ORIENTASI
SANTRI SALAF DI ERA GLOBALISASI
STUDI
KASUS DI MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI'IEN LIRBOYO KEDIRI
A.
SANTRI DI ERA GLOBALISASI
Era
globalisasi, dewasa ini dan di masa datang, sedang dan terus mempengaruhi
perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia, khususnya santri.
Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak
dapat menghindar dari proses globalisasi, apalagi jika ingin survive dan
berjaya di tengah peradaban dunia yang kian kompetitif.[1]
Bagaikan dua sisi dari satu mata uang, globalisasi menawarkan sebuah pilihan
yang ambivalen, satu sisi barokah kalau memang kita siap, dan
mungkin akan membawa petaka kalau kita gagap.
Untuk
menggambarkan keadaan masyarakat di era globalisasi, Muhammad Zainur Roziqin
menyatakan bahwa:
Desakan
globalisasi berimplikasi kuat terhadap pergeseran orientasi hidup
bermasyarakat. Realitas globalisasi menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi
yang kemudian menjelma menjadi sikap individualistis serta mengakibatkan pola
hubungan masyarakat semakin dilandasi oleh persoalan-persoalan ekonomi maka,
pergeseran orientasi masyarakat berubah menjadi materialistis, ijazah, dunia
kerja, menjadi tak terelakkan.[2]
Pola hidup masyarakat yang digambarkan teori tersebut memang
memiliki dampak yang signifikan terutama terhadap orientasi pendidikan maupun
kehidupan santri[3].
Jika santri zaman dulu[4]
orientasinya adalah kemaslahatan transendental, mereka belajar di pesantren
benar-benar untuk tafaqquh fi al-din, tawakkal, ikhlas tanpa ada
embel-embel ijazah/sertifikat dan bergantung penuh kepada sosok kyai yang
berlaku eksklusif dan hegemonik terhadap santrinya, menjaga para santri dari
pengaruh dunia luar yang cenderung merusak, diantaranya adalah sikap
hedonis-materialistis.[5]
Sehingga apapun yang di katakan oleh kyai, mereka akan memenuhinya jika tidak
maka akan kualat.[6]
Bahkan dalam masalah jodoh secara total santri memasrahkan kepada sang kyai. Dalam hal penguasaan ilmu alat (nahwu-sharaf),
ilmu fiqh, sikap tawadhu’ (rendah hati), penghormatan kepada guru, santri zaman
dulu terbukti lebih baik.
Potret santri masa lalu itu pun
tergerus akibat banyak hal yang mempengaruhi kehidupan saat ini.Santri yang terpengaruh globalisasi
dari media massa, media cetak dan media sosial online, terlihat lebih kritis
dibandingkan dengan santri sebelum era globalisasi yang dahulunya terkesan
patuh mutlak terhadap sang kyai. Karena pengaruh globalisasi pula disiplin
santri dalam melaksanakan norma agama relatif berkurang. Globalisasi budaya,
informasi dan komunikasi secara signifikan mempengaruhi format hidup santri
yang teridentifikasi pada cara berpakaian, meningkatnya cakrawala berpikir dan
keinginan mengkonsumsi produk-produk global serta cenderung bergaya demokratis,
yang mana sebelum era globalisasi terlihat masih tetap menjalankan format hidup
sederhana, kharismatik dan otokratik. Era globalisasi yang juga ditandai dengan
globalisasi ekonomi dan politik terindikasi mendangkalkan dan menumpulkan
artikulasi ilmu-ilmu agama dan fungsi-fungsi tradisonal pondok pesantren
terutama dalam reproduksi ulama.[7]
Era global telah membuat santri
memilih pesantren yang . Kenyataan ini bisa dilihat dari semakin menjamurnya
pesantren-pesantren kombinasi atau modern. Steenbrink mengatakan "ketika diperkenalkan lembaga pendidikan
yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan salaf, surau[8]
misalnya, ternyata tidak begitu laku dan banyak ditingalkan siswanya/santri".[9]
Di tengah realitas global yang
ditandai dengan pergeseran orientasi[10] pendidikan santri dari salaf
menuju khalaf, ternyata ada fenomena menarik di lingkungan Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri yaitu santri yang memilih sistem salaf di
Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien (MHM)
lebih besar bilangannya dari pada santri yang berada di Pesantren Ar-Risalah
dan al-Mahrusiyah (khalaf). Berdasarkan Data statistik Laporan Tahunan Pengurus Pondok Pesantren Lirboyo
Periode 2010-2011:
Grafik Santri
Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri
No
|
Pondok
|
Periode
|
||
2008-2009
|
2009-2010
|
2010-2011
|
||
1.
|
MHM
|
4195
|
4028
|
4098
|
2.
|
Ar-Risalah
|
265
|
252
|
283
|
3.
|
Al-Mahrusyiah
|
965
|
705
|
699
|
Menunjukkan santri
yang memilih untuk belajar dengan memakai sistem salaf lebih besar
komunitasnya. Menariknya lagi, sesuai data tahun 2007, dari 9.163 santri
Lirboyo saat itu, 5.720 (62,42%) di antaranya hanya mendalami kitab kuning di
MHM, 876 (9,5%) menjadi siswa madrasah HM Tribakti al-Mahrusiyah, dan 312
(3,4%) menjadi siswa SD, SMP, dan SMA Ar-Risalah, sementara sisanya, 2.255
(24,6%) menjadi santri di pesantren-pesantren unit lainnya yang hanya
menyelengarakan madrasah diniyah sebagaimana MHM.[11]
Padahal ijzaah MHM, setidaknya sampai dengan tahun 2006,[12]
tidak mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama, apalagi Departemen
Pendidikan Nasional, sehingga alumninya tidak memiliki akses untuk melanjutkan
studi dan lapangan kerja dengan ijazah itu. Sementara Madarasah Tsanawiyah dan
Aliyah HM Tribakti al-Mahrusiyah dan SD, SMP, SMA Ar-Risalah mempunyai akses
untuk meneruskan studi dan lapangan kerja. Fenomena menarik lainnya adalah
santri yang sudah tamat dari sekolah modern (SD, SMP dan SMA) di dua pesantren
al-Mahrusiyah dan Ar-Risalah, ada beberapa santri yang justru melanjutkan
studinya ke MHM yang dikenal dengan Pondok Induk. Fenomena ini berbeda dengan
beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya, yang banyak mengorbankan pendidikan
tradisionalnya. Bahkan banyak santri yang ingin mendalami ilmu agama harus
keluar dari lembaga tersebut.
Deskripsi
diatas menunjukkan terdapat kesenjangan antara realitas global serta teori
Steenbrink dan kenyataan yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien (MHM) maka,
berangkat dari kenyataan dilapangan, maka penelitian berfokus pertama, pada
kajian tentang orientasi pendidikan dan kedua, orientasi kehidupan santri di
era global dalam memilih MHM sebagai tempat pencarian ilmunya.
Sejumlah hasil temuan dalam penelitian ini di harapkan bisa menjadi
bahan pertimbangan bagi para akademisi dalam memahami orientasi santri salaf di
era global dalam diskursus pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Selain itu,
diharapkan bisa memperkaya perspektif para peminat kajian masalah-masalah
kepesantrenan dalam memahami proses yang dilalui oleh seorang santri ketika ia
ingin menyerap ide-ide baru dari luar seperti pengembangan masyarakat dan mau
mengimplementasikannya ke dalam tataran praksis. Serta respon santri dalam perubahan
sosial yang dilandasi oleh sikap wisdom (pemikiran arif) tentang
pembaruan atau perubahan yang tidak memotong akar tradisi, perubahan yang
mengakomodir prinsip kesinambungan, pembaruan secara kontekstual serta
pembaruan yang memperkuat bangunan nila-nilai lama sehingga tidak menimbulkan
gap atau lompatan budaya yang mengejutkan. Dalam konteks ini mereka bisa
meningkatkan peranan, kontribusi dan profesionalisme dalam menangani sektor kegiatan pembangunan material maupun
spiritual.
Disamping itu, penelitian ini berguna bagi kita para pecinta
pesantren salaf, untuk terus memajukan pesantren salaf menjawab
tantangan masa depan, sebab dalam pesantren salaf inilah ilmu-ilmu
tentang keIslaman, kajian tentang kitab kuning dan teks kuno, dikaji jauh lebih
dalam dari pada pesantren modern. Jika pesantren salaf mengalami
kemerosotan apalagi sampai gulung tikar maka, bukan tidak mungkin
khazanah-khazanah ilmu Islam akan hilang
B.
METODOLOGI PENELITIAN
Secara
Administratif, Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien berada disisi utara kelurahan
Lirboyo. Secara geografis, Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien, disisi Timur :
Kelurahan Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Bandar Lor. Disisi Utara :
Kelurahan Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Bujel. Disisi Selatan : Kelurahan
Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Banjarmlati. Disisi Barat : Kelurahan
Lirboyo berbatasan dengan Kelurahan Tamanan.
Madrasah
Hidayatul Mubtadi'ien terletak di sebelah timur jalan raya yang dilalui
kendaraan umum dengan route Blitar, Tulung Agung dan Trenggalek yang, menuju ke
Nganjuk, Surabaya atau Malang. Madrasah ini hanya berjarak sekitar 2 km dari
Terminal Baru Kediri menuju ke arah utara. Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien ini
terletak di Kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, sekitar 3 km
dari Kota Kediri ke arah barat. Kediri adalah kota tingkat II yang berada di
Jawa Timur yang terletak sekitar 105 km arah barat daya Surabaya. Dengan luas
tanah sekitar 20 h.
Penelitian ini
hanya terbatas di lingkungan Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien sebagai kasus, maka
jenis penelitian ini dapat disebut studi kasus. Objek dari studi kasus, adalah
spesifik, unik dan sistem dengan lingkup terbatas. Disamping itu, studi kasus[13]
merupakan jenis penelitian yang lebih menekankan kedalaman dan keutuhan objek
yang diteliti dengan wilayah yang terbatas. Secara umum, Robert K. Yin – dalam Case
Study Research Design And Methods – mengemukakan bahwa studi kasus
sangat cocok untuk digunakan dalam penelitian dengan menggunakan pertanyaan “how”
(bagaimana) dan “why” (mengapa), bila peneliti hanya memiliki sedikit
peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang diselidiki, serta fokus
penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan
nyata.[14]
Pemilihan studi kasus ini di dasarkan pada fokus utama kajian yaitu bagaimana
orientasi kehidupan dan pendidikan santri salaf MHM.
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data kepustakaan
dan data lapangan. Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang bersifat tekstual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang
akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi,
pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan
pembahasan. Oleh karena itu, data yang diambil dan dikaji berasal dari data
verbal yang abstrak kualitatif.
Data-data
kepustakaan bersumber Pertama; dari beberapa buku tentang Lirboyo di antaranya adalah
Tiga Tokoh Lirboyo, Hasil Ketetapan Badan Pembina Pondok Pondok Pesantren
Lirboyo, buku-buku dan hasil keputusan tentang Pondok Pesantren Lirboyo dan
buku-buku yang terkait dengan penelitian pesantren. Kedua; sumber data juga
diambil dari Pengurus Pondok, Pengurus Madarasah Hidayatul Mubtadi’ien, Dewan
Pengajar (mustahiq), Santri dan sumber lain yang membantu tercapainya
penelitian ini.
Teknik penelitian
lapangan yang digunakan pertama, observasi partisipan dipilih, dalam batas
minimum peneliti mengerjakan apa yang dikerjakan oleh informan, dan tidak
sampai memainkan peran lengkap yang mengerjakan apa yang dikerjakan oleh
informan secara penuh. Hal ini menurut Spradley, sebagaimana dikutip Ahmad
Sonhaji, akan mempersulit peneliti untuk menempatkan diri sebagai peneliti.[15]
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian diketahui oleh informan dan memperoleh
izin dari kyai sebagai gatekeeper. Untuk mempermudah mendapatkan data, peneliti
menjadi santri sementara di Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien maka, peneliti juga
beperan sebagai santri, mengamati bagaimana prilaku santri, semangat
belajarnya, hubungannya dalam sosial dan tentunya untuk mengetahui secara
mendalam orientasi pendidikan dan kehidupannya.
Kedua, wawancara
mendalam, dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.
Metode interview digunakan untuk mengetahui data secara langsung dari sumbernya
baik itu kyai, ustadz, dan santri. Selain itu dengan melakukan tatap muka
secara langsung, peneliti dapat memperoleh data lebih banyak dengan sebuah alat
yaitu MP4.[16]
Peneliti
berusaha mewawancarai mereka yang terlibat langsung dengan Pondok Pesantren
Lirboyo, diantaranya KH. Ahmad Idris Marzuki pengasuh Pesantren Lirboyo
utamanya pondok induk, KH. Kafabihi Mahrus rektor Institut Agama Islam Tribakti
Kediri (IAIT), KH. Reza Ahmad Zahid, M.A pengasuh Pesantren Putra-Putri
Al-Mahrusiyah dan, Umi Aina Ainul Mardliyyah dan KH. Ma’ruf Zaenuddin, pengasuh
Pesantren Salafiy Terpadu Ar-Risalah, dan ketiga, dokumentasi.
Sementara
Analisis data dalam kajian ini dilakukan dua tahap, yaitu lebih difokuskan
ketika peneliti masih dilapangan dan setelah menyelesaikan tugas pendataan.[17]
Analisis data yang dilakukan peneliti ketika masih berada dilapangan sebagai
berikut:
a)
Mempertajam
masalah penelitian
b)
Mengembangkan
masalah penelitian menjadi pertanyaan-pertanyaan analitik dan menentukan
indikator-indikator, teknik pegumpulan data, dan sumber datanya.
c)
Menggali
data lebih lanjut setelah mereview catatan data lapangan.
d)
Membuat
komentar tertulis atas ide, tema dan kategori yang muncul.
e)
Membuat
ikhtisar secara akurat.
f)
Menvalidasi
ide dan tema informan.
g)
Mengeksplorasi
literatur kembali.
h)
Menghubungkan
tema dan kategori yang dihasilkan dengan berbagai hasil penelitian lain.[18]
Sementara analisis data setelah peneliti mengadakan pendataan
dilakukan dengan cara berikut:
a)
Mendiskripsikan
orientasi santri pesantren salaf Lirboyo.
b)
Membuat
kategori dengan cara mencari persamaan dan perbedaan antara orientasi santri salaf
dan santri modern berikut ideologi pesantrennya.
c)
Menetapkan
teori dengan cara mencari hubungan antar hipotesis.[19]
Pendektan yang
digunakan dalam penelitian adalah historis sosiologis. Pendekatan historis
dilakukan dengan menggunakan kerangka teori historis kausal. Kerangka teori ini
bertujuan utnuk merumuskan hubungan sebab akibat antara orientasi santri salaf
dan ideologi pendidikan pesantren salaf, dengan berbagai faktor yang
mempengaruhi.
C.
MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN (MHM)
1.
Dinamika MHM
Madrasah
Hidayatul Mubtadi'ien disebut pula dengan pondok induk, sebab posisinya diapit
oleh dua pondok modern yakni PP. Ar-risalah dan PP. Almahrusiyah. Selain itu
secara organisasi pondok induk ini masih menjadi sentral kegiatan yang
dilakukan oleh para masyayikh. Semenjak didirikannya pada tahun 1910 M
oleh KH. Abdul Karim, kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Lirboyo
dilaksanakan dengan metode pendidikan klasik dalam format pengajian weton
sorogan (santri membaca materi pelajaran di hadapan kiai), dan pengajian bandongan
(santri menyimak dan memaknai kitab yang dibaca oleh kiai).
Seiring
bertambahnya jumlah santri dengan usia dan tingkat kemampuan yang berbeda-beda,
maka Pondok Pesantren Lirboyo menerapkan sistem pendidikan yang baru dengan metode
klasikal/madrasah (pembagian tingkat belajar). Adalah Jamhari (KH. Abdul Wahab,
Kendal Jawa Tengah) dan Syamsi, dua santri senior yang memprakarsai ide
pembaharuan sistem belajar di Pondok Pesantren Lirboyo. Ide brilian ini lantas
mendapat restu dari KH. Abdul Karim sebagai pengasuh, dibuktikan dengan dawuh
beliau: “santri kang durung biso moco lan nulis kudu sekolah.” (santri
yang belum bisa membaca dan menulis wajib sekolah).
Berbekal restu
dari Pengasuh, sistem pendidikan madrsah pun mulai dilaksanakan pada tahun 1925
M. yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM).
Namun demikian pembaharuan sistem ini tidak serta merta menghapus sistem lama.
Sistem pengajian weton sorogan dan bandongan pun tetap
dilestarikan, bahkan hingga saat ini. Pada tahun-tahun pertamanya, perjalanan
MHM bukan tanpa hambatan. Seringkali MHM mengalami jatuh bangun. Syukurnya,
selalu ada santri senior yang berjuang melanjutkan langkah MHM meski tertatih.
Setelah Jamhari sebagai pembuka, muncul sosok Sanusi, dilanjutkan oleh Syaerozi
(Bodrot, Perak, Jombang). Untuk selanjutnya, muncul pula Abdul Malik dan
kemudian Muharror (tegal jawa tengah).
Karena berbagai
kendala dan hambatan, usaha mereka untuk memajukan langkah MHM pun akhirnya
terhenti. Tepat pada tahun 1931 M, MHM mengalami vakum. Barulah pada
bulan muharram 1353 H/ Tahun 1933 M, atas upaya KH. Abdullah Jauhari (menantu
KH. Abdul Karim), K. Kholil (melikan Kediri; selaku ketua Pondok Lirboyo), dan
KH. Faqih Asy’ari (Sumbersari, Pare, Kediri), MHM dibuka kembali diikuti oleh
44 siswa. Sejak itulah MHM melangkah tanpa pernah terhenti hingga saat ini.
Jenjang
pendidikan di MHM pada saat itu adalah 8 tahun dengan dua tingkatan, yakni tiga
tahun untuk sifir (persiapan) dan lima tahun untuk tingkat Ibtidaiyah.
Kurikulum pendidikan meliputi ilmu tauhid, tajwid, fiqh, nahwu, sharaf dan
balaghah. Sedangkan standar kitab yang dipergunakan saat itu sesuai dengan
tiap-tiap tingkatan. Pelajaran tertinggi pada masa itu adalah ilmu balaghah
dengan standar kitab al-Jauhar al-Maknun. Kegiatan belajaran mengajar
MHM dilaksanakan pada pukul 19.00 WIs sampai pukul 23.00 WIs, dibagi menjadi
dua pelajaran, yakni Hisshoh Ula dan Hisshoh Tsaniyah.
Pada tahun 1947
M, KH. Zamroji yang menjabat sebagai mudier MHM, memiliki inisiatif
untuk mengadakan forum musyawarah bagi siswa MHM. Maksud kegiatan ini adalah
untuk mengasah kemampuan dalam berdiskusi dan mematangkan pemaham terhadap
pelajaran. Kemudian MHM mewajibkan siswa yang berdomisili di pondok untuk mengikuti musyawarah. Kegiatan inilah
yang menjadi cikal bakal berdirinya Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien (M3HM).
Pada tahun 1955
M, MHM mendirikan PPMHM (persatuan pelajar madrasah Hidayatul Mubtadi-ien)
sebagai respon IPNU ditanah air. PPMHM berdiri seperti layaknya OSIS di sekolah
umum. Dalam aplikasinya PPMHM diberi tugas untuk menangani berjalannya
musyawarah di MHM. Ketua PPMHM pertama adalah Agus Ali Bin Abu Bakar (Bandar
Kidul, Kediri). Seiring dengan perkembangannya PPMHM pada tahun 1958 M,
mengubah namanya menjadi M3HM (Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien) yang pada saat itu diketuai oleh Abdul Ghoni Ali.
Pada tahun 1950
M, kala itu Agus Ali Bin Abu Bakar menjadi Mudier, dibantu oleh Yasin melakukan
pembenahan dalam tubuh MHM utamanya pada jenjang pendidikan dan kurikulum
pelajaran. Dalam jenjang pendidikan, ibtidaiyyah yang semula ditempuh 4 tahun
ditambah menjadi 5 tahun. Sebaliknya, jenjang tsanawiyah yang semula 4 tahun
dikurangi menjadi 3 tahun. Sedangkan dalam hal kurikulum pelajaran, pembenahan
yang dilakukan adalah dengan ditetapkannya pelajaran ilmu Falak dan ilmu ‘Arudl
sebagai bagian dari kuurikulum pendidikan MHM.
Pada tahun 1975
M, MHM kembali mengadakan pembenahan diberi nama ar-Robithah. Lembaga yang
diresmikan oleh KH. Mahrus Ali ini bukan saja mengajarkan materi keagamaan
tetapi juga mengajrkan ilmu pengethaun umum. Hal ini dimaksudkan agar santri
memiliki kesiapan untuk hidup di masyarakat yang majemuk. Kendati masih berada
dibawah naungan MHM, lembaga Robithoh diberi hak otonom untuk mengatur dan
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar.
Pada dekade
ini, MHM juga sempat merubah jenjang pendidikan tingkat tsanawiyah yang semula
ditempuh 3 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini dimaksudkan agar ijazah MHM dapat
digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun pada tahun
1982 KH. Mahrus Aly memiliki inisiatif membentuk jenjang baru di MHM, yakni jenjang
Aliyah, sehingga pendidikan tingkat tsanawiyah dikembalikan menjadi 3 tahun.
Pada tahun ini pula lembaga ar-Rhabitah resmi tidak difungsikan lagi seiring
dengan lahirnya tingkat Aliyyah di MHM. Sampai di sini, sempurna sudah formula
jenjang pendidikan MHM, yakni tingkat ibtidaiyyah 6 tahun, Tsanawiyah 3 tahun
dan aliyah 3 tahun. Rangkaian jenjang pendidikan yang diputuskan dalam sidang
panitia kecil berjalan efektif hingga sekarang.
Perubahan
jenjang pendidikan di MHM, terakhir kalinya dilaksanakan pada tanggal 25 juli
1989 M. Kali ini MHM menambahkan jenjang persiapan yang disebut dengan tingkat
I’dadiyah (Sekolah Persiapan). Jenjang ini dimaksudkan sebagai wadah kegiatan
belajar mengajar bagi siswa baru yang datang setelah ditutupnya pendaftaran
siswa baru MHM. Jenjang pendidikan di tingkat I’dadiyah terbagi menjadi dua,
yakni I’dadiyah I dan I’dadiyah II. Ketiga jenjang pendidikan di MHM (ibtidaiyyah, tsanawiyah, aliyyah),
telah mendapatkan piagam penyelenggaraan madrasah diniyah dari departemen agama
dengan nomor sebagai berikut:
Tingkat
Ibtidaiyyah : Kd.
13.30/5/PP.007/1795/2009.
Tingkat
Tsanawiyah : Kd.
13.30/5/PP.007/1850/2009.
Tingkat Aliyyah
:
Kd. 13.30/5/PP.007/1871/2009.
Selain itu,
tingkat aliyyah MHM juga telah mendapatkan pengakuan kesetaraan madrasah aliyah
(MUADALAH) dari direktur jenderal kelembagaan agama islam pada tahun 2006 M,
dan telah diperpanjang pada tahun 2008 M, 2010 M, dan 2013 M berdasar Nomor
Keputusan sebagai berikut:
Tahun 2006 M :
Dj. II/46A/06
Tahun 2008 M :
Dj. I/457/2008
Tahun 2010 M :
Dj. I/885/2010
Tahun 2013 M :
Dj. I/65/2013
Dengan adanya
pengakuan kesetaraan (muadalah) Madrsah Aliyah ini, tamatan Aliyah MHM
dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah tinggi. Dan juga telah mendapatkan
pengakuan kesetaraan, bahwa jenjang madrasah tsanawiyah MHM setara dengan
jenjang pendidikan Aliyah Kairo Mesir, sehingga ijazah tsanawiyah MHM dapat
digunakan untuk melanjutkan pendidikan perkuliahan di Universitas al-Azhar
Cairo Mesir.[20]
Metode yang dipakai Lirboyo dalam memahami kitab kuning memakai sistem klasikal
dengan sorogan dan bandongan sebagai kunci utama.
2.
Orientasi Santri MHM
Dalam memetakan orientasi santri MHM,
penulis mencoba memisahkan antara orientasi pra dan pasca globalisasi. Orientasi
santri MHM pada masa awal beridirnya (pra
globalisasi) santri
MHM lebih
berkonsentrasi pada urusan ukhrawi, mempertahankan NKRI dan ikut melawan PKI. Gambaran orientasi diatas nampak dalam diri santri
Lirboyo mulai tahun didirikannya hingga sekitar tahun 90an namun akhirnya orientasi ini mengalami pergeseran
sedikit demi sedikit akibat perkembangan arus tekhnologi dan informasi. Terutama
setelah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) diresmikan
pembukaannya oleh Menteri Agama RI saat itu yakni Bapak Prof. KH. Syaefuddin
Zuhri, pada tanggal 9 Rajab 1386 H. bertepatan dengan tanggal 25 Oktober 1966
M. dengan 2 (dua) Fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari`ah,
orientasi santri MHM sudah mengalami perubahan.
Di era globalisasi ini Madrasah Hidayatul Mubtadi'ien
tidak menjadi pondok yang tertutup atau menolak terhadap kemodernan tetapi
Lirboyo induk sebagai pesantren salaf juga melengkapi santri-santrinya dengan
pengetahuan yang dibutuhkan di era global misalkan komputerisasi. Maka ditahun
2000 banyak didirikan tempat penyewaan komputer yang dikelola oleh santri namun
hasilnya masuk kepada kyai yang memiliki usaha komputer itu. Gairah santri juga
besar sehingga Lirboyo pada saat itu punya warung tapi isinya komputer. Pengaruh
positif yang di rasakan banyak santri yang tadinya tidak bisa bermain komputer
dalam waktu beberapa bulan saja banyak santri yang mahir komputer. Ini juga
membantu organisasi jam’iyyah surat menyurat dan lain-lain memakai fasilitas
komputer. Namun komputer ini juga membawa dampak negatif yaitu santri kadang
menonton tayangan yang dilarang. Santri lebih banyak meluangkan waktunya untuk
komputer dari pada menghafal pelajaran madrasah.
Berkembangnya orientasi santri dalam bidang pendidikan
tidak hanya berhenti di MHM Lirboyo tetapi ingin merasakan bagaimana kehidupan
di dunia akademis. Baik di IAIT sendiri atau di luar negeri misal Kairo,
al-Ahqaf, Maroko dan belahan dunia Islam yang lain. Hal ini disebabkan karena
ijazah MHM sudah mu’adalah sehingga siswa kelas 3 tsanawiyah
begitu tamat langsung bisa membawa ijzahnya ke al-Azhar. Bahkan bukan hanya di
al-Azhar tetapi di Maroko seperti alumni Lirboyo tahun 2012 yaitu Gus Afif yang
saat ini kuliah di Tetuán, Tetouan, Marocco.
Menariknya lagi sebagai bukti bahwa MHM bukan lembaga
salaf yang tertutup yaitu menyiapkan guru madrasah pada tahun 2012 untuk
diikutkan kuliah secara gratis di IAIT sebanyak 32 orang. Dengan terbukanya
kesempatan bagi santri MHM untuk melanjutkan studinya ke dunia akademis,
seperti santri yang kuliah di IAIT Kediri, tentu sedikit banyak membawa dampak
terhadap orientasi kehidupannya.
Orientasi santri baik dalam pendidikan dan kehidupannya
sangat dipengaruhi oleh kurikulum MHM. Sehingga santri yang ada di MHM
Lirboyo ini sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menjadi tenaga kerja
terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah dan
universitas pada umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para
santri dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain.
3. Tipologi santri MHM
MHM sebagai lembaga pendidikan islam tradisional memiliki
santri dengan tipologi yang berbeda-beda sebagai berikut:
a.
Abdi Ndalem
Abdi ndalem adalah sebutan bagi santri dari
kalangan ekonomi lemah yang mondok sambil membantu keperluan kyainya. Kebalikan
dari santri ndalem adalah santri non dalem yaitu santri dari kalangan
ekonomi menengah murni mondok dengan membayar penuh beban biaya yang ditentukan
oleh pesantren. Cah Ndalem (sebutan akrab bagi santri ndalem di Lirboyo)
memberikan jasanya kepada kyai kadang kala tidak murni membantu, tetapi
karena faktor himpitan ekonomi orang tua yang kurang mampu untuk membiayai
anaknya dipondok pesantren. Ketidakmampuan orang tua ini kemudian disowankan
kepada kyai untuk meminta keringanan maka, sebagai gantinya harus
mengabdi. Diakui atau tidak memang ada sedikit unsur pemaksaan bagi santri
ndalem yang berminat mondok tetapi tidak memiliki biaya yang cukup. Mereka
tidak punya pilihan sebab mahalnya pendidikan formal di tanah air menjadi
penyebab mereka memilih pondok pesantren salaf.
b.
Santri nyambi Kuliah
Semenjak Lirboyo memiliki Institut Agama Islam Tribakti
(IAIT) maka tipologi santri yang berada di lingkungan pesantren ini mengalami
perkembangan. Jika tadinya hanya santri yang pure ngaji, pengurus dan
santri ndalem, dengan berdirinya IAIT maka tipe santri dibagi lagi menjadi
santri kuliah dan non kuliah. Santri kuliah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
santri yang masih tetap melaksanakan pendidikan agamanya di MHM sambil kuliah
di IAIT Tribakti Kediri mereka yang kuliah kadang berasal dari golongan santri
ndalem melalui program beasiswa atau santri lain yang memang memiliki tujuan
mondok sambil kuliah.
c.
Santri Pengurus
Penulis coba menggambarkan bahwa di Lirboyo ada santri
yang sudah menjadi pengurus yaitu santri yang sudah menamatkan studinya di MHM
kemudian masih berada dipondok untuk berkhidmah bukan pada kyai tertentu namun
kepada pondok atau madrasah. Misal menjadi keamanan atau menjadi tenaga
pengajar. Pengurus yang ada dipondok Pesantren Lirboyo berasal dari keluarga
yang beragam. Oleh karenanya bisa ditemukan pengurus sekaligus masih ndalem.
Seperti Abdul Fatah dia tidak hanya menjadi pengajar di MHM tetapi juga menjadi
abdi ndalem KH. Ahmad Idris Marzuqi.
d.
Santri Aktif
Maksud dari santri aktif ini adalah santri yang memiliki
konsentrasi penuh untuk memahami, menghafal, mengikuti musyawarah kelas dan
musyawarah di Lembaga Bahtsul Masaail (LBM). Santri aktif tidak terpengaruh
oleh dunia akademis, ndalem dan menjadi pengurus. Mereka hanya murni
belajar diMHM.
D.
SANTRI MHM DI TENGAH GLOBALISASI
1.
Tipologi Santri MHM
Analisis
mengenai tipe Santri yang mondok di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo di
tinjau dari salaf dan tidaknya maka, di kategorikan sebagai Santri Salaf.
Dinamakan demikian sebab di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien otoritas referensial
yang digunakan adalah ilmu-ilmu yang ditulis oleh generasi sahabat sebagai
pendamping Nabi dilanjutkan generasi tabi’iin dan tabi’ al-tabi’iin.
Dengan metode pembelajaran bandongan dan sorogan. Kata salaf secara lughawi
semakna dengan qabla, yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini
sering dilawankan dengan kata khalaf yang berarti belakangan. Dalam
perkembangan selanjutnya, makna istilah salaf ini menyempit sebagai suatu
bahkan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi
ajaran Islam atas kurun periode sebelumnya. Bahkan menurut Dr. Muhammad Said
Ramadlan al-Buthi, otoritas tersebut hanya melekat pada tiga generasi awal
Islam, yaitu para sahabat, tabi’iin dan tabi’ al-tabi’in.
Sementara Said Aqil Siroj menjelaskan dalam pandangan jumhurul ulama’
yakni kalangan Sunni generasi tabi’ al-tabi’iin dan para pengikutnya,
para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf.[21] Santri salaf tipe pertama ini khusus berada di
MHM dan pondok-pondok unit dibawah naungan Lirboyo yang santrinya mengikuti
sekolah diniyah di MHM. Seperti di Pondok HMA, pondok HM, Pondok HY, Pondok DS,
Pondok Putri Hidayatul Mubtadiat. Maka, untuk pesantren lain yang berada di
bawah naungan Pesantren Lirboyo, namun santrinya tidak mengikuti sekolah
diniyah di MHM disebut dengan santri modren seperti di Ar-Risalah dan
al-Mahrusyiah.
Di
samping alasan tersebut, gaya hidup santri MHM masih menampakkan kehidupan yang
sederhana misal banyak santri yang nyeker, memakai bakiak meskipun pergi
jalan-jalan ke kota Kediri. Terlebih lagi banyak santri yang melakukan
ritual-ritual puasa seperti ngebleng, mutih, pati geni, senin kamis, ngrowot
sebab fenomena ini tidak ditemukan di selain pesantren tradisional.
Penghormatan kepada guru, kyai dan yang lebih tua usianya, ajaran tasawuf yang
menawarkan kekayaan spiritual dengan ijazah dari para kyai juga merupakan ciri
dari pesantren salaf melekat kuat di MHM. Kebudayaan modern yang berintikan
liberalisasi, rasionalisasi dengan proses desakralisasi dan de-spiritualisasi
tata nilai kehidupan di MHM tidak terlalu nampak. Hal ini karena peran kyai
sebagai figur utama dalam pesantren yang berhasil memfilter mampu berjalan
dengan baik sehingga tradisi salafmasih tetap ada di MHM.[22]
Dalam
menganilisa sikap santri MHM dalam mengarungi era global, dilihat dari beberapa
faktor sebagai berikut: Pertama, santri MHM
dikenal sebagai bagian kecil dari komunitas masyarakat yang teguh mempertahankan
tradisi ulama klasik dalam amal maupun pemikiran. Tak heran, masyarakat
menganggap santri salaf (MHM) mempunyai kemampuan lebih terutama dalam bidang
kajian kitab kuning dibanding dengan santri lain. Bahkan faktor inilah yang
menjadikan MHM memiliki daya jual tinggi di masyarakat sehingga sampai saat ini
MHM masih menjadi tujuan santri untuk mempelajari ilmu agama.
Kedua, santri MHM memiliki sikap menjunjung tinggi kekeluargaan dan kebersamaan.
Dengan kekeluargaan, bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang seharusnya
ditempatkan pada posisi mulia sangat dihargai. Penghargaan itu tampak dari
sikap-sikap mereka kepada yang lebih tua dengan sebutan kang atau dari
yang tua kepada yang muda juga dengan sebutan kang. Kekeluargaan bukan
berarti sebuah sekat sosial dalam diri santri, justru rasa kebersamaan semakin
merekat. Kebersamaan yang tampak dalam diri santri MHM adalah dalam amal,
bahkan hal privasi. Tak heran, bila masyarakat mengenal santri MHM sebagai
sosok yang luwes bergaul dengan mereka sekaligus ringan tangan. Ketiga, santri MHM memiliki moralitas yang tinggi, arif
dalam dakwah dengan mengambil kearifan lokal sebagai media
bukan sebagai “hantu” yang harus di kafirkan dan di hanguskan.[23]
Maka, dakwah model ini sebenarnya merupakan metode yang tidak menodai ajaran
Islam. Kesuksesan kyai-kyai dalam menggaet masyarakat lebih humanis dan
religius dapat kita jadikan contoh dan referensi. Tiga bagian di atas adalah
corak yang paling tampak tentang santri. Faktor-faktor diatas memberikan tugas
dan fungsi khusus kepada santri MHM di era global.
2.
Pergeseran Orientasi
Santri MHM
Perubahan orientasi santri merupakan sebuah keniscayaan. Di tengah arus
globalisasi santri MHM tidak jumud dalam berfikir bertindak dan beramal
tetapi mampu mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga bisa memberi
kemanfaatan dan berdialektika dengan masyarakat.
a.
Perubahan orientasi Teosentris menuju Teo-Anthroposentris
Pada awalnya
tujuan didirikannya Madrsah Hidayatul Mubtadi'ien adalah lebih berorientasi
pada urusan ukhrawi dan nyaris terlepas dari urusan duniawi. Dengan tujuan
demikian, maka sistem pendidikan di MHM lebih banyak di dominasi dengan
warna-warna fiqh, tasawuf dan sejenisnya. Keyakinan semacam ini mengakibatkan
sebagian besar pengasuh pesantren Lirboyo menolak masuknya ide pembaruan. Di
era global ini muncul sebuah ide pembaruan dengan merekonstruksi tujuan
pembelajaran MHM untuk tidak hanya mencetak ulama, namun tetap memahami ajaran
agama yang dipelajari di pesantren. Maksud dari ide ini adalah, santri yang belajar
di MHM tidak semata-mata mengharapkan keridlaan Allah, tetapi agar setelah
tamat mampu beradaptasi, berdialog dengan masyarakat karena disana juga
mempelajari berbagai macam keterampilan. Dengan demikian, manfaat dan
keuntungan yang diraih bukan hanya kebahagiaan akhirat, tapi juga duniawi.[24]
Oleh karena
itu, santri MHM di harapakan menggunakan akal pikirannya untuk menyelesaikan
berbagai problem kemasyarkatan tidak hanya hubungan vertikal (antara mahluk
dengan sang Kholiq), namun juga problem riil yang dihadapi masyarakat
Islam (bersifat horizontal). Sehingga dari MHM akan dihasilkan kyai intelek
sebagai produk idealnya. Potret perubahan orientasi ini juga diperkuat oleh penemuan
Ali Anwar bahwa Pondok Pesantren Lirboyo telah mengalami pembaruan secara
institusi dan manajemen. Setidaknya ada tiga corak institusi pendidikan formal
yang merupakan pembaruan sistem pendidikan di Lirboyo Kediri, yaitu pertama,
madrasah diniyah yang bernama Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien (MHM), Madrasah
Diniyah al-Mahrusiyah dan Madrasah Diniyah Ar-Risalah; kedua, Mts dan MA HM
Tribakti yang menggunakan kurikulum departemen agama; dan ketiga, SD, SMP dan
SMA Ar-Risalah yang menggunakan kurikulum departemen pendidikan nasional.[25]
Secara
manajemen, dalam operasionalnya manajemen pesantren ditangani oleh para
pengurus, baik pengurus pesantren, pengurus madrasah maupun organisasi lainnya.
Seluruh kepengurusan itu memiliki job discription, struktur organisasi dan tata
tertib yang jelas. Ketertiban manajemen yang ditangani oleh santri terwujud
karena kesadaran berjam’iyah telah terjadi dipesantren ini sejak lama.
Kira-kira pada 1941telah dibentuk jamiyah pertama yang diberi nama Jam’iyah
Tasmirut Talabah.[26]
Maka Santri
MHM, di era global telah mengembangkan pradigmanya dari teosentris menuju
antrhoposentris karena telah mengalami pembaruan-pembaruan baik dalam institusi
dan manajemen dalam bentuk modern.
b.
Perubahan Orientasi dikotomi menuju Integrasi Ilmu
Melihat
sejarah, bahwa dunia Islam pernah tampil sebagai pencetus, pelopor, pemimpin,
pemandu, dan pusat peradaban dunia. Pada masa itu[27],
umat Islam bukan hanya menguasai ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya
(tafsir, hadis, fikih, kalam, filsafat Islam, tasawuf dan sejarah kebudayaan
Islam), juga ilmu dengan berbagai cabangnya (fisika, matematika, astronomi,
geometri, kedokteran, farmasi, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain).
Kemajuan Islam dalam bidang budaya dan peradaban tersebut selanjutnya
memberikan pengaruh terhadap kemajuan eropa dan barat. Sejarah mencatat, bahwa
sejak abad ke 11 M, terdapat sejumlah pelajar eropa dan Barat yang mempelajari
ilmu umum yang di kembangkan Islam yang mereka jumpai di Bahgdad, Spanyol, dan
Sisilia. Melalui berbagai catatan sejarah, dapat di jumpai bahwa terjadinya
kemajuan Islam tersebut karena didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan
dalam arti yang luas, yaitu pendidikan yang dilakukan pada lembaga-lembaga baik
yang di bangun oleh pemerintah, masyarakat, atau perorangan. Selain itu,
kemajuan tersebut juga di dukung oleh kegiatan penelitian ilmiah, baik
penelitian bayani (al-Qur’an dan Hadis), burhani (penelitian
lapangan), jadali (kajian filosofis), istiqro’ (penelitian
kuantitatif), ijbari (penelitian eksperimen), dan ‘irfani
(penelitian sufistik).
Charles Michael
Stanton seperti yang dikutip oleh Fatah Syukur juga menjelaskan bahwa Madrsah
Nizhamiyah merupakan perguruan Islam modern yang pertama didunia. Sebab
kurikulum yang digunakan di Madrasah Nizhamiyah ini terdapat perimbangan yang
proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqih, kalam dan
lain-lain) sebagaimana yang diakui oleh Nakosteen yang menyatakan, Madrasah
Nizhamiyah sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam, dan disiplin
ilmu “Aqliyah” (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lain-lain).[28]
Akan tetapi
sejak awal abad ke 13, Islam mengalami kemunduran yang luar bisa akibat tekanan
fundamintalisme agama dan kelompok-kelompok yang baru saja masuk Islam. Banyak
sekali negara-negara Islam, terutama Kerajaan Usmani yang berpusat di Turki
yang bergabung dengan Jerman dalam perang Dunia I mengalami kekalahan yang
menyebabkan Turki Usmani semakin mundur.[29]
Akibatnya pada masa-masa berikutnya tulis Azyumardi Azra sebagaiman dikutip
oleh Ahmad Tantowi, muncul supremasi ilmu-ilmu agama diatas ilmu-ilmu “Profan”.
Menurutnya ini menimbulkan dampak yang sangat substansial bukan hanya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan Islam tetapi perbedaan Islam secara keseluruhan.[30]
Oleh karenanya
Pesantren dan madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang bersumber
dari kitab-kitab klasik saja, harus memiliki perubahan berfikir. Sebab hal ini
akan memunculkan dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Ilmu-ilmu yang
diajarkan di pesantren haruslah ilmu-ilmu yang komprehensif. Di samping agama
juga non agama, ajaran mengenai ilmu, iman dan amal. Para santri diajarkan ilmu
agama seperti fiqih, tafsir, hadits dan ibadah praktis lainnya, tetapi juga
dikenalakan ilmu umum seperti bahasa asing, matematika, ilmu bumi dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, dikotomi ilmu merupakan sesuatu yang tidak
diperlukan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.[31]
Meskipun pada
dasarnya pendikotomian ini menimbulkan beberapa problem. Namun berkaca kepada
ilmuwan masa lalu yang sangat produktif sehingga Islam mencapai masa
keemasannya. Salah satu faktornya adalah tidak adanya dikotomi dalam dikalangan
para ilmuwan cerdik pada masa itu. Karena menurut Wahid Hasyim, dikotomi ilmu
disatu sisi akan menghasilkan ilmuan yang tidak bermoral, dan disisi lain akan
lahir ulama-ulama yang ketinggalan zaman.[32]
Santri di MHM
telah mengembangkan orientasinya. Upaya agar santri tidak mengenal dikotomi
dalam ilmu telah ditunjukkan oleh MHM dengan dibukanya kran kuliah bagi santri
MHM bahkan beasiswa bagi santri atau pengurus yang berprestasi. Munculnya
Laboratorium Bahasa, kursus komputer, kursus bahasa asing, serta adanya rumah
sakit di lingkungan Pesantren Lirboyo membutikan agar santri melengkapi
keilmuannya dengan ilmu-ilmu umum. Dengan kata lain dikotomi keilmuan sedikit
demi sedikit akan berganti menjadi integrasi ilmu.
c.
Perubahan Orientasi Teoritis menuju Praktis (Qouli-Amali)
Penekankan
pentingnya pengamalan ilmu yang dipelajari oleh santri MHM. Perubahan orientasi
ini bermaksud terciptanya santri MHM yang berakhlakul karimah. Jika kembali
pada salah satu ciri tujuan pendidikan Islam yaitu ilmu itu tidak dicari untuk
ilmu itu sendiri namun ilmu dicari sebagai landasan teoritis bagi amal
perbuatan kita. Konsep implementasi ilmu dalam kehidupan nyata (praktis)
menjadi sebuah tuntutan terutama di era krisis multidimensi seperti yang saat
ini dialami bangsa Indonesia. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang
melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan yang berbasis keagamaan yang
menelorkan siswa/santri yang tidak mampu menyelaraskan antara ilmu dan amal. Harapannya
santri tidak hanya menguasai konsep dengan sempurna namun juga menerapkan
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menjadi
penting karena lembaga pendidikan bukan hanya merupakan tempat di mana proses
indoktrinisasi berlangsung, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap moral
dan perilaku peserta didiknya. Jika hal ini bisa terwujud maka kombinasi antara
orientasi teoritis menuju praksis dimana tujuan pendidikan bukan hanya semata-mata
transfer of knowledge namun juga transfer of values bukan
mustahil akan tercapai.
Perubahan
orientasi santri MHM dari teoritis menuju praktis menurut penulis juga
mendapatkan dukungan dari Surakhmad (1999:19-20) memberikan sebuah daftar
penting dan menarik tentang perubahan atau peralihan paradigma, dari yang
berorientasi ke masa silam menjadi berorientasi ke masa depan: Pertama,
peralihan pendidikan dari pendidikan yang mengutamakan nilai kehidupan budaya
feodal aristokrasi ke pendidikan yang menggalakkan kehidupan nilai budaya
demokrasi; kedua, peralihan pendidikan dari yang memihak pada kepentingan
penguasa dan kekuasaan kepada pendidikan yang mengutamakan kerakyatan; ketiga,
peralihan pengelolaan pendidikan yang terpusat secara sentralistik kepada
pengelolaan pendidikan berbasisi masyarakat; keempat, peralihan sikap
kependidikan yang mengutamakan keragaman ke sikap pendidikan yang menghargai
keragaman.
Selanjutnya,
kelima, peralihan pola manajemen pendidikan yang memupuk ketergantungan
masyarakat ke pola manajemen pendidikan yang mengutamakan ke mandirian; keenam,
peralihan dari pendidikan yang mengondisi masyarakat takluk kepada gaya
pemmerintahan melalui kebijaksanaan (penguasa) ke pendidikan yang menyadarkan
masyarakat tentang pentingnya keteraturan dan kepastian hukum; ketujuh;
peralihan pendidikan dari metodologi pendidikan yang mengutamakan pengawetan
dan konformisme nilai usang yang disakralkan kepada metodologi pendidikan yang
merintis pengembangan ilmu dan pemanfaatn teknologi; kedelapan; peralihan dari
pandangan kependidikan yang lebih banyak bersifat pelaksanaan kewajiban ke
pandangan yang mendidik dan menyadarkan warganegara mengenai hak-hak asasi
manusia. Kesembilan; peralihan dari orientasi pendidikan yang mengutamakan
pelestarian dan keseimbangan dari sudut kepentingan politik ke orientasi
pendidikan yang mengutamakan perubahan, pertumbuhan dan kemajuan; kesepuluh;
peralihan dari sikap kependidikan yang konformistik, memasung dan punitif, ke
sikap pendidikan yang motivatif, menghargai kretivitas dan inovasi; kesebelas;
peralihan pendidikan dari pandangan tertutup, isolasionistik, terpola
(dibakukan), ke pandangan yang merangsang kerja sama secara terbuka dan
fleksibel; kedua belas peralihan dari
pola dan program kurikuler yang statis, skolastik, salafke pola dan
program kurikuler yang dinamis, riil dan kontekstual.
Kesimpulan dari
teori ini menegaskan bahwa santri harus memiliki perubahan orientasi dalam
pendidikan, sama dengan perubahan orientasi pesantren yang ditawarkan oleh
Wahid Hasyim yaitu : Teosentris ke
Anthroposentris, dikotomik kepada non dikotomik, teoritis kepada praktis.
Namun, penulis menawarkan tambahan orientasi yaitu orientasi humanisme
theosentris[33]
(kepercayaan mendalam kepada Tuhan harus dipadukan dengan usaha manusia).
d.
Orientasi Humanisme Theosentris
Orientasi yang
ke empat ini sebenarnya merupakan kritik terhadap teori dari Wahid Hasyim yaitu
Teosentris ke Anthroposentris. Dalam konteks Aqidah teori teosentris selaras
dengan pemahaman jabariyah (tidak ada ikhtiar dari manusia, semuanya
dari tuhan) sedangkan anthroposentris selaras dengan pemahaman qodariyah
(perbuatan manusia dijadikan oleh manusia). Orientasi ini akan menjadikan
santri MHM semakin menjauh dari aqidah ahlussunnah wal jama’ah). Oleh
karenanya penulis lebih cenderung kalau santri MHM Orientasinya adalah humanis
theosentris yang sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal jama’ah (perbuatan
manusia terlebih dahulu melalui ikhtiar atau usaha meskipun perbuatan itu pada
hakikatnya dijadikan oleh Tuhan).
Orientasi ini
lebih sesuai dengan penemuan data peneliti sebab, Aqidah yang dianut santri MHM
adalah ahlussunnah wal jam’ah. Disamping
itu orientasi humanis teosentris dalam praktik kehidupan dan pendidikannya
lebih fleksibel, selama substansinya terpelihara yaitu: menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan karena hakekatnya ajaran Islam (agama Fitrah) memang
untuk memnuhi kebutuhan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Akan tetapi
martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia mampu mendekati
Tuhan karena pada dasarnya manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya. Substansi ajaran ini tidak boleh berubah selamanya karena kalau
sampai berubah hilanglah hakekat Islam sebagai agama fitrah. Seandainya ada
perkembangan hanyalah bersifat perluasan dan pendalaman makna, bukan pada
subtansinya.[34]
Di tengah
krisis multidimensiaonal, Santri MHM perlu menyadari tentang pentingnya
mengintergrasikan nilai-nilai prophetic transendental yang dibangun dari
kepercayaan mendalam kepada tuhan yang dipadukan dengan usaha manusia. Sebagai
bukti dari berkembangnya orientasi ini Santri MHM kini kian menyadari bahwa
santri membutuhkan berbagai konsep ekonomi dengan semakin tumbuhnya koperasi
pesantren dan percetakan-percetakan bermunculan di lingkungan pesantren. Tidak
hanya dalam hal perekonomian, saat ini santri MHM yang sudah terjun di
masyarakat juga ikut berperan dalam dunia politik. Dalam melestarikan budaya
terutama budaya Islam, santri MHM sampai saat ini masih menjaga tradisi
orang-orang salaf serta mampu memfilter budaya-budaya baru yang tidak baik.
Hukum-hukum Islam yang kadang sulit untuk di mengerti oleh kalangan awam
ternyata mampu di terjemahkan dengan baik oleh santri dan di sampaikan kepada
masyarakat dalam kegiatan dakwah khususnya di bulan Romadhon. Sehingga
hukum-hukum yang sulit di fahami oleh ummat bisa di aplikasikan dengan lebih
baik terutama dalam kaitannya dengan ibadah yang dampaknya adalah keabsahan
ritual ummat kepada Allah swt.
E.
PENUTUP
Dari hasil
penelitian penulis di Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri mengenai Orientasi
Santri Pesantren Salaf di Era Globalisasi, dapat diambil kesimpulkan sebagai
berikut :
1. Orientasi kehidupan santri Madrasah
Hidyatul Mubtadi'ien di era globalisasi tidak hanya mengacu kepada kehidupan
ukhrawi yang memang menjadi dasarnya tetapi menjadikan kehidupan duniawi
sebagai perantara untuk kesuksesan akhiratnya. Dibukanya kran kuliah dengan
ijazah MHM yang sudah laku maka, orientasi kehidupan santri salaf Lirboyo bukan hanya berdakwah namun lebih
beragam, misal menjadi anggota DPR, PNS, TNI, Pedagang dan lain-lain. Keragaman
orientasi hidup dari santri ini tidak lepas dari orientasi humanisme teosentris
yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena hakekatnya ajaran
Islam (agama Fitrah) memang untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk
kepentingan Tuhan. Akan tetapi
martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia mampu mendekati
Tuhan karena pada dasarnya manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya. Sehingga dalam kehidupan
sosial santri lirboyo mampu berperan dengan baik tidak hanya secara horizontal
namun juga vertikal.
2. Orientasi pendidikan santri MHM di era
globalisasi tidak hanya sekedar tafaqquh fi ad-din dengan berhenti
sampai di tingkat Aliyah saja, namun kecendrungan untuk meneruskan kejenjang
yang lebih tinggi sudah banyak dilakukan oleh para santri. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya santri yang kuliah tidak hanya di dalam negeri namun juga di
luar negeri seperti Maroko, Mesir, Yaman, Madinah dan Arab Saudi. Hal ini membuktikan
bahwa santri salaf MHM sedikit demi sedikit telah mengalami perubahan orientasi
dari dikotomi menuju non dikotomi. Perubahan orientasi ini didorong oleh para
pendahulunya yang melengkapi keilmuannya dengan menimba ilmu diluar negeri.
Kemudahan untuk melanjutkan kuliah ini dirasakan oleh santri setelah ijazah MHM
ternyata dapat diterima di perguruan tinggi Islam baik di STAIN, IAIN dan UIN.
F.
SARAN
Agar MHM lebih efektif dalam menjalankan
fungsi-fungsi tradisional, perlu direkomendasikan hal-hal berikut:
1.
Kepada para santri MHM, tradisi pesantren salaf
misal budaya salaman, cium tangan, sarungan, wirid, roan, haul, mujahadah,
syawalan, tahlilan, sowan dan sangat mementingkan mazhab. Meskipun diduga dapat
menyebabkan kekakuan, kejumudan dan tidak menumbuhkan sikap kritis harus tetap
dipertahankan dalam era global.
2.
Kepada para pengelola MHM, di masa depan kita
tidak dapat memisahkan diri dari kompleksitas global yang membawa ide-ide
kosmopolit. Untuk menatap masa depan semacam ini, disarankan agar pondok
pesantren salaf membuka diri terhadap ilmu pengetahuan (sains) agar mampu
mengintroduksi sains Islami.
3.
Kepada para ulama mutafaqih fi al-din
agar menulis kitab kontemporer dengan mengangkat masalah-masalah kekinian yang
materinya diambil dari kitab kuning. Pelaksanaan visi pondok pesantren salaf di
era globalisasi perlu mendapat bantuan dari kalangan ilmuwan dan cendekiawan.
Untuk itu para ilmuwan dan cendekiawan muslim diharapkan dapat membantu pondok
pesantren salaf yang indigenous Indonesia agar dapat melepaskan diri
dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, sadar akan apa yang terjadi
diluar dunianya dan tidak menjadi lembaga yang marginal.
4.
Menurut Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bagian Kedua Pasal 55; pendidikan khas agama
adalah pendidikan berbasis masyarakat yang dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana dan sumber daya lain dari pemerintah. Pendidikan di pondok
pesantren termasuk pendidikan khas agama Islam yang juga dapat memperoleh
bantuan dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah Kota Kediri khususnya depertemen
agama agar mengalokasikan bantuan teknis atau subsidi dana pada pondok
pesantren di daerah-nya supaya memiliki keunggulan kompetitif di tengah
persaingan global.
5.
Kepada segenap masyarakat, MHM merupakan
pencetak ulama’ yang kompetensinya masih dianggap paling mumpuni dalam bidang
agama. Maka, untuk menjaga kelestarian pesantren salaf ini peran serta
masyarakat diharap memberikan kepercayaan sepenuhnya dengan memasukkan
anak-anak mereka ke lembaga pendidikan salaf.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pendidikan
Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Millenium III, Jakarta: Kencana, 2012.
-----------------------, Pendidikan
Islam; Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Kencana, 2012
Roziqin, Muhammad Zainur. Moral Pendidikan Di Era Globalisasi,
Malang: Averroes Press, 2007.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren,
Yogyakarta: Lkis, 2001.
Marzuki, Saleh. Pendidikan Non Formal Dimensi Dalam Keaksaraan
Fungsional, Pelatihan Dan Andragogi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Anis Masykhur,
“Pesantren Sebagai Pusat Studi Masyarakat”, Mihrab,
vol 2 No 3, September, 2008.
Amin
Haedari dkk, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Divisi
Pustaka, 2006.
Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqh Sosial Kyai Sah. Mahfudh Antara
Konsep Dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007.
Streenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah, Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986.
Taufiq, M. Izzuddin. Panduan
Lengkap Dan Praktis Psikologi Islam, Jakrata: Gemma Insani Press, 2006.
MHM, Hasil Sidang Presedium Kwartal MHM Lirboyo Kediri Tahun
Pelajaran: 1427-1428H/2006-2007 M, Kediri: MHM, 2007, h. 2-6, dan di adaptasi
dari arsip Pesantren Induk Lirboyo Kediri tahun 2007.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung
: Remaja Rosdakarya, Cet I, 2001.
Sonhaji, Ahmad. “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian
Kualitatif”. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo
Kediri, Kediri: IAIT PRESS, 2008.
Moleong,
Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Rosda
Karya, 2009.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008.
Danim, Sudar. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung; Pustaka
Setia, 2002.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta :
INIS, 1994.
Disarikan dari Buku Hasil Sidang Panitia Kecil (HSPK) tahun
pelajaran : 1434-1435 H./2013-2014 M
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam
Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Jakarta: Yayasan Khas, 2009.
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo, KEDIRI:
IAIT PRESS. 2009
Nata,
Abduin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana. 2011.
Syukur, Fatah. Sejarah Pendidikan Islam, Semarang: IAIN
Walisanga, 2010.
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains
(Sebuah Pengantar), dalam Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era
Transformasi Global, Semarang: IAIN Walisanga. 2009.
Basori, Ruchman. The Founding Father Pesantren Modern Jejak
Langkah K. H. A. Wahid Hasyim, Jakarta: Inceis, 2006.
[1] Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III, (Jakarta: Kencana Prenedia Media Group, 2012), h. 41.
[2]
Muhammad Zainur Roziqin, Moral Pendidikan Di Era Globalisasi, (Malang:
Averroes Press, 2007), h. 3.
[3]
Santri adalah salah satu komponen pesantren yang oleh Gus Dur pesantren
dianggap sebagai sub kultur meskipun tidak seluruh pesantren memahami hal
tersebut. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren
(Yogyakarta: Lkis, 2001).
[4]
Modernisasi melanda Indonesia, di mulai tahun 1990-an. Kemodernan itu ditandai
dengan televisi yang menyebar disetiap rumah, hand phone, komputer, laptop dan
internet. Saleh Marzuki, Pendidikan Non Formal Dimensi Dalam Keaksaraan
Fungsional, Pelatihan Dan Andragogi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 13.
[5] Anis Masykhur, “Pesantren Sebagai Pusat Studi Masyarakat”, Mihrab, vol 2 No 3
(September, 2008), h. 48
[6] Kualat bagi kalangan santri sering diartikan hidup susah di dunia
dan akhirat, seperti susahnya rizki, sering tertimpa musibah dll. Amin Haedari
dkk, Panorama Pesantren, h. 59.
[7]
Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kyai Sah. Mahfudh Antara Konsep Dan
Implementasi, (Surabaya: Kh.ista, 2007), h. 192-198.
[8]
Adopsi kelembagaan pesantren di Minangkabau, Azyumardi Azra, Surau
Pendidikan Islam SalafDalam Transisi Dan Modernisasi, h. 149.
[9]
Karel A. Streenbrink, Pesantren Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), h 63.
[10] Dr.
Lutfi Fathim dan Dr. Abdul Mun’im Muhammad Jamal menjelaskan Orientasi adalah
cara pandang mendasar atau cara kita melihat, memikirkan, memaknai, menyikapi,
serta memilih atas fenomena yang ada. M. Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap
Dan Praktis Psikologi Islam, (Jakrata: Gemma Insani Press, 2006), h. 133
[11] MHM, Hasil Sidang Presedium Kwartal MHM
Lirboyo Kediri Tahun Pelajaran: 1427-1428H/2006-2007 M, Kediri: MHM, 2007, h.
2-6, dan di adaptasi dari arsip Pesantren Induk Lirboyo Kediri tahun 2007.
[12]
Pada tahun 2006, Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi’ien mendapatkan mu’adalah,
di mana ijasahnya dapat digunakan untuk meneruskan ke perguruan tinggi.
Keputusan itu ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Jahja Umar, Ph.D, dengan suratnya Nomor: Dj.II/46A/06.
[13] Fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian
baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret
kehidupan.
[14]
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, Cet I, 2001), h. 100.
[15]
Ahmad Sonhaji, “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”, h.
76. Dalam Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri,
Kediri: IAIT PRESS, 2008, h. 12.
[16]
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186.
[17]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 336.
[18]
Langkah-langkah ini merupakan ringkasan pendapat Bodgan dan Biklen. Untuk
elaborasi baca Sudar Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung;
Pustaka Setia, 2002 h. 210-215. Dalam Ali Anwar “Pembaruan Pendidikan Di
Pesantren Lirboyo Kediri” h. 14.
[19]
Langkah-langkah ini merupakan ringkasan Mastuhu terhadap pendapat Schlegel.
Untuk elaborasi baca Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,
Jakarta : INIS, 1994, H. 46-47.
[20] Disarikan dari Buku Hasil Sidang Panitia Kecil (HSPK) tahun pelajaran :
1434-1435 H./2013-2014 M.
[23]
Asmani, Fiqh Sosial Kyai Sah. Mahfudh, h. 181
[24] Ibid,
h. 104.
[27] Sejarah Islam dibagi menjadi tiga periode: Pertama, Periode Klasik
menurut Harun Nasution mulai tahun 650-1250 dibagi menjadi dua masa yaitu masa
kemajuan Islam I tahun 650-1000 M dan masa integrasi mulai tahun 1000-1250 M. Kedua,
Periode Pertengahan menurut Harun Nasution di mulai 1250-1800 M dan terbagi
dalam du masa yaitu masa kemunduran (1250-1500 M) dan masa tiga kerajaan besar
(Kerajaan Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mugh. di India yang berlangsung
1500 – 1800 M). Ketiga, Peridoe Modern. Periode ini
menurut Harun Nasution dianggap sebagai zaman kebangkitan Islam. Adanya
pendudukan Napoleon di Mesir yang berakhir pada 1801 M, membuka mata dunia
Islam, terutama Turki dan Mesir, terhadap
kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat. Kutipan dari pandangan Harun Nasution dalam Abduin Nata, Studi
Islam Komprehensif, hlm. 339-357.
[30] Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah
Pengantar), dalam Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global,
(Semarang: IAIN Walisanga), h. 105.
[31]
Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Jejak Langkah K. H. A.
Wahid Hasyim, (Jakarta: Inceis, 2006). h, 111.
[32]
Ibid, h. 115.
[33]
Teori ini penulis ambil dari pendapat Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, dalam
menjelakskan perkembangan Islam yakni disebabkan adanya faktor internal dan
eksternal Islam. Untuk elaborasi baca Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,
(Jakarta: Kencana, 2011).
assalamualaikum,bisa minta ijin copas geh buat referensi
BalasHapusbagus mas artikel nya !!
BalasHapus