DISTRUST
A.
LATAR BELAKANG
kedudukan
shalat dalam Islam seperti telah kita ketahui bersama merupakan rukun Islam
yang kedua setelah Syahadat. Shalat menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam
kitab Kasyifatussaja merupakan amaliyah badan yang paling utama dari
pada rukun Islam yang lain. Sehingga pantas saja jika shalat merupakan salah
satu faktor utama yang dapat merubah jiwa kita untuk tidak melakukan atau
menghindar dari perbuatan fakhsya’ dan munkar.
Shalat yang
difardhukan ke pada umat Islam berjumlah 5 waktu dan seminggu sekali pada hari jum’at umat Islam melakukan satu
shalat fardhu yaitu shalat jum’at. Sesuai firman allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.”
(QS. Al Jum’ah: 9)
Menurut kebanyakan
pakar tafsir, yang dimaksud ‘dzikrullah’ atau mengingat Allah di sini adalah shalat Jum’at. Sa’id bin Al
Musayyib mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mendengar nasehat (khutbah) pada
hari Jum’at. (Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 8: 265)
Dikuatkan lagi dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ
أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat)
Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi
empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.”
(HR. Abu Daud no. 1067)
Begitu pula disebutkan dalam sabda lainnya,
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ
مُحْتَلِمٍ
“Pergi
(shalat) Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah.”
(HR. An Nasai no. 1371).
Bahkan
bagi orang yang meninggalkan Shalat Jum’at akan ditimpakan matinya hati, dengan
dasar hadis berikut ini:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ
وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ
لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Hendaklah
orang yang suka meninggalkan shalat jumat menghentikan perbuatannya. Atau jika
tidak Allah akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan
tergolong ke dalam orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim no. 865).
Dalil-dalil
diatas memberikan ketentuan bahwa sebagai umat Islam wajib melaksanakan Shalat
Jum’at. Maka tak heran ketika hari Jum’at umat Islam berbondong-bondong menuju
masjid dengan busana lengkap termasuk atribut seperti surban dan tak lupa
sandal jepit untuk melaksanakan shalat jum’at berjama’ah. Apalagi di saat azan
dikumandangakan terlihat gelombang jama’ah lebih banyak dari pada sebelum azan
dikumandangkan.
Seiring
dengan kegiatan shalat jum’at akhirnya berbagai macam persoalan muncul dalam
aktifitas jum’atan. Fenomena sandal jepit misalnya, dan sandal jepit inilah
yang paling populer dipakai oleh umat Islam ketika pergi melaksanakan jum’atan.
Terkait dengan sandal jepit kadang saya tak habis pikir. Kenapa sandal jepit
bisa hilang ketika jum’atan? Mungkin anda akan tertawa membaca tulisan ini.
Fenomena hilangnya samdal jepit Ini adalah sebuah kenyataan yang ada di
tengah-tengah kita, yang notabenenya adalah sama-sama beragama Islam, pergi ke
masjid dengan tujuan yang sama yaitu untuk melakukakn kewajiban sebagai seroang
hamba. Tetapi anehnya ketika kita berangkat jumatan tiba-tiba terlintas dalam
benak pikiran kita, “tunggu”, sandal yang dipakai jangan sandal yang bagus tapi
sandal jepit. Berangkat ibadah disertai dengan perasaan buruk kepada seseorang
“ada maling sandal di masjid”. Lalu bagaimana arti shalat yang kita lakukan?
Lebih
mengejutkan lagi ketika saya bertemu dengan seorang jama’ah yang memiliki
sandal baru dengan harga cukup tinggi. Dia melakukan shalat jumat dipinggir
masjid dan posisi sandal jepit tepat diletakkan ddepan sajadah yang dia bawa,
setelah ditanya kenapa sandal anda diletakkan tepat didepan sajadah? Dia
menjawab “Supaya tidak hilang”. Jawaban ini tentu membuat kesan Ironis dan
membuat saya tertawa.
Dari
fenomena semacam ini membuat saya befikir apa yang sebebnarnya terjadi dalam
diri kita (Islam). Apakah sudah terjadi degradasi karakter dalam masyarakat Islam.
Sebab fenomena sandal ini sedikit memberikan petunjuk bahwa ada rasa su’udzon
dalam diri umat Islam yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at. Ada semacam
rasa ketidak percayaan yang muncul dalam diri para jama’ah shalat jum’at.
A.
RUMUSAN MASALAH
Dari deskripsi masalah diatas maka ada beberapa masalah yang perlu
diangkat dalam proposal tesis ini:
1.
Menelusuri
fenomena hilangnya sandal jepit ketika shalat jum’at.
2.
Memahami
akibat dari fenomena hilangnya sandal jepit.
B.
PEMBATASAN MASALAH
Dua rumusan masalah
yang saya utarakan di atas, telah memberikan sebuah batasan. Bahwa, yang akan
diangkat dalam proposal ini adalah tentang fenomena hilangnya sandal jepit dan
akibat yang ditimbulkannya secara psikologis. Sebab, sebenarnya sandal jepit adalah
barang yang sangat sederhana harganya murah, bisa dijangkau oleh setiap lapisan
masyarakat dan siapapun pasti punya yang namanya sandala jepit. Jika perkara
remeh seperti sandal jepit saja bisa hilang dilingkungan masjid gara ditinggal untuk
melakukan shalat jama’ah jum’at maka bukan tidak mungkin perkara lain yang
lebih besar dan lebih berarti dari pada sandal jepit juga akan ikut hilang.
Hilangnya perkara remeh dilingkungan masjid dan bisa dipastikan pelakunya juga
adalah salah satu diantara jama’ah shalat jumat dalam arti orang yang beragama Islam
tentu menjadikan koreksi bagi kita semua.
C.
TUJUAN PENELITIAN
Banyaknya
permasalahan yang sedang melanda umat Islam membuat kita lupa terhadap perkara
remeh yang sering dirasakan yaitu hilangnya sandal jepit. Menurut penulis, kita
harus bisa mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada ini dimulai dari
titik yang paling sederhana. Titik itu adalah sandal jepit. Diharapakan dari
penelitian ini ditemukan formula yang bisa mengobati hati umat Islam dan mengembalikan
karakter umat Islam.
Sehubungan
dengan fenomena ini maka, poin pertama yang saya angkat adalah menelusuri dan
mencari jawaban atas hilangnya sandal jepit ketika melakukan shalat jum’at. Poin
kedua Memahami akibat dari fenomena hilangnya sandal jepit. Hal ini bertujuan
untuk memahami unsur psikologis yang tentu berdampak dalam masyarakat dari
hilangnya sandal jepi di saat shalat jum’at berjam’ah.
Dua rumusan masalah
ini tentu akan menuntun saya untuk mencari dan mendapatkan formula khusus
(obat) untuk kemudian dapat mengobati rasa ketidak percayaan atau krisis
kepercayaan yang menimpa mayarakat kita. Oleh karenanya dua masalah diatas
sengaja saya angkat untuk mengetahui lebih dalam atas fenomena yang terjadi
pada umat Islam. Menelusuri dan memahami akibat dari fenomena sandal jepit
dapat menjadi salah satu cara mengatasi krisis kepercayaan yang terjadi di
negara kita khususnya umat Islam.
D.
MANFAAT PENELITIAN
Pada dasaranya agama
diluar Islam seringkali berusaha mencoba mencari kelemahan Islam untuk kemudian
mereka jadikan sebagai bahan guna menghancurkan Islam. Satuersatu
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam di cari letak kesalahan dan
kelemahannya. Mulai dari kitab suci al-Qur’an yang mereka anggap adalah buatan Muhammad
saw, bahkan mereka berani mengeluarkan statemen Muhammad saw adalah seorang
yang epilepsi. Puasa ramadhan, haji dan ketentuan Islam juga tidak luput dari
kritik tajam.
Saya tidak tahu
apakah mereka juga mengamati tentang sandal yang dipakai jum’atan ternyata
sering hilang. Sementara ini persepsi saya mereka belum tahu kalo ternyata
sandal yang dipakai jam’ah ketika shalat jumat sering hilang.
E.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Definisi Trust
Trust menurut Johnson & Johnson (1997) merupakan aspek dalam suatu
hubungan dan secara terus menerus berubah. Dan Johnson (2006), trust merupakan
dasar dalam membangun dan mempertahankan hubungan intrapersonal. Trust terhadap
pasangan akan meningkat apabila pasangan dapat memenuhi pengharapan individu
dan bersungguh-sungguh peduli terhadap pasangan ketika situasi memungkinkan
individu untuk tidak memperdulikan mereka (Rempel dalam Levinsin, 1995).
Perkembangan trust juga tergantung pada kesediaan individu untuk
menunjukkan kasih sayang dengan mengambil resiko dan bertanggung jawab terhadap
kebutuhan pasangan. Apabila pasangan menjalani kesuksesan dalam hal pemecahan
konflik, bukan hanya trust yang akan meningkat tapi juga akan menambah
bukti terhadap komitmen pasangan dalam hubungan dan juga kepercayaan yang lebih
besar bahwa hubungan akan berjalan (Rempel dalam Levinsin, 1995). Henslin
(dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan
individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi trust meliputi saling
menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001).
Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebiih
bahagia, dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang
memiliki trust rendah (Marriages, 2001). Hanks (2002) menyatakan bahwa trust
merupakan elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan
bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi terciptanya suatu
hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan dan
kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang.
2. Faktor terbentuknya Trust
Membangun trust pada
orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita
dan kemampuan orang lain untuk trust dan dalam mengambil resiko. Faktor
yang mempengaruhi trust individu dalam mengembangkan harapannya mengenai
bagaimana seseorang dapat trust kepada orang lain, bergantung pada
faktor-faktor di bawah ini (Lewicki, dalam Deutsch & Coleman, 2006):
a. Predisposisi kepribadian Deutsch (dalam Deutsch & Coleman,
2006) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki predisposisi yang berbeda
untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu
terhadap trust, semakin besar pula
harapan untuk dapat mempercayai orang lain.
b. Reputasi dan stereotype Meskipun individu tidak memiliki
pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui
apa yang diperlajari dari teman ataupun dari apa yang telah didengar. Reputasi
orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk
melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada
pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.
c. Pengalaman aktual Pada kebanyakan orang, individu membangun faset
dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi.
Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian
kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust
maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk
menstabilkan dan secara mudah mendefenisikan sebuah hubungan.ketika polanya
sudah stabil, individu cenderung untuk mengeneralisasikan sebuah hubungan dan
menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya trust atau distrust.
d. Orientasi psikologis
Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menyatakan bahwa
individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi
psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan
sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan
mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Membangun trust pada
orang orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku
kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan mengambil resiko (Myers,
1992).
3. Dinamika Trust
Hubungan interpersonal bukan
hanya berisi sekumpulan kebiasaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur,
perilaku yang stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen (Solomon,
Robert.; Flores, Fernando, 2001). Dan dasar untuk membangun suatu hubungan
interpersonal yang baik diperlukan rasa saling percaya (trust) antara
satu dengan lainnya. Adapun beberapa tahapan dalam dinamika trust, yaitu:
a.
Membangun
trust
Menurut Falcone &
Castelfranci (2004), trust merupakan suatu fenomena yang dinamis yang
terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan
hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan
konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan,
ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih
dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Hal tersebut juga
diperkuat oleh Hoogendoorn, Jaffry & Treur (2009) yang mengatakan bahwa trust
tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan
dengan proses mental dimana terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di
dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa trust tidak hanya tergantung pada
pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga
melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman
tersebut . Untuk dapat trust, seseorang akan mengharapkan adanya sense
of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara
yang dapat dipercaya. Untuk dapat trust, seseorang akan berharap bahwa
orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk
mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari trust adalah
keterbukaan. Hal tersebut juga diperkuat oleh Gambetta (dalam, Falcone &
Castelfranci, 2004) yang mengatakan bahwa trust merupakan suatu
kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang mengharapkan individu
lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu, segala kemungkinan yang terjadi
tergantung pada bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai
tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita
harapkan. Membangun trust diawali dengan menghargai dan menerima
kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang
terus menerus. Tanpa adanya perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust
pun tidak berarti apapun. Membangun trust berarti memikirkan suatu
kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah demi langkah,
komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap sebagai sebuah bentuk resiko dan
penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust
selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat
diri kita sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah
kemungkinan dan kesempatan, bukan sebagai halangan (Solomon, dkk, 2001). Trust
merupakan sesuatu hal yang penting bagi sebuah hubungan karena di dalamnya
terdapat kesempatan untuk melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan,
otonomi, self-respect, dan nilai moral lainnya (Blackburn, 1998). Hal
itu sejalan dengan pendapat Johnson & Johnson, 1997 yang menyatakan bahwa trust
memiliki lima aspek penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan
intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) yaitu ketika pasangan dapat
saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi isu-isu yang
terjadi, sharing (berbagi) dimana pasangan menawarkan bantuan emosional
dan material serta sumber daya kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu
mereka menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) yaitu ketika
adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan, support (dukungan)
yaitu komunikasi dengan orang lain yang diketahui kemampuannya dan percaya
bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang
percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan kapabilitas yang dibutuhkan
dalam menjalankan hubungan intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative
intention yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan
bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan, dan
dalam hal ini pasangan percaya bahwa pasangannya dapat bekerja sama dalam
mencapai pemenuhan tujuannya. Jadi ketika kita dan pasangan sudah memenuhi
kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah memiliki mutual trust satu
dengan lainnya.
b.
Terbentuknya
trust
Trust terjadi dikarenakan adanya
keyakinan bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk melalui
sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama pada diri seseorang
(Johnson & Johnson, 1997). Artinya bahwa trust merupakan suatu
situasi kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa orang
lain akan memberikan keuntungan bagi kita. Supaya suatu hubungan dapat berjalan
dengan baik dan efektif, individu harus membangun perasaan saling percaya (mutual
trust). Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang
memberikan kepercayaan dan orang yangn dipercayakan tersebut. Interpersonal
trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena
adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak
akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan (Johnson &
Johnson, 1997). Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing)
dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan
reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif
berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi
terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan
mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Johnson &
Johnson, 1997).
c.
Fase
Distrust
Trust merupakan sesuatu yang
rapuh. Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang
terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan mengalami perubahan (Falcone
& Castelfranci, 2004). Hal tersebut didukung oleh pendapat Johnson &
Johnson 1997 yang menyatakan bahwa Trust bukan suatu jaminan untuk tidak
dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust.
Di dalam interaksi nyata, kita tidak akan pernah mendapatkan situasi
interaksi yang benar-benar sama dalam suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan
tertentu bisa saja mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai.
Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu pengalaman tertentu, belum tentu
suatu pengalaman yang menyenangkan akan meningkatkan trust dan
sebaliknya. tetapi juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust tersebut,
misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi trustee (bagaimana
pengalaman dan opini orang lain mempengaruhi kepercayaan trustier kepada
trustee), perubahan sikap dan perilaku dari orang yang kita percayai, keadaan
emosional trustier, dan dengan adanya modifikasi dari lingkungan yang
menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu (Falcone & Castelfranci,
2004). Trust berubah juga karena adanya suatu faktor sebab akibat (causal
attribution), kepercayaan seseorang pada orang lain akan bergantung pada
bagaimana orang lain tersebut berperilaku dan sebaliknya.Solomon, dkk (2001)
menjelaskan bahwa, ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang
ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena
adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Hal tersebut terjadi karena
adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen
tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko
seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust merupakan
sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan resiko. Ada beberapa
katagori dari kekecewaan tersebut, yang pertama adalah kekecewaan karena
sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa
sesuatu tdk berjalan sebagai mana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan
seseorang. Disini trust merupakan dirinya sendiri dan trust di dalam
perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu yang krusial. Dan hal
yang paling esensial dari bagian ini adalah ketika orang tersebut tetap
melanjutkan untuk percaya dengan orang lain dan dapat berpikir bahwa ini
merupakan sebuah kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari. Katagori
kekecewaan yang kedua adalah karena adanya kesalahan. Terkadang hal ini
disebabkan oleh sesuatu yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dan karena
kesalahan dari seseorang. Setelah berada di dalam periode distrust,
beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan,
tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali
kepada pasangannya. Reestablishing trust adalah membangun kembali
struktur-struktir baru, memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari
dan membangun kembali hubungannya tersebut.
F.
METODE PENELITIAN
1.
Pendekatan Penelitian
Di dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah
satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan
realitas sosial secara objektif, artinya metode ini digunakan atas tiga
pertimbangan:
a.
Untuk
mempermudah pemahaman realitas ganda.
b.
Menyajikan
secara hakiki antara peneliti dan realitas.
c.
Metode
ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi.
Penelitian ini
menggunakan paradigma naturalistik yaitu pelaksanaan penelitian memang terjadi
secara alamiah, apa adanya, dalam situasi yang tidak dimanipulasi keadaan dan
kondisinya menekankan pada deskriptif secara alami.[1]
Landasan teori yang digunakan adalah fenomenologis. Teori ini lebih menekankan
kepada bentuk dasariah (keaslian) bukan kesemuan dan kepalsuan.[2]
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu jenis
penelitian yang lebih menekankan kedalaman dan keutuhan objek yang diteliti
walaupun dengan wilayah yang terbatas. Secara umum, Robert K. Yin – dalam Case
Study Research Design And Methods – mengemukakan bahwa studi kasus sangat
cocok untuk digunakan dalam penelitian dengan menggunakan pertanyaan “how” (bagaimana)
dan “why” (mengapa).[3]
Penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak
menggunakan angka atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan
pada karakter alamiah sumber data.
Metode
kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda
lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola
nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara
empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan
konsepsi yang realistis. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja
berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik
lainnya.[4]
2.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu data
kepustakaan dan data lapangan. Teknik pengumpulan data kepustakaan dilakukan
dengan menelaah berbagai bahan pustaka yang terkait dengan fokus penelitian.
Telaah pustaka ini disamping dimaksudkan untuk memposisikan penelitian ini di
antara berbagai penelitian terdahulu, juga digunakan utnuk memberikan kajian
teoritis tentang konsep kata-kata kunci yang tertera dalam judul, trust,
distrust dan shalat jum’at.
Adapun teknik
penelitian lapangan adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan
dokumentasi.
a.
Observasi
Metode
observasi adalah suatu cara untuk mendapatkan data dengan cara melakukan
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau fenomena yang
diselidiki dan diteliti.[5]
Sehingga, Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
partisipan. Dalam batas minimum peneliti mengerjakan apa yang dikerjakan oleh
informan, dan tidak sampai memainkan peran lengkap yang mengerjakan apa yang
dikerjakan oleh informan secara penuh. Hal ini menurut Spradley, sebagaimana
dikutip ahmad sonhaji, akan mempersulit peneliti untuk menempatkan diri sebagai
peneliti.[6]
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian diketahui oleh informan dan memperoleh
izin dari ketua takmir masjid.
Ada beberapa
hal yang peneliti akan lakukan hal ini seperti yang dikemukakan bogdan dan
taylor:[7]
1.
Tidak
mengambil sesuatu dari lapangan secara pribadi. Hal ini perlu diperhatikan
karena apa yang akan dilakukan
dilapangan adalah proses dari lapangan itu sendiri.
2.
Rencanakan
kunjungan pertama untuk menemui seseorang perantara yang nantinya akan memperkenalkan
peneliti. Tujuannya adalah supaya orang yang memberi izin barangkali dapat
melakukannya atau setidak-tidaknya menganjurkan berkunjung kepada
seseorang yang disarankan.
3.
Tidak
berambisi untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi pada hari-hari pertama
berada dilapangan. Penulis akan menciptakan kemudahan untuk diri sendiri
dilapangan. Sebagai sebuah pengambaran kunjungan pertama sampai sekitar satu
jam atau kurang. Gunakan momen itu untuk memperoleh perkenalan pertama dan
untuk memperoleh gamabaran umum. Dalam waktu singkatbanyak muka baru yang perlu
dipelajari. Sesudah selesai setiap kunjungan, peneliti akan segera membuat
catatan lapangan. Jika percakapan berlangsung lama dan isi pembicaraan menjadi
terlalu banyak, waktu mencatat pada catatan lapangan menjadi sempit.
4.
Peneliti
bertindak secara pasif. Peneliti bersungguh-sungguh terhadap apa yang diteliti
dan tidak mengajukan terlalu banyak pertanyaan yang khusus terutama dalam
bidang yang barakali bertentangan. Peneliti akan menanyakan pertanyaan umum
yang memberikan kesempatan kepada subjek untuk berbicara.
5.
Berusaha
tampil lemah lembut. Sewaktu peneliti berkenalan dengan orang-orang maka senyum
dan tunjukkan kesopanan yang dapat diterima.
b.
Wawancara
Wawancara
merupakan bentuk pengumpulan data yang paling sering digunakan dalam penelitian
kualitatif. Perawat seringkali menganggap wawancara itu mudah karena dalam
kesehariannya, perawat sering bercakap-cakap dengan kliennya untuk mendapatkan
informasi penting. Kenyataannya tak semudah itu. Banyak peneliti mengalami
kesulitan mewawancarai orang, karena orang cenderung menjawab dengan singkat.
Apalagi budaya pada masyarakat Indonesia yang cenderung tidak terbiasa
mengungkapkan perasaan mereka.
Wawancara dalam
penelitian ini dilakukan untuk memperoleh konstruksi dan rekonstruksi, yaitu
konstruksi yang terjadi sekarang tentang hal-hal yang terkait dengan orientasi
dan ideologi pendidikan dan rekonstruksi keadaan tersebut berdasarkan
pengalaman masa lalu.[8] Metode
interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan mengadakan tanya jawab
dengan subyek penelitian tentang permasalahan yang berkaitan dengan masalah
yang penulis teliti. Sebagaimana pendapat Sutrisno Hadi, bahwa tanya jawab
(wawancara) harus dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan
penelitian. Berdasarkan ulasan tersebut, peneliti menggunakan metode interview
untuk mengetahui data secara langsung dari sumbernya baik itu kyai, ustadz, dan
santri. Selain itu dengan melakukan tatap muka secara langsung, peneliti dapat
memperoleh data yang didapat lebih banyak dengan sebuah alat yaitu MP4.[9]
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan tiga jenis wawancara yaitu:
a.
Wawancara
Tidak Berstruktur.
Jenis wawancara
ini bersifat fleksibel dan memungkinkan peneliti mengikuti minat dan pemikiran
partisipan. Pewawancara dengan bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada
partisipan dalam urutan manapun bergantung pada jawaban. Hal ini dapat
ditindaklanjuti, tetapi peneliti juga mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan
penelitian yang dimiliki dalam pikirannya dan isyu tertentu yang akan digali.
Namun pengarahan dan pengendalian wawancara oleh peneliti sifatnya minimal.
Umumnya, ada perbedaan hasil wawancara pada tiap partisipan, tetapi dari yang
awal biasanya dapat dilihat pola tertentu. Partisipan bebas menjawab, baik isi
maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang
sangat dalam dan rinci.
Wawancara jenis
ini terutama cocok bila peneliti mewawancarai partispan lebih dari satu kali.
Wawancara ini menghasilkan data yang paling kaya, tetapi juga memiliki dross
rate paling tinggi, terutama apabila pewawancaranya tidak berpengalaman. Dross
rate adalah jumlah materi atau informasi yang tidak berguna dalam
penelitian.[10]
b.
Wawancara
Berstruktur.
Wawancara
terstrukur adalah wawancara yang pewawancaranya menetepaan sendiri masalah dan
pertanyaan yang akan dilakukan. Pola yang dijalankan adalah peneliti harus
bertanya dengan apa yang telah tersedia dan tidak boleh menyimpang. Materi pertanyaan
harus jelas, tidak meragukan dan dapat dimengerti oleh responden. Meskipun
metode ini banyak kelemahan di antaranya antara peneliti dengan responden
kursng luwes dan terbuka sehingga data yang
diperoleh kurang mendalam. Tetapi tetap perlu untuk dijadikan
metode sebab hasil kesimpulannya lebih reliable.[11]
c.
Wawancara
Kontras.
Wawancara ini mengajukan pertanyaan yang bernilai kontroversi
yaitu, untuk meminta penjelasan tentang perbedaan ciri-ciri antara hal yang
satu dengan yang lain. Hal ini dilakukan
setelah data dianalisi taksonomi.[12]
Dalam wawancara ini peneliti mengajukan pertanyaan kontras untuk mengetahui
perbedaan antar rangkaian kontras yang ada pada suatu domain.[13]
c.
Dokumentasi
Teknik
dokumentasi digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan studi
fonomena-fenomena dan dalam rangka memperoleh informasi yang menambah akurasi
data.[14] Metode
ini merupakan cara pegumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting
yang berhubungan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang
lengkap sah dan bukan perkiraan.. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data
yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Sebab, dalam penelitian sosial,
fungsi data yang berasal dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai dat
pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui observasi dan
wawancar mendalam.[15]
3.
Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur transkrip
wawancara, catatan lapangan dan bahan lain yang telah dihimpun untuk menambah
pemahaman mengenai bahan-bahan. Hal ini bertujuan untuk mengkomunikasikan apa
yang telah ditemukan. Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata
secara sistematis catatan hasil
observasi,
interview dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman. Proses analisis data ini
dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data, menarik
kesimpulan/verifikasi.[16]
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a.
Reduksi
Data
Reduksi data
dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan data kasar yang munculnya dari
catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data dilakukan dengan meringkas,
mengembangkan sistem pengkaderan, menelusuri tema, membuang yang tidak perlu
dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya
dapat ditarik dan diverifikasi.
b.
Penyajian
Data
Alur penting
yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Penyajian data adalah
proses penyusunan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang sistematis
sehingga menjadi lebih sederhana dan selektif
serta dapat dipahami maknanya.
c.
Menarik
Kesimpulan/Verifikasi
Setelah melalui
proses reduksi data dan penyajian data, kegiatan ketiga yang penting adalah
menarik kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Verifikasi merupakan pemikiran kembali yang melintas
dalam pemikiran penganalisis selama ia menulis suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan
lapangan.
Dalam
menganalisis data, peneliti juga menguji keabsahan data agar memperoleh data
yang valid untuk kemudian di tarik sebuah kesimpulan. Guna memperoleh data yang
valid, maka
dalam penelitian ini digunakan delapan teknik pengecekan keabsahan
data yaitu:
1.
Memperpanjang
waktu pengamatan.
2.
Observasi
yang dilakukan secara terus menerus.
3.
Trianggulasi
sumber data, metode, dan penelitian lain.
4.
Pengecekan
sejawat.
5.
Kecukupan
referensial.
6.
Menganalisis
data negatif.
7.
Mengunakan
bahan referensi, dan.
8.
Pengecekan
anggota (member check).
Untuk
memudahkan upaya pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan penelitian dengan
data yang diperoleh dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan penyimpanan
data dan informasi terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan penyimpanan
terhadap metode yang akan dan telah digunakan untuk menghimpun dan menganalisis
data selama penelitian berlangsung.[17]
G.
DAFTAR PUSTAKA
Suprayogo,
Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya,
Cet I 2001.
Hadi,
Amirul. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia, 1998.
Anwar, Ali. Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri. Kediri:
IAIT Press, 2008.
Basrowi dan
Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Rineka Cipta, 2008.
Moleong, Lexy
J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2009.
Muhtarom H.M. Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi (Resistensi
Tradisional Islam), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Mattew
B. Miles Dan Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif
(Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia UI Press.1992.
[1] Imam Suprayogo, Metodologi
Penelitian Sosial-Agama (Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet I 2001), h. 100.
[2] Ibid, h. 103.
[4] Amirul Hadi dkk, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung :
Pustaka Setia, 1998), h.13
[5] Amirul
Hadi dkk, Metodologi Penelitian Pendidikan, h. 129.
[6] Ahmad Sonhaji, “Teknik
Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”, hlm. 76. Dalam Ali Anwar, Pembaruan
Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008, hlm. 12.
[8] Ahmad Sonhaji, “Teknik Pengumpulan Data Dalam
Penelitian Kualitatif”, hlm. 76. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan
Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008, hlm. 12.
[9] Lexy J.
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186.
[12] Analisis taksonomi
digunakan untuk menciptakan suatu taksonomi yang mengikhtisarkan berbagai sebab
rendah dan tingginya tindakan informan dan ini merupakan analisis yang pertama
dikembangkan oleh spradley .
[14]
Muhtarom H. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 36.
[16] Mattew B. Miles Dan Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif
(Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia (UI Press)1992) 16-21
[17] Ibid, h. 327.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar