Sabtu, 14 Februari 2015

DISTRUST



DISTRUST
A.  LATAR BELAKANG
kedudukan shalat dalam Islam seperti telah kita ketahui bersama merupakan rukun Islam yang kedua setelah Syahadat. Shalat menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Kasyifatussaja merupakan amaliyah badan yang paling utama dari pada rukun Islam yang lain. Sehingga pantas saja jika shalat merupakan salah satu faktor utama yang dapat merubah jiwa kita untuk tidak melakukan atau menghindar dari perbuatan fakhsya’ dan munkar.   
Shalat yang difardhukan ke pada umat Islam berjumlah 5 waktu dan seminggu sekali  pada hari jum’at umat Islam melakukan satu shalat fardhu yaitu shalat jum’at. Sesuai firman allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al Jum’ah: 9)
Menurut kebanyakan pakar tafsir, yang dimaksud ‘dzikrullah’ atau mengingat Allah di sini adalah shalat Jum’at. Sa’id bin Al Musayyib mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mendengar nasehat (khutbah) pada hari Jum’at. (Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 8: 265)
Dikuatkan lagi dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067)
Begitu pula disebutkan dalam sabda lainnya,
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Pergi (shalat) Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah.” (HR. An Nasai no. 1371).





Bahkan bagi orang yang meninggalkan Shalat Jum’at akan ditimpakan matinya hati, dengan dasar hadis berikut ini:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ
Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat jumat menghentikan perbuatannya. Atau jika tidak Allah akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan tergolong ke dalam orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim no. 865).
Dalil-dalil diatas memberikan ketentuan bahwa sebagai umat Islam wajib melaksanakan Shalat Jum’at. Maka tak heran ketika hari Jum’at umat Islam berbondong-bondong menuju masjid dengan busana lengkap termasuk atribut seperti surban dan tak lupa sandal jepit untuk melaksanakan shalat jum’at berjama’ah. Apalagi di saat azan dikumandangakan terlihat gelombang jama’ah lebih banyak dari pada sebelum azan dikumandangkan.
Seiring dengan kegiatan shalat jum’at akhirnya berbagai macam persoalan muncul dalam aktifitas jum’atan. Fenomena sandal jepit misalnya, dan sandal jepit inilah yang paling populer dipakai oleh umat Islam ketika pergi melaksanakan jum’atan. Terkait dengan sandal jepit kadang saya tak habis pikir. Kenapa sandal jepit bisa hilang ketika jum’atan? Mungkin anda akan tertawa membaca tulisan ini. Fenomena hilangnya samdal jepit Ini adalah sebuah kenyataan yang ada di tengah-tengah kita, yang notabenenya adalah sama-sama beragama Islam, pergi ke masjid dengan tujuan yang sama yaitu untuk melakukakn kewajiban sebagai seroang hamba. Tetapi anehnya ketika kita berangkat jumatan tiba-tiba terlintas dalam benak pikiran kita, “tunggu”, sandal yang dipakai jangan sandal yang bagus tapi sandal jepit. Berangkat ibadah disertai dengan perasaan buruk kepada seseorang “ada maling sandal di masjid”. Lalu bagaimana arti shalat yang kita lakukan?
Lebih mengejutkan lagi ketika saya bertemu dengan seorang jama’ah yang memiliki sandal baru dengan harga cukup tinggi. Dia melakukan shalat jumat dipinggir masjid dan posisi sandal jepit tepat diletakkan ddepan sajadah yang dia bawa, setelah ditanya kenapa sandal anda diletakkan tepat didepan sajadah? Dia menjawab “Supaya tidak hilang”. Jawaban ini tentu membuat kesan Ironis dan membuat saya tertawa.
Dari fenomena semacam ini membuat saya befikir apa yang sebebnarnya terjadi dalam diri kita (Islam). Apakah sudah terjadi degradasi karakter dalam masyarakat Islam. Sebab fenomena sandal ini sedikit memberikan petunjuk bahwa ada rasa su’udzon dalam diri umat Islam yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at. Ada semacam rasa ketidak percayaan yang muncul dalam diri para jama’ah shalat jum’at.

A.  RUMUSAN MASALAH
Dari deskripsi masalah diatas maka ada beberapa masalah yang perlu diangkat dalam proposal tesis ini:
1.    Menelusuri fenomena hilangnya sandal jepit ketika shalat jum’at.
2.    Memahami akibat dari fenomena hilangnya sandal jepit.

B.  PEMBATASAN MASALAH
Dua rumusan masalah yang saya utarakan di atas, telah memberikan sebuah batasan. Bahwa, yang akan diangkat dalam proposal ini adalah tentang fenomena hilangnya sandal jepit dan akibat yang ditimbulkannya secara psikologis. Sebab, sebenarnya sandal jepit adalah barang yang sangat sederhana harganya murah, bisa dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat dan siapapun pasti punya yang namanya sandala jepit. Jika perkara remeh seperti sandal jepit saja bisa hilang dilingkungan masjid gara ditinggal untuk melakukan shalat jama’ah jum’at maka bukan tidak mungkin perkara lain yang lebih besar dan lebih berarti dari pada sandal jepit juga akan ikut hilang. Hilangnya perkara remeh dilingkungan masjid dan bisa dipastikan pelakunya juga adalah salah satu diantara jama’ah shalat jumat dalam arti orang yang beragama Islam tentu menjadikan koreksi bagi kita semua.







C.  TUJUAN PENELITIAN
Banyaknya permasalahan yang sedang melanda umat Islam membuat kita lupa terhadap perkara remeh yang sering dirasakan yaitu hilangnya sandal jepit. Menurut penulis, kita harus bisa mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada ini dimulai dari titik yang paling sederhana. Titik itu adalah sandal jepit. Diharapakan dari penelitian ini ditemukan formula yang bisa mengobati hati umat Islam dan mengembalikan karakter umat Islam.
Sehubungan dengan fenomena ini maka, poin pertama yang saya angkat adalah menelusuri dan mencari jawaban atas hilangnya sandal jepit ketika melakukan shalat jum’at. Poin kedua Memahami akibat dari fenomena hilangnya sandal jepit. Hal ini bertujuan untuk memahami unsur psikologis yang tentu berdampak dalam masyarakat dari hilangnya sandal jepi di saat shalat jum’at berjam’ah.
Dua rumusan masalah ini tentu akan menuntun saya untuk mencari dan mendapatkan formula khusus (obat) untuk kemudian dapat mengobati rasa ketidak percayaan atau krisis kepercayaan yang menimpa mayarakat kita. Oleh karenanya dua masalah diatas sengaja saya angkat untuk mengetahui lebih dalam atas fenomena yang terjadi pada umat Islam. Menelusuri dan memahami akibat dari fenomena sandal jepit dapat menjadi salah satu cara mengatasi krisis kepercayaan yang terjadi di negara kita khususnya umat Islam.

D.  MANFAAT PENELITIAN  
Pada dasaranya agama diluar Islam seringkali berusaha mencoba mencari kelemahan Islam untuk kemudian mereka jadikan sebagai bahan guna menghancurkan Islam. Satuersatu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam di cari letak kesalahan dan kelemahannya. Mulai dari kitab suci al-Qur’an yang mereka anggap adalah buatan Muhammad saw, bahkan mereka berani mengeluarkan statemen Muhammad saw adalah seorang yang epilepsi. Puasa ramadhan, haji dan ketentuan Islam juga tidak luput dari kritik tajam. 
Saya tidak tahu apakah mereka juga mengamati tentang sandal yang dipakai jum’atan ternyata sering hilang. Sementara ini persepsi saya mereka belum tahu kalo ternyata sandal yang dipakai jam’ah ketika shalat jumat sering hilang.

E.  TINJAUAN PUSTAKA  
1.    Definisi Trust
Trust menurut Johnson & Johnson (1997) merupakan aspek dalam suatu hubungan dan secara terus menerus berubah. Dan Johnson (2006), trust merupakan dasar dalam membangun dan mempertahankan hubungan intrapersonal. Trust terhadap pasangan akan meningkat apabila pasangan dapat memenuhi pengharapan individu dan bersungguh-sungguh peduli terhadap pasangan ketika situasi memungkinkan individu untuk tidak memperdulikan mereka (Rempel dalam Levinsin, 1995). Perkembangan trust juga tergantung pada kesediaan individu untuk menunjukkan kasih sayang dengan mengambil resiko dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan pasangan. Apabila pasangan menjalani kesuksesan dalam hal pemecahan konflik, bukan hanya trust yang akan meningkat tapi juga akan menambah bukti terhadap komitmen pasangan dalam hubungan dan juga kepercayaan yang lebih besar bahwa hubungan akan berjalan (Rempel dalam Levinsin, 1995). Henslin (dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi trust meliputi saling menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebiih bahagia, dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki trust rendah (Marriages, 2001). Hanks (2002) menyatakan bahwa trust merupakan elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan yang baik. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang.
2.    Faktor terbentuknya Trust
Membangun trust pada orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan dalam mengambil resiko. Faktor yang mempengaruhi trust individu dalam mengembangkan harapannya mengenai bagaimana seseorang dapat trust kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor di bawah ini (Lewicki, dalam Deutsch & Coleman, 2006):
a.    Predisposisi kepribadian Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki predisposisi yang berbeda untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu terhadap trust, semakin besar pula  harapan untuk dapat mempercayai orang lain.
b.    Reputasi dan stereotype Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang diperlajari dari teman ataupun dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.
c.    Pengalaman aktual Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefenisikan sebuah hubungan.ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya trust atau distrust.
d.   Orientasi psikologis
Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Membangun trust pada orang orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan mengambil resiko (Myers, 1992).
3.    Dinamika Trust
Hubungan interpersonal bukan hanya berisi sekumpulan kebiasaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur, perilaku yang stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen (Solomon, Robert.; Flores, Fernando, 2001). Dan dasar untuk membangun suatu hubungan interpersonal yang baik diperlukan rasa saling percaya (trust) antara satu dengan lainnya. Adapun beberapa tahapan dalam dinamika trust, yaitu:
a.    Membangun trust
Menurut Falcone & Castelfranci (2004), trust merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Hal tersebut juga diperkuat oleh Hoogendoorn, Jaffry & Treur (2009) yang mengatakan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental dimana terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman tersebut . Untuk dapat trust, seseorang akan mengharapkan adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat trust, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari trust adalah keterbukaan. Hal tersebut juga diperkuat oleh Gambetta (dalam, Falcone & Castelfranci, 2004) yang mengatakan bahwa trust merupakan suatu kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu, segala kemungkinan yang terjadi tergantung pada bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita harapkan. Membangun trust diawali dengan menghargai dan menerima kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus menerus. Tanpa adanya perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust pun tidak berarti apapun. Membangun trust berarti memikirkan suatu kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap sebagai sebuah bentuk resiko dan penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat diri kita sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan, bukan sebagai halangan (Solomon, dkk, 2001). Trust merupakan sesuatu hal yang penting bagi sebuah hubungan karena di dalamnya terdapat kesempatan untuk melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan, otonomi, self-respect, dan nilai moral lainnya (Blackburn, 1998). Hal itu sejalan dengan pendapat Johnson & Johnson, 1997 yang menyatakan bahwa trust memiliki lima aspek penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) yaitu ketika pasangan dapat saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi isu-isu yang terjadi, sharing (berbagi) dimana pasangan menawarkan bantuan emosional dan material serta sumber daya kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) yaitu ketika adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan, support (dukungan) yaitu komunikasi dengan orang lain yang diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan kapabilitas yang dibutuhkan dalam menjalankan hubungan intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative intention yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan, dan dalam hal ini pasangan percaya bahwa pasangannya dapat bekerja sama dalam mencapai pemenuhan tujuannya. Jadi ketika kita dan pasangan sudah memenuhi kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah memiliki mutual trust satu dengan lainnya.
b.    Terbentuknya trust
Trust terjadi dikarenakan adanya keyakinan bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk melalui sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama pada diri seseorang (Johnson & Johnson, 1997). Artinya bahwa trust merupakan suatu situasi kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa orang lain akan memberikan keuntungan bagi kita. Supaya suatu hubungan dapat berjalan dengan baik dan efektif, individu harus membangun perasaan saling percaya (mutual trust). Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan kepercayaan dan orang yangn dipercayakan tersebut. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan (Johnson & Johnson, 1997). Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Johnson & Johnson, 1997).
c.    Fase Distrust
Trust merupakan sesuatu yang rapuh. Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan mengalami perubahan (Falcone & Castelfranci, 2004). Hal tersebut didukung oleh pendapat Johnson & Johnson 1997 yang menyatakan bahwa Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust. Di dalam interaksi nyata, kita tidak akan pernah mendapatkan situasi interaksi yang benar-benar sama dalam suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan tertentu bisa saja mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai. Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu pengalaman tertentu, belum tentu suatu pengalaman yang menyenangkan akan meningkatkan trust dan sebaliknya. tetapi juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust tersebut, misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi trustee (bagaimana pengalaman dan opini orang lain mempengaruhi kepercayaan trustier kepada trustee), perubahan sikap dan perilaku dari orang yang kita percayai, keadaan emosional trustier, dan dengan adanya modifikasi dari lingkungan yang menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu (Falcone & Castelfranci, 2004). Trust berubah juga karena adanya suatu faktor sebab akibat (causal attribution), kepercayaan seseorang pada orang lain akan bergantung pada bagaimana orang lain tersebut berperilaku dan sebaliknya.Solomon, dkk (2001) menjelaskan bahwa, ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust merupakan sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan resiko. Ada beberapa katagori dari kekecewaan tersebut, yang pertama adalah kekecewaan karena sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa sesuatu tdk berjalan sebagai mana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan seseorang. Disini trust merupakan dirinya sendiri dan trust di dalam perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu yang krusial. Dan hal yang paling esensial dari bagian ini adalah ketika orang tersebut tetap melanjutkan untuk percaya dengan orang lain dan dapat berpikir bahwa ini merupakan sebuah kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari. Katagori kekecewaan yang kedua adalah karena adanya kesalahan. Terkadang hal ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dan karena kesalahan dari seseorang. Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Reestablishing trust adalah membangun kembali struktur-struktir baru, memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan membangun kembali hubungannya tersebut.

F.   METODE PENELITIAN
1.    Pendekatan Penelitian  
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas sosial secara objektif, artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan:
a.    Untuk mempermudah pemahaman realitas ganda.
b.    Menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas.
c.    Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. 
Penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik yaitu pelaksanaan penelitian memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya menekankan pada deskriptif secara alami.[1] Landasan teori yang digunakan adalah fenomenologis. Teori ini lebih menekankan kepada bentuk dasariah (keaslian) bukan kesemuan dan kepalsuan.[2]
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu jenis penelitian yang lebih menekankan kedalaman dan keutuhan objek yang diteliti walaupun dengan wilayah yang terbatas. Secara umum, Robert K. Yin – dalam Case Study Research Design And Methods – mengemukakan bahwa studi kasus sangat cocok untuk digunakan dalam penelitian dengan menggunakan pertanyaan “how” (bagaimana) dan “why” (mengapa).[3]
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak menggunakan angka atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data.
Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.[4]
2.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu data kepustakaan dan data lapangan. Teknik pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan menelaah berbagai bahan pustaka yang terkait dengan fokus penelitian. Telaah pustaka ini disamping dimaksudkan untuk memposisikan penelitian ini di antara berbagai penelitian terdahulu, juga digunakan utnuk memberikan kajian teoritis tentang konsep kata-kata kunci yang tertera dalam judul, trust, distrust dan shalat jum’at.
Adapun teknik penelitian lapangan adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. 
a.    Observasi
Metode observasi adalah suatu cara untuk mendapatkan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki dan diteliti.[5] Sehingga, Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan. Dalam batas minimum peneliti mengerjakan apa yang dikerjakan oleh informan, dan tidak sampai memainkan peran lengkap yang mengerjakan apa yang dikerjakan oleh informan secara penuh. Hal ini menurut Spradley, sebagaimana dikutip ahmad sonhaji, akan mempersulit peneliti untuk menempatkan diri sebagai peneliti.[6] Kehadiran peneliti di lokasi penelitian diketahui oleh informan dan memperoleh izin dari ketua takmir masjid.
Ada beberapa hal yang peneliti akan lakukan hal ini seperti yang dikemukakan bogdan dan taylor:[7]
1.    Tidak mengambil sesuatu dari lapangan secara pribadi. Hal ini perlu diperhatikan karena  apa yang akan dilakukan dilapangan adalah proses dari lapangan itu sendiri.
2.    Rencanakan kunjungan pertama untuk menemui seseorang perantara yang nantinya akan memperkenalkan peneliti. Tujuannya adalah supaya orang yang memberi izin barangkali dapat melakukannya atau setidak-tidaknya menganjurkan berkunjung kepada seseorang  yang disarankan.
3.    Tidak berambisi untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi pada hari-hari pertama berada dilapangan. Penulis akan menciptakan kemudahan untuk diri sendiri dilapangan. Sebagai sebuah pengambaran kunjungan pertama sampai sekitar satu jam atau kurang. Gunakan momen itu untuk memperoleh perkenalan pertama dan untuk memperoleh gamabaran umum. Dalam waktu singkatbanyak muka baru yang perlu dipelajari. Sesudah selesai setiap kunjungan, peneliti akan segera membuat catatan lapangan. Jika percakapan berlangsung lama dan isi pembicaraan menjadi terlalu banyak, waktu mencatat pada catatan lapangan menjadi sempit.
4.    Peneliti bertindak secara pasif. Peneliti bersungguh-sungguh terhadap apa yang diteliti dan tidak mengajukan terlalu banyak pertanyaan yang khusus terutama dalam bidang yang barakali bertentangan. Peneliti akan menanyakan pertanyaan umum yang memberikan kesempatan kepada subjek untuk berbicara.
5.    Berusaha tampil lemah lembut. Sewaktu peneliti berkenalan dengan orang-orang maka senyum dan tunjukkan kesopanan yang dapat diterima.
b.   Wawancara
Wawancara merupakan bentuk pengumpulan data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Perawat seringkali menganggap wawancara itu mudah karena dalam kesehariannya, perawat sering bercakap-cakap dengan kliennya untuk mendapatkan informasi penting. Kenyataannya tak semudah itu. Banyak peneliti mengalami kesulitan mewawancarai orang, karena orang cenderung menjawab dengan singkat. Apalagi budaya pada masyarakat Indonesia yang cenderung tidak terbiasa mengungkapkan perasaan mereka.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh konstruksi dan rekonstruksi, yaitu konstruksi yang terjadi sekarang tentang hal-hal yang terkait dengan orientasi dan ideologi pendidikan dan rekonstruksi keadaan tersebut berdasarkan pengalaman masa lalu.[8] Metode interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan mengadakan tanya jawab dengan subyek penelitian tentang permasalahan yang berkaitan dengan masalah yang penulis teliti. Sebagaimana pendapat Sutrisno Hadi, bahwa tanya jawab (wawancara) harus dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Berdasarkan ulasan tersebut, peneliti menggunakan metode interview untuk mengetahui data secara langsung dari sumbernya baik itu kyai, ustadz, dan santri. Selain itu dengan melakukan tatap muka secara langsung, peneliti dapat memperoleh data yang didapat lebih banyak dengan sebuah alat yaitu MP4.[9]
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga jenis wawancara yaitu:
a.    Wawancara Tidak Berstruktur.
Jenis wawancara ini bersifat fleksibel dan memungkinkan peneliti mengikuti minat dan pemikiran partisipan. Pewawancara dengan bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada partisipan dalam urutan manapun bergantung pada jawaban. Hal ini dapat ditindaklanjuti, tetapi peneliti juga mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian yang dimiliki dalam pikirannya dan isyu tertentu yang akan digali. Namun pengarahan dan pengendalian wawancara oleh peneliti sifatnya minimal. Umumnya, ada perbedaan hasil wawancara pada tiap partisipan, tetapi dari yang awal biasanya dapat dilihat pola tertentu. Partisipan bebas menjawab, baik isi maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci.
Wawancara jenis ini terutama cocok bila peneliti mewawancarai partispan lebih dari satu kali. Wawancara ini menghasilkan data yang paling kaya, tetapi juga memiliki dross rate paling tinggi, terutama apabila pewawancaranya tidak berpengalaman. Dross rate adalah jumlah materi atau informasi yang tidak berguna dalam penelitian.[10]
b.    Wawancara Berstruktur.
Wawancara terstrukur adalah wawancara yang pewawancaranya menetepaan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan dilakukan. Pola yang dijalankan adalah peneliti harus bertanya dengan apa yang telah tersedia dan tidak boleh menyimpang. Materi pertanyaan harus jelas, tidak meragukan dan dapat dimengerti oleh responden. Meskipun metode ini banyak kelemahan di antaranya antara peneliti dengan responden kursng luwes dan terbuka sehingga data yang

diperoleh kurang mendalam. Tetapi tetap perlu untuk dijadikan metode sebab hasil kesimpulannya lebih reliable.[11]
c.    Wawancara Kontras.
Wawancara ini mengajukan pertanyaan yang bernilai kontroversi yaitu, untuk meminta penjelasan tentang perbedaan ciri-ciri antara hal yang satu dengan yang lain.  Hal ini dilakukan setelah data dianalisi taksonomi.[12] Dalam wawancara ini peneliti mengajukan pertanyaan kontras untuk mengetahui perbedaan antar rangkaian kontras yang ada pada suatu domain.[13]
c.    Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan studi fonomena-fenomena dan dalam rangka memperoleh informasi yang menambah akurasi data.[14] Metode ini merupakan cara pegumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap sah dan bukan perkiraan.. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Sebab, dalam penelitian sosial, fungsi data yang berasal dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai dat pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancar mendalam.[15]
3.    Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan lain yang telah dihimpun untuk menambah pemahaman mengenai bahan-bahan. Hal ini bertujuan untuk mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan. Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil

observasi, interview dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman. Proses analisis data ini dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan/verifikasi.[16] Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a.    Reduksi Data
Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan data kasar yang munculnya dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data dilakukan dengan meringkas, mengembangkan sistem pengkaderan, menelusuri tema, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
b.    Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Penyajian data adalah proses penyusunan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang sistematis sehingga menjadi lebih sederhana dan selektif  serta dapat dipahami maknanya.
c.     Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Setelah melalui proses reduksi data dan penyajian data, kegiatan ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi merupakan pemikiran kembali yang melintas dalam pemikiran penganalisis selama ia menulis suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan.
Dalam menganalisis data, peneliti juga menguji keabsahan data agar memperoleh data yang valid untuk kemudian di tarik sebuah kesimpulan. Guna memperoleh data yang valid, maka


dalam penelitian ini digunakan delapan teknik pengecekan keabsahan data yaitu:
1.    Memperpanjang waktu pengamatan.
2.    Observasi yang dilakukan secara terus menerus.
3.    Trianggulasi sumber data, metode, dan penelitian lain.
4.    Pengecekan sejawat.
5.    Kecukupan referensial.
6.    Menganalisis data negatif.
7.    Mengunakan bahan referensi, dan.
8.    Pengecekan anggota (member check).
Untuk memudahkan upaya pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan penelitian dengan data yang diperoleh dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan penyimpanan data dan informasi terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan penyimpanan terhadap metode yang akan dan telah digunakan untuk menghimpun dan menganalisis data selama penelitian berlangsung.[17]
G. DAFTAR PUSTAKA
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet I 2001.
Hadi, Amirul. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia, 1998.
Anwar, Ali. Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri. Kediri: IAIT Press, 2008.
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Rineka Cipta, 2008.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009. 
Muhtarom H.M. Reproduksi  Ulama Di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Mattew B. Miles Dan Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif (Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia UI Press.1992.



[1] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet I 2001), h. 100.
[2] Ibid, h. 103.
[3] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 138.
[4] Amirul Hadi dkk, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung : Pustaka Setia, 1998), h.13
[5] Amirul Hadi dkk, Metodologi Penelitian Pendidikan, h. 129.
[6] Ahmad Sonhaji, “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”, hlm. 76. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008, hlm. 12.
[7] Dalam  “Memahami Penelitian Kualitatif,  Barsowi dan Suwandi”, hal. 108.
[8] Ahmad Sonhaji, “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”, hlm. 76. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008, hlm. 12.
[9] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186.
[10] Basori. Memahami penelitian kualitatif, hal 130.
[11] Ibid. Hal 142-144.
[12] Analisis taksonomi digunakan untuk menciptakan suatu taksonomi yang mengikhtisarkan berbagai sebab rendah dan tingginya tindakan informan dan ini merupakan analisis yang pertama dikembangkan oleh spradley .
[13] Basrowi, op.cit hal. 144.
[14] Muhtarom H. M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, h. 36.
[15] Basrowi, op.cit. hal. 158.
[16] Mattew B. Miles Dan Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif (Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia (UI Press)1992) 16-21
[17] Ibid, h. 327.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar