciptakan Allah Swt itu pasti berhubungan dengan
Nabi Muhammad Saw sebagai makhuk pertama berbentuk ruh yang diciptakan Allah Swt.
Sedangkan makhluk Allah Swt yang berbentuk jasad pertama kali adalah Adam as.
Dalam berfikir Dr. Fajar memberikan teori yang dibuat oleh Kuntowijoyo
memberikan kerangka pemikiran dengan konsep metologi bergerak menuju ideologi kemudian
menuju ke arah science selanjutnya kepada global. Seperti dalam tabel berikut
ini:
Mitologi → Ideologi →
Science → Global
|
|||
Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam
|
Adam
dan Hawa
|
Tidak
terbukti secara ilmu kedokteran, tentang tulung rusuk laki-laki yang hilang
|
|
Kerangka
berfikir ini membuat pikiran saya tidak lagi terkungkung dalam dua ranah yaitu mitologi
dan ideologi saja akan tetapi semua itu perlu dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan. Seperti halnya peristiwa isro’ dan mi’roj ketika dibawa
keranah ilmu pengetahuan ternyata misal bisa dibuktikan dengan teori pytagoras.
Cukup baik
proses transfer ilmu yang dilakukan selama masa perkuliahan semester 1 bersama
Dr. Fajar. Namun yang perlu dicermati mengenai sistematika perkuliahan. Mungkin
anggapan saya Dr. Fajar terlalu “dosen
sentris” sehingga penalaran keilmuan oleh teman-teman mahasiswa S2 tidak bisa
berkembang dengan baik. Sebab, selama masa perkuliahan, tidak ada silabus atau
semacam guide dalam memahami Studi al-Qur’an Integratif, apalagi studi ini “katanya” adalah produk baru
keilmuan yang belum ada di Perguruan Tinggi selain STAIN Pekalongan sebab, yang
membuat mata kuliah ini adalah Dr. Fajar. Tidak adanya tuntunan inilah akhirnya
membuat perkuliahan hanya sekedar “obrolan”, meskipun memang penting untuk
diperbincangkan sebagai tambahan keilmuan. Setelah saya pahami mungkin artikel-artikel
yang di cari lalu dikumpulkan itulah yang kemudian dijadikan semacam silabi,
namun poin pokok dari apa yang dianggap sebagai “integratif al-Qur’an” belum
bisa disajikan dengan rapi.
C.
Pasca Kuliah
Satu semester saya belajar olah otak dengan DR. Fajar. Paradigma
dikotomis yang selama ini ada dalam benak saya terasa kental. Pada tahap akhir
dari studi ini, agakanya saya bisa memahami bahwa, hendaknya dalam berfikir,
memandang dan melihat sesuatu harus luas dan tidak sempit. Tapi tidak dalam
segala hal, tentu harus ada yang menjadi pegangan khusus agar tidak menjadi
rancu yaitu dalam hal Aqidah.
Dari proses perkuliahan ini, saya lihat ada dua persoalan yang saya
perlu cermati sekaligus difahami, Pertama
adalah persoalan pemahaman terhadap keIslaman yang selama ini saya pahami
sebagai dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya meminjam istilah Amin
Abdulloh “normativitas” ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal
teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya
membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis seperti yang saya pelajari
dipondok Pesantren Salaf.
Disisi lain untuk melihat historisitas
keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui
pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi
kelompok pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini merupakan hubungan
yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan
ini–pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris
ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua
pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang
ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang
digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan
kemanusiaan secara sempurna. Jika pendekatan teologis-normatif saja yang
dipakai maka akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir
sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris
akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik
dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.
Sedangkan yang kedua adalah
paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun
sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak
memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini
merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang
cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada
paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama,
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.
Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu
justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa
saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu akan menjadikan narrowmindedness.
Secara aksiologis, paradigma
interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang
baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan.
Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi
semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin
keilmuan ini masih tetap ada.
Pemikiran semacam inilah yang harus
saya kembangkan untuk kedepan. Paradigma berfikir saya sudah berjalan kearah
integratif-interkonektif, tinggal bagaimana saya mengembangkannya. Dan insyaAllah pengembangan pemikiran ini bisa saya temukan
lebih luas lagi jika melanjutkan S3 semoga dan itu harapan saya.
D.
ARTIKEL ANTISINONIMITAS
Bahasa
al-Qur’an bukan bahasa Arab, tetapi bahasa al-Qur’an juga bukan bahasa Ajam
(sekitar/luar arab). Dialektika bahasa ini antara universalisme dan
partikularisme. Umumnya, yang terdapat dalam teori bahasa arab, untuk memahami
al-Qur’an tentu ada teori yang berbeda yaitu taroduf atau sinonimitas
dan teori antisinonimitas. Artikel ini berupaya mengungkap tentang implikasi
dari teori antisinonimitas untuk menafsirkan sebuah hukum dalam al-Qur’an,
tentang poligami. Terlihat jelas bahwa dengan teori antisinonimitas inilah bisa
menjawab dan mengklarifikasi masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum
keluarga kontemporer, lebih khususnya masalah poligami. Teori ini jelas
membedakan anatar apa yang dikatakan al-Qur’an sebagai libas (monogami)
dan ungkapan siyab (poligami).
al-Qur’an
adalah kitab bahasa (arab), oleh karenanya, mengkaji al-Qur’an berarti,
mengkaji aspek bahasanya. Sebagai kitab bahasa, al-Qur’an bersifat
multidipliner. Komunikasi yang dibangun oleh al-Qur’an dengan bahasanya yang
nampak yaitu bahasa Arab, pada hakikatnya tidak bisa dikatakan komunikasi,
karena syarat komunikasi menurut mastuhu ada dua prasyarat; pertama,
tersedianya sistem isyarat (bahasa) yang sama-sama dimiliki oleh pelibat tutur
dan kedua kesamaan hakikat ontologis pelibat tutur. Sedangkan bahasa sendiri
menurut Kridalaksana misalanya, didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang
arbitrer dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja
sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Karena bahasa hanya dimiliki
manusia, maka komunikasi linguistik hanya terjadi pada sesama manusia. Jika
manusia berkomunikasi dengan non manusia maka disebut komunikasi non linguistik
istilah ini didalam al-Qur’an disebut dengan nutqun, sedangkan
komunikasi linguistik didalam al-Qur’an disebut dengan lisanun. Pewahyuan
al-Qur’an merupakan komunikasi linguistik antara T dan N bukan T kepada MAD
maka ketika T berkomunikasi dengan MAD ini merupakan bentuk non linguistik.
Maka supaya terjadi komunikasi linguistik Kalamulloh (parole) dengan MAD
(langue) dibutuhkan N sebagai penerjemah dari T maka, berubahlah kalamulloh
menjadi bahasa Arab. Dari sinilah kemudian tidak mungkin terjadi
sinonimitas dalam al-Qur’an karena menurut syahrur jika terjadi sinonimitas
dalam al-Qur’an akan confused (membingungkan) karena memberikan makna
sama terhadap beberapa kata yang berbeda. Syahrur kemudian menyimpulkan bahwa
semua kata dalam al-qur’an memiliki makna yang spesifik, berbeda dengan
kata-kata yang lain alias antisisnonimitas. Implikasinya adalah pembcaaan
al-Qur’an terhadap kata libas dan siyab. Tidak bisa dikatakan sama antara satu
dengan yang lain.
Antisinonimitas
ini menjadi penting untuk diteliti/dipelajari karena; pertama, menurut Syahrur,
linguistik arab tidak mengandung karakter sinonim, tetapi sebaliknya, satu kata
dapat memiliki lebih dari satu arti (polisemi) dalam kesemppatan lain Syahrur
mengatakan bahwa kata-kata yang selama berabad-abad diangap sinonim, sebenarnya
adalah polisemi. Kedua, jika al-qur’an sinonim maka kita bisa menyangkal dimana
letak kemukjizatan al-Qur’an. ketiga, sinonimitas al-qur’an berarti mengurangi
bobot kesusatraakan al-qur’an yang tinggi. Keempat, implikasi negatif dan
membingungkan akan muncul jika al-qur’an berbentuk sinonimitas, contoh kata
libas dan siyab jika diartikan sama maka memiliki efek samping yang luar biasa
dalam hukum keluarga, dimana wanita dianggap pakaian dhohir saja ketika bosan
atau kotor maka dibuang begitu saja.
Persoalan
yang dibahas dan dikupas tuntas adalah differensiasi antara kata siyab dan
libas. Yang oleh khalayak umum bahkan dalam banyak kitab tafsir diartikan sama
yaitu baju secara dzohiriyah. Karena dua kata ini termasuk ada dalam ayat-ayat
tentang hukum Islam. Sehingga perlu dijelaskan secara detail arti dari
keduanya.
Batasan
masalah dalam artikel ini adalah penejelasan kata siyab dan libas
serta implikasinya terhadap penasfiran al-Qur’an kontemporer tentang poligami.
Sedangkan istilah-istilah kunci artikel ini adalah Bahasa Arab, al-Qur’an dan Ayat
Ahkam.
Artikel
ini meupakan bagian dari pemikiran M. Syahrur. Yang telah memberikan sumbangan
ilmu-ilmu Islam, seperti apa yang dikatakannya “azaz bahasa arab adalah linguistik
arab tidak mengandung karakter sinonim” ini jelas memberikan hal baru kepada
umat Islam bahwa kata yang terdapat dalam al-Qur’an tentu memiliki perbedaan
satu sama lain. Teori antisinonimitas ini merupakan penafsiran al-Qur’an dengan
metode terbaru yang digagas oleh M. Syahrur. Agar supaya pandangan penafsiran
menjadi beragam. Sebab hampir semua tafsir al-Qur’an arahnya kepada
sinonimitas. Sehingga sahrur membuka pemikiran baru bahwa ada antisinonimitas
dalam al-Qur’an.
Penjelasan
singkat artikel ini sebagai berikut; Pendahuluan, membahas tentang definisi
bahasa, tentang definisi komunikasi, syarat-syarat komunikasi, klasifikasi
komunikasi, juga dikemukakan tiga cara komunikasi pewahyuan dalam al-Qur’an.
Selanjutnya membahas tentang definisi sinonim, serta pandangan ulama tentang
teori antisinonimitas (pendukung dan penolak) serta alasan-alasan yang
dikemukakan oleh M. Syahrur dalam menjawab ulama yang tidak sependapat
dengannya mengapa dalam al-Qur’an semua kata memiliki makna yang tidak sama,
atau dengan bahasa yang lebih spesifik “antisinonimitas linguistik dalam al-Qur’an” tentang . Pada sub selanjutnya ada
bentuk-bentuk antisinonimitas-antisinonimitas dalam al-Qur’an yang berjumlah 90
bentuk antisinonimitas al-Qur’an. Sedangkan sub terakhir ini adalah bagian inti
dari artikel ini yaitu penjelasan tentng kata libas dan siyab serta implikasi
metode antisinonimitas terhadap pembacaan al-Qur’an: studi hukum keluarga
“poligami” kontemporer (libas dan siyab). Yang terakhir dari artikel ini adalah
konklusi.
E. Artikel Pendekatan Integrasi-Interkoneksi Dalam Penelitian.
Sebuah penawaran secara praktis yang
dituangkan dalam artikel ini, tentang sebuah metode penelitian dengan
pendekatan akademis berbasis integratif-interkonektif. Seperti dalam penelitian
skripsi, tesis dan disertasi. Metode yang digunakan dan dimaksud oleh penulis
adalah “SAH” singkatan dari Sirkulasi, Abduktifikasi, dan Hermeneutisasi.
Dengan tiga metode ini, penulis mencoba menawarkan metode triadiknya yang
memiliki kaitan dengan metode trialektis, yaitu: pertama; hubungan
trialektis antara kauniyah-takwiniyah (alam), nafsiyah-taqwimiyah
(manusia), qouliyah-tadwiniyah (al-Qur’an) sehingga Allah Swt sebagai
poros utama atau disebut Etika Tauhidik; kedua, hubungan trialektis
antara “s”irkulasi (reading absolut-relatively-context non finality),
“a”abduktif (reading intersubjectively-context sensitivity), dan
“h”ermeunetis (reading productively-context productivity), yang berporos
pada sebuah imajinasi itu lebih penting
daripada ilmu pengetahuan (creative imagination). Diharapakan dengan
hubungan triadik/trialektis ini, dapat memunculkan contribution to knwoledge
(penemuan-penemuan baru) dalam penelitian berbasis integratif-interkonektif
(skripsi, tesis dan disertasi).
Gagasan keilmuan yang integratif dan
interkonektif ini muncul dari sebuah “kegelisahan” Amin Abdulloh, terkait
dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh
umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi
sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK,
genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya.
Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa
tekecuali pendidikan keIslaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat
perkembangan yang ada maka kaum muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan
hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya
persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak
hanya sekedar butuh untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan
perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan
Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan.
Paradigma integratif-interkonektif
ini merupakan jalan keluar dari teori-teori sebelumnya yang mengakibatkan
terjadinya sekat-sekat tanpa “ventilasi” dan pemisah antara ilmu-ilmu keislaman
dan “diluar Islam”. Sehingga terjadi dikotomi ilmu yang begitu sulit untuk
dipisahkan dan teroi sebelumnya dipandang tidak lagi bisa beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Rolston misalnya menyebut dengan istilah “semipermeable”
yang sangat tajam antara science
dan religion dimana keduanya seolah beridir sendiri dan tidak bisa
dipertemukan, mempunyai objek sendiri-sendiri baik dari segi objek-formal-material,
metode penelitian, kreteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan hingga
institusi penyelenggaranya maka seakan-akan (religion tidak membutuhkan science
dan science tidak membutuhkan religion, tetapi manusia membutuhkan keduanya. Maka
untuk menyatukannya harus ada teori dan teori itu adalah metodologi
integratif-interkonektif.
Teori yang ditawarkan oleh Amin Abdulloh ini tentu memberikan
sumbangan yang begitu besar dalam studi Islam di Indonesia. Sebab, dengan
paradigma integratif-interkonektif memang sangat relevan bagi perkembangan
keilmuan Islam, dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat
keilmuan Islam dalam menjawab tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang
ada. Sehingga, jika selama ini terdapat sekat-sekat
yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi
entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah
sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria
kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya.
Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi
ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha
mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegur sapa” satu sama lain.
Pembatasan masalah pada artikel ini, adalah untuk mendalami dan
memaparkan lebih jauh serta bagaimana cara mengaplikasikan penelitian baik
berupa skripsi, thesis dan disertasi dengan menggunakan paradigma
integratif-interkonektif dapat dibangun dan bagaimana relevansinya serta
aplikasinya bagi penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan khususnya
studi Islam di Indonesia, serta implikasinya ketika paradigma ini coba diterapkan
“untuk membaca” dalam bentuk sebuah penelitian yang bernafaskan
integrasi-interkoneksi.
Artikel ini diawali dengan latar belakang yang membahasa tentang
kegelisahan Amin Abdulloh maka kemudian lahirlah metodologi
integratif-interkonektif pada bagian ini juga dijelaskan batasan masalah pada
artikel ini serta paradigma ini ada dalam tiga wilayah dan paradigma ini
dipengaruhi oleh teori yang diciptakan Abid al-Jabiri dengan menggabungkan
konsep bayani, irfani dan burhani. Sub berikutnya membahas
tentang skripsi tesis dan disertasi apakah hanya monumental atau seremonial.
Juga penjelasan tentang empat kaca mata dalam menulis dan membaca penelitian
integrasi-interkoneksi, juga dijelaskan tentang tiga indikator dalam menulis,
membaca, meneliti dan menilai apakah sudah memakai prinsip
integratif-interkonektif. Pemikiran Kuntowijoyo tentang perencanaan sistematis
dalam penelitian berbasis integratif-interkonektif juga dijelaskan dalam sub
ini. Dan diakhiri dengan penjelasan big umbrella jurusan keilmuan di UIN
Sunan Kalijaga. Sub berikutnya menjelaskan tentang integrasi-interkoneksi dalam
penelitian secara menyeluruh baik pemahaman serta batasan-batasan kata
integratif dan interkonektif, ruang penelitian, tawaran empat kaca mata baca
penelitian I-kon (triple religion, philosophy, science). Dan secara
singkat juga dijelaskan konsep spider web Amin Abdulloh. Berikutnya
penjelasan tentang aksiologi integrasi-interkoneksi “spheres” I-kon.
Juga tentang kerangka delapan point penelitian. Tema terakhir yang paling pook
dalam masalah ini adalah pembahasan tentang metode SAH serta teatrikal antara sirkularisasi,
abduktif dan hermeneutisasi (SAH) dan penjabaran metode SAH itu
sendiri.
F.
Artikel
“Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan: Telaah Atas
Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack”
Problem
dalam artikel ini adalah Farid Esack dengan pengalaman pribadi di negerinya
sendiri dan di Pakistan, melihat kontradiksi mendalam antara idealitas kitab
suci dengan praktek keberagamaan penganut-penganutnya. Mengapa atas nama Islam,
sebagian penganut agama Islam mengucilkan penganut agama lain, serta sebagian
penganut agama Islam tidak menghargai perempuan, dan kenapa agama Islam yang
ceritanya membela kelompok miskin dan terlemahkan tidak bisa menjadi kekuatan
pembebas dari ketertindasan, diskriminasi dan kmiskinan.
Kegelisahan
inilah yang membuat Farid Esack kembali menafsirkan al-Qura’n dengan
keluar dari paradigmanya serta konteks sejarah keNabian. Farid Esack kemudian
mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan corak hermeneutika, warna yang
dipakai adalah Tafsir Pembebasan. Namun sebelumnya Farid Esack membagi
pembacaan al-Qur’an ke dalam dua garis; garis pembaca internal dan garis
pembaca eksternal. Tafsir pembebasan ala Farid Esack terdiri dari tiga prinsip
dasar; Pertama, pewahyuan al-Qur’an menggambarkan bahwa Tuhan adalah
zat yang Maha transenden yang aktif dalam urusan dunia dan ummat
manusia. Kedua, al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbab an-nuzul. Ketiga,
perdebatan teori naskh seharusnya dilihat dalam persepektif yang
progresif; adanya fakta situasional al-Qur’an. Implikasi dari prinsip
ini kunci-kunci penafsiran yang diambil dari tema penting dalam al-Qur’an
seperti taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid,
(keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustadh’afina fi al-ardh (yang
tertindas di bumi), adl wa qisth ( keadilan dan keseimbangan), serta jihad
(perjuangan dan praksis).
Sebagaimana
para pemikir muslim kontemporer lain, Farid Esack tidak memiliki sebuah tafsir
utuh al-Qur’an sebagaimana intelektul masa lalu. Kepentingan esack
adalah melakukan kritik atas kecendrungan penafsir tradisional yang mengarahkan
metodologinya pada tradisi literalisme yang terlalu kuat terutama di Afrika
Selatan dan dunia Islam pada umumnya. Tradisi semacam inilah yang meneguhkan
penindasan atas umat Islam tidak merasa dibela oleh ajaran agamanya. Atau pada
sisi lain, tafsir seperti ini digunakan oleh kelomok penguasa untuk
mengafirmasi kekuasaan otoritarianismenya. Kasus yang ada di Afrika tempat Dia hidup,
adalah refleksi dari kondisi semacam ini.
Disisi
lain Farid Esack hidup dalam wilayah minoritas muslim dalam kekuasaan mayoritas
non muslim. Dalam kondisi kemiskinan, marjinalisasi politik dan ekonomi serta
sistem yang diskriminatif perlu adanya tafsir yang progressif untuk kepentingan
umat Islam minoritas ini. Esack hanyalah sebagian kecil intelektual yang
melihat kondisi sosial ini secara jeli dan mengarahkannya pada tafsir al-Qur’an.
Kenapa al-Qur’an? al-Qur’an adalah kitab suci yang dijadikan
sumber primer oleh setiap umat Islam tanpa protes. Kecenderungan tanpa protes
inilah yang acap kali dimanfaatkan oleh para penafsir untuk kepentingan
tertentu.
[1] Sosok seorang
Prof. Dr. M. Amin Abdulloh, M.A, sepertinya tidak bisa terpisahkan dari
pemikirn sang Dr. Fajar. Saya kira hampir seluruh pemikiran Dr. Fajar mengacu
terhadap Prof. Amin Abdulloh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar