Bismillahirrohmanirrohim...........................
METODOLOGI STUDI ISLAM
Upaya Berfikir Holistik
Abdul Kholid Ma’rufi, M.Pd.I
Islam merupakan salah satu dari agama samawi yang tidak bisa
dipisahkan dari dua dimensi. Pertama, dimensi esoterik (ketuhanan) yang
melampaui ruang dan waktu, melampaui rasionalitas, bersifat transenden dan
mutlak. Kedua, dimensi eksoterik (kemanusiaan) lebih terstruktur ada
dalam ruang dan waktu, rasionalitas, terbatas dan relatif. Dimensi Eksoterik Islam
ini lebih dinamis, membuka ruang untuk dikaji secara kritis, mendalam dan
rasional, sehingga nilai-nilai kebenaran yang dikandungnya dapat tersingkap
dari keterbatasannya, serta dapat berfungsi maslahat bagi kehidupan manusia.[1]
Dalam konteks ruang publik, Islam tidak bisa lepas dari
historisitas yang dinamis dan kompleks, sehingga Islam tidak cukup di teropong
dengan satu pendekatan, terutama pendekatan normatif, melainkan pendekatan yang
dilakukan dengan perspektif jamak. Dari sudut waktu, Islam berproses dalam dua
bentang waktu yang tidak dapat dibedakan yakni proses tasyri’ (pada masa
nabi) dan pasca proses tasyri’ (sejak masa sahabat sampai saat ini).
Mulai dari proses tasyri’ hingga saat ini tentunya Islam telah mengalami
berbagai macam problem yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan masa tasyri’.
Oleh karenanya studi Islam tidaklah cukup dilakukan dengan analisis teks[2],
melainkan harus juga dikaitkan dengan konteks yang melatarinya, baik kontek
yang melatari pada saat teks diturunkan maupun konteks yang melatari pada saat
teks akan diterapkan dalam waktu dan ruang yang berbeda.[3]
Dominasi imperialisme barat
yang disertai dengan keterbelakangan arab dan kekalahannya dari zionis Israel
tahun 1984 dan 1967, mengakibatkan dunia nalar arab (sebagai tempat awal
munculnya tasyri’) pernah mengalami stagnasi.[4]
Hal inilah yang memunculkan intelektual arab mencurahkan pemikiran untuk
mencari jalan keluar dari stagnasi itu dan merencanakan model pengembangan yang
di inginkan di masa mendatang.[5]
Ketika Studi Islam di arab mengalami stagnasi, bangsa eropa yang
menghabiskan waktu seribu tahun dalam stagnasi dan kebodohan menemukan cara
untuk bangkit secara revolusioner yang multifaset dalam bidang sains, seni,
sastra dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial.[6] Kebangkitan
eropa disebabkan mereka kembali kepada prisnip-prinsip dasar sebagai acuan dan
titik tolak dengan cara menghidupkan kembali warisan Yunani-Romawi abad ke 12
yang kemudian menandai era bangkitnya “humanisme”, suatu revolusi pemberontakan
terhadap nilai-nilai gereja abad pertengahan. Sehinngga menurut Abid Aljabiri,
cara untuk bangkit itu tidak serta merta mengingkari masa lalu. Sebaliknya ia dijadikan sebagai sandaran untuk
melakukan kritik dan melampauinya.[7]
Setidaknya sejak abad ke 19, ketika budaya arab bertemu dengan
kebudayaan eropa modern dalam konteks hegemoni kolonial barat yang disertai
dengan penetrasi kulutral muncul beberapa intelektual muslim seperti Thayyib
Tayzini, Abdulloh Laroui, Mahdi Amil, Sayid Qutb, Hasan Hanafi, Arkoun,
Al-Afghani, Muhammad Abduh[8]
yang mengupayakan kebangkitan Studi Islam kontemporer. Dengan demikian kita
dapat mengetahui pentingnya metodologi sebagai faktor fundamnetal dalam
kebangkitan seperti yang dilakukan bangsa eropa (renaissans).
Menurut A. Mukti Ali, metodologi adalah masalah yang sangat penting
dalam sejarah pertumbuhan ilmu.[9]
Namun begitu, ditengah rasa optimisme yang tinggi dalam membangun kemajuan Islam,
tenyata studi Islam masih mengalami beberapa kendala dan kekurangan yang perlu
segera diatasi:[10]
Pertama, masih adanya
pemikiran keIslaman yang dikotomis, yakni pemikiran yang memandang Islam hanya
berurusan dengan keyakinan keagamaan, ritualitas dan ilmu ilmu keagamaan
seperti tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf. Adapun diluar itu semua, seperti
pendidikan kesehatan, politik pemerintah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
lainnya dianggap bukan wilayah kajian Islam.
Kedua, di samping ada
yang memperlihatkan wajah humanis, ramah, akomodatif, dan peduli pada nasib
umat manusia, hingga saat ini masih terdapat wajah Islam yang menakutkan dan
menimbulkan kesan diskriminatif.
Ketiga, dewasa ini
suasana kehidupan agama nampak makin semarak, jumlah masjid dan majelis taklim
semakin banyak, meingkatnya masyarakat yang menunaikan ibadah haji dan umroh,
kitab suci al-qur’an dan buku buku keIslaman semakin banyak di cetak terutama
yang berkaitan dengan tema tema spiritual. Melihat keadaan ini tentu kita
senang. Namun demikian, keadaan ini segera menimbulkan pertanyaan tentang
peran, fungsi dan dampak positif gejala keagamaan tersebut ketika dihadapkan
pada kasus korupsi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, konflik horizontal,
brutalisme, main hakim sendiri, dan lain sebagianya.
Keempat, sudah banyak
buku yang disusun oleh ulama terdahulu namun zaman semakin berkembang dan
permasalahan juga semakin komplek, tampaknya ada buku buku yang sudah tidak
memadai, sehingga perlu ada terobosan baru dalam pemikiran.
Keempat potret yang diajukan oleh Azyumardi Azra tersebut tentu
merupakan tantangan bagi kita untuk meningkatkan kompetensi dalam menumbuh
kembangkan studi Islam untuk mengembalikan Islam pada masa kejayaannya.
Setidaknya ada 10 kompetensi yang harus kita miliki dalam tuntutan dunia
global. Pertama, kompetensi lingkungan, yakni upaya memahami lingkungan
internasional atau minimal kondisi negara dimana kita tinggal. Kedua,
kompetensi analitik, yakni kemampuan menganalisis peluang peluang untuk
dikembangkan demi kemajuan diri dan umat. Ketiga, kompetensi strategis, yakni
kemampuan menyusun mengembangkan metodologi didasarkan analisa kedepan dan
belakang. Keempat, kompetensi fungsional, yakni kemampuan merancang metode
dalam mengantisipasi setiap peluang dan perubahan yang meungkin terjadi. Kelima,
kompetensi manajerial, yakni kemampuan untuk mengelola kegiatan untuk
peningkatan diri dan umat. Keenam, kompetensi profesi, yakni terampil secara
profesional. Ketujuh, kompetensi sosial, yakni kemampuan beradaptasi dengan
berbagai macam keadaan. Kedelapan, kompetensi intelektual, yakni kemampuan
mengembangkan intelektual dan daya nalar, yang sangat dibutuhkan agar mampu
membangun sebuah metodologi demi tegaknya peradaban. Kesembilan, kompetensi
individu, yakni kemampuan untuk mengarahkan dan menggunakan keunggulan yang
dimiliki. Kesepuluh, kompetensi akhlak, kemampuan bersikap sesuai dengan ajaran
Islam.[11]
Dengan mempelajari metodologi studi Islam kita akan mampu melihat Islam
secara holistik dan memiliki rasa optimisme tinggi untuk mengembalikan kejayaan
Islam. Bukan tidak mungkin Islam bangkit dari bangsa ini sebab, sampai saat ini
muslim di Indonesia adalah potret muslim yang sampai saat ini masih mampu
menerima perbedaan.
Alhamdulillah.........................
[1] H. Abu Yazid, Islam
Akomodatif Rekonstruksi Islam Sebagai Agama Universal, Yogyakarta: Lkis,
2004. h. 7
[2] Salah satu
definisi Teks yang paling dikenal luas berasal dari De Beaugrande &
Dressler yaitu sebagai sebuah “persitiwa komunikatif” sehingga tanda lalu
lintas, artikel di surat kabar, argumen semua merupakan teks, lihat Stefan
Titscher dkk dalam “Metode Analisis Tesk Dan Wacana”, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009. h. 32.
[3] Prof. Dr. H.
Syafiq A. Mughni, MA, dalam Pengantar Studi Islam Perspektif
Insider/Outsider, Arfan Muammar dkk, Yogyakarta: IRCIsod, 2012h. 5.
[4] Lebih lengkap
silahkan baca H. Fatah syukur, Sejarah Pendidikan Islam, Semarang:
Pustaka Riski Putra, 2012. h. 80
[5]
Muhammad Abid Aljabiri, Formasi Nalar Arab, Yogyakarta: IRCIsod, 2012 h.
6
[6]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012. h.
146.
[7] Muhammad Abid
Aljabiri, Formasi Nalar Arab, h. 8
[8] Lebih lanjut
lihat, A. Lutfi Syaukani, “ Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”
dalam jurnal Para Madina, No. 2 tahun 1998.
[10] Azyumardi Azra
dalam Pengantar Studi Islam Komprehensif Abuddin Nata, Jakarta: Kencana, 2011.h.
Vi.
[11] H. Fatah
syukur, Sejarah Pendidikan Islam, h. 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar