Sabtu, 14 Februari 2015

METODOLOGI STUDI ISLAM

Bismillahirrohmanirrohim...........................

METODOLOGI STUDI ISLAM
Upaya Berfikir Holistik
Abdul Kholid Ma’rufi, M.Pd.I

Islam merupakan salah satu dari agama samawi yang tidak bisa dipisahkan dari dua dimensi. Pertama, dimensi esoterik (ketuhanan) yang melampaui ruang dan waktu, melampaui rasionalitas, bersifat transenden dan mutlak. Kedua, dimensi eksoterik (kemanusiaan) lebih terstruktur ada dalam ruang dan waktu, rasionalitas, terbatas dan relatif. Dimensi Eksoterik Islam ini lebih dinamis, membuka ruang untuk dikaji secara kritis, mendalam dan rasional, sehingga nilai-nilai kebenaran yang dikandungnya dapat tersingkap dari keterbatasannya, serta dapat berfungsi maslahat bagi kehidupan manusia.[1]
Dalam konteks ruang publik, Islam tidak bisa lepas dari historisitas yang dinamis dan kompleks, sehingga Islam tidak cukup di teropong dengan satu pendekatan, terutama pendekatan normatif, melainkan pendekatan yang dilakukan dengan perspektif jamak. Dari sudut waktu, Islam berproses dalam dua bentang waktu yang tidak dapat dibedakan yakni proses tasyri’ (pada masa nabi) dan pasca proses tasyri’ (sejak masa sahabat sampai saat ini). Mulai dari proses tasyri’ hingga saat ini tentunya Islam telah mengalami berbagai macam problem yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan masa tasyri’. Oleh karenanya studi Islam tidaklah cukup dilakukan dengan analisis teks[2], melainkan harus juga dikaitkan dengan konteks yang melatarinya, baik kontek yang melatari pada saat teks diturunkan maupun konteks yang melatari pada saat teks akan diterapkan dalam waktu dan ruang yang berbeda.[3]
 Dominasi imperialisme barat yang disertai dengan keterbelakangan arab dan kekalahannya dari zionis Israel tahun 1984 dan 1967, mengakibatkan dunia nalar arab (sebagai tempat awal munculnya tasyri’) pernah mengalami stagnasi.[4] Hal inilah yang memunculkan intelektual arab mencurahkan pemikiran untuk mencari jalan keluar dari stagnasi itu dan merencanakan model pengembangan yang di inginkan di masa mendatang.[5]
Ketika Studi Islam di arab mengalami stagnasi, bangsa eropa yang menghabiskan waktu seribu tahun dalam stagnasi dan kebodohan menemukan cara untuk bangkit secara revolusioner yang multifaset dalam bidang sains, seni, sastra dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial.[6] Kebangkitan eropa disebabkan mereka kembali kepada prisnip-prinsip dasar sebagai acuan dan titik tolak dengan cara menghidupkan kembali warisan Yunani-Romawi abad ke 12 yang kemudian menandai era bangkitnya “humanisme”, suatu revolusi pemberontakan terhadap nilai-nilai gereja abad pertengahan. Sehinngga menurut Abid Aljabiri, cara untuk bangkit itu tidak serta merta mengingkari masa lalu.  Sebaliknya ia dijadikan sebagai sandaran untuk melakukan kritik dan melampauinya.[7]    
Setidaknya sejak abad ke 19, ketika budaya arab bertemu dengan kebudayaan eropa modern dalam konteks hegemoni kolonial barat yang disertai dengan penetrasi kulutral muncul beberapa intelektual muslim seperti Thayyib Tayzini, Abdulloh Laroui, Mahdi Amil, Sayid Qutb, Hasan Hanafi, Arkoun, Al-Afghani, Muhammad Abduh[8] yang mengupayakan kebangkitan Studi Islam kontemporer. Dengan demikian kita dapat mengetahui pentingnya metodologi sebagai faktor fundamnetal dalam kebangkitan seperti yang dilakukan bangsa eropa (renaissans).
Menurut A. Mukti Ali, metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.[9] Namun begitu, ditengah rasa optimisme yang tinggi dalam membangun kemajuan Islam, tenyata studi Islam masih mengalami beberapa kendala dan kekurangan yang perlu segera diatasi:[10]
Pertama, masih adanya pemikiran keIslaman yang dikotomis, yakni pemikiran yang memandang Islam hanya berurusan dengan keyakinan keagamaan, ritualitas dan ilmu ilmu keagamaan seperti tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf. Adapun diluar itu semua, seperti pendidikan kesehatan, politik pemerintah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta lainnya dianggap bukan wilayah kajian Islam.
Kedua, di samping ada yang memperlihatkan wajah humanis, ramah, akomodatif, dan peduli pada nasib umat manusia, hingga saat ini masih terdapat wajah Islam yang menakutkan dan menimbulkan kesan diskriminatif.
Ketiga, dewasa ini suasana kehidupan agama nampak makin semarak, jumlah masjid dan majelis taklim semakin banyak, meingkatnya masyarakat yang menunaikan ibadah haji dan umroh, kitab suci al-qur’an dan buku buku keIslaman semakin banyak di cetak terutama yang berkaitan dengan tema tema spiritual. Melihat keadaan ini tentu kita senang. Namun demikian, keadaan ini segera menimbulkan pertanyaan tentang peran, fungsi dan dampak positif gejala keagamaan tersebut ketika dihadapkan pada kasus korupsi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, konflik horizontal, brutalisme, main hakim sendiri, dan lain sebagianya.
Keempat, sudah banyak buku yang disusun oleh ulama terdahulu namun zaman semakin berkembang dan permasalahan juga semakin komplek, tampaknya ada buku buku yang sudah tidak memadai, sehingga perlu ada terobosan baru dalam pemikiran. 
Keempat potret yang diajukan oleh Azyumardi Azra tersebut tentu merupakan tantangan bagi kita untuk meningkatkan kompetensi dalam menumbuh kembangkan studi Islam untuk mengembalikan Islam pada masa kejayaannya. Setidaknya ada 10 kompetensi yang harus kita miliki dalam tuntutan dunia global. Pertama, kompetensi lingkungan, yakni upaya memahami lingkungan internasional atau minimal kondisi negara dimana kita tinggal. Kedua, kompetensi analitik, yakni kemampuan menganalisis peluang peluang untuk dikembangkan demi kemajuan diri dan umat. Ketiga, kompetensi strategis, yakni kemampuan menyusun mengembangkan metodologi didasarkan analisa kedepan dan belakang. Keempat, kompetensi fungsional, yakni kemampuan merancang metode dalam mengantisipasi setiap peluang dan perubahan yang meungkin terjadi. Kelima, kompetensi manajerial, yakni kemampuan untuk mengelola kegiatan untuk peningkatan diri dan umat. Keenam, kompetensi profesi, yakni terampil secara profesional. Ketujuh, kompetensi sosial, yakni kemampuan beradaptasi dengan berbagai macam keadaan. Kedelapan, kompetensi intelektual, yakni kemampuan mengembangkan intelektual dan daya nalar, yang sangat dibutuhkan agar mampu membangun sebuah metodologi demi tegaknya peradaban. Kesembilan, kompetensi individu, yakni kemampuan untuk mengarahkan dan menggunakan keunggulan yang dimiliki. Kesepuluh, kompetensi akhlak, kemampuan bersikap sesuai dengan ajaran Islam.[11] 
Dengan mempelajari metodologi studi Islam kita akan mampu melihat Islam secara holistik dan memiliki rasa optimisme tinggi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Bukan tidak mungkin Islam bangkit dari bangsa ini sebab, sampai saat ini muslim di Indonesia adalah potret muslim yang sampai saat ini masih mampu menerima perbedaan.

Alhamdulillah.........................





[1] H. Abu Yazid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Islam Sebagai Agama Universal, Yogyakarta: Lkis, 2004. h. 7
[2] Salah satu definisi Teks yang paling dikenal luas berasal dari De Beaugrande & Dressler yaitu sebagai sebuah “persitiwa komunikatif” sehingga tanda lalu lintas, artikel di surat kabar, argumen semua merupakan teks, lihat Stefan Titscher dkk dalam “Metode Analisis Tesk Dan Wacana”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. h. 32.
[3] Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA, dalam Pengantar Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Arfan Muammar dkk, Yogyakarta: IRCIsod, 2012h. 5.
[4] Lebih lengkap silahkan baca H. Fatah syukur, Sejarah Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Riski Putra, 2012. h. 80
[5] Muhammad Abid Aljabiri, Formasi Nalar Arab, Yogyakarta: IRCIsod, 2012 h. 6
[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012. h. 146.
[7] Muhammad Abid Aljabiri, Formasi Nalar Arab, h. 8
[8] Lebih lanjut lihat, A. Lutfi Syaukani, “ Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” dalam jurnal Para Madina, No. 2 tahun 1998.
[9] A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagmaan A. Mukti Ali, Yogyakarta: SUKA Press, 2013. h. 89.
[10] Azyumardi Azra dalam Pengantar Studi Islam Komprehensif Abuddin Nata, Jakarta: Kencana, 2011.h. Vi.
[11] H. Fatah syukur, Sejarah Pendidikan Islam, h. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar