Sabtu, 14 Februari 2015

ORIENTASI SANTRI SALAF DI ERA GLOBALISASI



ORIENTASI SANTRI SALAF DI ERA GLOBALISASI
STUDI KASUS DI MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI'IEN LIRBOYO KEDIRI


A.  SANTRI DI ERA GLOBALISASI
Era globalisasi, dewasa ini dan di masa datang, sedang dan terus mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia, khususnya santri. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak dapat menghindar dari proses globalisasi, apalagi jika ingin survive dan berjaya di tengah peradaban dunia yang kian kompetitif.[1] Bagaikan dua sisi dari satu mata uang, globalisasi menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi barokah kalau memang kita siap, dan mungkin akan membawa petaka kalau kita gagap.
Untuk menggambarkan keadaan masyarakat di era globalisasi, Muhammad Zainur Roziqin menyatakan bahwa:
Desakan globalisasi berimplikasi kuat terhadap pergeseran orientasi hidup bermasyarakat. Realitas globalisasi menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi yang kemudian menjelma menjadi sikap individualistis serta mengakibatkan pola hubungan masyarakat semakin dilandasi oleh persoalan-persoalan ekonomi maka, pergeseran orientasi masyarakat berubah menjadi materialistis, ijazah, dunia kerja, menjadi tak terelakkan.[2] 
      
Pola hidup masyarakat yang digambarkan teori tersebut memang memiliki dampak yang signifikan terutama terhadap orientasi pendidikan maupun kehidupan santri[3]. Jika santri zaman dulu[4] orientasinya adalah kemaslahatan transendental, mereka belajar di pesantren benar-benar untuk tafaqquh fi al-din, tawakkal, ikhlas tanpa ada embel-embel ijazah/sertifikat dan bergantung penuh kepada sosok kyai yang berlaku eksklusif dan hegemonik terhadap santrinya, menjaga para santri dari pengaruh dunia luar yang cenderung merusak, diantaranya adalah sikap hedonis-materialistis.[5] Sehingga apapun yang di katakan oleh kyai, mereka akan memenuhinya jika tidak maka akan kualat.[6] Bahkan dalam masalah jodoh secara total santri memasrahkan kepada sang kyai. Dalam hal penguasaan ilmu alat (nahwu-sharaf), ilmu fiqh, sikap tawadhu’ (rendah hati), penghormatan kepada guru, santri zaman dulu terbukti lebih baik.
Potret santri masa lalu itu pun tergerus akibat banyak hal yang mempengaruhi kehidupan saat ini. Santri yang terpengaruh globalisasi dari media massa, media cetak dan media sosial online, terlihat lebih kritis dibandingkan dengan santri sebelum era globalisasi yang dahulunya terkesan patuh mutlak terhadap sang kyai. Karena pengaruh globalisasi pula disiplin santri dalam melaksanakan norma agama relatif berkurang. Globalisasi budaya, informasi dan komunikasi secara signifikan mempengaruhi format hidup santri yang teridentifikasi pada cara berpakaian, meningkatnya cakrawala berpikir dan keinginan mengkonsumsi produk-produk global serta cenderung bergaya demokratis, yang mana sebelum era globalisasi terlihat masih tetap menjalankan format hidup sederhana, kharismatik dan otokratik. Era globalisasi yang juga ditandai dengan globalisasi ekonomi dan politik terindikasi mendangkalkan dan menumpulkan artikulasi ilmu-ilmu agama dan fungsi-fungsi tradisonal pondok pesantren terutama dalam reproduksi ulama.[7] 
Era global telah membuat santri memilih pesantren yang menyelenggarakan jenjang pendidikannya mulai dari SD/MI sampai ke perguruan tinggi. Kenyataan ini bisa dilihat dari semakin menjamurnya pesantren-pesantren kombinasi atau modern. Steenbrink mengatakan "ketika diperkenalkan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan salaf, surau[8] misalnya, ternyata tidak begitu laku dan banyak ditingalkan siswanya/santri".[9]
Di tengah realitas global yang ditandai dengan pergeseran orientasi[10] pendidikan santri dari salaf menuju khalaf, ternyata ada fenomena menarik di lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yaitu santri yang memilih sistem salaf di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien  (MHM) lebih besar bilangannya dari pada santri yang berada di Pesantren Ar-Risalah dan al-Mahrusiyah (khalaf). Berdasarkan Data statistik Laporan Tahunan Pengurus Pondok Pesantren Lirboyo Periode 2010-2011:
Grafik Santri
Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri
No
Pondok
Periode
2008-2009
2009-2010
2010-2011
1.
MHM
4195
4028
4098
2.
Ar-Risalah
265
252
283
3.
Al-Mahrusyiah
965
705
699

Menunjukkan santri yang memilih untuk belajar dengan memakai sistem salaf lebih besar komunitasnya. Menariknya lagi, sesuai data tahun 2007, dari 9.163 santri Lirboyo saat itu, 5.720 (62,42%) di antaranya hanya mendalami kitab kuning di MHM, 876 (9,5%) menjadi siswa madrasah HM Tribakti al-Mahrusiyah, dan 312 (3,4%) menjadi siswa SD, SMP, dan SMA Ar-Risalah, sementara sisanya, 2.255 (24,6%) menjadi santri di pesantren-pesantren unit lainnya yang hanya menyelengarakan madrasah diniyah sebagaimana MHM.[11] Padahal ijzaah MHM, setidaknya sampai dengan tahun 2006,[12] tidak mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama, apalagi Departemen Pendidikan Nasional, sehingga alumninya tidak memiliki akses untuk melanjutkan studi dan lapangan kerja dengan ijazah itu. Sementara Madarasah Tsanawiyah dan Aliyah HM Tribakti al-Mahrusiyah dan SD, SMP, SMA Ar-Risalah mempunyai akses untuk meneruskan studi dan lapangan kerja. Fenomena menarik lainnya adalah santri yang sudah tamat dari sekolah modern (SD, SMP dan SMA) di dua pesantren al-Mahrusiyah dan Ar-Risalah, ada beberapa santri yang justru melanjutkan studinya ke MHM yang dikenal dengan Pondok Induk. Fenomena ini berbeda dengan beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya, yang banyak mengorbankan pendidikan tradisionalnya. Bahkan banyak santri yang ingin mendalami ilmu agama harus keluar dari lembaga tersebut.
Deskripsi diatas menunjukkan terdapat kesenjangan antara realitas global serta teori Steenbrink dan kenyataan yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien (MHM) maka, berangkat dari kenyataan dilapangan, maka penelitian berfokus pertama, pada kajian tentang orientasi pendidikan dan kedua, orientasi kehidupan santri di era global dalam memilih MHM sebagai tempat pencarian ilmunya.
Sejumlah hasil temuan dalam penelitian ini di harapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para akademisi dalam memahami orientasi santri salaf di era global dalam diskursus pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Selain itu, diharapkan bisa memperkaya perspektif para peminat kajian masalah-masalah kepesantrenan dalam memahami proses yang dilalui oleh seorang santri ketika ia ingin menyerap ide-ide baru dari luar seperti pengembangan masyarakat dan mau mengimplementasikannya ke dalam tataran praksis. Serta respon santri dalam perubahan sosial yang dilandasi oleh sikap wisdom (pemikiran arif) tentang pembaruan atau perubahan yang tidak memotong akar tradisi, perubahan yang mengakomodir prinsip kesinambungan, pembaruan secara kontekstual serta pembaruan yang memperkuat bangunan nila-nilai lama sehingga tidak menimbulkan gap atau lompatan budaya yang mengejutkan. Dalam konteks ini mereka bisa meningkatkan peranan, kontribusi dan profesionalisme dalam menangani  sektor kegiatan pembangunan material maupun spiritual. 
Disamping itu, penelitian ini berguna bagi kita para pecinta pesantren salaf, untuk terus memajukan pesantren salaf menjawab tantangan masa depan, sebab dalam pesantren salaf inilah ilmu-ilmu tentang keIslaman, kajian tentang kitab kuning dan teks kuno, dikaji jauh lebih dalam dari pada pesantren modern. Jika pesantren salaf mengalami kemerosotan apalagi sampai gulung tikar maka, bukan tidak mungkin khazanah-khazanah ilmu Islam akan hilang
B.  METODOLOGI PENELITIAN
Secara Administratif, Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien berada disisi utara kelurahan Lirboyo. Secara geografis, Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien, disisi Timur : Kelurahan Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Bandar Lor. Disisi Utara : Kelurahan Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Bujel. Disisi Selatan : Kelurahan Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Banjarmlati. Disisi Barat : Kelurahan Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Tamanan.
Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien terletak di sebelah timur jalan raya yang dilalui kendaraan umum dengan route Blitar, Tulung Agung dan Trenggalek yang, menuju ke Nganjuk, Surabaya atau Malang. Madrasah ini hanya berjarak sekitar 2 km dari Terminal Baru Kediri menuju ke arah utara. Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien ini terletak di Kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, sekitar 3 km dari Kota Kediri ke arah barat. Kediri adalah kota tingkat II yang berada di Jawa Timur yang terletak sekitar 105 km arah barat daya Surabaya. Dengan luas tanah sekitar 20 h.  
Penelitian ini hanya terbatas di lingkungan Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien sebagai kasus, maka jenis penelitian ini dapat disebut studi kasus. Objek dari studi kasus, adalah spesifik, unik dan sistem dengan lingkup terbatas. Disamping itu, studi kasus[13] merupakan jenis penelitian yang lebih menekankan kedalaman dan keutuhan objek yang diteliti dengan wilayah yang terbatas. Secara umum, Robert K. Yin – dalam Case Study Research Design And Methods – mengemukakan bahwa studi kasus sangat cocok untuk digunakan dalam penelitian dengan menggunakan pertanyaan “how” (bagaimana) dan “why” (mengapa), bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang diselidiki, serta fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata.[14] Pemilihan studi kasus ini di dasarkan pada fokus utama kajian yaitu bagaimana orientasi kehidupan dan pendidikan santri salaf MHM.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data kepustakaan dan data lapangan. Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tekstual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena itu, data yang diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak kualitatif.
Data-data kepustakaan bersumber Pertama; dari beberapa buku tentang Lirboyo di antaranya adalah Tiga Tokoh Lirboyo, Hasil Ketetapan Badan Pembina Pondok Pondok Pesantren Lirboyo, buku-buku dan hasil keputusan tentang Pondok Pesantren Lirboyo dan buku-buku yang terkait dengan penelitian pesantren. Kedua; sumber data juga diambil dari Pengurus Pondok, Pengurus Madarasah Hidayatul Mubtadi’ien, Dewan Pengajar (mustahiq), Santri dan sumber lain yang membantu tercapainya penelitian ini.
Teknik penelitian lapangan yang digunakan pertama, observasi partisipan dipilih, dalam batas minimum peneliti mengerjakan apa yang dikerjakan oleh informan, dan tidak sampai memainkan peran lengkap yang mengerjakan apa yang dikerjakan oleh informan secara penuh. Hal ini menurut Spradley, sebagaimana dikutip Ahmad Sonhaji, akan mempersulit peneliti untuk menempatkan diri sebagai peneliti.[15] Kehadiran peneliti di lokasi penelitian diketahui oleh informan dan memperoleh izin dari kyai sebagai gatekeeper. Untuk mempermudah mendapatkan data, peneliti menjadi santri sementara di Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien maka, peneliti juga beperan sebagai santri, mengamati bagaimana prilaku santri, semangat belajarnya, hubungannya dalam sosial dan tentunya untuk mengetahui secara mendalam orientasi pendidikan dan kehidupannya.
Kedua, wawancara mendalam, dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Metode interview digunakan untuk mengetahui data secara langsung dari sumbernya baik itu kyai, ustadz, dan santri. Selain itu dengan melakukan tatap muka secara langsung, peneliti dapat memperoleh data lebih banyak dengan sebuah alat yaitu MP4.[16]
Peneliti berusaha mewawancarai mereka yang terlibat langsung dengan Pondok Pesantren Lirboyo, diantaranya KH. Ahmad Idris Marzuki pengasuh Pesantren Lirboyo utamanya pondok induk, KH. Kafabihi Mahrus rektor Institut Agama Islam Tribakti Kediri (IAIT), KH. Reza Ahmad Zahid, M.A pengasuh Pesantren Putra-Putri Al-Mahrusiyah dan, Umi Aina Ainul Mardliyyah dan KH. Ma’ruf Zaenuddin, pengasuh Pesantren Salafiy Terpadu Ar-Risalah,  dan ketiga, dokumentasi.
Sementara Analisis data dalam kajian ini dilakukan dua tahap, yaitu lebih difokuskan ketika peneliti masih dilapangan dan setelah menyelesaikan tugas pendataan.[17] Analisis data yang dilakukan peneliti ketika masih berada dilapangan sebagai berikut:
a)    Mempertajam masalah penelitian
b)   Mengembangkan masalah penelitian menjadi pertanyaan-pertanyaan analitik dan menentukan indikator-indikator, teknik pegumpulan data, dan sumber datanya.
c)    Menggali data lebih lanjut setelah mereview catatan data lapangan.
d)   Membuat komentar tertulis atas ide, tema dan kategori yang muncul.
e)    Membuat ikhtisar secara akurat.
f)    Menvalidasi ide dan tema informan.
g)   Mengeksplorasi literatur kembali.
h)   Menghubungkan tema dan kategori yang dihasilkan dengan berbagai hasil penelitian lain.[18]
Sementara analisis data setelah peneliti mengadakan pendataan dilakukan dengan cara berikut:
a)    Mendiskripsikan orientasi santri pesantren salaf Lirboyo.
b)   Membuat kategori dengan cara mencari persamaan dan perbedaan antara orientasi santri salaf dan santri modern berikut ideologi pesantrennya.
c)    Menetapkan teori dengan cara mencari hubungan antar hipotesis.[19]
Pendektan yang digunakan dalam penelitian adalah historis sosiologis. Pendekatan historis dilakukan dengan menggunakan kerangka teori historis kausal. Kerangka teori ini bertujuan utnuk merumuskan hubungan sebab akibat antara orientasi santri salaf dan ideologi pendidikan pesantren salaf, dengan berbagai faktor yang mempengaruhi.

C.  MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN (MHM)
1.    Dinamika MHM
Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien disebut pula dengan pondok induk, sebab posisinya diapit oleh dua pondok modern yakni PP. Ar-risalah dan PP. Almahrusiyah. Selain itu secara organisasi pondok induk ini masih menjadi sentral kegiatan yang dilakukan oleh para masyayikh. Semenjak didirikannya pada tahun 1910 M oleh KH. Abdul Karim, kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Lirboyo dilaksanakan dengan metode pendidikan klasik dalam format pengajian weton sorogan (santri membaca materi pelajaran di hadapan kiai), dan pengajian bandongan (santri menyimak dan memaknai kitab yang dibaca oleh kiai).
Seiring bertambahnya jumlah santri dengan usia dan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, maka Pondok Pesantren Lirboyo menerapkan sistem pendidikan yang baru dengan metode klasikal/madrasah (pembagian tingkat belajar). Adalah Jamhari (KH. Abdul Wahab, Kendal Jawa Tengah) dan Syamsi, dua santri senior yang memprakarsai ide pembaharuan sistem belajar di Pondok Pesantren Lirboyo. Ide brilian ini lantas mendapat restu dari KH. Abdul Karim sebagai pengasuh, dibuktikan dengan dawuh beliau: “santri kang durung biso moco lan nulis kudu sekolah.” (santri yang belum bisa membaca dan menulis wajib sekolah).
Berbekal restu dari Pengasuh, sistem pendidikan madrsah pun mulai dilaksanakan pada tahun 1925 M. yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM). Namun demikian pembaharuan sistem ini tidak serta merta menghapus sistem lama. Sistem pengajian weton sorogan dan bandongan pun tetap dilestarikan, bahkan hingga saat ini. Pada tahun-tahun pertamanya, perjalanan MHM bukan tanpa hambatan. Seringkali MHM mengalami jatuh bangun. Syukurnya, selalu ada santri senior yang berjuang melanjutkan langkah MHM meski tertatih. Setelah Jamhari sebagai pembuka, muncul sosok Sanusi, dilanjutkan oleh Syaerozi (Bodrot, Perak, Jombang). Untuk selanjutnya, muncul pula Abdul Malik dan kemudian Muharror (tegal jawa tengah).
Karena berbagai kendala dan hambatan, usaha mereka untuk memajukan langkah MHM pun akhirnya terhenti. Tepat pada tahun 1931 M, MHM mengalami vakum. Barulah pada bulan muharram 1353 H/ Tahun 1933 M, atas upaya KH. Abdullah Jauhari (menantu KH. Abdul Karim), K. Kholil (melikan Kediri; selaku ketua Pondok Lirboyo), dan KH. Faqih Asy’ari (Sumbersari, Pare, Kediri), MHM dibuka kembali diikuti oleh 44 siswa. Sejak itulah MHM melangkah tanpa pernah terhenti hingga saat ini.
Jenjang pendidikan di MHM pada saat itu adalah 8 tahun dengan dua tingkatan, yakni tiga tahun untuk sifir (persiapan) dan lima tahun untuk tingkat Ibtidaiyah. Kurikulum pendidikan meliputi ilmu tauhid, tajwid, fiqh, nahwu, sharaf dan balaghah. Sedangkan standar kitab yang dipergunakan saat itu sesuai dengan tiap-tiap tingkatan. Pelajaran tertinggi pada masa itu adalah ilmu balaghah dengan standar kitab al-Jauhar al-Maknun. Kegiatan belajaran mengajar MHM dilaksanakan pada pukul 19.00 WIs sampai pukul 23.00 WIs, dibagi menjadi dua pelajaran, yakni Hisshoh Ula dan Hisshoh Tsaniyah.
Pada tahun 1947 M, KH. Zamroji yang menjabat sebagai mudier MHM, memiliki inisiatif untuk mengadakan forum musyawarah bagi siswa MHM. Maksud kegiatan ini adalah untuk mengasah kemampuan dalam berdiskusi dan mematangkan pemaham terhadap pelajaran. Kemudian MHM mewajibkan siswa yang berdomisili di pondok  untuk mengikuti musyawarah. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM).
Pada tahun 1955 M, MHM mendirikan PPMHM (persatuan pelajar madrasah Hidayatul Mubtadi-ien) sebagai respon IPNU ditanah air. PPMHM berdiri seperti layaknya OSIS di sekolah umum. Dalam aplikasinya PPMHM diberi tugas untuk menangani berjalannya musyawarah di MHM. Ketua PPMHM pertama adalah Agus Ali Bin Abu Bakar (Bandar Kidul, Kediri). Seiring dengan perkembangannya PPMHM pada tahun 1958 M, mengubah namanya menjadi M3HM (Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien) yang pada saat itu diketuai oleh Abdul Ghoni Ali.
Pada tahun 1950 M, kala itu Agus Ali Bin Abu Bakar menjadi Mudier, dibantu oleh Yasin melakukan pembenahan dalam tubuh MHM utamanya pada jenjang pendidikan dan kurikulum pelajaran. Dalam jenjang pendidikan, ibtidaiyyah yang semula ditempuh 4 tahun ditambah menjadi 5 tahun. Sebaliknya, jenjang tsanawiyah yang semula 4 tahun dikurangi menjadi 3 tahun. Sedangkan dalam hal kurikulum pelajaran, pembenahan yang dilakukan adalah dengan ditetapkannya pelajaran ilmu Falak dan ilmu ‘Arudl sebagai bagian dari kuurikulum pendidikan MHM.
Pada tahun 1975 M, MHM kembali mengadakan pembenahan diberi nama ar-Robithah. Lembaga yang diresmikan oleh KH. Mahrus Ali ini bukan saja mengajarkan materi keagamaan tetapi juga mengajrkan ilmu pengethaun umum. Hal ini dimaksudkan agar santri memiliki kesiapan untuk hidup di masyarakat yang majemuk. Kendati masih berada dibawah naungan MHM, lembaga Robithoh diberi hak otonom untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar.
Pada dekade ini, MHM juga sempat merubah jenjang pendidikan tingkat tsanawiyah yang semula ditempuh 3 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini dimaksudkan agar ijazah MHM dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun pada tahun 1982 KH. Mahrus Aly memiliki inisiatif membentuk jenjang baru di MHM, yakni jenjang Aliyah, sehingga pendidikan tingkat tsanawiyah dikembalikan menjadi 3 tahun. Pada tahun ini pula lembaga ar-Rhabitah resmi tidak difungsikan lagi seiring dengan lahirnya tingkat Aliyyah di MHM. Sampai di sini, sempurna sudah formula jenjang pendidikan MHM, yakni tingkat ibtidaiyyah 6 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan aliyah 3 tahun. Rangkaian jenjang pendidikan yang diputuskan dalam sidang panitia kecil berjalan efektif hingga sekarang.
Perubahan jenjang pendidikan di MHM, terakhir kalinya dilaksanakan pada tanggal 25 juli 1989 M. Kali ini MHM menambahkan jenjang persiapan yang disebut dengan tingkat I’dadiyah (Sekolah Persiapan). Jenjang ini dimaksudkan sebagai wadah kegiatan belajar mengajar bagi siswa baru yang datang setelah ditutupnya pendaftaran siswa baru MHM. Jenjang pendidikan di tingkat I’dadiyah terbagi menjadi dua, yakni I’dadiyah I dan I’dadiyah II. Ketiga jenjang pendidikan  di MHM (ibtidaiyyah, tsanawiyah, aliyyah), telah mendapatkan piagam penyelenggaraan madrasah diniyah dari departemen agama dengan nomor sebagai berikut:
Tingkat Ibtidaiyyah         : Kd. 13.30/5/PP.007/1795/2009.
Tingkat Tsanawiyah         : Kd. 13.30/5/PP.007/1850/2009.
Tingkat Aliyyah               : Kd. 13.30/5/PP.007/1871/2009.
Selain itu, tingkat aliyyah MHM juga telah mendapatkan pengakuan kesetaraan madrasah aliyah (MUADALAH) dari direktur jenderal kelembagaan agama islam pada tahun 2006 M, dan telah diperpanjang pada tahun 2008 M, 2010 M, dan 2013 M berdasar Nomor Keputusan sebagai berikut:
Tahun 2006 M : Dj. II/46A/06
Tahun 2008 M : Dj. I/457/2008
Tahun 2010 M : Dj. I/885/2010
Tahun 2013 M : Dj. I/65/2013
Dengan adanya pengakuan kesetaraan (muadalah) Madrsah Aliyah ini, tamatan Aliyah MHM dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah tinggi. Dan juga telah mendapatkan pengakuan kesetaraan, bahwa jenjang madrasah tsanawiyah MHM setara dengan jenjang pendidikan Aliyah Kairo Mesir, sehingga ijazah tsanawiyah MHM dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan perkuliahan di Universitas al-Azhar Cairo Mesir.[20] Metode yang dipakai Lirboyo dalam memahami kitab kuning memakai sistem klasikal dengan sorogan dan bandongan sebagai kunci utama.
2.    Orientasi Santri MHM
Dalam memetakan orientasi santri MHM, penulis mencoba memisahkan antara orientasi pra dan pasca globalisasi. Orientasi santri MHM pada masa awal beridirnya (pra globalisasi) santri MHM lebih berkonsentrasi pada urusan ukhrawi, mempertahankan NKRI dan ikut melawan PKI. Gambaran orientasi diatas nampak dalam diri santri Lirboyo mulai tahun didirikannya hingga sekitar tahun 90an namun akhirnya orientasi ini mengalami pergeseran sedikit demi sedikit akibat perkembangan arus tekhnologi dan informasi. Terutama setelah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) diresmikan pembukaannya oleh Menteri Agama RI saat itu yakni Bapak Prof. KH. Syaefuddin Zuhri, pada tanggal 9 Rajab 1386 H. bertepatan dengan tanggal 25 Oktober 1966 M. dengan 2 (dua) Fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari`ah, orientasi santri MHM sudah mengalami perubahan.
Di era globalisasi ini Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien tidak menjadi pondok yang tertutup atau menolak terhadap kemodernan tetapi Lirboyo induk sebagai pesantren salaf juga melengkapi santri-santrinya dengan pengetahuan yang dibutuhkan di era global misalkan komputerisasi. Maka ditahun 2000 banyak didirikan tempat penyewaan komputer yang dikelola oleh santri namun hasilnya masuk kepada kyai yang memiliki usaha komputer itu. Gairah santri juga besar sehingga Lirboyo pada saat itu punya warung tapi isinya komputer. Pengaruh positif yang di rasakan banyak santri yang tadinya tidak bisa bermain komputer dalam waktu beberapa bulan saja banyak santri yang mahir komputer. Ini juga membantu organisasi jam’iyyah surat menyurat dan lain-lain memakai fasilitas komputer. Namun komputer ini juga membawa dampak negatif yaitu santri kadang menonton tayangan yang dilarang. Santri lebih banyak meluangkan waktunya untuk komputer dari pada menghafal pelajaran madrasah.
Berkembangnya orientasi santri dalam bidang pendidikan tidak hanya berhenti di MHM Lirboyo tetapi ingin merasakan bagaimana kehidupan di dunia akademis. Baik di IAIT sendiri atau di luar negeri misal Kairo, al-Ahqaf, Maroko dan belahan dunia Islam yang lain. Hal ini disebabkan karena ijazah MHM sudah mu’adalah sehingga siswa kelas 3 tsanawiyah begitu tamat langsung bisa membawa ijzahnya ke al-Azhar. Bahkan bukan hanya di al-Azhar tetapi di Maroko seperti alumni Lirboyo tahun 2012 yaitu Gus Afif yang saat ini kuliah di Tetuán, Tetouan, Marocco.
Menariknya lagi sebagai bukti bahwa MHM bukan lembaga salaf yang tertutup yaitu menyiapkan guru madrasah pada tahun 2012 untuk diikutkan kuliah secara gratis di IAIT sebanyak 32 orang. Dengan terbukanya kesempatan bagi santri MHM untuk melanjutkan studinya ke dunia akademis, seperti santri yang kuliah di IAIT Kediri, tentu sedikit banyak membawa dampak terhadap orientasi kehidupannya.
Orientasi santri baik dalam pendidikan dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kurikulum MHM. Sehingga santri yang ada di MHM Lirboyo ini sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menjadi tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah dan universitas pada umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para santri dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain.
3.    Tipologi santri MHM
MHM sebagai lembaga pendidikan islam tradisional memiliki santri dengan tipologi yang berbeda-beda sebagai berikut: 

a.    Abdi Ndalem
Abdi ndalem adalah sebutan bagi santri dari kalangan ekonomi lemah yang mondok sambil membantu keperluan kyainya. Kebalikan dari santri ndalem adalah santri non dalem yaitu santri dari kalangan ekonomi menengah murni mondok dengan membayar penuh beban biaya yang ditentukan oleh pesantren. Cah Ndalem (sebutan akrab bagi santri ndalem di Lirboyo) memberikan jasanya kepada kyai kadang kala tidak murni membantu, tetapi karena faktor himpitan ekonomi orang tua yang kurang mampu untuk membiayai anaknya dipondok pesantren. Ketidakmampuan orang tua ini kemudian disowankan kepada kyai untuk meminta keringanan maka, sebagai gantinya harus mengabdi. Diakui atau tidak memang ada sedikit unsur pemaksaan bagi santri ndalem yang berminat mondok tetapi tidak memiliki biaya yang cukup. Mereka tidak punya pilihan sebab mahalnya pendidikan formal di tanah air menjadi penyebab mereka memilih pondok pesantren salaf. 
b.   Santri nyambi Kuliah
Semenjak Lirboyo memiliki Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) maka tipologi santri yang berada di lingkungan pesantren ini mengalami perkembangan. Jika tadinya hanya santri yang pure ngaji, pengurus dan santri ndalem, dengan berdirinya IAIT maka tipe santri dibagi lagi menjadi santri kuliah dan non kuliah. Santri kuliah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah santri yang masih tetap melaksanakan pendidikan agamanya di MHM sambil kuliah di IAIT Tribakti Kediri mereka yang kuliah kadang berasal dari golongan santri ndalem melalui program beasiswa atau santri lain yang memang memiliki tujuan mondok sambil kuliah. 
c.    Santri Pengurus
Penulis coba menggambarkan bahwa di Lirboyo ada santri yang sudah menjadi pengurus yaitu santri yang sudah menamatkan studinya di MHM kemudian masih berada dipondok untuk berkhidmah bukan pada kyai tertentu namun kepada pondok atau madrasah. Misal menjadi keamanan atau menjadi tenaga pengajar. Pengurus yang ada dipondok Pesantren Lirboyo berasal dari keluarga yang beragam. Oleh karenanya bisa ditemukan pengurus sekaligus masih ndalem. Seperti Abdul Fatah dia tidak hanya menjadi pengajar di MHM tetapi juga menjadi abdi ndalem KH. Ahmad Idris Marzuqi.
d.   Santri Aktif
Maksud dari santri aktif ini adalah santri yang memiliki konsentrasi penuh untuk memahami, menghafal, mengikuti musyawarah kelas dan musyawarah di Lembaga Bahtsul Masaail (LBM). Santri aktif tidak terpengaruh oleh dunia akademis, ndalem dan menjadi pengurus. Mereka hanya murni belajar diMHM.

D.  SANTRI MHM DI TENGAH GLOBALISASI
1.    Tipologi Santri MHM
Analisis mengenai tipe Santri yang mondok di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo di tinjau dari salaf dan tidaknya maka, di kategorikan sebagai Santri Salaf. Dinamakan demikian sebab di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien otoritas referensial yang digunakan adalah ilmu-ilmu yang ditulis oleh generasi sahabat sebagai pendamping Nabi dilanjutkan generasi tabi’iin dan tabi’ al-tabi’iin. Dengan metode pembelajaran bandongan dan sorogan. Kata salaf secara lughawi semakna dengan qabla, yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini sering dilawankan dengan kata khalaf yang berarti belakangan. Dalam perkembangan selanjutnya, makna istilah salaf ini menyempit sebagai suatu bahkan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas kurun periode sebelumnya. Bahkan menurut Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, otoritas tersebut hanya melekat pada tiga generasi awal Islam, yaitu para sahabat, tabi’iin dan tabi’ al-tabi’in. Sementara Said Aqil Siroj menjelaskan dalam pandangan jumhurul ulama’ yakni kalangan Sunni generasi tabi’ al-tabi’iin dan para pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf.[21] Santri salaf tipe pertama ini khusus berada di MHM dan pondok-pondok unit dibawah naungan Lirboyo yang santrinya mengikuti sekolah diniyah di MHM. Seperti di Pondok HMA, pondok HM, Pondok HY, Pondok DS, Pondok Putri Hidayatul Mubtadiat. Maka, untuk pesantren lain yang berada di bawah naungan Pesantren Lirboyo, namun santrinya tidak mengikuti sekolah diniyah di MHM disebut dengan santri modren seperti di Ar-Risalah dan al-Mahrusyiah. 
Di samping alasan tersebut, gaya hidup santri MHM masih menampakkan kehidupan yang sederhana misal banyak santri yang nyeker, memakai bakiak meskipun pergi jalan-jalan ke kota Kediri. Terlebih lagi banyak santri yang melakukan ritual-ritual puasa seperti ngebleng, mutih, pati geni, senin kamis, ngrowot sebab fenomena ini tidak ditemukan di selain pesantren tradisional. Penghormatan kepada guru, kyai dan yang lebih tua usianya, ajaran tasawuf yang menawarkan kekayaan spiritual dengan ijazah dari para kyai juga merupakan ciri dari pesantren salaf melekat kuat di MHM. Kebudayaan modern yang berintikan liberalisasi, rasionalisasi dengan proses desakralisasi dan de-spiritualisasi tata nilai kehidupan di MHM tidak terlalu nampak. Hal ini karena peran kyai sebagai figur utama dalam pesantren yang berhasil memfilter mampu berjalan dengan baik sehingga tradisi salafmasih tetap ada di MHM.[22]
Dalam menganilisa sikap santri MHM dalam mengarungi era global, dilihat dari beberapa faktor sebagai berikut:  Pertama, santri MHM dikenal sebagai bagian kecil dari komunitas masyarakat yang teguh mempertahankan tradisi ulama klasik dalam amal maupun pemikiran. Tak heran, masyarakat menganggap santri salaf (MHM) mempunyai kemampuan lebih terutama dalam bidang kajian kitab kuning dibanding dengan santri lain. Bahkan faktor inilah yang menjadikan MHM memiliki daya jual tinggi di masyarakat sehingga sampai saat ini MHM masih menjadi tujuan santri untuk mempelajari ilmu agama.
Kedua, santri MHM memiliki sikap menjunjung tinggi kekeluargaan dan kebersamaan. Dengan kekeluargaan, bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang seharusnya ditempatkan pada posisi mulia sangat dihargai. Penghargaan itu tampak dari sikap-sikap mereka kepada yang lebih tua dengan sebutan kang atau dari yang tua kepada yang muda juga dengan sebutan kang. Kekeluargaan bukan berarti sebuah sekat sosial dalam diri santri, justru rasa kebersamaan semakin merekat. Kebersamaan yang tampak dalam diri santri MHM adalah dalam amal, bahkan hal privasi. Tak heran, bila masyarakat mengenal santri MHM sebagai sosok yang luwes bergaul dengan mereka sekaligus ringan tangan. Ketiga, santri MHM memiliki moralitas yang tinggi, arif dalam dakwah dengan mengambil kearifan lokal sebagai media bukan sebagai “hantu” yang harus di kafirkan dan di hanguskan.[23] Maka, dakwah model ini sebenarnya merupakan metode yang tidak menodai ajaran Islam. Kesuksesan kyai-kyai dalam menggaet masyarakat lebih humanis dan religius dapat kita jadikan contoh dan referensi. Tiga bagian di atas adalah corak yang paling tampak tentang santri. Faktor-faktor diatas memberikan tugas dan fungsi khusus kepada santri MHM di era global.
2.    Pergeseran Orientasi Santri MHM
Perubahan orientasi santri merupakan sebuah keniscayaan. Di tengah arus globalisasi santri MHM tidak jumud dalam berfikir bertindak dan beramal tetapi mampu mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga bisa memberi kemanfaatan dan berdialektika dengan masyarakat.


a.    Perubahan orientasi Teosentris menuju Teo-Anthroposentris
Pada awalnya tujuan didirikannya Madrsah Hidayatul Mubtadi'ien adalah lebih berorientasi pada urusan ukhrawi dan nyaris terlepas dari urusan duniawi. Dengan tujuan demikian, maka sistem pendidikan di MHM lebih banyak di dominasi dengan warna-warna fiqh, tasawuf dan sejenisnya. Keyakinan semacam ini mengakibatkan sebagian besar pengasuh pesantren Lirboyo menolak masuknya ide pembaruan. Di era global ini muncul sebuah ide pembaruan dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran MHM untuk tidak hanya mencetak ulama, namun tetap memahami ajaran agama yang dipelajari di pesantren. Maksud dari ide ini adalah, santri yang belajar di MHM tidak semata-mata mengharapkan keridlaan Allah, tetapi agar setelah tamat mampu beradaptasi, berdialog dengan masyarakat karena disana juga mempelajari berbagai macam keterampilan. Dengan demikian, manfaat dan keuntungan yang diraih bukan hanya kebahagiaan akhirat, tapi juga duniawi.[24]
Oleh karena itu, santri MHM di harapakan menggunakan akal pikirannya untuk menyelesaikan berbagai problem kemasyarkatan tidak hanya hubungan vertikal (antara mahluk dengan sang Kholiq), namun juga problem riil yang dihadapi masyarakat Islam (bersifat horizontal). Sehingga dari MHM akan dihasilkan kyai intelek sebagai produk idealnya. Potret perubahan orientasi ini juga diperkuat oleh penemuan Ali Anwar bahwa Pondok Pesantren Lirboyo telah mengalami pembaruan secara institusi dan manajemen. Setidaknya ada tiga corak institusi pendidikan formal yang merupakan pembaruan sistem pendidikan di Lirboyo Kediri, yaitu pertama, madrasah diniyah yang bernama Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien (MHM), Madrasah Diniyah al-Mahrusiyah dan Madrasah Diniyah Ar-Risalah; kedua, Mts dan MA HM Tribakti yang menggunakan kurikulum departemen agama; dan ketiga, SD, SMP dan SMA Ar-Risalah yang menggunakan kurikulum departemen pendidikan nasional.[25]
Secara manajemen, dalam operasionalnya manajemen pesantren ditangani oleh para pengurus, baik pengurus pesantren, pengurus madrasah maupun organisasi lainnya. Seluruh kepengurusan itu memiliki job discription, struktur organisasi dan tata tertib yang jelas. Ketertiban manajemen yang ditangani oleh santri terwujud karena kesadaran berjam’iyah telah terjadi dipesantren ini sejak lama. Kira-kira pada 1941telah dibentuk jamiyah pertama yang diberi nama Jam’iyah Tasmirut Talabah.[26]
Maka Santri MHM, di era global telah mengembangkan pradigmanya dari teosentris menuju antrhoposentris karena telah mengalami pembaruan-pembaruan baik dalam institusi dan manajemen dalam bentuk modern. 
b.   Perubahan Orientasi dikotomi menuju Integrasi Ilmu
Melihat sejarah, bahwa dunia Islam pernah tampil sebagai pencetus, pelopor, pemimpin, pemandu, dan pusat peradaban dunia. Pada masa itu[27], umat Islam bukan hanya menguasai ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya (tafsir, hadis, fikih, kalam, filsafat Islam, tasawuf dan sejarah kebudayaan Islam), juga ilmu dengan berbagai cabangnya (fisika, matematika, astronomi, geometri, kedokteran, farmasi, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain). Kemajuan Islam dalam bidang budaya dan peradaban tersebut selanjutnya memberikan pengaruh terhadap kemajuan eropa dan barat. Sejarah mencatat, bahwa sejak abad ke 11 M, terdapat sejumlah pelajar eropa dan Barat yang mempelajari ilmu umum yang di kembangkan Islam yang mereka jumpai di Bahgdad, Spanyol, dan Sisilia. Melalui berbagai catatan sejarah, dapat di jumpai bahwa terjadinya kemajuan Islam tersebut karena didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan dalam arti yang luas, yaitu pendidikan yang dilakukan pada lembaga-lembaga baik yang di bangun oleh pemerintah, masyarakat, atau perorangan. Selain itu, kemajuan tersebut juga di dukung oleh kegiatan penelitian ilmiah, baik penelitian bayani (al-Qur’an dan Hadis), burhani (penelitian lapangan), jadali (kajian filosofis), istiqro’ (penelitian kuantitatif), ijbari (penelitian eksperimen), dan ‘irfani (penelitian sufistik).
Charles Michael Stanton seperti yang dikutip oleh Fatah Syukur juga menjelaskan bahwa Madrsah Nizhamiyah merupakan perguruan Islam modern yang pertama didunia. Sebab kurikulum yang digunakan di Madrasah Nizhamiyah ini terdapat perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqih, kalam dan lain-lain) sebagaimana yang diakui oleh Nakosteen yang menyatakan, Madrasah Nizhamiyah sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam, dan disiplin ilmu “Aqliyah” (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lain-lain).[28]
Akan tetapi sejak awal abad ke 13, Islam mengalami kemunduran yang luar bisa akibat tekanan fundamintalisme agama dan kelompok-kelompok yang baru saja masuk Islam. Banyak sekali negara-negara Islam, terutama Kerajaan Usmani yang berpusat di Turki yang bergabung dengan Jerman dalam perang Dunia I mengalami kekalahan yang menyebabkan Turki Usmani semakin mundur.[29] Akibatnya pada masa-masa berikutnya tulis Azyumardi Azra sebagaiman dikutip oleh Ahmad Tantowi, muncul supremasi ilmu-ilmu agama diatas ilmu-ilmu “Profan”. Menurutnya ini menimbulkan dampak yang sangat substansial bukan hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tetapi perbedaan Islam secara keseluruhan.[30]
Oleh karenanya Pesantren dan madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik saja, harus memiliki perubahan berfikir. Sebab hal ini akan memunculkan dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren haruslah ilmu-ilmu yang komprehensif. Di samping agama juga non agama, ajaran mengenai ilmu, iman dan amal. Para santri diajarkan ilmu agama seperti fiqih, tafsir, hadits dan ibadah praktis lainnya, tetapi juga dikenalakan ilmu umum seperti bahasa asing, matematika, ilmu bumi dan lain sebagainya. Dengan kata lain, dikotomi ilmu merupakan sesuatu yang tidak diperlukan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.[31]
Meskipun pada dasarnya pendikotomian ini menimbulkan beberapa problem. Namun berkaca kepada ilmuwan masa lalu yang sangat produktif sehingga Islam mencapai masa keemasannya. Salah satu faktornya adalah tidak adanya dikotomi dalam dikalangan para ilmuwan cerdik pada masa itu. Karena menurut Wahid Hasyim, dikotomi ilmu disatu sisi akan menghasilkan ilmuan yang tidak bermoral, dan disisi lain akan lahir ulama-ulama yang ketinggalan zaman.[32] 
Santri di MHM telah mengembangkan orientasinya. Upaya agar santri tidak mengenal dikotomi dalam ilmu telah ditunjukkan oleh MHM dengan dibukanya kran kuliah bagi santri MHM bahkan beasiswa bagi santri atau pengurus yang berprestasi. Munculnya Laboratorium Bahasa, kursus komputer, kursus bahasa asing, serta adanya rumah sakit di lingkungan Pesantren Lirboyo membutikan agar santri melengkapi keilmuannya dengan ilmu-ilmu umum. Dengan kata lain dikotomi keilmuan sedikit demi sedikit akan berganti menjadi integrasi ilmu.   
c.    Perubahan Orientasi Teoritis menuju Praktis (Qouli-Amali)
Penekankan pentingnya pengamalan ilmu yang dipelajari oleh santri MHM. Perubahan orientasi ini bermaksud terciptanya santri MHM yang berakhlakul karimah. Jika kembali pada salah satu ciri tujuan pendidikan Islam yaitu ilmu itu tidak dicari untuk ilmu itu sendiri namun ilmu dicari sebagai landasan teoritis bagi amal perbuatan kita. Konsep implementasi ilmu dalam kehidupan nyata (praktis) menjadi sebuah tuntutan terutama di era krisis multidimensi seperti yang saat ini dialami bangsa Indonesia. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan yang berbasis keagamaan yang menelorkan siswa/santri yang tidak mampu menyelaraskan antara ilmu dan amal. Harapannya santri tidak hanya menguasai konsep dengan sempurna namun juga menerapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menjadi penting karena lembaga pendidikan bukan hanya merupakan tempat di mana proses indoktrinisasi berlangsung, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap moral dan perilaku peserta didiknya. Jika hal ini bisa terwujud maka kombinasi antara orientasi teoritis menuju praksis dimana tujuan pendidikan bukan hanya semata-mata transfer of knowledge namun juga transfer of values bukan mustahil akan tercapai.
Perubahan orientasi santri MHM dari teoritis menuju praktis menurut penulis juga mendapatkan dukungan dari Surakhmad (1999:19-20) memberikan sebuah daftar penting dan menarik tentang perubahan atau peralihan paradigma, dari yang berorientasi ke masa silam menjadi berorientasi ke masa depan: Pertama, peralihan pendidikan dari pendidikan yang mengutamakan nilai kehidupan budaya feodal aristokrasi ke pendidikan yang menggalakkan kehidupan nilai budaya demokrasi; kedua, peralihan pendidikan dari yang memihak pada kepentingan penguasa dan kekuasaan kepada pendidikan yang mengutamakan kerakyatan; ketiga, peralihan pengelolaan pendidikan yang terpusat secara sentralistik kepada pengelolaan pendidikan berbasisi masyarakat; keempat, peralihan sikap kependidikan yang mengutamakan keragaman ke sikap pendidikan yang menghargai keragaman.
Selanjutnya, kelima, peralihan pola manajemen pendidikan yang memupuk ketergantungan masyarakat ke pola manajemen pendidikan yang mengutamakan ke mandirian; keenam, peralihan dari pendidikan yang mengondisi masyarakat takluk kepada gaya pemmerintahan melalui kebijaksanaan (penguasa) ke pendidikan yang menyadarkan masyarakat tentang pentingnya keteraturan dan kepastian hukum; ketujuh; peralihan pendidikan dari metodologi pendidikan yang mengutamakan pengawetan dan konformisme nilai usang yang disakralkan kepada metodologi pendidikan yang merintis pengembangan ilmu dan pemanfaatn teknologi; kedelapan; peralihan dari pandangan kependidikan yang lebih banyak bersifat pelaksanaan kewajiban ke pandangan yang mendidik dan menyadarkan warganegara mengenai hak-hak asasi manusia. Kesembilan; peralihan dari orientasi pendidikan yang mengutamakan pelestarian dan keseimbangan dari sudut kepentingan politik ke orientasi pendidikan yang mengutamakan perubahan, pertumbuhan dan kemajuan; kesepuluh; peralihan dari sikap kependidikan yang konformistik, memasung dan punitif, ke sikap pendidikan yang motivatif, menghargai kretivitas dan inovasi; kesebelas; peralihan pendidikan dari pandangan tertutup, isolasionistik, terpola (dibakukan), ke pandangan yang merangsang kerja sama secara terbuka dan fleksibel; kedua belas peralihan dari  pola dan program kurikuler yang statis, skolastik, salafke pola dan program kurikuler yang dinamis, riil dan kontekstual.
Kesimpulan dari teori ini menegaskan bahwa santri harus memiliki perubahan orientasi dalam pendidikan, sama dengan perubahan orientasi pesantren yang ditawarkan oleh Wahid Hasyim  yaitu : Teosentris ke Anthroposentris, dikotomik kepada non dikotomik, teoritis kepada praktis. Namun, penulis menawarkan tambahan orientasi yaitu orientasi humanisme theosentris[33] (kepercayaan mendalam kepada Tuhan harus dipadukan dengan usaha manusia).
d.   Orientasi Humanisme Theosentris
Orientasi yang ke empat ini sebenarnya merupakan kritik terhadap teori dari Wahid Hasyim yaitu Teosentris ke Anthroposentris. Dalam konteks Aqidah teori teosentris selaras dengan pemahaman jabariyah (tidak ada ikhtiar dari manusia, semuanya dari tuhan) sedangkan anthroposentris selaras dengan pemahaman qodariyah (perbuatan manusia dijadikan oleh manusia). Orientasi ini akan menjadikan santri MHM semakin menjauh dari aqidah ahlussunnah wal jama’ah). Oleh karenanya penulis lebih cenderung kalau santri MHM Orientasinya adalah humanis theosentris yang sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal jama’ah (perbuatan manusia terlebih dahulu melalui ikhtiar atau usaha meskipun perbuatan itu pada hakikatnya dijadikan oleh Tuhan). 
Orientasi ini lebih sesuai dengan penemuan data peneliti sebab, Aqidah yang dianut santri MHM adalah ahlussunnah wal jam’ah.  Disamping itu orientasi humanis teosentris dalam praktik kehidupan dan pendidikannya lebih fleksibel, selama substansinya terpelihara yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena hakekatnya ajaran Islam (agama Fitrah) memang untuk memnuhi kebutuhan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Akan tetapi martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia mampu mendekati Tuhan karena pada dasarnya manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Substansi ajaran ini tidak boleh berubah selamanya karena kalau sampai berubah hilanglah hakekat Islam sebagai agama fitrah. Seandainya ada perkembangan hanyalah bersifat perluasan dan pendalaman makna, bukan pada subtansinya.[34]
Di tengah krisis multidimensiaonal, Santri MHM perlu menyadari tentang pentingnya mengintergrasikan nilai-nilai prophetic transendental yang dibangun dari kepercayaan mendalam kepada tuhan yang dipadukan dengan usaha manusia. Sebagai bukti dari berkembangnya orientasi ini Santri MHM kini kian menyadari bahwa santri membutuhkan berbagai konsep ekonomi dengan semakin tumbuhnya koperasi pesantren dan percetakan-percetakan bermunculan di lingkungan pesantren. Tidak hanya dalam hal perekonomian, saat ini santri MHM yang sudah terjun di masyarakat juga ikut berperan dalam dunia politik. Dalam melestarikan budaya terutama budaya Islam, santri MHM sampai saat ini masih menjaga tradisi orang-orang salaf serta mampu memfilter budaya-budaya baru yang tidak baik. Hukum-hukum Islam yang kadang sulit untuk di mengerti oleh kalangan awam ternyata mampu di terjemahkan dengan baik oleh santri dan di sampaikan kepada masyarakat dalam kegiatan dakwah khususnya di bulan Romadhon. Sehingga hukum-hukum yang sulit di fahami oleh ummat bisa di aplikasikan dengan lebih baik terutama dalam kaitannya dengan ibadah yang dampaknya adalah keabsahan ritual ummat kepada Allah swt.

E.  PENUTUP
Dari hasil penelitian penulis di Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri mengenai Orientasi Santri Pesantren Salaf di Era Globalisasi, dapat diambil kesimpulkan sebagai berikut :
1.    Orientasi kehidupan santri Madrasah Hidyatul Mubtadi'ien di era globalisasi tidak hanya mengacu kepada kehidupan ukhrawi yang memang menjadi dasarnya tetapi menjadikan kehidupan duniawi sebagai perantara untuk kesuksesan akhiratnya. Dibukanya kran kuliah dengan ijazah MHM yang sudah laku maka, orientasi kehidupan santri salaf  Lirboyo bukan hanya berdakwah namun lebih beragam, misal menjadi anggota DPR, PNS, TNI, Pedagang dan lain-lain. Keragaman orientasi hidup dari santri ini tidak lepas dari orientasi humanisme teosentris yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena hakekatnya ajaran Islam (agama Fitrah) memang untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Akan tetapi martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia mampu mendekati Tuhan karena pada dasarnya manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Sehingga dalam kehidupan sosial santri lirboyo mampu berperan dengan baik tidak hanya secara horizontal namun juga vertikal.
2.    Orientasi pendidikan santri MHM di era globalisasi tidak hanya sekedar tafaqquh fi ad-din dengan berhenti sampai di tingkat Aliyah saja, namun kecendrungan untuk meneruskan kejenjang yang lebih tinggi sudah banyak dilakukan oleh para santri. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya santri yang kuliah tidak hanya di dalam negeri namun juga di luar negeri seperti Maroko, Mesir, Yaman, Madinah dan Arab Saudi. Hal ini membuktikan bahwa santri salaf MHM sedikit demi sedikit telah mengalami perubahan orientasi dari dikotomi menuju non dikotomi. Perubahan orientasi ini didorong oleh para pendahulunya yang melengkapi keilmuannya dengan menimba ilmu diluar negeri. Kemudahan untuk melanjutkan kuliah ini dirasakan oleh santri setelah ijazah MHM ternyata dapat diterima di perguruan tinggi Islam baik di STAIN, IAIN dan UIN.




F.   SARAN
Agar MHM lebih efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi tradisional, perlu direkomendasikan hal-hal berikut:  
1.    Kepada para santri MHM, tradisi pesantren salaf misal budaya salaman, cium tangan, sarungan, wirid, roan, haul, mujahadah, syawalan, tahlilan, sowan dan sangat mementingkan mazhab. Meskipun diduga dapat menyebabkan kekakuan, kejumudan dan tidak menumbuhkan sikap kritis harus tetap dipertahankan dalam era global.
2.    Kepada para pengelola MHM, di masa depan kita tidak dapat memisahkan diri dari kompleksitas global yang membawa ide-ide kosmopolit. Untuk menatap masa depan semacam ini, disarankan agar pondok pesantren salaf membuka diri terhadap ilmu pengetahuan (sains) agar mampu mengintroduksi sains Islami.
3.    Kepada para ulama mutafaqih fi al-din agar menulis kitab kontemporer dengan mengangkat masalah-masalah kekinian yang materinya diambil dari kitab kuning. Pelaksanaan visi pondok pesantren salaf di era globalisasi perlu mendapat bantuan dari kalangan ilmuwan dan cendekiawan. Untuk itu para ilmuwan dan cendekiawan muslim diharapkan dapat membantu pondok pesantren salaf yang indigenous Indonesia agar dapat melepaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, sadar akan apa yang terjadi diluar dunianya dan tidak menjadi lembaga yang marginal.
4.    Menurut Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bagian Kedua Pasal 55; pendidikan khas agama adalah pendidikan berbasis masyarakat yang dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lain dari pemerintah. Pendidikan di pondok pesantren termasuk pendidikan khas agama Islam yang juga dapat memperoleh bantuan dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah Kota Kediri khususnya depertemen agama agar mengalokasikan bantuan teknis atau subsidi dana pada pondok pesantren di daerah-nya supaya memiliki keunggulan kompetitif di tengah persaingan global.
5.    Kepada segenap masyarakat, MHM merupakan pencetak ulama’ yang kompetensinya masih dianggap paling mumpuni dalam bidang agama. Maka, untuk menjaga kelestarian pesantren salaf ini peran serta masyarakat diharap memberikan kepercayaan sepenuhnya dengan memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan salaf.   




DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Millenium III, Jakarta: Kencana, 2012.

-----------------------, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Kencana, 2012

Roziqin, Muhammad Zainur. Moral Pendidikan Di Era Globalisasi, Malang: Averroes Press, 2007.

Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: Lkis, 2001.

Marzuki, Saleh. Pendidikan Non Formal Dimensi Dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan Dan Andragogi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Anis Masykhur, “Pesantren Sebagai Pusat Studi Masyarakat”, Mihrab, vol 2 No 3, September, 2008.

Amin Haedari dkk, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Divisi Pustaka, 2006.

Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqh Sosial Kyai Sah. Mahfudh Antara Konsep Dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007.

Streenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986.

Taufiq, M. Izzuddin.  Panduan Lengkap Dan Praktis Psikologi Islam, Jakrata: Gemma Insani Press, 2006.

MHM, Hasil Sidang Presedium Kwartal MHM Lirboyo Kediri Tahun Pelajaran: 1427-1428H/2006-2007 M, Kediri: MHM, 2007, h. 2-6, dan di adaptasi dari arsip Pesantren Induk Lirboyo Kediri tahun 2007.

Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet I, 2001.

Sonhaji, Ahmad. “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Rosda Karya, 2009.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008.

Danim, Sudar. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung; Pustaka Setia, 2002.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994.

Disarikan dari Buku Hasil Sidang Panitia Kecil (HSPK) tahun pelajaran : 1434-1435 H./2013-2014 M

Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Jakarta: Yayasan Khas, 2009.

Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo, KEDIRI: IAIT PRESS. 2009

Nata, Abduin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana. 2011.

Syukur, Fatah. Sejarah Pendidikan Islam, Semarang: IAIN Walisanga, 2010.

Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), dalam Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang: IAIN Walisanga. 2009.

Basori, Ruchman. The Founding Father Pesantren Modern Jejak Langkah K. H. A. Wahid Hasyim, Jakarta: Inceis, 2006.

  


[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III, (Jakarta: Kencana Prenedia Media Group, 2012), h. 41.
[2] Muhammad Zainur Roziqin, Moral Pendidikan Di Era Globalisasi, (Malang: Averroes Press, 2007), h. 3.
[3] Santri adalah salah satu komponen pesantren yang oleh Gus Dur pesantren dianggap sebagai sub kultur meskipun tidak seluruh pesantren memahami hal tersebut. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2001).
[4] Modernisasi melanda Indonesia, di mulai tahun 1990-an. Kemodernan itu ditandai dengan televisi yang menyebar disetiap rumah, hand phone, komputer, laptop dan internet. Saleh Marzuki, Pendidikan Non Formal Dimensi Dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan Dan Andragogi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,  2010), h. 13.
[5] Anis Masykhur, “Pesantren Sebagai Pusat Studi Masyarakat”, Mihrab, vol 2 No 3 (September, 2008), h. 48
[6] Kualat bagi kalangan santri sering diartikan hidup susah di dunia dan akhirat, seperti susahnya rizki, sering tertimpa musibah dll. Amin Haedari dkk, Panorama Pesantren, h. 59.
[7] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kyai Sah. Mahfudh Antara Konsep Dan Implementasi, (Surabaya: Kh.ista, 2007), h. 192-198.
[8] Adopsi kelembagaan pesantren di Minangkabau, Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam SalafDalam Transisi Dan Modernisasi, h. 149.
[9] Karel A. Streenbrink, Pesantren Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), h 63.
[10] Dr. Lutfi Fathim dan Dr. Abdul Mun’im Muhammad Jamal menjelaskan Orientasi adalah cara pandang mendasar atau cara kita melihat, memikirkan, memaknai, menyikapi, serta memilih atas fenomena yang ada. M. Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap Dan Praktis Psikologi Islam, (Jakrata: Gemma Insani Press, 2006), h. 133
[11]  MHM, Hasil Sidang Presedium Kwartal MHM Lirboyo Kediri Tahun Pelajaran: 1427-1428H/2006-2007 M, Kediri: MHM, 2007, h. 2-6, dan di adaptasi dari arsip Pesantren Induk Lirboyo Kediri tahun 2007.
[12] Pada tahun 2006, Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi’ien mendapatkan mu’adalah, di mana ijasahnya dapat digunakan untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Keputusan itu ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam,  Jahja Umar, Ph.D, dengan suratnya Nomor: Dj.II/46A/06.
[13] Fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan.
[14] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet I, 2001), h. 100.
[15] Ahmad Sonhaji, “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”, h. 76. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008, h. 12.
[16] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186.
[17] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 336.
[18] Langkah-langkah ini merupakan ringkasan pendapat Bodgan dan Biklen. Untuk elaborasi baca Sudar Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung; Pustaka Setia, 2002 h. 210-215. Dalam Ali Anwar “Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri” h. 14.
[19] Langkah-langkah ini merupakan ringkasan Mastuhu terhadap pendapat Schlegel. Untuk elaborasi baca Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994, H. 46-47.
[20] Disarikan dari Buku Hasil Sidang Panitia Kecil (HSPK) tahun pelajaran : 1434-1435 H./2013-2014 M.
[21] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 56.
[22] Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim, h. 100
[23] Asmani, Fiqh Sosial Kyai Sah. Mahfudh, h. 181
[24] Ibid, h. 104.
[25] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo, h. 73.
[26] Ibid, h. 95.
[27] Sejarah Islam dibagi menjadi tiga periode: Pertama, Periode Klasik menurut Harun Nasution mulai tahun 650-1250 dibagi menjadi dua masa yaitu masa kemajuan Islam I tahun 650-1000 M dan masa integrasi  mulai tahun 1000-1250 M. Kedua, Periode Pertengahan menurut Harun Nasution di mulai 1250-1800 M dan terbagi dalam du masa yaitu masa kemunduran (1250-1500 M) dan masa tiga kerajaan besar (Kerajaan Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mugh. di India yang berlangsung 1500 – 1800 M). Ketiga, Peridoe Modern. Periode ini menurut Harun Nasution dianggap sebagai zaman kebangkitan Islam. Adanya pendudukan Napoleon di Mesir yang berakhir pada 1801 M, membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, terhadap kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat. Kutipan dari pandangan Harun Nasution dalam Abduin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 339-357.
[28] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: IAIN Walisanga), h. 72.
[29] Ibid, h. 83.
[30] Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), dalam Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: IAIN Walisanga), h. 105.
[31] Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Jejak Langkah K. H. A. Wahid Hasyim, (Jakarta: Inceis, 2006). h, 111.
[32] Ibid, h. 115.
[33] Teori ini penulis ambil dari pendapat Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, dalam menjelakskan perkembangan Islam yakni disebabkan adanya faktor internal dan eksternal Islam. Untuk elaborasi baca Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011).
[34] Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, h. 11.

2 komentar: